Langsung ke konten utama

Bende Mataram - JILID 7. SUATU PERTEMPURAN TAK TERDUGA

Bende Mataram - JILID 7. SUATU PERTEMPURAN TAK TERDUGA WIRAPATI girang bukan main. Sangaji telah cfiketemukan. Kini tinggal menunggu Jaga Saradenta pulang dari penyelidikan ke luar kota. Seminggu sekali Jaga Saradenta datang ke pondokan dan membawa berita. Adakalanya sampai satu bulan. Dia pasti girang, kata Wirapati dalam hati, nanti malam biar kuajaknya mulai bekerja. Mudah-mudahan dia datang. Sekiranya tidak, biarlah kumulai dahulu. Waktu berarti pedang. Satu hari lengah berarti terkikisnya waktu yang dijanjikan. Hm—tinggal empat tahun. Kalau Sangaji mempunyai bakat, agaknya masih ada waktu. Mendadak saja timbullah suatu pikiran lain. Eh, sekiranya Sangaji nanti malam tak datang apa yang akan kulakukan? Bukankah hati kanak-kanak seringkali berubah? Celaka—aku belum tahu rumahnya. Memikir demikian, cepat ia kembali ke lapangan. Sangaji baru saja melangkahkan kaki meninggalkan lapangan. Ia girang. Mau dia percaya, kalau selama itu Sangaji masih tertegun-tegun memikirkan kehebatannya yang diperlihatkan tadi. Ia kuntit si anak dari jauh. Setelah memasuki tangsi ia segera berhenti. Ih! Anak Willem katanya, Wirapati berpikir. Tak boleh dia dihinggapi perasaan itu. Betapa baik si Willem dia bukan bangsa sendiri. Di kemudian hari siapa tahu bisa menyulitkan Sangaji. Wirapati adalah seorang yang tebal rasa ke-bangsaannya. Jika tidak, tak mungkin dia mendekati Sangaji ketika digebuki pemuda-pemuda Belanda. Sungguh tak diduganya ia bertemu dengan si anak yang sudah dicarinya selama delapan tahun. Tiba-tiba ia melihat suatu kesibukan di dalam tangsi. Dua orang kompeni datang dengan menunggang kuda yang dilarikan amat cepat. Ia menduga pastilah terjadi suatu warta yang harus disampaikan kepada komandan tangsi. Dan warta itu mestinya sangat penting. Tak lama kemudian setelah dua orang kompeni itu masuk ke dalam tangsi, didengarnya bunyi terompet melengking ke udara. Dari dalam los-los kompeni muncullah serdadu-serdadu dengan sibuk dan riuh. Mereka berlari-larian dengan berderap-an. Senapan-senapan mereka tak sempat dipanggul, hanya dijinjing atau diseret sambil membetulkan letak bajunya. Mereka berbaris dengan teratur rapih. Cepat dan berdisiplin. Wirapati yang menonton di luar lantas berpikir, mereka teratur rapi dan berkesan perkasa. Pantas mereka bisa menjelajah dan menjajah tanah-tanah dan negeri-negeri yang dikehendaki. Ah—sekiranya kita mempunyai tentara begitu teratur dan disiplin, pastilah tak gampang Belanda menginjak-injak negeri kita. Seperempat jam kemudian mereka berbaris keluar tangsi. Panji-panji pasukan dan bendera berada di depan barisan. Mereka membawa genderang dan terompet. Di barisan belakang berjalanlah pasukan berkuda. Penunggangnya menghunus pedang panjang. Di tiap pinggang tergantung sepucuk pistol. Tanpa merasa Wirapati memuji: “Hebat!” Lantas ia menduga-duga ke mana mereka akan pergi dan mengapa begitu sibuk. Karena pikiran itulah ia segera menguntit. Dasar dia usilan. Setiap kali merasa tertarik takkan puas sebelum endapat penjelasan. Watak itu pulalah yang membuatnya kini merantau ke Jakarta sampai delapan tahun lamanya. Gara-gara bertemu dengan serombongan penari yang aneh. Pasukan tentara yang berjumlah kurang lebih 500 orang itu berbaris ke lapangan. Mereka membuat suatu bentuk barisan. Kemudian menunggu, sedangkan para perwira sibuk .berunding. Ah—kiranya ada pembesar yang datang, Wirapati menduga. Kemudian ia pergi meninggalkan lapangan hendak cepat-cepat pulang ke pondokan untuk menunggu kedatangan Jaga Saradenta. Mendadak saja ia melihat barisan lain mendatangi. Barisan itu terdiri dari sepasukan tentara berkuda. Jumlahnya kurang lebih 250 orang. Sebenarnya tidak ada yang istimewa. Kejadian itu adalah peristiwa lumrah. Tapi Wirapati tertarik pada suatu penglihatan lain. Di depan barisan yang mendatangi itu, nampaklah dua puluh orang berkuda yang mengenakan pakaian seragam Kasultanan Yogyakarta. Yang berada di depan seorang pemuda ganteng. Umurnya belum melebihi tiga puluh tahun. Kagetnya, ia mengenal wajah pemuda itu. Dialah si pemuda yang membunuh salah seorang anggota rombongan penari yang aneh. Dia pulalah yang melarikan Sapartinah, isteri Wayan Suage. Cepat ia bersembunyi di belakang pagar rakyat yang datang melihat dengan berduyunduyun. Ia mengintai si pemuda itu dengan sungguh-sungguh. Seperti dahulu pakaian yang dikenakan si pemuda mentereng. Dia didampingi oleh dua orang laki-laki yang berparas buruk. Yang sebelah kiri berkepala gede, kulitnya hitam legam bagaikan orang hutan. Yang sebelah kanan seorang laki-laki bermata sipit, matanya menjorok ke dalam, mulutnya lebar dan berkulit keputih-putihan seperti orang sakit kuning. Kesan penglihatan dua orang itu menggeridikkan bulu roma. Di belakang si pemuda berderet tujuh belas prajurit Kasultanan Yogyakarta dengan tanda pasukan pengawal kepatihan. Wirapati mengira si pemuda itu anak Patih Danureja II—sahabat VOC di Jakarta. “Sudah datang! Mereka datang!” tiba-tiba serombongan pemuda-pemuda Belanda berteriak di dekat Wirapati. Pemuda-pemuda ini mengenakan pakaian preman. Di antara mereka terdapat seorang gadis kira-kira berumur enam belas tahun. Gadis itu keturunan Belanda (Indo) wajahnya cantik dan keagung-agungan. Perawakannya langsing padat dan gayanya mulai dapat menggiurkan penglihatan. Dia ikut berteriak pula: Suaranya nyaring bercampur girang. Diam-diam Wirapati berpikir, kenapa mereka seolah-olah menyatakan syukur? Mendadak seorang pemuda berseru kepada gadis itu. “Hai Sonny! Itulah Pangeran “Bumi Gede. Kau nanti bertugas melayani dia.” “Dih! Aku? Mengapa aku?” sahut si gadis dengan mencibirkan bibir. Pemuda itu tertawa berkakakkan. Teman-temannya yang lain menyumbangkan tertawanya pula. Mereka lantas menggoda. “Dia seorang Pangeran Baron wilayah Bumi Gede.” “Mana itu Bumi Gede,” potong si gadis dengan suara dingin. Mereka tak dapat menjawab pertanyaan si gadis. Pemuda yang mula-mula berkata mendekati si gadis. “Dia tamu pemerintah. Dan kau bagian protokol. Apa perlu mesti minta penjelasan tentang tamu itu atau negeri asalnya? Dia datang dari Yogyakarta. Mestinya Bumi Gede termasuk kerajaan Yogyakarta.” Ternyata mereka adalah pegawai-pegawai Bataafse Republik. Hari itu mereka menerima kabar, Pemerintah Belanda di Jakarta akan mendapat kunjungan utusan dari sekutuannya di Yogyakarta. Pangeran Bumi Gede adalah utusan Patih Danureja II yang hendak mengadakan suatu perserikatan rahasia. Seperti diketahui Patih Danureja II adalah lawan Sultan Hamengku Buwono II. Dia bertujuan menggulingkan Sultan Hamengku Buwono II dari tahta kerajaan. Gntuk mencapai maksud itu dia berserikat dengan Pemerintah Belanda di Jakarta. “Siapa nama Pangeran itu?” tiba-tiba si gadis bertanya. Pemuda itu ternganga mendengar pertanyaan gadis itu. Dia lantas tertawa panjang. “Mengapa tanya kepadaku? Tanyalah sendiri!” jawabnya menggoda. Teman-temannya tertawa berkakakkan. Wajah si gadis lantas saja berubah merah jambu. Cepat-cepat ia membela diri. “Bukankah lebih memudahkan pelayanan, jika aku mengenal namanya terlebih dahulu? Dengan begitu rasa kaku akan dapat terkikis cepat.” “Huuuuu...!” Pemuda-pemuda menyahut seperti koor nyanyian. “Apa huu ...?” si gadis sakit hati. “Selain aku kan ada pula Helia, Nelly, Maria, Anneke, Thea, Isabella ... mengapa menduga yang bukan-bukan?” Wirapati menyingkir jauh. Tak senang ia mendengar percakapan itu. Hatinya lantas saja menangkap suatu firasat buruk. Diam-diam ia berpikir, Pemerintah Belanda menaruh perhatian besar terhadap kedatangan mereka, sampaisampai menyediakan suatu pelayanan khusus. Ada apa? Mendadak teringatlah dia kepada peristiwa perebutan pusaka Bende Mataram dan keris Kyai Tunggulmanik. Terloncatlah di benaknya. Ah! Apakah kedatangan mereka di sini bukan untuk sesuatu maksud keji? Pemuda itu terang gila kekuasaan, martabat dan uang. Bagaimana tidak? la mengutuk Pangeran Bumi Gede kalang kabut. Baiklah kukuntit saja dari jauh, pikirnya. Nanti malam akan kucoba mengintip pembicaraannya. Sekiranya sampai menjual kemar-tabatan bangsa dan negara untuk memuaskan nafsunya sendiri, biarlah kucoba-coba mengadu nyawa dengan jahanam itu. Kalau berhasil ini namanya sekali tepuk dua lalat mati sekaligus. Wirapati lantas menguntit barisan itu. Mendadak ia melihat suatu penglihatan lain. Di belakang barisan utusan dari Yogyakarta berjalanlah lima orang laki-laki yang diikat oleh rantai panjang. Mereka dipaksa berjalan dengan dicambuki tiada henti. “Ih! Kenapa?” Wirapati menebak-nebak. Melihat orang-orangnya mereka bukan golongan perampok atau begal. Mereka bersikap berani melawan dan tak sudi merasakan pedihnya cambukan cemeti. Mereka saling memandang dan saling memberi isyarat. “ Aneh, pikir Wirapati—kalau penglihatanku hari iri kuceritakan kepada Jaga Saradenta belum tentu dia percaya. Barisan itu segera disambut barisan 500 serdadu kompeni yang datang dari tangsi. Kemudian diantarkan masuk kota. Rakyat berdiri berjejalan di pinggir jalan dengan sorak-sorai. Tak henti-henti mereka membicarakan rombongan tetamu yang masih asing baginya. Wirapati menyelinap di antara mereka. Dari jauh dia terus menguntit dengan diam-diam. Ternyata rombongan utusan dari Yogyakarta itu memasuki gedung negara. Sebentar mereka mengikuti upacara-upacara penyambutan, kemudian menghilang di dalam gedung negara. Wirapati menunggu sampai gelap malam tiba. Niatnya sudah pasti, mau mendengarkan pem-bicaraan Pangeran Bumi Gede dengan Pemerintah Belanda, la akan menyelinap memasuki gedung negara dan melompati genting. Sekalipun gedung negara dijaga rapat oleh serdadu-serdadu, ia merasa sanggup mengatasi. Selain Wirapati berwatak usilan, sesungguhnya dia seorang kesatria yang menaruhkan darma di atas segalanya. Pahit getir sebagai akibat pakarti itu tak diindahkan. Delapan tahun yang lalu, seumpama tak bertemu dengan rombongan penari aneh dari Banyumas, tidaklah bakal dia berlarat-larat sampai ke Jakarta.