BENDE MATARAM
JILID.28
PERJUANGAN MAUT
GAGAK Seta segera meninggalkan benteng hendak mencari Adipati Surengpati. Ia sadar akan bahaya. Tenaga jasmaniah Titisari terbatas. Kalau sampai terhisap habis oleh daya sakti getah Dewadaru, biarpun dewa mampu menolongnya. Sebaliknya Titisari berpikir lain. Meskipun sadar akan bahaya tapi ia bersedia berkorban apa saja untuk pujaan hatinya. Setelah Gagak Seta meninggalkan benteng, diapun segera membuat persiapan-persiapan, la mencari buah-buahan dari desa ke desa untuk jangka waktu satu minggu lamanya.
Kala itu kebetulan sekali musim buah-buahan. Walaupun demikian, tidaklah mudah ia memperolehnya. Karena desa-desa mendadak jadi sibuk. Dari mulut ke mulut ia mendengar berita-berita pertempuran-pertempuran setempat antara laskar Pangeran Bumi Gede dan laskar kerajaan. Laskar kerajaan dipimpin olehPangeran Ontowiryo cucu Sri Sultan Ha-mengku Buwono II yang berkedudukan di Tegalreja. Titisari pernah melihat pangeran itu, tapi tidaklah begitu menaruh perhatian. Dalam hatinya, Sangaji adalah satu-satunya orang yang memenuhi seluruh hidupnya. Persoalan-persoalan lain di luar kepentingannya, hanya merupakan bumbu-bumbu sejenis masakan belaka.
Kira-kira menjelang sore hari, ia baru kem-bali ke bentengnya. Di halaman depan ia menemukan bulu-bulu ayam berserakan. Hatinya jadi berdegupan. Teringat akan dua ekor ayam Fatimah yang dilemparkan padanya, bulu romanya meremang. Cepat ia menuju ke pintu tengah. Di ambang pintu ter-gantung potongan-potongan ayam yang terebus baik-baik. Melihat pemandangan itu ia bernapas lega, tahulah dia siapa lagi yang main gila selain Fatimah.
Tetapi sewaktu naik ke ruang atas dan melihat Sangaji, hampir saja ia terhuyung pingsan. Sangaji nampak pucat kuyu. Napasnya lemah dan matanya terkatup rapat. Gugup Titisari menghampiri. Ia mencoba membangunkan. Mamun Sangaji tak berkutik. Inilah suatu pukulan hebat bagi gadis itu. Hatinya tergoncang sampai ia terlongong-longong. Ia tak sadar tatkala seseorang datang mendekati padanya.
"SALAHMU SENDIRI, APA SEBAB SATU HARI PENUH tak kau beri makan. Bukankah aku sudah menyumbang dua ekor ayam?" ter-dengar suatu suara.
Titisari menoleh kaget. Dialah Fatimah yang datang dengan diam-diam dan ikut bercemas pula. Setelah berdiri tegak sejenak, ia lari turun ke bawah dan kembali dengan membawa air dingin.
Titisari tahu apa yang harus dilakukan. Dikeluarkan sapu tanganya dengan cepat. Setelah dicelupkan, ia mulai menyusut muka dan dada Sangaji yang penuh darah beku. Napas pemuda itu menghembuskan hawa panas. Dan jantungnya berdegup lemah.
Benar-benar Titisari khawatir melihat keadaan Sangaji. Ia mencoba membisiki dan membangunkan. Tapi untuk kesekian kalinya ia gagal. Fatimah yang berdiri di belakangnya mengamat-amati sejenak. Mendadak ia lari turun kembali dan datang membawa pengail. Heran Titisari, apa sebab gadis itu membawa-bawa pengail. Belum lagi ia bisa menebak, Fatimah sudah menggebuk Sangaji tiga kali berserabutan.
"Hayo bangun! Kau jangan manja!"
Sangaji tersentak bangun. Titisari menjerit kaget. Sebaliknya Fatimah tertawa senang, karena Sangaji kini memperoleh kesadaran-nya kembali.
"Siapa? Siapa?" Sangaji menggumam seperti bingung. Melihat keadaan Sangaji, hati Titisari iba bukan main. Saat itu Fatimah masih saja tertawa senang. Titisari mendongkol dan lantas saja menyamplok dengan geram. Samplokan itu datangnya tak terduga-duga. Fatimah jatuh terjungkal. Tetapi gadis bandel itu tak merasa dirinya bersalah. Terus saja ia bangun dan membalas menendang paha Titisari. Kemudian meloncat mundur karena takut kena balas. Tetapi Titisari tak membalas. Ia menangis sedih becampur cemas. Dan mendengar tangis Titisari, Fatimah jadi ke-heran-heranan. Berjingkat-jingkat ia kembali dan menjenguk dari belakang punggung.
"Apakah punggungmu sakit kena tendang-anku?" tanyanya penuh perasaan.
Titisari tak menyahut. Ia memeluk Sangaji dan mencoba menyadarkan.
Perlahan-lahan Sangaji membuka matanya. Dan begitu pandang matanya melihat wajah Titisari, ia tersenyum. Katanya menghibur, "Aku mimpi bertemu dengan seorang berjubah hitam mengenakan mahkota kencana. Apa-kah kedua pusaka itu masih melekat pada tubuhku?" Mendengar suara Sangaji, Titisari terharu bukan main. Ia tak kuasa menjawab, hanya menganggukkan kepala berulang kali.
"Kedua pusaka itu masih berada dalam genggamanmu...." Akhirnya ia berbisik dengan girang. Sudah barang tentu ia tak mengerti apa hubungannya antara kedua pusaka itu dengan orang berjubah hitam bermahkota kencana. Tujuannya hanya hendak menguatkan kegelisahan kekasihnya.
"Titisari, mengapa engkau menangis?" Tiba-tiba Sangaji minta keterangan setelah mengamat-amati kelopak matanya.
"Siapa yang menangis?" Titisari memban-tah. Dan ia memaksa diri tertawa ringan.
"Bohong, dia tadi menangis." Fatimah nim-brung. Kemudian mengarah kepada Titisari! "Hayo, kau mau menyangkal! Lihatlah muka-mu yang kuyu. Matamu masih penuh air mata pula."
"Titisari!" kata Sangaji penuh perasaan. "Janganlah kau menyedihkan aku. Keadaanku tidaklah sebahaya dugaan Paman Gagak Seta."
Mendengar ujar Sangaji, Titisari berlega hati. Meskipun masih bersangsi, tapi ia seperti melihat sinar pelita dalam kegelapan. Lantas saja menoleh kepada Fatimah dan berkata manis.
