Langsung ke konten utama

My Life Without Sound

My Life Without Sound Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Perkenalkan, namaku Theresia Suhandi. Biasa dipanggil, Theresia atau malah… si tuli? Hidupku penuh warna namun tidak dengan suara. Ya, ibuku baru tahu bahwa indra pendengaranku tidak berfungsi dengan baik saat aku berumur 2 tahun. Aku selalu bersikap acuh tak acuh ketika namaku dipanggil. Karna itulah ibu menaruh curiga pada pendengaranku. Beliau lalu membawaku ke dokter THT. Alhasil, dokter menyatakan bahwa pendengaranku tidak bisa bekerja sebagaimana mestinya pada anak normal. Sedih tentu ada dalam perasaannya. Sejak itulah, ibu mulai memperkenalkanku pada dokter Ichida, dokter asal jepang yang mengajariku bagaimana caranya berkomunikasi dengan orang normal. Ibu juga banyak belajar darinya.

Kalau boleh jujur, sebenarnya, aku adalah bayi premature yang lahir tanpa ayah. Ayahku tlah lama ‘pergi’ ketika aku baru berusia 4 bulan dalam kandungan. Padahal, aku belum sempat bertemu dan bercanda. Aku tak pernah tahu setampan apakah wajah ayahku selain dari foto.

Suatu ketika, aku bertanya pada ibu, “Bu, apakah ibu menyesal karna telah mempunyai anak cacat sepertiku?”
Dan, kalian tahu apa? Ibuku malah menjawabnya dengan santai dan tersenyum katanya, “Tidak, S
... baca selengkapnya di My Life Without Sound Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bende Mataram - JILID 7. SUATU PERTEMPURAN TAK TERDUGA

Bende Mataram - JILID 7. SUATU PERTEMPURAN TAK TERDUGA WIRAPATI girang bukan main. Sangaji telah cfiketemukan. Kini tinggal menunggu Jaga Saradenta pulang dari penyelidikan ke luar kota. Seminggu sekali Jaga Saradenta datang ke pondokan dan membawa berita. Adakalanya sampai satu bulan. Dia pasti girang, kata Wirapati dalam hati, nanti malam biar kuajaknya mulai bekerja. Mudah-mudahan dia datang. Sekiranya tidak, biarlah kumulai dahulu. Waktu berarti pedang. Satu hari lengah berarti terkikisnya waktu yang dijanjikan. Hm—tinggal empat tahun. Kalau Sangaji mempunyai bakat, agaknya masih ada waktu. Mendadak saja timbullah suatu pikiran lain. Eh, sekiranya Sangaji nanti malam tak datang apa yang akan kulakukan? Bukankah hati kanak-kanak seringkali berubah? Celaka—aku belum tahu rumahnya. Memikir demikian, cepat ia kembali ke lapangan. Sangaji baru saja melangkahkan kaki meninggalkan lapangan. Ia girang. Mau dia percaya, kalau selama itu Sangaji masih tertegun-tegun memikirkan kehebatannya y...

ep.48 bende mataram - Pulang

BENDE MATARAM JILID 48 PULANG HATI seorang perempuan memang sukar diduga. Kalau tidak masakan perbuatan Rukmini dapat terluput dari pengamatan Sangaji yang sudah memiliki ilmu sangat ting-gi. Soalnya, seluruh perhatiannya ditegangkan oleh peristiwa yang terjadi di tengah lapangan. Dan sekelumitpun tiada terbintik dalam hati Sangaji, bahwa ibunya akan membunuh difi pula mencontoh Sonny de Hoop. Alasan untuk berbuat demikian sangatlah lemah. Jalan pikir Rukmini memang sangat aneh. Melihat anaknya tiada hendak meninggalkan rumah, lantas timbullah keputusannya akan membunuh diri. Ia sendiri tak dapat pergi bersama anaknya, sebeluin berbicara dengan Major de Hoop yang sudah beberapa tahun lamanya menjadi perlindungannya. Gntuk perbuatan itu, ia merasa berutang budi setinggi gunung. Kalau ia pergi begitu saja meskipun alasan-alasannya cukup kuat serta mendesak ia takut dikatakan sebagai makhluk tak kenal budi. Padahal anjingpun mengerti akan mem-balas budi. Masakan manusia tidak? Sekiranya...

BENDE MATARAM - JILID 8. SONNY SI GADIS INDO

BENDE MATARAM - JILID 8. SONNY SI GADIS INDO DENGAN berdiam diri pula Jaga Saradenta membimbing tangan Sangaji di samping Wirapati. Kesan pertempuran tadi masih saja meriuh dalam otaknya. Hatinya bisa menduga apa yang bakal dilakukan Pringgasakti ketika melihat adiknya mampus begitu terhina di tengah lapangan. “Iblis itu benar-benar kebal dari semua senjata tajam. Tapi kekebalannya tak kuasa mempertahankan diri dari letupan pistol. Jika begitu, boleh juga kita belajar menembak,” katanya perlahan. Wirapati adalah murid keempat Kyai Kasan Kesambi yang diajar membenci senjata bidikan. Begitu mendengar ujar Jaga Saradenta lantas saja menyahut. “Bukan karena mesiu pistol dia mampus, tetapi karena kebetulan tepat mengenai lubang kelemahannya.” “Bagaimana kautahu?” “Pertama-tama kulihat dia selalu melindungi kepalanya rapat-rapat dari gempuran cempulingmu. Seandainya dia benar-benar kebal, apa perlu berlaku begitu? Kedua, tembakan pistol Sangaji tepat mengenai pusatnya. Memang se-mendjak kau ...