* Meskipun demikian, sama sekali tak pernah mengeluh. Kali ini dia berjumpa dengan si gadis Sonny dan melihat lima orang perantaian. Sama sekali tak diduganya juga, kalau di kemudian .hari dia akan mengalami kesulitan-kesulitan baru. Pengalamannya yang pahit seolah-olah tiada mampu menyadarkan. Kesadaran seolah-olah kena bius. Maka terasalah dalam hati manusia, manusia ini benar-benar merupakan permainan hidup belaka di mana dia harus menanggung akibat kepahitan yang tak kuasa menolaknya. Demikianlah—selagi dia membulatkan tekad hendak mengintip pembicaraan rahasia antara Pangeran Bumi Gede dengan pihak Pemerintah Belanda di Jakarta, gelap malam turun perlahan-lahan. Sekitar gedung negara mulai sunyi. Yang terdengar hanya derap langkah serdadu-serdadu mengatur penjagaan dan suara tertawa riang di dalam gedung. Wirapati menjenguk ke dalam. Terlihat lampu menyala terang benderang. Sebuah kereta berkuda berderap memasuki halaman. Tepat di depan pintu, kereta berhenti. Delapan gadis keturunan Belanda turun berloncatan. Mereka mengenakan pakaian modern pada jaman itu, dan berbisik-bisik sangat sibuk. * Syukur! Terang mereka belum mengadakan pembicaraan resmi, Wirapati menduga. Sebab di antara ke delapan gadis itu ia mengenal si Sonny. Pastilah itu teman-temannya yang disebutkan tadi yang bertugas menjaga kesenangan Pangeran Bumi Gede. Mendadak selagi sibuk menduga-duga dilihatnya pengawal Pangeran Bumi Gede yang berkulit kuning keputih-putihan meloncat ke dalam kereta. Sais segera menghentak kendali dan kuda-kuda penarik terbang keluar halaman. Wirapati mendekam cepat. Setelah kereta lewat, ditegakkan kepalanya. Kembali ia menduga-duga, orang itu agaknya telah mengenal kota Jakarta. Dia pergi tanpa penunjuk jalan. Apakah ada sesuatu yang penting yang akan dikerjakan? Mendadak, sekali lagi ia melihat sesosok bayangan yang mencurigakan. Sesosok bayangan itu berkelebat melintasi jalan menghampiri dinding pagar. Ternyata dia menengok ke dalam, kemudian melesat menjauhi. Tertarik akan sepak terjang orang itu, Wirapati segera mengejar. Pikirnya, satu jam lagi, belum tentu pembicaraan resmi dimulai. Baiklah ku-kuntit orang itu, apa maksudnya menengok gedung negara. Dalam hal kecepatan Wirapati melebihi kesanggupan orang lain. Sebentar saja ia sudah dapat menyusul. Betapa kagetnya ia, ternyata orang itu adalah Jaga Saradenta. “Jaga Saradenta!” panggilnya. “Aih!” Jaga Saradenta terkejut seperti tersengat lebah. Cepat ia berhenti dan berputar mengarah ke Wirapati. Berkata setengah meminta, “Pulanglah dulu ke pondok! Jangan ikuti aku!” Wirapati heran mendengar kata-katanya. “Kenapa?” Jaga Saradenta tak menjawab. Ia melesat lagi. Wirapati jadi penasaran. Ia mengejar dan sekali melesat telah dapat menjajari. “Jaga Saradenta! Mengapa kau begini?” “Hm,” Jaga Saradenta berhenti berlari. “Sejak kapan kau berada di sekitar gedung negara?” “Sebelum matahari tenggelam.” “Musuhku telah muncul kembali. Kautahu? Itulah musuhku semenjak jaman Perang Giyanti. Aku akan mengadu nyawa. Ini soalku, karena itu janganlah sampai kau terlibat.” Wirapati dan Jaga Saradenta telah berkelana delapan tahun lamanya mencari Rukmini dan Sangaji. Meskipun tak pernah mengangkat saudara, tetapi dalam hati mereka masing-masing telah saling dekat dan akrab. Maklumlah, mereka sesama sependeritaan, sekata dan setekad, seia dan setujuan. Rasa persaudaraan mereka melebihi rasa persaudaraan biasa. Keruan saja mendengar kata-kata Jaga Saradenta, Wirapati ter-peranjat. Lantas saja mendamprat tak senang. “Eh—sejak kapan kau berubah?” Jaga Saradenta menghentikan langkahnya. Ia memandang Wirapati dan mencoba memberi penjelasan. “Permusuhanku itu terjadi sebelum kau mengenal matahari. Terjadi semasa Perang Giyanti, *jahun 1750. Karena itu apa perlu kau terlibat pula?” “Musuhmu adalah musuhku pula. Samalah halnya perjalananku ke daerah barat ini adalah perjalananmu pula. Perlukah aku bersumpah sehidup semati?” sahut Wirapati tegas. Jaga Saradenta terharu. Ia menyenak napas dalam. Sejurus kemudian dia berkata, “Hari ini di Jakarta terjadi suatu peristiwa. Pemerintah Belanda lagi menyambut utusan dari Yogyakarta. Di antara mereka terdapat musuhku.” “Eh—apakah si pemuda yang membawa lari Sapartinah isteri Wayan Suage?” potong Wirapati. Jaga Saradenta tercengang-cengang. “Yang mana?” “Aku tadi melihat juga kedatangan rombongan utusan itu. Kukuntit mereka sampai di gedung negara.” “Ih! Jadi dia ada juga?” Wirapati kini heran berbareng menebak-nebak. “Lantas yang mana musuhmu?” tanyanya. “Kau melihat dua orang yang bermuka luar biasa buruknya? Yang satu berkulit hitam dan yang lain berkulit kuning keputih-putihan. Itulah dua iblis terbesar di jaman ini.” “Siapa mereka?” “Pringgasakti dan Pringga Aguna,” jawab Jaga Saradenta. Wirapati kaget sampai terjingkrak. “Bukankah mereka sudah lama mati?” “Dari mana kautahu?” “Guruku senngkali mengisahkan riwayat orang-orang gagah dan orang-orang sakti di jamannya. Disinggungnya juga tentang nama dua iblis sakti itu pada jaman Perang Giyanti. Pringgasakti dan Pringga Aguna yang dulunya bernama si Abu dan si Abas. Diceritakan, kalau kedua iblis itu mempunyai kebiasaan yang luar biasa biadab. Mereka menculik gadis-gadis mumi untuk diperkosanya dan dihisap darahnya, semata-mata untuk mempertahankan ilmu saktinya.” “Betul!” potong Jaga Saradenta bersemangat, -kupun menyangka, kalau kedua orang itu sudah lama mampus. Tak tahunya bersembunyi z. sini. Entah apa yang dikerjakan. Nyatanya mereka berdua ditunjuk Pemerintah Belanda menjadi anggota penyambut tamu resmi,” ia erhenti sebentar. Napasnya menyesak. “Gu-mmu telah menceritakan riwayatnya, tetapi belum pasti tentang kesaktiannya secara terperinci. Kau belum mengenal mereka. Karena iu lebih baik kamu melarikan diri dari Jakarta sebelum mereka mengetahui siapa kau sebenarnya. Sebab mereka berdua adalah musuh §uumu pula.” Jaga Saradenta mencoba mene-rangkan. “Melarikan diri?” Wirapati tersinggung. Suaranya tiba-tiba sengit. Mendamprat, “Apalagi mereka berdua adalah musuh guruku, mana bisa aku ngacir seperti maling?” Menyaksikan orang begitu mantap tekadnya, Jaga Saradenta akhirnya mau juga mengerti, la mengajak Wirapati minggir ke tepi jalan dan berkata perlahan. “Baiklah kuceritakan dulu lebih jelas, agar kelak kamu tak menyalahkan aku jika terjadi suatu malapetaka. Pringgasakti dan Pringga Aguna dulu bernama si Abu dan si Abas. Asal negerinya kurang jelas. Tetapi nama itu sebenarnya pemberian gelar dari Patih Paku Buwono II Kartasura yang bernama Pringgalaya. Ada satu dugaan pula, kalau Abu dan Abas itu saudara seperguruan Patih Pringgalaya. Nyatanya mereka berdua sangat sakti. Meskipun termasuk golongan sesat, sekarang kita berdua membuk-tikan kebenaran keyakinannya. Tahukah kamu mengapa mereka memperkosa gadis-gadis dan menghisap darahnya? Dulu ada suatu kepercayaan, barang siapa dapat memperkosa gadis dan menghisap darahnya akan dapat berumur panjang dan awet muda. Nyatanya si jahanam Abu dan. Abas sampai kini masih nampak perkasa dan gagah. Padahal umurnya kutaksir. sudah lebih dari 80 tahun.” “Ih!” Wirapati menggeridik. “Selama itu berapa jumlah gadis-gadis yang sudah menjadi korbannya?” “Jangan tanya lagi. Ratusan sudah jumlahnya.” “Mereka bagaikan iblis, mengapa orang-orang sakti dan orang-orang gagah pada jaman itu tidak beramai-ramai mengkerubutinya?” “Hm... mudah dikatakan,” sahut Jaga Saradenta cepat. 