"Hai! Apakah kau masih merasakan sakit kena seranganku tadi?"
"Hai... hai... hai! Namaku Fatimah! Bukan hai!" Fatimah melotot.
Titisari tertawa. Menyahut, "baiklah se-karang aku memanggilmu adik Fatimah."
"Adik? Huuuh... masakan kau lebih tua dariku. Kau harus memanggil bibi!"
Titisari mengerling kepada Sangaji minta pertimbangan. Sangaji kenal watak Fatimah yang angin-anginan. Maka ia mengangguk kecil. Memperoleh isyarat itu, Titisari lantas saja berkata, "kau senang kupanggil bibi? Baiklah. Mulai detik ini aku memanggilmu bibi!"
"Nah..., itulah baru benar." Fatimah puas. Kemudian menegas, "kau tadi menangis, bukan, kau sangkal tidak?"
"Ya... ya..., memang aku tadi menangis." Titisari kewalahan.
"Kau sendiri tidak menangis. Malahan kaulah yang berjasa menyadarkan Sangaji. Hatimu sungguh baik."
Mendengar dirinya dipuji, Fatimah menjadi girang. Lantas saja ia turun ke bawah dan datang kembali dengan membawa rebusan ayam. Ia memaksa Titisari agar mandi dahulu. Setelah itu membersihkan ruang kamar dan menutup pintu dengan rapat.
Pada malam harinya setelah makan, Titisari hendak mulai bekerja. Ia sadar—apabila sekali bekerja—harus tetap saling menempel satu minggu lamanya. Tatkala hendak mema-damkan perdiangan, mendadak Sangaji berkata. "Lukaku ini sebenarnya tidaklah be-gitu hebat. Hanya saja engkau akan berjerih payah satu minggu..."
"Biarpun menderita sengsara dua puluh tahun tapi demi untukmu, hatiku senang," jawab Titisari cepat.
Mendengar ucapannya, Sangaji terharu bukan main. Darahnya terus saja terguncang. Inilah bahaya, karena bisa jatuh pingsan. Maka cepat-cepat ia menenangkan diri untuk menguasai hatinya.
Titisari adalah seorang gadis cerdas. Dengan cepat ia bisa membaca apa yang sudah terjadi. Segera ia menasehati agar jangan memikirkan sesuatu. Setelah itu ia berdiri hendak memadamkan perdiangan, sekonyong-konyong suatu pikiran menyusul di benaknya. Pikirnya, benteng kuno ini berada di atas ketinggian. Tak jauh dari sini terjadi suatu petempuran. Apakah tak mungkin, masing-masing pihak akan menggunakan benteng ini sebagai pangkalan kegiatan. Kalau sampai terjadi demikian..., dan kemudian ada gangguan... bukankah akan mencelakakan Sangaji? Memperoleh pertimbangan demikian, teringatlah dia akan perlunya tokoh pelindung. Fatimah seorang gadis yang bisa berkelahi, tapi apabila menghadapi seorang pendekar tidaklah bisa berbuat apa-apa.
Biarlah aku berbicara kepadanya, katanya dalam hati.
Cepat ia turun ke bawah hendak mencari Fatimah. Tapi gadis itu tak menampakkan batang hidungnya. Karena itu ia menyalakan obor dan menyuluhi ruang dalam.
Mendadak terdengar Fatimah berkata di kejauhan. "Kau mencari aku? Mari!"
Bergegas Titisari menghampiri. Ia dibawa memasuki lorong tanah yang berada di belakang ruang dapur. Ternyata Fatimah me-nempatkan alat tidurnya dalam lorong tanah yang merupakan sebuah gua panjang.
"Bagus tidak rumahku ini? Gua ini menembus sampai dalam. Barangkali dahulu dipergunakan untuk lorong penyergapan atau pintu darurat untuk melarikan diri apabila tak kuat menahan lawan."
Tapi perhatian Titisari tiada pada lorong tanah. Segera ia menarik lengan Fatimah dan berkata manis.
"Bibi! Mari ke atas! Aku hendak berbicara."
Senang Fatimah dipanggilnya bibi. Dalam anggapannya itulah suatu pernyataan bahwa Titisari kalah menandingi kewibawaannya.
Itulah sebabnya, dengan senang ia memenuhi permintaan Titisari. Dan tatkala Titisari memasuki ruang atas, dia sudah dapat menebak.
"Sudahlah tak usah berbicara. Percayalah, aku takkan berbicara kepada siapapun juga."
Tapi justru berkata demikian. Titisari jadi curiga. Untuk keselamatan Sangaji ia bersedia berbuat apa saja. Pada saat itu warisan watak ayahnya memasuki hati sanubarinya. Katanya dalam hati, meskipun ia bandel, tapi wataknya angin-anginan. Kalau sampai berbicara... hm! Biarlah kubunuhnya saja. Dengan begitu lenyaplah ancaman bahaya...
Ia berputar menghadap Sangaji. Maksudnya hendak minta izin. Sangaji yang rebah di atas jerami terkejut melihat matanya yang menyinarkan kilat. Tak sengaja pemuda itu me-ngerenyitkan alis. Titisari jadi perasa. Pikirnya lagi: Ih! Apakah dia tahu maksudku ini?... Melihat sepak terjang Fatimah, ia seperti mempunyai hubungan dengan gurunya. Tapi apa peduliku? ... Biarlah kubunuhnya dengan diam-diam.
Memperoleh pikiran demikian, lantas saja ia memutar tubuh dan tertawa manis. Pintu ditutupnya rapat, kemudian menggapai Fatimah yang belum sadar akan bahaya.
Tapi bagaimana kalau Sangaji kelak minta keterangan tentang Fatimah? Suatu pikiran mengganggu lagi. Ah, tidak. Sangaji seorang yang luhur budinya. Meskipun tahu aku telah membunuhnya, takkan berisik. Tetapi apabila diam-diam membenci aku... bagaimana? Ah, biarlah! Semuanya ini untuk keselamatannya. Aku bersedia menanggung apa saja untuk dia, meskipun akan menderita dan sengsara sam-pai di neraka... Titisari memang seorang gadis polos. Cintanya kepada Sangaji melebihi cin-tanya kepada diri sendiri. Karena itu, tak berpikir panjang lagi ia mulai meraba cun-driknya. Saat itu, Fatimah berjalan di sisinya. Mendadak saja, selang cundriknya hampir terhunus dari sarungnya, ia mendengar suara langkah ribut di luar benteng.
"Hai! Hai! Inilah dia!" terdengar suara laki-laki setengah parau.
Titisari terkejut. Cepat ia balik memanjat ruang atas, dan terus menutup pintu. Perdiangan segera dipadamkan kemudian rebah di samping Sangaji dengan napas agak menyesak. Setelah itu diam-diam ia mema-sang telinganya. Terdengar kemudian, suara Fatimah membentak. "Kau cari siapa?"
"Aha...! Kau yang mencuri lembuku?" Bentak suara laki-laki.
Ternyata yang datang adalah seorang laki-laki setengah umur dengan menggandeng seorang anak laki-laki pula berumur kurang lebih sepuluh tahun.
"Kau mau mengambil lembumu, ambillah! Mengapa menuduh aku yang bukan-bukan?" sahut Fatimah.
"Hmm... kalau bukan kau curi, masakan bisa sampai di sini?"
Lembu dan gerobak penarik itu, memang kepunyaan mereka. Siang itu mereka lagi ber-istirahat setelah menyiangi sawah. Lembunya dibiarkan terpasang di tepi jalan. Dasar watak Fatimah angin-anginan. Tanpa mengucapkan perkataan sepatahpun, terus saja membawa lembu dan gerobak itu seperti miliknya sendiri. Keruan pemiliknya lantas saja mencari ubek-ubekan. Mereka berjalan satu malam penuh dan akhirnya tertidur kecapaian di tepi jalan. Keesokan harinya mereka menemukan jejak dan bisa mengikuti sampai menghampiri benteng.
Fatimah sendiri sebenarnya tidaklah ber-maksud jahat. Kalau berniat jahat pastilah lembu itu takkan diikat dengan begitu saja di pelataran benteng. Hanya saja sepak ter-jangnya memang aneh. Maka setelah dituduh mencuri oleh pemiliknya, wataknya yang aneh kumat seperti sumbu terbakar. Dengan menggendong tangan ke belakang punggung, ia mondar-mandir seperti tuan tanah lagi sibuk memeriksa hasil panen. Katanya meledak, "Eh... kau bilang apa? Lembu mempunyai kaki dan bisa berjalan sendiri. Masakan aku menggendongnya sampai datang di sini?"
Sangaji yang berada di atas menghela napas mendengar tangkisannya. Ia mendengar lagi serentetan perdebatan, mendadak saja tersusul suara gedobrakan. Lantas terdengar suara Fatimah membentak. "Mengambil lembu mestinya dengan tangan dan kaki. Tapi mulutmu ikut cerewet. Nah, pergilah dengan mulutmu yang cerewet!"
Rupanya ia lagi melabrak pemilik lembu. Sudah barang tentu pemilik lembu mati kutu melawan dia. Sambil merintih dan memaki-maki ia membawa lari anaknya laki-laki.
"Hai! Lembumu ini membuat kotor pelataran. Siapa sudi menimpali kotorannya..." seru Fatimah.
Terus saja ia melecuti lembu sampai melom-pat-lompat berjingkrakan. Kemudian gerobak penariknya didorongnya turun tanjakan. Seperti diketahui, benteng kuno itu berada di atas tanah tinggi. Keruan saja, begitu kena dorong—gerobak itu bergulungan menurun dengan kecepatan mengerikan. Celakalah pemiliknya. Ia tadi sudah merasakan tendang-an dan pukulan Fatimah. Selagi berjalan kepincang-pincangan, ia kena dikejar gerobak dan lembunya sendiri. Saking terkejutnya ia berkaok-kaok. Dan membawa anaknya lari pontang-panting menerjang sawah sejadi-jadinya.
Peristiwa itu membangkitkan rasa percaya Titisari kepada Fatimah. Meskipun belum menusuk persoalannya dengan langsung, namun sepak terjang Fatimah yang angin-anginan bisa diharapkan. Tadi dia berjanji tidak akan berbicara kepada siapapun, pikir Titisari. Melihat sikapnya yang senang membawa kemauannya sendiri, rasanya takkan gampang-gampang pula mengkhianati diri. Selain itu, mengingat perhatiannya kepada Sangaji tatkala kena ancamannya pastilah dia tidak akan membahayakan keadaan Sangaji.
Memperoleh pertimbangan demikian, hati Titisari menjadi tenang. Nafsu membunuhnya perlahan-lahan pudar dan sirna. Kini seluruh perhatiannya dialamatkan kepada Sangaji. Pusaka Bende Mataram dan keris Kiai Tunggulmanik ditanggalkan dengan cepat. Teringat, bahwa kedua pusaka itu kotor kena lumuran darah, tanpa berpikir panjang lagi terus direndam dalam baskom9) bekas darah. Kemudian ia menunggu.
Sekitar benteng tiada suara lagi. Segera ia mengulurkan tangan dan mulai berlatih me-ngatur tata napas dan penyaluran tata darah dengan kekasihnya.
"Aji!" bisiknya. "Marilah kita coba-coba!"
Sebenarnya Sangaji beragu. Tapi didesak oleh kekasihnya, terpaksa ia menurut. Titisari waktu itu telah mendorongkan tenaga murninya. Cepat-cepat ia menyongsong dan mencoba menolak dengan tangan kiri. Tatkala memperoleh bantuan Gagak Seta, ia hanya berdiam diri. Karena itu, tenaga sakti getah Dewadaru terus saja bergolak dan melawan. Tapi kini caranya lain. Dia hanya menolak dan menghisap tenaga dorongan dari luar sedikit demi sedikit dengan rasa sadar pula. Itulah sebabnya, hasilnya jauh berlainan dengan sewaktu memperoleh bantuan tenaga murni dari Gagak Seta. Dua jam mereka saling dorong dan menolak. Kemudian beristirahat. Dalam waktu beristirahat, tangan kiri Titisari bisa bergerak dengan bebas untuk mengambil panggang ayam atau buah-buahan. Tetapi tangan kanannya harus tetap menempel. Apabila sampai terlepas, akibatnya sangat berbahaya. Kedua-duanya akan luka parah. Sebaliknya dengan terus memadukan tenaga, getah sakti Dewadaru lantas saja mempunyai bidang gerak lebih luas tanpa rintangan dan perlawanan.
Latihan itu dilakukan dalam dua jam sekali. Mereka berdua kemudian membicarakan hasilnya sambil mengisi perut. Dengan cara demikian, tak terasa fajar hari hampir tiba. Dada Sangaji kini mulai terasa menjadi lapang tak lagi pepat seperti semula. Itulah suatu tanda, bahwa hasilnya bagus dan tepat.