'Tetapi nyatanya mereka tak mampu memampuskannya. Pertama-tama, karena mereka sangat licin. Mereka mempunyai ilmu penciuman yang lebih tajam melebihi panca rafera kita. Mereka pandai mengetahui gelagat buruk. Setiap kali akan kepergok, selalu saja dapat menghindarkan diri. Dan kedua, mereka mendapat perlindungan penuh dari Patih Pring-galaya dan kompeni Belanda.” Makin larna makin tertariklah hati Wirapati mendengar keterangan Jaga Saradenta. “Kamu benar. Meskipun guruku kerapkali me-nyriggung nama orang-orang sakti, beliau enggan mengisahkan riwayat orang-orang sesat sampai jelas.” Wirapati terus mendesak. “Aku tahu sebabnya, karena gurumu khawatir akan meracuni kebersihan hati murid-muridnya,” jawab Jaga Saradenta. “Dengarkan kuceritakan. Patih Pringgalaya adalah musuh Pangeran Mangkubumi 1. Pada suatu hari terjadilah suatu pemberontakan di daerah Sukawati yang dipimpin oleh Raden Mas Said dan Panembahan Martapura. Paku Buwono II membuat pengumuman— “Barang siapa dapat mengalahkan kedua pemimpin pemberontak itu akan mendapat hadiah tanah Sukawati.” Pangeran Mangkubumi 1,—adik Paku Buwono II—tampil ke depan. Dengan diam-diam Patih Pringgalaya mencoba untung pula, Pangeran Mangkubumi I berhasil mengusir kedua pemimpin pemberontak itu. Patih Pringga-laya iri hatinya. Dengan pengaruhnya ia mencoba mendesak Paku Buwono II agar menggagalkan hadiah itu. Paku Buwono II yang lemah hati mendengar bujukan Patih Pringgalaya. Hadiah tanah Sukawati dibatalkan. Pada tanggal 19 Mei 1746, Pangeran Mangkubumi 1 meninggalkan istana dan menggabungkan diri dengan pemberontak. Itulah asal mula terjadinya Perang Giyanti. Paku Buwono II gentar menghadapi adiknya. Tapi Patih Pringgalaya membesarkan hatinya. Lantas saja dia minta bantuan kompeni dengan menjanjikan tanah-tanah kerajaan diluar pengetahuan Paku Buwono II. Di samping itu dia mengumpulkan orang-orang sakti dan orang-orang gagah. Di antara mereka terdapat si Abu dan si Abas.” Ia berhenti sejenak. Kemudian diteruskannya. “Kedua orang itu ditemukan sewaktu terjadi pemberontakan bangsa Tionghoa. Mereka abdi kepercayaan Raden Mas Garendi yang diangkat oleh masyarakat Tionghoa menjadi Sultan Kuning. Sewaktu bangsa Tionghoa menggempur istana Kartasura, mereka berdua itulah yang memimpin. Gadis-gadis istana banyak yang hilang dan kedapatan mati kaku dengan tengkuknya terluka parah bekas kena hisap. Patih Pringgalaya dan Pangeran Mangkubumi I tampil ke depan, waktu itu mereka berdua masih hidup rukun, dan berhasil mengalahkannya. Sedianya hendak dihukum mati, tapi mereka tak mempan kena senjata. Diam-diam Patih Priggalaya berpikir lain. Dia seorang yang cerdik dan pandai memilih pengikut. Mungkin juga pada waktu itu dia sudah mempunyai rencana-jencana tertentu. Maka dengan pengaruhnya ia zaemohonkan ampun kepada Paku Buwono II. Dan semenjak itu, Abu dan Abas menjadi pengikut setianya dan diberi hadiah gelar Pringgasakti dan Pringga Aguna. Dalam Perang Giyanti mereka berdua sangat disegani pengikut-pengikut Pangeran Mangkubumi I. Akhirnya gurumu tampi ke depan. Waktu itu gurumu berusia tigapu-uhan tahun, sedangkan aku baru berumur uang lebih 20 tahun. Aku dipilih gurumu sebagai pembantu. Gurumu lantas bertempur melawan kedua iblis itu sampai tujuh hari tujuh makam.” Tujuh hari tujuh malam?” Wirapati mengilang. “Ya, —dan tak ada yang kalah dan menang. !Sah, kau bisa mengira-ira kesaktian mereka Derdua. Pada hari kedelapan aku disuruh guru-rru bertanding. Rupanya gurumu hendak beristirahat sebentar sambil mempelajari kelemahannya. Mana bisa aku tahan bertempur melawan mereka berdua? Baru sepuluh gebrakan aku sudah kalang-kabut. Tetapi waktu yang sebentar itu. cukuplah sudah membuka pikiran gurumu. Gurumu lantas memanggil dua orang perajurit dan membisiki sesuatu. Lantas gurumu mulai bertempur lagi.” “Guru membisikkan apa?” potong Wirapati lagi. “Waktu itu sama sekali tak kuketahui. Tetapi sebentar kemudian semuanya menjadi jelas. Ternyata dua orang perajurit itu disuruh mengumpulkan beberapa gadis desa yang diharuskan berpakaian dengan kemben melulu.” “Mengapa diharuskan hanya mengenakan kemben?” “Apa-apa kamu tak bisa menerka?” Wirapati mengerenyit sebentar. Tiba-tiba menjawab girang. 'Tahu aku. Guru mau mengacaukan pikiran mereka berdua. Bukankah mereka manusia penghisap darah gadis?” “Betul!” sahut Jaga Saradenta cepat. “Begitu kedua iblis itu melihat tengkuk-tengkuk gadis-gadis desa, seketika kacaulah pikirannya. Mulutnya seperti meliur. Gerak-geriknya lantas saja bernafsu. Padahal bertempur melawan musuh berilmu tinggi adalah suatu pantangan besar bergerak penuh nafsu. Seketika itu juga, gurumu menggertak dan memusatkan ketenangan hati. Dengan suatu gerakan aneh gurumu merangsak mereka berdua. Belum lagi mereka sadar akan kesalahannya, tahu-tahu mereka kena gempuran. Tak ampun lagi mereka tergetar mundur tiga langkah. Gurumu tak membiarkan mereka ber-napas. Begitu kaki mereka menginjak tanah, lalu gurumu berkelebat. Suatu kecepatan yang sukar kulukiskan terjadi di luar pengamatan mataku. Mereka berdua tiba-tiba berteriak dan tubuhnya tergempur melayang ke udara dan jatuh berdeburan di tanah.” SERASA mengembang dada Wirapati ketika iiendengar kisah keunggulan gurunya dalam pertempuran itu. Hatinya terlalu bangga berbareng girang. Dalam benaknya berkelebat tubuh gurunya merangsak kedua iblis Pringgasakti dan hingga Aguna. Dan orang-orang yang menyak-skan pertempuran itu bersorak- sorai gemuruh. “Guru tahu kalau mereka berdua mempunyai aebiasaan menghisap darah. Apa mereka waktu tu sudah terkenal sebagai orang-orang sesat?” tanyanya memotong. “Orang-orang gagah di kolong langit ini siapa yang tak mengenal sepak-terjang kedua iblis itu,” jawab Jaga Saradenta yakin. “Nama mereka cukup menggegerkan dalam perang pemberontakan bangsa Tionghoa di Kartasura. Selain lu bertempur terus-menerus dalam tujuh hari tujuh malam bukan sembarang orang dapat melakukannya. Gurumu yang sudah mengenal bermacam-macam ilmu dan aliran kesaktian, lambat-laun jadi curiga. Pasti mereka bukan sewajarnya orang.” “Bukan sewajarnya orang?” “Ya, bukan sewajarnya. Bagaimana tidak? Di kolong langit ini hanya empat orang yang bisa tahan bertempur selama itu. Pertama, almarhum Pangeran Mangkubumi I. Kedua, Raden Mas Said yang kelak terkenal sebagai Gusti Sambar Nyowo. Ketiga, Kyai Haji Lukman Hakim. Dan keempat, gurumu sendiri. Mereka berempat itulah orang-orang besar pada jaman ini.” “Kyai Haji Lukman Hakim dari Cirebon?” potong Wirapati. Teringatlah dia sewaktu delapan tahun yang lalu diutus gurunya menghadap padanya. “Ya, Kyai Haji Lukman Hakim adalah guruku,” sahut Jaga Saradenta. “Seketika itu juga gurumu dapat menduga. Mereka berdua kalau tidak mendapat wahyu sewaktu bertapa pastilah mempunyai ilmu kesaktian yang hebat. Sekiranya dua-duanya tidak, pastilah mendapat ilmu sakti warisan atau bantuan kekuatan gaib. Mempunyai dugaan begini, gurumu memperhebat rangsakannya. Gurumu mengeluarkan ilmu-ilmu saktinya yang tinggi. Tapi, semuanya dapat dilawan oleh kedua iblis dengan jurus-jurus sederhana tetapi penuh tenaga. Di kemudian hari gurumu mengakui, kalau hampir saja dikalahkan karena merasa tak tahan lagi. Mendadak selagi gurumu mempertaruhkan nyawanya dalam suatu pertempuran yang menentukan pada hari ketujuh, terciumlah suatu bau anyir. Gurumu kaget. Mula-mula mengira kedua iblis itu melepaskan suatu mantran gaib. Tetapi setelah bertempur setengah hari ternyata bau anyir itu tidak mempengaruhinya. Gurumu yang bermata tajam bahkan mengetahui kalau tenaga mereka berdua makin lama makin susut berbareng dengan menajamnya bau anyir itu. Ternyata bau anyir datang dari keringat mereka. Pada saat itu teka-teki yang menutupi benaknya lantas saja tersingkap. Untuk memperoleh kenyakinan gurumu meloncat ke luar gelanggang sedang aku disuruhnya memasuki gelanggang.” “Hebat!” Wirapati memuji. “Lantas?” Terbukalah kedoknya,” sahut Jaga Saradenta cepat. “Sungguh tak terduga ternyata ilmu sesat itu benar-benar tangguh. Bagaimana bisa masuk akal, tubuh seseorang bisa menjadi kuat luar biasa hanya semata-mata menghisap darah seorang gadis sesudah diperkosanya! Begitu mereka berdua kena gempuran gurumu, seketika itu juga terpental ke udara seperti layang-layang putus. Mereka luka parah. Kalau orang biasa pastilah rontok tulang rusuknya kena gempuran gurumu. Tetapi mereka masih berdiri. Malahan bisa lari sepesat angin.” “Sayang, ya.” “Ya—sayang.” Jaga Saradenta menghela napas, sambil menunduk dalam. Kemudian mendongak seolah-olah ingin melepaskan diri dari suatu ingatan buruk. “Pada tanggal 13 Februari 1755 terjadilah Perjanjian Giyanti. Pangeran Mangkubumi I naik tahta menjadi Sultan Hamengku Buwono I. Selama itu kedua iblis Pringgasakti dan Pringga Agu-na tidak muncul lagi dalam percaturan. Semua orang mengira mereka sudah mati akibat gempuran gurumu. Tak tahunya, tiba-tiba nama mereka disebut-sebut kembali. Kini mereka berdalih menjadi teman seperjuangan.” “Kenapa begitu?” Wirapati heran. “Karena kompeni Belanda, Susuhunan Paku Buwono III dan Sultan Hamengku Buwono I mempunyai kepentingan yang sama, bersama-sama menggempur Raden Mas Said yang meneruskan perjuangan menuntut hak. Dua tahun kemudian—tahun 1757--RadenMas Said dapat dikalahkan. Atas persetujuan Gubernur Hartingh beliau dinobatkan menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunegara atau Pangeran Miji. Inilah hasil dari suatu kebijaksanaan Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757.” Jaga Saradenta berhenti. Kemudian meneruskan kembali. “Permusuhan antara gurumu dengan kedua iblis itu sementara berhenti. Gurumu pulang ke tempat asal—ke Desa Sajiwan Gunung Damar. Mendadak pada suatu hari terjadilah suatu peristiwa yang mengejutkan.” “Apa mereka menyerang guru di padepokan Sejiwan?” “Tidak—mana mereka berani?” sahut Jaga Saradenta. 'Ternyata mereka dulu mendapat pertolongan dari Kyai Haji Lukman Hakim.” “Terang-terangan mereka berdua musuh guruku. Bukankah musuh Kyai Haji Lukman Hakim juga? Menurut guru, Kyai Haji Lukman Hakim adalah salah seorang sahabatnya.” “Betul. Akupun datang membantu gurumu atas perintah Beliau. Sebab Beliau adalah guruku.” “Ya—kamu sudah menerangkannya tadi. Soalnya, kenapa gurumu mau menolong mengobati.” “Pertama-tama, karena guruku seorang berbudi. Kedua, karena mereka berdua sudah beralih menjadi teman seperjuangan. Patih Pringgalaya menekan agar guruku mau mengobati. Kedua iblis itu disebutkan sebagai saudara seperguruannya. Mereka bernama Pringgasakti dan Pringga Aguna. Itulah mulanya kami mengenal si Abu dan si Abas bernama Pringgasakti dan Pringga Aguna. Tetapi justru oleh kemurahan hati itu, timbullah suatu malapetaka.” “Mereka membunuh gurumu?” Wirapati memotong tak sabar. “Tidak. Tetapi samalah,” sahut Jaga Saradenta. “Guruku mempunyai seorang gadis. Jumirah namanya. Dulu beliau pernah mengatakan dialah calon istriku. Sebagai seorang gadis tabib yang sedang mengobati dia menolong merawat kedua iblis itu. Ah, tak tahunya... “ “Apa iblis itu menculiknya lantas di... “ “Ya,” sahut Jaga Saradenta tinggi dan tangannya menggempur tanah. “Akupun tak punya ke-kuatan. Kucoba mengejarnya, tetapi yang kutemukan hanya mayatnya. Betapa hancur hatiku saat itu tak terperikan. Kucari dua iblis itu untuk balas dendam. Tapi aku bisa dikalahkan, bahkan hampir mati. Gntung, gurumu datang. Bersama-sama dengan guruku, gurumu menghajar mereka. Tapi kedua bangsat itu melarikan diri dan lenyap dari percaturan. Empat puluh tahun lamanya mereka berdua hilang lenyap. Tak tahunya, sekarang muncul kembali begitu garang. Hm..!” Wirapati dapat merasakan betapa besar dendamnya. Darah kesatrianya bergolak. “Ayo! Guruku dulu pernah bekerja sama dengan gurumu. Sekarang biarlah aku membanlumu melampiaskan dendam.” Kata Wirapati dengan lantang. Perlahan-lahan Jaga Saradenta merenungi raut-muka Wirapati. la menghela napas. “Terima kasih. Ayo, kita tolong dulu kelima orang perantaian itu.” “Siapa mereka?” Wirapati heran. “Tak tahu siapa mereka dan tak peduli siapa mereka, tetapi aku akan menolongnya. Sebab mereka adalah tawanan kedua iblis itu.” “Dari mana kau tahu?” “Mereka orang-orang dari Banten, Tangerang, Serang, Rangkasbitung dan Pandeglang, tereka itu salah satu korban keganasan kedua bangsat Abu dan Abas. Kau belum pernah kawin. Apalagi membayangkan arti seorang anak. Barangkali kamu menganggap peristiwa tu lumrah. Karena itu biarlah aku sendiri yang...” “Sekali lagi kamu mengucap begitu, janganlah iagi berkawan denganku.” “Kau tak menyesal?” “Mengapa menyesal?” Tujuanku yang utama mau mengadu nyawa dengan kedua iblis itu. Kelima perantaian itu hanya kubuat umpan agar kedua iblis itu mengejarku. Akan kupancing mereka supaya terpisah “ lingkungan kompeni.” “Bagus! Kau tadi menjenguk gedung negara semata-mata untuk mencari keyakinan apakah mereka berdua masih di sana.” “Tepat. Sebab kalau mereka berada di antara kompeni di dalam penjara akan menyulitkan. Kaubawa senjata?” Wirapati memanggut. “Ayo, kita berangkat!” Mereka lantas saja berlari kencang ke tangsi kompeni. Sepanjang jalan Jaga Saradenta mengisahkan pengalamannya berjumpa dengan kelima perantaian. Ia berjumpa dengan mereka berlima di selatan kota Jakarta. Mereka membicarakan tentang si Abu dan si Abas. Tertarik dengan kedua nama itu Jaga Saradenta lantas saja mengikuti perjalanan mereka. “Kemudian mereka bertempur melawan Pringgasakti dan Pringga Aguna,” kata Jaga Saradenta. “Mana bisa mereka melawan kedua iblis itu. Sebentar saja mereka sudah kena ringkus dan menjadi tawanan. Kamu tahu apa yang akan dilakukan kedua iblis itu? Biasanya mereka dibawa ke tengah lapangan, kemudian dipaksa bertempur sampai napasnya habis.” “Di adu domba?” “Bukan! Bukan diadu domba, tetapi dibuat alat latihan mereka berdua. Kau nanti akan melihat betapa hebat sepak-terjang kedua iblis itu.” Mendengar keterangan tentang kegagahan mereka, hati Wirapati yang usilan lantas saja ingin mencoba kekuatannya sendiri. Tapi mengingat gurunya tak kuasa membunuh mereka berdua, bulu romanya meremang. Tak lama kemudian mereka berdua telah sampai di depan tangsi. Ternyata tangsi kompeni berdinding tebal tinggi. Nampak juga beberapa serdadu berjaga di atas menara dengan memanggul senjata. Mereka berdua lantas saja mengeluh. Terang, mereka takkan mampu meloncati dinding setinggi itu. Selagi mereka berpikir-pikir, mendadak dilihatnya beberapa orang preman masuk. Mereka mengenakan pakaian seragam corak Sunda dan datang membawa minuman dan makanan. Ah, bukankah mereka sedang berpesta pula untuk menghormat tamu agung? pikir Wirapati. Tendadak dilihatnya sebuah kereta berkuda berada di depan penjagaan. Lantas saja teringatlah dia kepada si iblis berkulit kuning yang tadi meloncat ke dalam kereta berkuda di dalam istana negara. Cepat ia menghampiri Jaga Saradenta dan berkata dengan gugup. “Tadi dia menumpang kereta itu.” Tadi siapa?” “Iblis yang berkulit kuning keputih-putihan.” “Ah—kapan?” Dengan singkat Wirapati menceritakan apa yang dilihatnya tadi di halaman gedung negara. Jaga Saradenta lantas saja termangu-mangu. Alisnya meninggi dan raut mukanya jadi serius. “Baiklah, kalau begitu kita tunggu saja di luar,” katanya memutuskan. Mereka berdua minggir ke tepi jalan dan berlindung dalam gelapnya malam. Dalam kegelapan mereka melihat bayangan berjalan mondar-mandir tak berkeputusan. Pantas, tangsi dijaga sangat ketat. Diam-diam Wirapati berpikir, apa kelima orang itu termasuk tahanan yang sangat penting? Wirapati tidak paham peraturan militer. Kelima perantaian itu meskipun bukan tawanan militer akan mendapat penjagaan yang ketat juga, karena dititipkan pada penjagaan tangsi. Seluruh penghuni tangsi akan ikut bertanggung jawab sampai tawanan diambil kembali oleh yang menitipkan. Jaga Saradenta memberi isyarat agar berlaku hati-hati. Meskipun tahu Wirapati memiliki ilmu tinggi dalam gerak cepat, tetapi ia menduga di dalam tangsi banyak terdapat kawan-kawan si iblis yang tak boleh dipandang enteng. Tak lama kemudian di dalam tangsi nampak tersembul suatu cahaya yang bergoyang-goyang di udara. Empat orang berpakaian preman ke- -a' dari pintu pagar dengan membawa obor. Jaga Saradenta memberi tanda kepada Wirapati agar berlindung lebih rapi. Gntung, di depan Tangsi tumbuh banyak pohon-pohon asam tua sebesar rangkulan tangan. Dengan mudah mereka berdua mengumpet di belakangnya. Kelima perantaian tadi sore ternyata sedang Jgiring ke luar. Mereka kini tak terbelenggu, bahkan nampak menyengkelit senjata masing-masing. Mereka didampingi empat orang pre-—an yang membawa obor dan dibawa menghampiri kereta berkuda. “.Masuk!” perintah mereka garang. Dengan berdiam diri kelima orang perantaian memasuki kereta berkuda. Kemudian seorang di antara keempat orang pengawal meloncat menyambar kendali. Lainnya berdiri tegak menghadap pintu pagar seperti ada yang ditunggu. “Wirapati!” bisik Jaga Saradenta. “Pastilah me--iexa menunggu si Pringga Aguna. Melompatlah he dalam kereta. Sais itu biarlah kubekuknya. Habis berkata begitu secepat kilat ia menubruk sais yang sedang mencengkeram kendali. Dengan kecepatan yang sukar dilukiskan berha-Jah dia mencekik si sais dan dilemparkan ke ialam kereta. Wirapati menyambutnya dan dibantingnya ke dasar kereta. Keruan saja kelima perantaian itu terkejut. Tapi belum lagi mereka dapat berbuat sesuatu, Wirapati telah membisiki, “Ssst! Kawan sendiri!” “Kawan sendiri dari mana?” mereka tak mengerti. Tapi suaranya bernada syukur. Belum lagi Wirapati menjawab kereta telah bergerak. “Heeeee!” terdengar teriakan dari pintu pagar tangsi. Jaga Saradenta tak mempedulikan. Niatnya sudah mantap. Kereta mau dilarikan sekencang mungkin ke lapangan dekat pantai, la meninju pantat-pantat kuda. Keruan saja kuda-kuda penarik kaget bukan main. Serentak tubuh mereka melesat bersama dan kereta jadi bergoncangan. Suara teriakan dari tangsi kian seru. Tetapi mereka belum curiga. Mereka mengira kuda-kuda penarik sedang binal. 