Dengan demikian rasa nyeri dalam pinggang dan kempungannya ikut berkurang pula. Hal itu membuat hatinya girang. Ia makin bersungguh-sungguh.
Tatkala tiba pada masa istirahat untuk yang keempat kalinya, cahaya surya mulai masuk dari celah-celah genting. Itulah suatu tanda, bahwa hari mulai menjelang pagi. Dada Sangaji makin terasa menjadi lapang. Dan
Titisari nampak kian segar bugar. Kejadian ini di luar dugaan dan sama sekali bertentangan dengan kata-kata Gagak Seta. Itulah sebabnya mereka terus saja berbicara dengan riang dan penuh gairah.
Setelah cukup beristirahat, mereka hendak meneruskan latihannya. Terlebih dahulu mereka memasang telinganya. Mendadak saja mereka mendengar beberapa kuda lari berde-rap-derapan. Kemudian suara kaki berlarian menuju ke benteng. Beberapa saat lagi, di serambi depan terdengar suara sibuk. Seorang laki-laki dengan suara agak parau lantas terdengar berkata tinggi.
"Semua masuk! ... Haaai! Apakah tidak ada orang di sini?"
Sangaji dan Titisari saling memandang. Dengan cepat mereka kenal suara Yuyu Rumpung. Titisari lantas saja mengintip dari celah dinding. Sekarang ia tak ragu-ragu lagi. Yang berada di bawah adalah rombongan Pangeran Bumi Gede yang terdiri dari Manyarsewu, Cocak Hijau, Sawungrana, Abdulrasim, Yuyu Rumpung, Sanjaya dan pendekar undangan lainnya. Betapa terkejutnya ia melihat pula pendekar sakti Kebo Bangah berada di antara mereka. Hai, apa sebab dia-pun berada di antara mereka, pikir Titisari menebak-nebak. Ia mencari Fatimah. Tapi gadis yang berwatak angin-anginan itu tak nampak, entah pergi ke mana.
Yuyu Rumpung yang berwatak berangasan, lantas saja mengumbar adatnya. Ia menghajar tiang-tiang benteng yang mulai keropos. Tenaganya masih lumayan, meskipun dahulu pernah kena hajar Sangaji dengan Kumayan Jati.
Pendekar Abdulrasim dan Sawungrana mengamat-amati ruang benteng. Sedangkan Manyarsewu dan Cocak Hijau yang berpe-ngalaman memeriksa sampai ke halaman belakang. Mereka melongok dari atas pagar tembok, kemudian berjalan kembali dengan dahi berkerut.
"Apakah benar-benar tiada penghuninya?" kata Manyarsewu. "Di halaman depan tadi, bukankah kita menemukan beberapa helai bulu ayam?"
"Ah!" Titisari terkejut. Si sembrono Fatimah mengapa membiarkan bulu ayam masih terte-bar di halaman? Mengingat dirinya pun tiada menyingkirkan bulu ayam tersebut, tak dapat pula ia terlalu menyalahkan gadis itu. Siapa mengira, benteng tua ini bakal kedatangan tamu begini banyak?
Cocak Hijau tertawa terbahak-bahak sambil membanting sarung pedangnya ke tanah.
"Hebat tentara kerajaan. Meskipun mereka hanya sebangsa kantong-kantong nasi, tapi Pangeran Ontowiryo bisa memimpin begitu baik. Mereka bisa melawan dan bertahan dari desa ke desa, sampai arwah-arwah teman-teman kita tak merasa aman lagi. Kita kini terkurung dan dikejarnya. Untung! Pangeran Bumi Gede meskipun masih begini muda, tetapi bisa menyelamatkan kita semua. Bagus! Selamat!"
Terang sekali pendekar Cocak Hijau sedang menyanjung-nyanjung Pangeran Bumi Gede untuk memperoleh hati. Namun sikap Pangeran Bumi Gede tetap beku. Dahinya berkerut-kerut seakan-akan sedang meng-hadapi soal hidup dan mati.
"Seratus enam puluh tahun yang lalu, ben-teng ini dibangun kompeni Belanda untuk melawan pemberontakan Trunajaya. Inilah benteng lambang kekalahan Trunajaya. Kini kitapun terperangkap dalam benteng ini. Apakah artinya ini?"
Para pendekar yang mendengar ucapan Pangeran Bumi Gede heran bercampur gelisah. Maklumlah, mereka hanya pandai berkelahi. Tentang pengetahuan sejarah dan kebudayaan, rata-rata pengetahuan mereka nihil.
Beberapa waktu kemudian, masuklah beberapa prajurit membawa dua meja dan enam belas kursi. Entah dari mana mereka peroleh. Tapi melihat sepak terjang mereka, pastilah perabot itu hasil rampasan dari desa-desa yang berada di sekitar benteng.
"Hari ini Paduka memperoleh persembahan penduduk," ujar Yuyu Rumpung. Sudah barang tentu ia membohong. Pangeran Bumi Gede tahu tentang hal itu, tapi ia bersikap diam. Katanya lagi, "mereka mempersem-bahkan pula beberapa ekor ayam dan mi-numan keras. Inilah suatu bukti, betapa besar pengaruh nama Paduka. Kami percaya, bahwa di kemudian hari Paduka akan berhasil menduduki tahta kerajaan menggantikan Hamengku Buwono II yang tak becus memerintah negeri."
Betapapun juga, kata-kata Yuyu Rumpung itu mengenai sasarannya. Pangeran Bumi Gede nampak bergirang. Wajahnya yang bersungut-sungut, lambat laun menjadi terang. Terus saja ia memungut segelas minuman keras dan diteguknya sekali habis. Dan pendekar-pendekar lainnya segera menirukan perbuatannya.
Sangaji yang mendengar ucapan Yuyu Rumpung jadi terkejut. Meskipun hal itu bukanlah soal baru, tapi tak pernah ia percaya bahwa Pangeran Bumi Gede benar-benar berani menggerakkan tentara dan dengan terang-terangan melawan Sultan.
Begitu ia terkejut, napasnya lantas saja menjadi sesak. Titisari tersentak. Sebagai seorang gadis yang cerdik dan berotak encer, tahulah dia apa sebab musababnya. Terus saja ia mengeraskan genggamannya. Ia mencoba mendorong lebih keras. Namun napas Sangaji masih saja sesak. Inilah bahaya. Maka buru-buru ia menempelkan kepalanya menghampiri daun telinga. Kemudian berbisik, "Ingat kesehatanmu! Mereka boleh memiliki rencana. Tapi masakan pemimpin-pemimpin kasultanan terdiri dari manusia-manusia goblok semua."
Bisikan Titisari itu masuk nalar dan bisa diterima. Teringatlah dia—mereka tadi mem-bicarakan Pangeran Ontowiryo. Dia sendiri belum berkenalan, tapi pernah melihatnya. Mengingat lagak lagu mereka yang mengan-dung jeri dan hormat, pastilah Pangeran Ontowiryo bukanlah seorang prajurit sem-barangan. Memperoleh pikiran demikian, hatinya jadi tenang. Perlahan-lahan napasnya jadi longgar lagi.
Titisari mengintai pula dan bertepatan dengan tangan Pangeran Bumi Gede menaruh-kan cawannya di atas meja. Lalu berkatalah pangeran itu, "Semuanya ini adalah jasa sang maha perwira Aria Singgela. Coba, andaikata tiada beliau, pastilah kita akan menghadapi suatu keadaan yang maha sulit. Dari Beliau pula kita memperoleh kepastian, bahwa kedua pusaka Bende Mataram kini berada di tangan bocah Sangaji."
Aria Singgela alias Kebo Bangah tertawa mendongak mendengar pujian Pangeran Bumi Gede. Suara tertawanya parau, pecah dan keras seperti setumpuk piring seng pecah berantakan. Hati Sangaji berdenyut mende-ngar suara tertawanya. Pikirnya, apa sebab dia bisa mengetahui, bahwa kedua pusaka Bende Mataram ada padaku? Pikirannya bekerja dengan keras. Mendadak saja teringatlah dia, sampai badannya tergetar. Bisiknya berkomat-kamit, "Aha ya! Sebagai seorang pendekar sakti, pastilah dia bisa melihat jejak tanah. Karena dia musuh utama Paman Gagak Seta, masakan takkan segera mengetahui sudut tolak ilmu Kumayan Jati?"
Titisari jadi kebingungan. Darah Sangaji terasa berdesir tak karuan, sehingga jan-tungnya sendiri ikut terguncang. Tak disadari sendiri, terietuplah doanya. "Ya Tuhan sarwa alam! Usirlah si kebo bangkotan itu dari sini.
Kalau dia ngoceh lebih lama lagi, bisa-bisa Sangaji mati kaku dibuatnya ..."
"Tempat ini terasing dan bagus letaknya..." kata Kebo Bangah. "Sebagian laskar kita masih tersebar di jauh sana. Pastilah laskar kasultanan takkan bisa sampai di sini. Eh, Paduka, sebenarnya desa ini bernama apa?"
"Sebelah itu adalah Desa Randugunting. Dan di sebelah utara, Krajan dan Karangmaja. Gundukan ini sendiri di sebut Pasetran."
"Pasetran? Alangkah bagus!" sahut Kebo Bangah lagi dengan tertawa riuh. "Paduka pernah membicarakan perkara kedua pusaka peninggalan Bende Mataram. Di desa sesunyi ini, kurasa bagus sekali untuk mendengar keterangan-keterangan tentang rahasia pusa-ka warisan tersebut. Aku yang sudah tua, pasti akan merasa bertambah pengetahuan dan pengalaman..."
Di dengar dari lagu suaranya, Kebo Bangah nampak mengalah terhadap Pengeran Bumi Gede. Tapi dalam hatinya sebenarnya tidak. Tentang kedua pusaka itu, sudah lama ia mendengar kabarnya. Hanya baginya masih gelap. Ia mendengar laporan kemenakannya, bahwa Pangeran Bumi Gede sangat gandrung kepada pusaka itu. Timbullah dugaannya bahwa pangeran itu pasti mengetahui lebih banyak daripada dirinya sendiri. Selain itu mestinya sudah mempunyai pegangan kuat. Kalau tidak, masakan begitu bernafsu dan berani mengeluarkan biaya-biaya tidak ringan. Dan apabila dia nanti memperoleh keterangan lengkap, ia berniat hendak mengangkangi sendiri. Tapi apabila hanya merupakan benda keramat yang tiada arti untuk sesuatu ilmu sakti, ia akan sudi mengalah. Benda itu akan dipersembahkan kepada Pangeran Bumi Gede. Dengan demikian, ia akan tercatat sebagai orang yang pernah berjasa. Di kemudian hari pasti mempunyai perhitungan sendiri.
Pada saat itu semua mata mengarah kepada Pangeran Bumi Gede. Titisari dan Sangaji pun tak terkecuali. Pikir gadis itu, kalau boleh berbicara sebanyak-banyaknya. Kedua pusaka itu kini sudah berada dalam tangan Sangaji. Kalau ada artinya, bukankah merupakan suatu karunia besar bagi Kangmasku?
"Dua puluh dua tahun yang lalu, aku pernah dipanggil ayahku menghadap padanya." Pangeran Bumi Gede mulai. "Beliau mengabarkan tentang benda pusaka Bende Mataram yang pada zaman bahari memerintah tanah Jawa untuk yang pertama kalinya. Barangsiapa dapat memiliki pusaka-pusaka Bende Mataram, akan bisa memerintah negeri sebagai hak waris. Di atas benda-benda peninggalan itu, tergurat beberapa baris perkataan sakti. Entah mengenai apa, hanya malaikat yang tahu. Tapi cara bagaimana orang bisa menemukan guratan itu, masih pula merupakan suatu teka-teki pula."
Sampai di sini Pangeran Bumi Gede tak berbicara lagi. Orang-rang tak dapat mende-saknya, karena sesungguhnya mereka kurang mengerti guna faedah benda peninggalan itu. Sebaliknya Kebo Bangah merasa tak puas. Meskipun berlagak tenang dan tak pedulian, tetapi kentara benar betapa resah hatinya.
"Pangeran! Masakan Pangeran sama sekali buta tentang rahasia itu," ia mencoba men-desak.
"Hm, selama hidupku, aku hanya pernah melihat. Meraba apalagi memiliki, belum per-nah. Karena itu, tak dapat aku mempunyai kesempatan untuk menyelidiki," sahut Pa-ngeran Bumi Gede pendek.
Kebo Bangah menghela napas. Tahulah dia, bahwa Pangeran Bumi Gede tak dapat didesaknya lagi. Memang ia boleh cerdik, licin dan licik. Tetapi Pangeran Bumi Gede mem-punyai kecerdikan, kelicinan dan kelicikan jauh berlebih. Dengan ia mengarah kepada Sanjaya dan berkata memerintah. "Anakku,
Sanjaya! Ayahmu kurang jelas tutur katanya. Apakah engkau bisa melengkapi?"