'Tendang ke luar, biar mereka mengejar kita!” seru Jaga Saradenta ke Wirapati. Wirapati lantas saja menendang orang yang dicekiknya. Orang itu jatuh bergulungan di jalan. Tak usah diragukan lagi, seluruh tubuhnya jadi babak-belur. Kelima orang perantaian kini benar-benar bingung. Tadi mereka mendengar keterangan, kalau Wirapati adalah kawannya. Mereka mengira mendapat pertolongan tak terduga. Mendadak kini berlaku begitu ceroboh, malahan mengharap agar dikejar penghuni- penghuni tangsi militer. Saudara siapa?” desak salah seorang di antara mereka kepada Wirapati. “Kawan sendiri,” jawab Wirapati dingin. “Kawan sendiri bagaimana?” “Kawan sendiri.” “Kawan sendiri dari mana?” “Jaga Saradenta! Apa yang harus kukatakan?” teriak Wirapati kepada Jaga Saradenta. “Mereka minta penjelasan.” Jaga Saradenta tertawa berkakakkan “Tenangkan hatimu kawan! Kamipun musuh iblis Abu dan Abas. Kalian tadi bertemu Abas?” “Ya. Iblis itu mau membawa kami entah ke mana,” sahut salah seorang dari kelima perantaian. “Bagus! Kamipun pernah kehilangan seorang gadis. Malam ini aku mau mengadu nyawa! Kereta ini biarlah kularikan ke tengah lapangan, supaya iblis Abas mengejar kita. Tenaga kalian kubutuhkan. Masa kita bertujuh tak bisa mem-bekukdia?” Mendengar keterangan Jaga Saradenta mereka menggeram berbareng. Terasa dalam hati Wirapati betapa besar dendam mereka. Dalam kegelapan mereka saling memandang. Kemudian berkata serentak, “Di atas lautan peran-tau-perantau bertemu gelombang besar. Apakah tiang agung akan dibiarkan runtuh?” “Bagus!” Jaga Saradenta tertawa tinggi, la menghajar pantat-pantat kuda lagi. “Saudara dari mana?” tanya mereka lagi. “Aku hanya minta kalian bersatu-padu menggempur musuh,” sahut Jaga Saradenta. Sekarang tidak ada waktu lagi untuk menjelaskan siapa aku dan mengapa aku dendam pada iblis itu. Tapi akupun senasib dengan ka-lan. Bukankah kalian kehilangan seorang gadis juga?” Mereka menggeram kembali seperti seseorang kena tusuk. “Bagus!” Jaga Saradenta berkata lagi. “Kita sekarang ke lapangan depan itu. Kalian membawa senjata?” 'Ya. Iblis itu membiarkan kami membawa senjata?” “'Wirapati, apa kubilang?” Jaga Saradenta ''memotong cepat. “Mereka akan dibuat alat berlatih sampai mampus.” “Apa?” mereka berteriak serentak. ' Jaga Saradenta tertawa lewat hidung. Dalam kegelapan ia menjawab, “Jika begitu, kalian belum mengenal musuh kalian. Nah, bersyukurlah pada Tuhan, karena kami berdua datang menolong kalian.” “Kami tak mengharap pertolongan siapa pun juga-” Jaga Saradenta terperanjat. Tahu, kalau mereka berwatak keras lantas saja dia mengubah pembicaraan, “Bagus! Bagus!—Untung kami berdua mempunyai persoalan yang sama. Jika tidak, kalian sulit menuntut dendam pada ja-haman itu.” Mereka terdiam. Perkataan Jaga Saradenta sedikitpun tak salah. Mereka pernah bertempur melawan si Abu dan si Abas. Pada akhirnya, mereka dapat dirobohkan begitu gampang. Pada saat itu kereta telah sampai di tengah lapangan. Jaga Saradenta mendahului melompat ke tanah. Cepat ia memberi tanda kepada Wirapati dan kelima perantaian. “Di sini kita mengadu nyawa. Sebentar lagi dia pasti datang.” Seru Jaga Saradenta tegas. “Kamu yakin dia bakal datang?” potong Wirapati. “Empat puluh tahun lebih setan itu selalu terbayang dalam benakku. Mengapa aku tak mengenal tabiatnya?” Sahut Jaga Saradenta cepat. “Tabiatnya mau menang sendiri. Larinya kelima perantaiannya akan dipandangnya sebagai tata-kehormatan diri. Aku tahu pasti, dia tak mau kehilangan harga diri. Pasti dia akan mengejar mereka biar sampai ke ujung dunia. Saudara-saudara, carilah tempat berlindung. Usahakan jangan sampai dia melihat kalian. Jaga tiap penjuru dan tunggu sampai aku tak dapat bertahan “Kalian berani mengadu nyawa?” “Laripun kami tak berguna lagi,” sahut mereka serentak. Kemudian seorang yang berperawakan sedang berkata, “Namaku Atang asal Banten. Lantas ini Acep dari Tangerang, Hasan dari Serang, Kosim dari Rankasbitung dan Memet dari Pandeglang. Kami berlima mengangkat diri menjadi saudara angkat. Ada rejeki kami bagi, ada susah kami pikul bersama. Karena kami mempunyai kepentingan bersama seperti sau-dara.” “Bagus! Bagus!” puji Jaga Saradenta. “Aku bernama Jaga Saradenta. Dan ini kawanku Wirapati. Nah, kalian sudah mengenal nama kami. Sekiranya kalian masih berumur panjang dan kami berdua mampus di sini, lemparkan saja mayat kami di parit Tak usah kalian ber-susah payah mencari negeri asal kami. Karena kami berasal dari Jawa Tengah.” “Ah!” mereka berjingkrak “Sekarang tak ada waktu untuk mendongeng. Ayo kita siaga. Mati dan hidup kita tergantung pada kerja sama kita.” Jaga Saradenta nampaknya berkata begitu sembrono, tetapi terasa benar bagaimana ia menekankan tiap-tiap kata-katanya. Mereka yang mendengar menggeridik bulu kuduknya. Dalam hati mereka berjanji hendak berkelahi saling membela dan saling melindungi. “Musuh kita sangat biadab dan bengis,” kata Jaga Saradenta lagi. “Tapi kalian harus menentukan hidupnya.” Mereka lantas saja bekerja. Atang dan Acep mencari bongkahan batu dan ditumpuk menjadi semacam tempat perlindungan. Hasan mengambil tempat di sebelah selatan. Dia bersenjata sebilah pedang panjang. Kosim dan Memet di sebelah barat. Mereka berdua enggan berpisah. Yang berpikir lain ialah Wirapati. Melihat lapangan ini pikirannya teringat kepada Sangaji. Sore tadi bukankah dia sudah berjanji hendak menjumpai si anak? Hatinya jadi kebat-kebit memikirkan pertempuran yang bakal terjadi. Sekiranya si anak datang, bahaya yang mengancam takkan dapat dielakkan. Memikir begitu ia hendak mengisiki Jaga Saradenta tentang sudah diketemukannya si anak. Tetapi Jaga Saradenta sudah berjalan mengarah ke timur. Terpaksalah dia mengurungkan niatnya, la berdiri tegak termangu-mangu. Direnungnya kereta kuda yang sengaja ditinggalkan Jaga Saradenta di tepi jalan. Iblis Abas pasti akan penasaran. Setelah menemukan tubuh si sais yang babak belur, dia pasti mengejar. Manakala kereta berkudanya telah dilihatnya, tentu dia akan memasuki lapangan. Pertempuran bakal terjadi, nad Wirapati tegang dengan sendirinya. *Wirapati, awas!” teriak Jaga Saradenta tertahan. Wirapati menoleh cepat. Jauh di sana lamat-lamat ia mendengar langkah cepat serta ringan. Diam-diam ia memuji ketajaman pendengaran kawannya. Waktu itu kira-kira pukul sembilan malam. Bulan tanggal sepuluh mulai tersembul d langit. Remang-remang sinarnya meratakan dri ke seluruh alam. Sesosok bayangan nampak Oerkelebat di kejauhan. Geraknya cekatan dan mengejutkan. Hebat! puji Wirapati dalam hati. Pantas guru setanding dengan kegagahannya. Hm—apa kita bertujuh bisa menang? Mereka semua melihat kedatangan si iblis. Atang, Acep, Hasan, Kosim dan Memet pernah bertempur melawannya. Dengan sendirinya te-an mengenal kehebatannya. Begitu melihat kedatangan si iblis, hati mereka tegang dan seletak menahan napas. Jauh di belakangnya nampak pula tiga ba-jangan bergerak-gerak. Itulah kawan-kawan si sais yang tadi membawa obor menggiring kelima perantaian. Terang sekali mereka berusaha menyusul si iblis, tampaknya jaraknya bahkan kian mendekat. Ketika melihat kereta berkuda yang berhenti di tepi jalan, si iblis Pringga Aguna lantas saja berhenti dengan mendadak, la merenung sebentar, kemudian mendongakkan kepalanya ke udara. Tahulah Jaga Saradenta, kalau Pringga Aguna lagi menebarkan ilmu penciumannya. Dan benar juga, sebentar kemudian dia tertawa panjang menyayat-nyayat hati. “Hai jahanam! Kalian kira bisa mengecoh aku?” serunya nyaring. Suaranya berderuman dan terasa menumbuki dada. Ini hebat! Tak gampang orang mendapat kekuatan demikian hebat, jika tidak mempunyai ilmu sakti yang dilatihnya dengan tekun bertahun-tahun lamanya. Yang paling dekat berada di sekitar si iblis Pringga Aguna ialah Wirapati. Diam-diam ia berpikir, hebat tenaganya, pantas Jaga Saradenta memuji kegagahannya. Cepat ia meraba senjatanya. Wirapati berpikir, kalau sekarang kutikam dia, sembilan dalam sepuluh pasti berhasil. Tapi kalau dia kebal sampai tak mempan, parah akibatnya .... Wirapati ragu-ragu. Karena ragu-ragu, seluruh tubuhnya bergemetar. Hatinya tegang luar biasa. Atang, Acep, Hasan, Kosim dan Memet yang menempati penjuru Selatan dan Barat tegang sampai menahan napas. Ingin mereka meloncat serentak dan menyerang berbareng. Tapi mereda ingat pesan Jaga Saradenta yang mau menjajal kegagahan si iblis seorang diri. Maka niat itu dkirungkan. Pada saat itu ketiga pembantu si iblis datang berturut-turut memasuki lapangan. Napas mereka tersengal-sengal. Begitu melihat kereta kuda landas saja mereka berseru serentak, “Itu keretanya.” “Ya, aku tahu,” damprat si iblis. “Bagaimana mereka bisa lolos dari penjagaanmu, itulah soalnya.” Mereka tergugu. Si iblis Pringga Aguna lantas saja tertawa berkakakkan menyeramkan hati. Mendadak ia bergerak cepat dan menyambar ketiga orang itu dengan sekaligus. Sambil menggempur dia berteriak. “Bagus! Kalian yang menggantikan mereka.” Ketiga orang itu sama sekali tak mengira diserang begitu tiba-tiba, sehingga tak sempat membela diri. Tapi seumpama mereka sudah oerjaga-jaga pun tak akan mampu membela diri menghadapi serangan si iblis Pringga Aguna. Gerakannya sangat gesit dan susah dilukiskan. Hereka bertiga serempak terlempar ke udara. Selagi tubuhnya melayang-layang, iblis Pringga Aguna melejit sambil melontarkan gempuran. Tanpa ampun lagi, mereka jatuh terbanting di tanah dengan napas terputus. “Hidup kalian pun tak ada gunanya! Percuma latihan!” teriak si iblis Pringga Aguna seperti mengumpat. Mendadak ia menjejakkan kakinya dan tubuhnya hingga terloncat tinggi di udara. Kemudian turun dengan berjumpalitan dua kali. Tangannya menyambar dada sesosok mayat dan dilontarkan ke udara. Berbareng dengan itu menukik lagi ke udara, suatu kehebatan mengagumkan. Tiba-tiba menggempur dada mayat itu sehingga terbelah berserakan. Menyaksikan