Sanjaya tertawa lebar. "Pengetahuanku tak melebihi sang Dewaresi. Silakan Paman minta keterangan padanya."
Kalau saja tidak berada di depan Pangeran Bumi Gede, Kebo Bangah sudah menghajar Sanjaya kalang kabut, karena berani men-jawab demikian. Dalam kegusarannya ia tertawa panjang dan keras sampai genting-genting kena tergoyang. Betapa hebat tenaga saktinya sudah bisa dibayangkan. Mau tak mau, para pendekar yang biasanya membawa adatnya diam-diam meringkaskan hati. Mereka tak berani berlagak secara berlebih-lebihan lagi.
Pada saat itu masuklah seorang pemuda tegap usia pertengahan yang mengenakan pakaian putih. Dialah sang Dewaresi keme-nakan Kebo Bangah. Begitu masuk, lantas saja membisiki Kebo Bangah. Wajahnya nam-pak bersungguh-sungguh sampai orang-orang lainnya ikut menaruh perhatian.
"Bagus!" seru Kebo Bangah. Kemudian menghadap Pangeran Bumi Gede. Berkata meneruskan, "karena rejeki Paduka, jejak bocah Sangaji sudah bisa diketemukan. Nah, biarlah aku sendiri menangkap bocah itu."
Sehabis berkata demikian, ia lalu keluar benteng diikuti kemenakannya. Pangeran Bumi Gede tak tinggal diam. Terus saja ia memerintahkan sekalian pendekar meng-amat-amati Kebo Bangah dari kejauhan dengan tugas merampas benda peninggalan itu. Meskipun Kebo Bangah gagah, masakan bisa melawan keroyokan mereka, pikir Pangeran Bumi Gede.
Tatkala Sanjaya bergerak hendak ikut serta, Pangeran Bumi Gede memanggilnya. Kemudian dengan suara lembut, ia berkata, "Anakku Sanjaya! Biarkan mereka pergi. Kau tak usah ikut campur dengan mereka. Mari kita berunding!"
Semenjak tadi Sangaji dan Titisari me-numpahkan seluruh perhatiannya kepada gerak-gerik mereka. Hati mereka tergetar, sewaktu mendengar kabar bahwa sang Dewaresi sudah menemukan jejaknya. Pikir mereka, apakah Fatimah kena tangkap? Selagi mereka sibuk menimbang-nimbang, mendadak dilihatnya Pangeran Bumi Gede memanggil Sanjaya. Mendengar kata-kata berunding, hati mereka tertarik. Hati-hati mereka menajamkan telinga dan berusaha menangkap tiap patah kata yang terbersit dari mulut Pangeran Bumi Gede dan Sanjaya.
Dalam pada itu Sanjaya sudah duduk menghadap ayah angkatnya, la nampak bersungguh-sungguh dan sinar matanya menyorotkan pandang cinta kasih tak terhingga.
"Ayah hendak berkata apa? Silakan!" katanya.
Pangeran Bumi Gede nampak menghela napas. Berkata setengah berbisik, "Marilah kuterangkan padamu, apa sebab aku begitu bersungguh-sungguh berusaha memiliki benda pusaka Bende Mataram. Selain kete-rangan-keterangan yang pernah kukatakan kepadamu, sesungguhnya masih ada yang kusembunyikan. Sekarang adalah saat hidup dan mati. Kita sudah bergerak dengan terang-terangan. Di kemudian apabila aku gagal, aku berharap engkaulah yang akan melanjutkan perjuangan ini. Dengarkan!" Pangeran Bumi Gede berhenti mencari kesan. Kemudian meneruskan, "banyak sekali kita mempunyai pejuang-pejuang serba berani dan serba sakti. Tapi hanya satu dua orang saja yang berhasil. Satu, Pangeran Mangkubumi. Dua, Trunajaya. Tiga, Untung Surapati. Apa sebab, anakku? Selain memperoleh dukungan rakyat, mereka memiliki siasat di luar dugaan orang. Trunajaya misalnya, ia bisa sampai menduduki istana Mataram. Konon dikabarkan, ia menanam harta bendanya di tempat-tempat tertentu yang sangat dirahasiakan. Sampai kini, orang belum berhasil menemukan jejak pendaman hartanya. Karena mereka yang ditugaskan memendam harta itu, lantas dibunuhnya. Sesungguhnya ingin aku meniru sepak terjang Trunajaya, pahlawan terbesar dalam zaman ini. Tapi belum lagi hal itu terlaksana, Gusti Patih sudah menentang Sultan dengan terang-terangan sehingga mau tak mau kita harus menggerakkan tentara. Pada saat ini, kompeni Belanda sudah berada di Semarang. Sewaktu-waktu mereka akan membantu menerjang dari utara."
"Apakah Ayah akan memendam harta di sepanjang desa sebagai modal perjuangan?" potong Sanjaya.
"Ya. Aku mengharapkan kedua pusaka sakti itu."
"Kedua pusaka sakti?"
Pangeran Bumi Gede tersenyum. Kemudian dengan memegang pundak Sanjaya, ia berka-ta meyakinkan. "Ayahku dahulu mempunyai naskah yang menceritakan rahasia dua ben-dah pusaka Bende Mataram. Ketahuilah, apabila guratan sastra sandi itu bisa terbaca, aku percaya bahwa kita akan memperoleh pula harta terpendam. Coba perhatikan dengan saksama nama istana Pangeran Semono. Disebutkan ia bertahta di Gunung Pendem. Benarkah istananya bernama Gunung Pendem? Apakah bukan suatu sastra sandi yang mewartakan, bahwa kemungkinan besar sekali Pangeran Semono memendam seluruh harta kerajaan pada suatu tempat tertentu?"
Sebagai seorang anak yang dibesarkan dalam istana, Sanjaya memperoleh pen-didikan baik mengenai ilmu sastra. Gurunya selalu mengesankan, bahwa orang-orang Jawa gemar sekali menciptakan kata-kata dan ucapan-ucapan sandi untuk mewartakan peristiwa sesungguhnya. Karena itu, dugaan Pangeran Bumi Gede—mungkin pula benar. Perkataan gunung itu mungkin istilah harta benda yang tak ternilai banyaknya.
"Tetapi andaikata kedua benda itu tak dapat kita peroleh dengan segera, apakah yang akan Ayah lakukan?" la mencoba minta penegasan.