pemandangan yang menyeramkan serta kehebatan si iblis Pringga Aguna, kelima orang bersaudara menggeridik bulu kuduknya. Coba, seumpama mereka tak ditolong Jaga Saradenta dan Wirapati, pastilah akan dijadikan mainan seperti itu. Diam-diam mereka berterima kasih kepada dua orang penolongnya. Setelah itu timbullah api kemarahannya. Serentak mereka meraba senjatanya masing- masing dan bersiap sedia. Pringga Aguna masih saja lari berputar-putar. Kedua mayat lainnya dilontar-lontarkan ke udara, kemudian dirobeknya pula. Isi perutnya dihamburkan dan ia membiarkan diri tersiram darahnya. Hebat pemandangan itu! Meskipun Wirapati bukan anak kemarin sore, belum pernah sekali juga menyaksikan kebiadaban demikian. Darah kesatrianya lantas saja bangkit. Dengan menggigit bibir ia bertekad hendak mengadu nyawa demi kemanusiaan. Mendadak Pringga Aguna berhenti bergerak dengan sekonyong-konyong. Matanya mengarah kepada tumpukan batu. Benar-benar matanya tajam luar biasa. Ia melihat bayangan orang. Itulah bayangan Atang dan Acep yang sudah berusaha bersembunyi sebaik mungkin. Merasa kepergok, serentak mereka mengeluarkan senjatanya. Atang menggenggam sebuah birui2 dan Acep sebilah golok Sunda. Tidak sangsi lagi mereka berdiri dan bersiaga menunggu serangan lawan. Pringga Aguna tetap berdiri tegak, la seorang yang berpengalaman dan cerdik. Melihat munculnya dua orang lantas saja dia menduga-duga tempat persembunyian ketiga temannya yang lain. la tertawa perlahan. Jaga Saradenta yang mengenal kehebatan penciumannya langsung dapat menduga kalau iblis itu telah mengetahui tempat persembunyian musuh-musuhnya. Ia meloncat maju mendekati tumpukan batu. Kira-kira dua langkah dari tumpukan batu, ia meloncat mundur dengan mendadak. Kesannya seolah-olah ia sayang kepada kedua musuhnya kalau mati terlalu cepat Atang ternyata seorang yang mudah tersinggung, karena harga dirinya terlalu tinggi. Begitu menduga kehendak lawan, lantas saja ia menerjang sambil mengayunkan bindinya. Pringga Aguna tahu diserang lawan. Ia nampak tenang saja dan bersikap tak peduli. Serangan bindi lawannya tak dielakkan. Bahkan tangannya memapak dan didorongkan tajam. Hebat akibatnya. Atang merasakan suatu dorongan tenaga dahsyat sampai ia terhuyung mundur dua langkah. Pringga Aguna tak membiarkan Atang lolos dari rencana rangsakannya. Sebat luar biasa ia melompat ke udara dan mencengkeram pundak lawan. Atang sadar akan bahaya. Secepat kilat ia menjatuhkan diri ke tanah dan menyingkir bergulungan. Acep yang berada tak jauh dari Atang buru-buru membantu. Dengan memutar golok Sundanya ia menerjang. Ia mengarah kepada cengkeraman Pringga Aguna. Pringga Aguna kaget Terpaksa ia membatalkan cengkeramannya dan dengan cepat menangkis golok Acep. Meskipun demikian dalam satu gerakan yang cepat ia masih juga berhasil melukai pundak Atang. “Monyet! Kau siapa?” betaknya. Acep tak mau melayani. Ia meludahi muka Pringga Aguna dan serangan goloknya makin gencar. Atang yang teriolos dari bahaya dapat pula membantu. Meskipun pundaknya terasa nyeri, tenaganya tak kurang. Ia menggempur dari samping sambil memaki kalang-kabut. Pringga Aguna benar-benar perkasa. Dengan tertawa panjang ia bergerak sangat gesit. Tanpa menolak ia menendang Atang. Tapi tendangannya membentur suatu benda panjang. Tatkala menoleh ia melihat seorang berperawakan tegap memutar pedang panjang. Itulah si Hasan yang tadi bersembunyi di sebelah selatan. Pukulannya kuat dan serangannya menyambar arah kaki. Terpaksalah Pringga Aguna meloncat ke udara dan membatalkan serangan kepada kedua musuhnya. “Ah! Kalian teman latihan cukup tangguh.” Serunya nyaring sambil tertawa panjang. la turun ke tanah dan mengulangi serangannya, la menyerang Atang dan Acep sekaligus, sedang kakinya tetap melayani pedang panjang si Hasan. Serangannya cepat dan aneh. Ketiga orang lawannya tak dapat menduga-duga. Dua orang lain yang berperawakan agak kegemuk-gemukan muncul ke gelanggang. Mereka membawa senjata keris dan pedang pendek. Itulah Kosim dan Memet pendekar dari Rangkasbitung dan Pandeglang. Mereka berdua lantas saja menyerang rapat Gerakannya gesit dan berbahaya. Pringga Aguna mundur selangkah. Rasanya yang peka lantas saja tahu, kalau dirinya berada dalam kepungan. Dihitung berjumlah lima orang. Hatinya kini lega, karena tak usah takut menghadapi serangan gelap. Lantas saja ia memusatkan tenaganya. Mereka berjumlah lima orang. Baiklah kugempur yang dua dahulu, pikirnya. Berpikir demikian, tubuhnya berkelebat Tangannya menggempur bindi Ateng. Tetapi Hasan mencegat serangannya dengan pedang panjang. Suatu perbenturan tak dapat dihindarkan lagi. Tangannya tergetar, sedangkan pedang Hasan hampir terpental dari genggamannya. Diam-diam ia kaget Rkirnya, eh, ternyata mereka cukup tangguh. Aku tak boleh main-main. Kini ia berpaling ke Hasan. la merangsak, tetapi ke empat lawannya yang lain merangsak pula. Permainan senjata mereka lumayan. Mereka bahkan mahir memainkan senjatanya masing-masing. Secepat kilat ia menyambar Kosim yang bersenjatakan sebilah keris. Memet melihat sahabatnya berada dalam bahaya. Dengan senjata pedang pendek ia menetak pergelangan tangan Pringga Aguna. Tetapi Pringga Aguna tak mempedulikan serangan itu. Dengan membalikkan tangan ia memapak pedang pendek Memet. Agaknya dia tak takut melawan tajamnya senjata. Kosim terkejut bukan main. Buru-buru ia mundur selangkah. Tetapi Pringga Aguna tak mem-biarkannya membebaskan diri. Tangannya yang menyambar tadi terus ditusukkan. Gerakannya kuat sampai menimbulkan ke siur angin. ' Terdengar kemudian suara meretak. Pedang pendek Memet tepat mengenai sasaran. Begitu juga bindi Atang bersamaan menggempur pundak. Tapi Pringga Aguna tetap berdiri tegak, la tak menggubris. Serangannya tak dihentikan. Keruan saja Memet dan Atang terkejut Dia bukan manusia! pikir Memet. Pedang pendeknya adalah pedang pusaka. Biasanya barang siapa kena terpegas pasti tak ampun lagi akan terkupas kulit dagingnya. Tapi dia nyaris bersorak karena gembira. Tak tahu dia menumbuk batu. Sekarang nasib Kosim tinggal tergantung pada selembar rambut. Ia tak dapat lagi membela diri maupun mengelakkan serangannya. Sebilah kerisnya cepat-cepat dilintangkan ke dada. Ujungnya dihadapkan ke depan, siap ditusukkan ke perut lawan. Mendadak selagi ia berputus asa berkelebatan sesosok bayangan. Bayangan itu kuat luar biasa. Ia membawa sebuah cempuling dan menggempur dada Pringga Aguna. Itulah Jaga Saradenta. Akibatnya fatal. Pringga Aguna yang sedang memusatkan perhatiannya kepada dada Kosim tergempur dadanya sehingga terpental mundur dua langkah. Cepat ia mendorong dengan sekuat tenaga dan Jaga Saradenta tergetar mundur lima langkah. Sudah pasti kalau tenaga mereka dapat terukur sepintas lalu. Tenaga Jaga Saradenta masih juga kalah seurat. Tetapi munculnya musuhnya yang keenam itu mengejutkan hati Pringga Aguna. Diam-diam dia berpikir, malam ini mengapa aku bertemu dengan orang seperkasa dia? “Hai monyet, siapa kau?” bentaknya. Jaga Saradenta berdiri tegak di tanah. Raut mukanya angker dan berkesan bengis. Dengan menggeram dia menyahut, “Kamu masih ingat dengan Jumirah, anak Kyai Haji Lukman Hakim?” Pringga Aguna tercengang. Kemudian tertawa panjang. “Hauhooo ... bocah! Jadi kau belum mampus? Nyawamu rangkap tujuh, ya.” “Bagus! Kau masih ingat bagaimana kau menghajarku. Kekasihku kau bunuh lagi. Un-amg, Kyai Haji Lukman Hakim berhasil menolong lukaku. Tapi aku berjanji, selama hayat masih dikandung badan...” “Kau mau menuntut balas?” potong Pringga Aguna dengan tertawa riuh. “Tak salah,” sahut Jaga Saradenta cepat. “Selama kamu belum mampus, tak sudi aku hidup bersama dalam dunia ini.” Pringga Aguna tertawa tinggi. Dan karena percakapan itu, pertempuran berhenti dengan sendirinya. Masing-masing mempersiapkan senjata dan berniat hendak menyelesaikan pertarungan secepat mungkin. Kelima orang dari Jawa Barat saling memberi isyarat. Mereka mendengarkan percakapan itu dengan penuh perhatian tetapi tetap waspada. “Kamu datang dengan lima cecurut itu, apa mereka kawanmu?” tanya Pringga Aguna. “Kamipun senasib dengan dia,” sahut kelima orang dari Jawa Barat dengan serempak. “Kembalikan gadis kami.” “Ah!” potong Pringga Aguna. “Apa modal kalian mau merunut dendam? Kalian bosan hidup!” Mendadak datanglah kesiur angin. Kelima bersaudara itu lantas meloncat mundur berpencaran. Pringga Aguna ternyata telah mulai menyerang dengan tiba-tiba. Gntung, mereka cukup waspada. Dan pertarungan terjadi lagi lebih dahsyat “ Kali ini Pringga Aguna tak berani berlaku ayal-ayalan. Dia bertempur bagaikan seekor singa. Dua kali cempuling Jaga Saradenta menghantam pinggangnya. Tetapi Pringga Aguna tetap tak bergeming. Bahkan dia nampak kian lama kian gagah. Menyaksikan itu, diam-diam mereka mengeluh dan seluruh tubuhnya meremang. Meskipun demikian, mereka membiarkan dirinya terpengaruh oleh kekebalan Pringga Aguna. Sadar akan bahaya, mereka berkelahi kian sengit. Ketika itu, Pringga Aguna memusatkan perhatiannya kepada Jaga Saradenta. Diantara keenam lawannya. Dialah yang paling tangguh. Kesiur cempulingnya menerbitkan angin. Sekalipun tubuhnya tak mempan, tetapi jika mengenai kepala bisa berbahaya. Karena itu ia melindungi kepalanya rapat-rapat Mendadak saja ia melihat sesosok bayangan berkelebat di udara. Ia heran sampai terhenyak beberapa detik. Ia baru sadar tatkala bayangan itu meniup dan langsung menikam tengkuknya. Buru-buru ia mengendapkan diri dan meloncat mundur. Hai siapa kau?” teriaknya. Hatinya gentar juga melihat musuh-musuh yang tak terduga. “Hm...” dengus Wirapati. la mengulangi setangannya sangat gesit dan tangguh. “Hai! Jangan kau mati tanpa nama,” damprat Jftingga Aguna. la sadar, kalau sepak-terjangnya selama ini pasti akan menimbulkan suatu ke-cnaran. Musuh-musuhnya sangat banyak, muncul satu per satu seperti cendawan di musim hujan. Tetapi sama sekali tak diduganya, kalau di a*ara mereka ternyata ada juga yang gagah perkasa. “Aku Wirapati.” “Wirapati?” Pringga Aguna mengingat-ingat Ia merasa tak mempunyai musuh bernama Wirapati. “Aku murid Kyai Kesambi Sejiwan Gunung Damar Kalinongko.” “Ah!” ia terperanjat. “Murid Kyai Kasan?” Diam-diam ia berpikir, apakah orang tua itu ada pula di sekitar lapangan ini?” Ia sangsi. Masa Kyai Kasan merantau sampai memasuki kota Jakarta. Tapi itu bisa terjadi. Hatinya jadi gelisah. Karena gelisah, kehebatannya kendor. Wirapati mempergunakan kesempatan itu. Sebat luar biasa ia menghujani serangan beruntun. Jaga Saradenta dan kelima bersaudara merangsak pula dengan berbareng. Diserang demikian, jantung Pringga Aguna berkebat-kebit juga. Ia mundur jumpalitan sambil menangkis serabutan. Memang ia seorang gagah pada jaman itu. Gerak-geriknya cekatan dan tepat Semua serangan dapat dipunahkan dengan sekaligus. “Wirapati!” Pringga Aguna berteriak minta keyakinan. “Apa gurumu ada di sini?” “Kalau iya, apa pedulimu,” sahut Wirapati. “Ah!” Pringga Aguna tercengang. Kemudian tertawa riuh, karena telah mendapat kepastian, la dapat menebak kalau Kyai Kasan Kesambi yang disegani tidak berada di sekitarnya. Mendapat kepastian begitu lantas saja dia melabrak maju. Wirapati dan Jaga Saradenta maju berendeng. Mereka mencoba menangkis sambil mencoba-coba kekuatan musuh. Tetapi kelima bersaudara tak mau tinggal diam. Mereka bergerak berputar-putar dan merupakan suatu kerjasama yang rapih. Dikerubut demikian rapi, timbullah amarah Pringga Aguna. Ia memperhebat rangsakannya. Kelima bersaudara didesaknya ke pinggir. Tetapi Wirapati dan Jaga Saradenta bukanlah musuh-musuh yang ringan. Kedua orang itu memiliki ilmu jauh lebih tinggi daripada kelima orang bersaudara. Begitu mereka berdua mendapat peluang, lantas saja mengggempur bersama. Jaga Saradenta mengemplangkan cempuling-tiya mengarah muka, sedang Wirapati menyodok perut bagian bawah. Inilah bahaya. Cepat-cepat Pringga Aguna bergerak mundur, “etapi Wirapati lebih cepat Serangannya ber-lieh. Ia meloncat mencegat gerakan mundur Jan mengemplang tengkuk. Pringga Aguna terperanjat la membungkuk, sapi justru membungkuk cempuling Jaga Saradenta mencengkeram mukanya. Pringga Aguna merasa kesakitan sampai menjerit tinggi. Pringga Aguna bertambah gusar dan mengumbar ma-lehnya. Tanpa menghiraukan rasa sakit lagi ia menubruk Jaga Saradenta. Gntung Jaga Saradenta sempat melompat ke samping, sedangkan Wirapati mundur tiga langkah. Celakalah nasib kelima bersaudara. Mereka tak sempat mengelak, karena waktu itu baru feergerak maju, tak ampun lagi mereka terpaksa berbenturan mengadu tenaga. Bagaimana mereka sanggup melawan tenaga Pringga Aguna. Begitu mereka kena gempur, tubuhnya terpental di udara dan jatuh ke tanah seperti layang-layang putus. Tiga orang di antara mereka luka parah. Pringga Aguna jadi kalap, la melejit ketiga musuhnya yang jatuh terkapar di tanah. Tetapi Jaga Saradenta dan Wirapati tak membiarkan ia berbuat semaunya sendiri. Dengan berendeng mereka berdua mencegat dan melancarkan serangan kilat berantai. Keruan saja Pringga Aguna kelabakan. Meskipun begitu dia tidak gugup. Tenang-tenang ia memunahkan serangan kedua orang itu. Pada saat itu jumlah kelima bersaudara tinggal dua orang yang masih dapat bergerak dengan leluasa. Atang dan Hasan. Menyaksikan ketiga kawannya menggeletak setengah hidup, mereka jadi penasaran. Mereka nekad. Tanpa menghiraukan keselamatan nyawanya, lantas saja mereka menyerbu hendak mengadu nyawa. Meskipun Pringga Aguna seorang tokoh kenamaan tetapi menghadapi orang sedang kalap, repot juga. Apalagi selain mereka masih ada dua orang musuhnya yang tak bisa di anggap enteng. Jaga Saradenta cukup bertenaga, sedangkan kecekatan Wirapati mengagumkan hatinya. Teringatlah dia pada Kyai Kasan Kesambi empat puluh tahun yang lalu. Ah, benar-benar bukan nama kosong Kyai Kesambi Sejiwan. Dia dapat mewariskan kehebatannya kepada muridnya, pikirnya diam- diam. Mendadak di tengah lapangan terjadi suatu peristiwa di luar dugaan. Dari sebelah utara nampaklah bayangan seorang pemuda tanggung berlari-lari cepat Wirapati menoleh. Segera dia mengenali Sangaji yang benar datang. Mestinya dia girang, tapi mengingat bringasnya Pringga Aguna dia jadi cemas. Karena rasa cemasnya, ia berteriak,”Bocah! Mnggir dulu!” “Siapa?” tanya Jaga Saradenta. “Sangaji,” sahut Wirapati dengan suara gemetar. Mendengar disebutnya nama Sangaji, Jaga Saradenta terperanjat sampai berdiri tertegun. Sebaliknya Pringga Aguna orangnya cerdik. Lantas saja dia dapat menduga. Cepat ia mundur jumpalitan. Kini ia mencegat larinya Sangaji dengan gesit. Wirapati gugup bukan main. Cepat ia menje-tanah dan melesat menyusul. Jaga Saradenta tak mau kalah sebat. Dengan sepenuh enaga ia mencoba menjambret lengan Pringga Aguna. Tapi luput, la kalah hebat. Atang dan Hasan ikut memburu. Mereka sadar akan bahaya yang bakal terjadi. Kalau si iblis mau jahat, dia dapat mencekik leher si anak dengan sekali sambar. Apakah dia lantas menghisap darahnya, itu tergantung nasib si bocah. Sangaji mendengar teriakan orang yang dikagumi, la menjerit kegirangan, lantas berseru nyaring. Sama sekali tak tahu, kalau ia sedang menghadapi bahaya. Cuma ia melihat beberapa orang melesat berkelebatan. Semuanya mengarah kepadanya seolah-olah datang menyambutnya. Ia berhenti terhenyak. Hatinya heran menebak-nebak. Pikirnya, tadi cuma dia seorang. Mengapa sekarang banyak? Jaga Saradenta yang kalah cepat agak jauh tertinggal di belakang. Sambil melesat memburu ia mulai menduga-duga. Sangaji, pikirnya. Apakah bocah yang dicarinya selama ini? Mengapa Wirapati baru bilang sekarang? la lupa. Semenjak berjumpa dengan Wirapati petang tadi, perhatiannya terpusat kepada kedua iblis musuhnya tumn-temurun. Wirapati tak diberinya kesempatan menceritakan pengalamannya. Pada saat itu Pringga Aguna telah berada tiga langkah di depan Sangaji. Wirapati gugup. Cepat ia berseru nyaring, “Minggir!” la kaget mendengar seruannya sendiri. Ya— bagaimana si bocah bisa mengerti tentang bahaya yang mengancam dirinya dengan seruan peringatan sependek itu. Sadar akan hal ini, ia menjejak tanah dan mengerahkan tenaga kege-sitannya yang penghabisan. Pringga Aguna telah berhasil menyambar lengan Sangaji. Tetapi begitu ia berhasil menyambar lengan, mendadak terasa enteng. Ia heran sampai terhenyak. Ternyata si bocah kena fcampas Wirapati yang dapat bergerak begitu gesit. Hatinya penasaran. Ia menjejak tanah dan Telejit. Wirapati sedang mengempit Sangaji. Sudah barang tentu kecepatannya berkurang. Ia kena 'pukulan Pringga Aguna. Tak ampun lagi ia jatuh terjungkal di tanah. Serangan Pringga Aguna tidak berhenti sampai di situ. la melontarkan pukulan maut. Wirapati masih dapat menguasai kesadarannya. Ia rcgulingan sambil melemparkan Sangaji ke amping. Setelah itu ia memaksa diri untuk berdiri tegak. Tetapi matanya berkunang-kunang. Alam seakan-akan bergerak berputar di aepannya. Untung, waktu itu Jaga Saradenta telah sampai di tempatnya. Orang tua itu tak memikirkan Jfcahaya lagi. Ia melompat dan merangkul kaki Pntigga Aguna, sehingga iblis jatuh bergulingan : tanah. Tetapi Pringga Aguna benar-benar searang yang gagah. Sadar akan bahaya ia menendang sambil melontarkan rangkulan Jaga Saradenta. Hebat tenaganya. Jaga Saradenta kena dilontarkan dan terbang tinggi di udara. Setelah terlepas dari rangkulan Jaga Saradenta, Pringga Aguna berdiri tegak, la mengulangi serangannya. Justru waktu itu Hasan dan Atang tiba. Kedua orang itu gagah berani. Tanpa menghiraukan bahaya, senjata mereka dilin-tangkan. Kemudian dengan berbareng mereka mengadu tenaga. Pringga Aguna tak memandang sebelah mata. Tanpa menghiraukan serangan mereka, dia meneruskan serangannya. Wirapati terkejut. Buru-buru ia mengatur napas sambil mengelak ke samping. Terdengar kemudian suara gemeretak. Ternyata pedang panjang Hasan patah menjadi dua. Sedang bindi Atang melesat ke samping. Sekarang terjadilah suatu keajaiban. Sangaji yang dilemparkan Wirapati ke samping mendadak saja tergugah kesadarannya. Sepintas lalu tahulah dia, kalau orang yang dikagumi sedang menolong dirinya dari bahaya. Orang itu ternyata tak menghiraukan