Pangeran Bumi Gede menarik tangannya. Wajahnya merenungi di kejauhan. Lalu men-jawab, "Segalanya sudah terjadi. Gusti Patih terlalu tergesa-gesa. Memang jalan pikirannya menurut nalar bisa dibenarkan, la tak dapat mempercayai teka-teki itu. Yang nalar ialah, kita harus minta bantuan kompeni. Tujuan kita harus menang! Kalau perlu, seluruh kerajaan, kita janjikan kepada kompeni sebagai hak rampasannya..."
Mendengar ucapan Pangeran Bumi Gede, hati Sangaji tergetar. Seketika itu juga, darah-nya berdesir. Seluruh tubuhnya hampir menggigil. Karuan Titisari jadi gugup. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menguasai. Tetapi betapa ia bisa melawan tenaga sakti Sangaji. Karena itu, ia mencoba: "Aji, mereka memang bangsat! Tapi ingatlah dahulu kesehatanmu. Kita nanti turun bersama. Sabarlah barang sebentar! Bukankah mereka sedang mem-bicarakan perkara rahasia kedua pusaka sakti?"
Teringat kedua pusaka warisan itu sudah berada dalam genggamannya, hatinya agak tenang. Sedikit demi sedikit ia mencoba me-nguasai diri.
Dalam pada itu keadaan dalam ruang bawah jadi sunyi. Titisari mengintip ke bawah dan melihat dua orang itu berenung-renung membawa lamunannya masing-masing.
Pangeran Bumi Gede kelihatan lelah. Berkali-kali ia mencoba menguasai ucapan-nya, sambil bersandar di kursinya. Akhirnya ia tertidur juga tanpa disadari sendiri. Sanjaya merenungi dengan wajah berubah-ubah. Mendadak saja terdengar suara kaki mendatangi. Cepat ia menghunus goloknya dan berdiri di samping ambang pintu.
Ternyata yang datang ialah Fatimah. Satu malam penuh ia berada di luar benteng entah pergi ke mana. Tatkala pulang ia melihat ben-teng penuh manusia. Apabila para pendekar keluar berserabutan, tanpa ragu-ragu lagi ia memasuki benteng. Sikapnya acuh tak acuh dan tak pedulian. Seolah-olah tak memper-hatikan Sanjaya dan Pangeran Bumi Gede, ia terus berjalan memasuki guanya. Kemudian tidur merebahkan diri di atas tempat tidurnya. Selang beberapa saat, ia tertidur mendengkur. Terang sekali, ia lelah. Rupanya satu malam penuh ia tak tidur.
Melihat bahwa gadis itu tidak berbahaya, hati Sanjaya lega. ia menghampiri Pangeran Bumi Gede lagi-sambil membawa goloknya yang masih saja terhunus.
Bunuh! Bunuhlah! seru Sangaji dalam hati. Jantungnya berdegupan penuh harapan. Inilah bahayanya bagi kesehatannya yang sudah agak mereda.
"Aji! Tenang!" bisik Titisari gugup.
"Lihat!" Sangaji menyahut sambil menunjuk ke bawah.
"Ya—ya, aku tahu. Kau ingin membunuh musuh ayahmu. Hal itu gampang sekali. Aku berjanji akan membawa ayahku ikut serta. Apa artinya pengeran jahanam itu bagi ayah?..."
Sebenarnya benar ujar Titisari. Kalau saja Adipati Surengpati mau dibawa serta untuk membalas dendam, maka Pangeran Bumi Gede bukan berarti apa-apa baginya. Tapi saat itu, hati Sangaji tegang luar biasa. Betapa dia bisa menimbang-nimbang benar tidaknya suatu ucapan. Matanya masih saja melotot. Urat-uratnya mendosol dan tubuhnya menggigil.
"Aji!" Titisari jadi berputus asa."Ambilkan golokku! Aku bisa membunuhnya dari sini,..." sahutnya.
Titisari percaya, Sangaji bisa menyambitkan goloknya dari ruang atas. Tapi hal itu berarti tempatnya telah ketahuan. Kalau sampai ketahuan, malaikat sendiri belum tentu bisa menolong membebaskan ancaman bahaya. Karena itu ia berkutat mati-matian untuk menyabarkan kekasihnya. Katanya membu-juk, "Aji! Ibumu dan aku menghendaki kau hidup sejahtera."
Kata-kata itu alangkah besar pengaruhnya dalam diri Sangaji. Ia terkejut dan tersadar. Mati-matian ia menenangkan pergolakan darahnya. Tapi masih saja ia berbisik, "Hm... jika Sanjaya membunuhnya, aku akan mengabdikan seluruh hidupku kepadanya..."
Pada saat itu, Sanjaya menghela napas. Ia merenungi Pangeran Bumi Gede. Tangannya sudah bergerak. Melihat gerakan itu, Sangaji girang. Mendadak saja ia melihat wajah Sanjaya berubah menjadi lesu. Tangan itu hanya bergerak untuk menyimpan goloknya.
"Ah! Benar-benar anak tersesat!" keluh Sangaji. "Mengapa tak teringat, bahwa ayah-nya menjadi korban kelicikan pangeran itu?"
Dilihatnya Sanjaya menanggalkan baju luarnya, kemudian diselimutkan kepada Pangeran Bumi Gede. Melihat pemandangan itu, Sangaji lantas melengos. Tak sudi ia menyaksikan betapa mesra sikap Sanjaya kepada pangeran itu.
"Sudahlah! Sahabatmu itu memang bukan manusia baik-baik. Tentang pembalasan den-dam adalah perkara gampang. Menurut Paman Gagak Seta, tenaga saktimu luar biasa kuat kini. Kalau kau sudah sehat, biarpun pangeran bangsat itu terbang ke ujung langit, masakan kau tak dapat mengejarnya?" kata Titisari.
Sangaji mengangguk. Pikirnya, ya bukan-kah ketiga ilmuku sudah manunggal? Teringat akan hal itu, hatinya tenang. Terus saja ia menenangkan diri dan duduk bersemadi. Tak terasa hari hampir mendekati senja. Manakala saat istirahat tiba, Sangaji nampak segar bugar. Sebaliknya Titisari kelihatan agak pucat. Meskipun demikian gadis itu bergembira. Katanya setengah bersorak, "Kita sudah melampaui satu hari satu malam. Tinggal enam hari lagi. Tapi semenjak kini kau harus patuh kepadaku!"
"Tentu! Kapan aku tak mendengarkan perkataanmu?"