keselamatannya. Diam-diam ia memuji dan berterima kasih padanya. Kemudian dilihatnya pula tampang musuh orang yang dikagumi. Bulu romanya menggeridik. Tanpa disadari sendiri tangannya meraba pinggang. Mencabut pistolnya. Segera ia mengisi pistol itu dan bersiaga mencari kesempatan. Waktu itu Pringga Aguna sedang menghajar Hasan dan Atang. Begitu ia berhasil mematahkan pedang si Hasan, tangannya lantas saja menerkam dada lawan. Hasan kena dijambret-dan dilontarkan ke udara. Selagi tubuhnya melayang-layang, ia menggempur dengan se-tuat tenaga. Atang dan Wirapati tak keburu memberi per-rngan. Tidak berdaya mereka menyaksikan nyali Hasan pecah berantakan sampai isi perut-eluar dan lontak ke tanah. Sangaji terkejut melihat kekejaman itu. Meneriak saja timbullah rasa amarahnya. Lantas saja ia menyerbu merangkul lutut Pringga Aguna. Keruan saja Pringga Aguna terkejut. Wirapati tak terkecuali sampai dia memekik hebat. Jaga Saradenta yang sudah dapat menguasai meloncat menyerbu. Atang yang melihat tawannya ditewaskan begitu rupa, tak menghi-aLkan bahaya lagi. la menubruk pula dengan -lembabi buta. Mendadak terdengarlah suatu letusan nyaring dari tubuh Pringga Aguna jatuh terkulai tanpa mara. Ternyata tanpa sengaja jari-jari Sangaji :tik pelatuk pistol, karena gerak pereng-aran Pringga Aguna. Inilah kejadian di luar perhitungan manusia wajar. Pringga Aguna yang sjdah malang melintang ke seluruh penjuru pulau Jawa selama lima puluh tahun lebih, akhirnya mati di tangan bocah berumur empat belas tahun. Siapa dapat menduga! Atang sudah jadi kalap. Melihat musuhnya terkulai lantas saja menerkam lehernya, kebenciannya kepada si iblis sudah begitu memuncak sampai ia memekik-mekik tinggi sambil-as lehernya. Kemudian menggigitnya dan merobek-robek kulit dagingnya. Setelah itu ia mangis meraung-raung. Wirapati menghampiri Sangaji dan dengan penuhi perasaan mengelus-elus gundulnya. Jaga Saradenta merenungi. Napasnya masih tersengal. Pandangnya beralih dari mayat Pringga ke Sangaji, kemudian ke Wirapati dan Pringga lagi. Beberapa saat kemudian dia berkata perlahan kepada Wirapati, “Sangaji nama anak anak ini?” Wirapati mengangguk. “Apakah bocah yang selama ini kita cari?” Wirapati mengangguk. “Pertemuan aneh.” Jaga Saradenta menge-diri sendiri. Berkata lagi, “Bagaimana dia datang ke mari dan membawa-bawa pistol?” “Sore tadi kita sudah berjanji. Dan mengapa ia membawa pistol perlahan-lahan kau akan tahu. Dia dipungut sebagai anak-angkat seorang kompeni Belanda.” Jaga Saradenta termenung-menung mendegar keterangan Wirapati. Mendadak Sangaji berkata nyaring, Tak sengaja aku menembaknya. Aku direnggutkan. Jari-jariku menarik pelatuk.” Wirapati memeluk gundulnya sambil berbisik, “Sama sekali kau tak bersalah. Kaupun bukan pembunuh. Pelatuk pistol kautarik dengan tak sengaja.” “Meskipun disengaja, kita berdua patut menyatakan terima kasih padamu,” potong Jagi Saradenta. “Wirapati...! Anak ini sudah membayar pajak kepada kita berdua.” Sangaji jadi kebingungan mendengar pembicaraan mereka berdua, la menyiratkan pandang penuh pertanyaan. “Sangaji! Malam ini kamu benar-benar datanc menepati janji. Kamu ingin berguru kepadaku! bukan?” kata Wirapati. Sangaji mengangguk. “Bagus! Mulai sekarang kau harus patuh kepada setiap patah kata gurumu. Aku bernama Wirapati. Dan ini, Jaga Saradenta. Diapun gurumu, sama seperti aku. Kamu mengerti?” Kembali Sangaji mengangguk. Setelah berkata demikian Wirapati kemudi menghampiri Atang. Perlahan-lahan ia memegang pundaknya. “Sekalipun kau robek-robek hancur bersej rakan, diapun tak merasa apa-apa. Lebih baik kaurawatlah jenazah sahabatmu. Dan mayat iblis itu biarkan menggeletak di sini. Apa peduli kita” katanya berpengaruh. Dengan berdiam diri Atang menghampiri lasazah Hasan yang telah rusak. Sementara itu, Jaga Saradenta datang berturut-turut memondong Memet, Kosim dan Acep yang luka parah. “Saudara!” katanya, “iblis ini masih mempunya seorang kakak. Pringgasakti namanya, alias si Abu, lebih baik kalian pergi menjauh. Apalagi kalian luka parah. Kereta berkuda dapat pergunakan. Pergilah sekarang sebelum Mereka sadar akan bahaya. Tanpa memban-ar sepatah katapun juga mereka mengangguk tersama. Hampir berbareng mereka berbisik Terima kasih. terima kasih? Mengapa berterimakasih kepa-:-?” sahut Jaga Saradenta cepat, “Kami ber-berterimakasih juga kepada kalian. Seandai-kalian tidak membantu kami, sudah siang-aang tadi kami mampus.” Mereka sedang luka parah, mana sanggup -_ ara terlalu panjang. Mereka kemudian Melemparkan pandang ke Atang yang masih senenungi jenazah Hasan. Tak terasa air mata Jaga Saradenta mendekati Atang. “Hatiku ikut juga berduka. Tetapi dia mati secara jantan. Pengorbanannya tidak sia-sia. Apakah masih ada waktu-mengubur dia?” Atang yang mudah tersinggung menegakkan kepala. “Apa maksudmu?” “Aku khawatir kalian tidak ada waktu lagi mengubur dia. Seandainya iblis datang...” “Akan kami bawa jenazahnya.” “Pikiran yang bagus,” potong Jaga Saradenta. “Apalagi jika kalian bisa menyerahkan jenazah Hasan kepada keluarganya. Tetapi pertimbangkan dulu soal ini. Membawa-bawa jenazah yang begitu ri... Apa tidak menyulitkan keselamatan kalian?” Ujar Jaga Saradenta meskipun menusuk perasaan, tapi ada benarnya. Di antara empat orang, tiga orang luka parah. Kini akan membawa-bawa jenazah pula. Bisa dibayangkan ba-gaimana sulitnya jika tiba-tiba kepergok sesuatu bahaya. “Lantas?” ia minta pertimbangan. “Sebentar atau lama si iblis Pringgasakti pasti datang ke mari. Kalau dia melihat jenazah Hasan di samping mayat adiknya pastilah mengira mereka berdua mati berbareng. Keselamatan kalian bisa dijamin,” kata Jaga Saradenta. Kemudian dia menghampiri Wirapati dan mengisyarati agar cepat-cepat meninggalkan lapangan. Atang dapat berpikir cepat. Ia menoleh kepada saudara-saudara angkatnya. Mereka tak berkata sepatah katapun. Maka ia berkata memutuskan. Terima kasih. Saranmu kami terima.” Sehabis berkata demikian ia menunduk. Ke-uian menangis terisak-isak.... Jaga Saradenta Mu kedukaannya. Tetapi ia tak mau berpikir teelalu lama. Dengan memberi isyarat kepada Wirapat ia menghampiri ketiga orang yang sedang terluka parah, lalu memapahnya seorang. Wirapati segera memapah si Acep. Dan Atang memapah sim. tereka dimasukkan ke dalam kereta. Atang loncat ke depan dan dengan membisu meutar kendali. Waktu itu bulan benar-benar bersiar terang. Sinarnya mulai merata. Perlahan-lahan kuda-kuda penarik mulai berderapan. Atang oemparkan pandang ke tengah lapangan. Ke-dua saudara angkatnya pun tak terkecuali. Dengan-tertatih-tatih mereka mencongakkan diri jendela kereta. Kesenyapan mulai bercerita di tengah lapang-Tidak ada lagi suara senjata beradu. Tidak terdengar suara napas bersengal-sengal. Tiada-lagi nampak berkelebatnya seorang manusia. Yang ada hanya dua mayat yang menggeletak- tak terurus di atas tanah—mayat si Han dan si iblis Pringga Aguna. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ep.48 bende mataram - Pulang

BENDE MATARAM JILID 48 PULANG HATI seorang perempuan memang sukar diduga. Kalau tidak masakan perbuatan Rukmini dapat terluput dari pengamatan Sangaji yang sudah memiliki ilmu sangat ting-gi. Soalnya, seluruh perhatiannya ditegangkan oleh peristiwa yang terjadi di tengah lapangan. Dan sekelumitpun tiada terbintik dalam hati Sangaji, bahwa ibunya akan membunuh difi pula mencontoh Sonny de Hoop. Alasan untuk berbuat demikian sangatlah lemah. Jalan pikir Rukmini memang sangat aneh. Melihat anaknya tiada hendak meninggalkan rumah, lantas timbullah keputusannya akan membunuh diri. Ia sendiri tak dapat pergi bersama anaknya, sebeluin berbicara dengan Major de Hoop yang sudah beberapa tahun lamanya menjadi perlindungannya. Gntuk perbuatan itu, ia merasa berutang budi setinggi gunung. Kalau ia pergi begitu saja meskipun alasan-alasannya cukup kuat serta mendesak ia takut dikatakan sebagai makhluk tak kenal budi. Padahal anjingpun mengerti akan mem-balas budi. Masakan manusia tidak? Sekiranya...

BENDE MATARAM - JILID 8. SONNY SI GADIS INDO

BENDE MATARAM - JILID 8. SONNY SI GADIS INDO DENGAN berdiam diri pula Jaga Saradenta membimbing tangan Sangaji di samping Wirapati. Kesan pertempuran tadi masih saja meriuh dalam otaknya. Hatinya bisa menduga apa yang bakal dilakukan Pringgasakti ketika melihat adiknya mampus begitu terhina di tengah lapangan. “Iblis itu benar-benar kebal dari semua senjata tajam. Tapi kekebalannya tak kuasa mempertahankan diri dari letupan pistol. Jika begitu, boleh juga kita belajar menembak,” katanya perlahan. Wirapati adalah murid keempat Kyai Kasan Kesambi yang diajar membenci senjata bidikan. Begitu mendengar ujar Jaga Saradenta lantas saja menyahut. “Bukan karena mesiu pistol dia mampus, tetapi karena kebetulan tepat mengenai lubang kelemahannya.” “Bagaimana kautahu?” “Pertama-tama kulihat dia selalu melindungi kepalanya rapat-rapat dari gempuran cempulingmu. Seandainya dia benar-benar kebal, apa perlu berlaku begitu? Kedua, tembakan pistol Sangaji tepat mengenai pusatnya. Memang se-mendjak kau ...