Titisari tersenyum. Wajahnya yang agak pucat bersemu merah dadu. Dalam pertukaran tenaga, dialah yang menjadi korban. Maklumlah, keadaan hati Sangaji terguncang tak keruan. Untung dalam keguncangan itu, tangannya tetap menempel.
"Sungguh berbahaya!" keluh Sangaji. "Seumpama tiada engkau, pastilah nyawaku sudah melayang..."
Titisari tersenyum. Matanya berkilat-kilat, la nampak cantik sekali dalam cahaya remang senja hari. Tangan kirinya bergerak menyapu keringat Sangaji dan keringatnya sendiri. Sedangkan tangan kanannya tetap beradu dengan tangan Sangaji. Tak terasa hati Sangaji jadi tergetar. Alangkah lunak dan bersih lengan Titisari. Memikir demikian hatinya memukul.
Darahnya lantas saja tersirap. Itulah sebabnya gugup ia menenangkan diri lagi.
Selama berkenalan, belum pernah ia dihinggapi perasaan demikian. Dalam kegugupannya, wajahnya nampak merah. Diam-diam ia menyesali perasaannya sendiri.
"Eh—Aji! Kau kenapa?" tegur Titisari. Gadis itu melihat perubahan mukanya.
"Akulah yang salah. Mendadak saja aku memikir yang bukan-bukan," jawab Sangaji. la adalah seorang pemuda yang jujur. Dalam setiap katanya belum pernah ia berdusta.
"Kau memikir apa?"
"Aku memikir... memikir... Eh, tapi sekarang aku tak memikir lagi."
Pemuda itu menundukkan kepalanya. Tetapi Titisari tak puas dengan jawabannya. Mendesak lagi, "kau memikir apa?"
Sangaji merasa terdesak. Maka terpaksa ia menjawab, "Tiba-tiba aku dihinggapi pikiran ingin memelukmu dan menciummu..."
Sekarang Titisari yang jadi kikuk. Maklum-lah, sama sekali tak diduganya bahwa Sangaji memikir tentang keadaan dirinya. Mukanya terus saja berubah menjadi merah. Tapi justru demikian, kecantikannya makin bertambah. Hati Sangaji kian terguncang-guncang.
"Titisari! Kau menyesali aku?" Sangaji gugup. "Maafkan aku. Hmm, mengapa aku jadi lebih buruk dari pada sang Dewaresi?"
Titisari terkejut. Mendadak ia tertawa perla-han tapi menggairahkan. Katanya kemudian, "Tidak! Sama sekali tidak. Betapapun juga, di kemudian hari aku adalah milikmu. Kau boleh memelukku dan menciumku sesuka hatimu. Bukankah aku kelak menjadi isterimu?"
Mendengar jawaban itu, hati Sangaji lega luar biasa. Mukanya lantas saja menjadi terang bersinar. Mendadak Titisari berkata lagi, "Aji! Tatkala engkau dihinggapi pikiran hendak memeluk dan menciumi aku, apakah hatimu tergetar?"
Sangaji terhenyak sejenak. Tatkala hendak menjawab tiba-tiba didengarnya orang berlari memasuki ruang tengah. Lalu terdengar suara Manyarsewu dan Cocak Hijau saling memaki.
"Kau benar-benar percaya di dunia ini ada setan?" Itulah suara Manyarsewu. Dan Cocak Hijau menyahut, "kalau bukan setan, masakan mata kita tak dapat melihat bentuknya?"
"Haram jadah! Di siang hari masakan ada setan? Pastilah dia seorang berilmu yang se-ngaja mengganggu kita."
"Apa kau bilang?" bentak Cocak Hijau. "Boleh dia memiliki ilmu setinggi langit, masakan kita bisa diganggunya seperti ini?"
Titisari dan Sangaji mengintip dari lubang dinding. Mereka melihat kedua pendekar itu saling berhadapan dan memeriksa keadaan tubuhnya. Muka mereka penuh darah. Ter-nyata masing-masing kehilangan sebuah teli-nga. Mulutnya bengkak. Tatkala meludah, ternyata menyemburkan gumpalan darah. Beberapa biji giginya ikut rontok. Seperti dike-tahui orang-orang tua sangat merawat giginya. Karena mereka sadar apabila sekali rontok takkan bisa diperolehnya kembali. Kini ternyata mereka kehilangan beberapa buah gigi. Betapa mendongkol hatinya sudah bisa dibayangkan. Siapakah yang menghajar mereka begitu bengis?
"Hai! Apakah kau masih mengoceh saja perkara setan?" bentak Manyarsewu. "Kalau sampai terdengar rekan-rekan kita, apakah tidak memalukan?"
Terhadap Manyarsewu, Cocak Hijau agak segan. Bukan karena merasa kalah, tapi usianya lebih tua sedikit daripadanya.
"Tapi aku benar-benar heran. Masakan di kolong langit ini ada seorang begitu hebat ilmunya?" masih saja berkata.
Tak lama kemudian, rombongan para pendekar tiba pula. Merekapun dalam keadaan kalang kabut. Paling tidak, pakaian mereka rantas tak keruan. Lalu Manyarsewu me-nerangkan, bahwa dia hanya bertempur tiga jurus. Kupingnya terpotong dan pakaiannya terobek.
Kemudian ia meneliti rekan-rekannya. Ternyata muka mereka babak-belur dan matang biru. Yang lebih runyam adalah Yuyu Rumpung. Pendekar itu nampak tergunduli sampai polos. Deretan giginya hampir rontok semua. Karena itu ia menangis sedih. Bukan karena sakit, tapi teringat akan giginya. Lalu memaki kalang-kabut sambil membekap mulutnya.
Diam-diam Titisari jadi heran. Siapa yang sudah menghajar mereka begini hebat? Ia melemparkan pandang kepada Sangaji minta pertimbangan. Tetapi pemuda itupun nampak tercengang-cengang.
"Apakah kau percaya perkara setan?" tanya Titisari dengan berbisik.
Sangaji tersenyum sambil menggelengkan kepala. Sahutnya, "Meskipun andaikata ada, masakan muncul di siang hari bolong?"
"Jika demikian, pastilah mereka bertemu dengan seorang yang berilmu tinggi. Pada zaman ini siapakah yang melebihi ayahku, Paman Gagak Seta, Paman Kebo Bangah dan eyang gurumu?"
Selagi mereka sibuk menebak-nebak, di bawah sana terdengar dua orang berlarian dengan memaki-maki pula. Ternyata mereka adalah pendekar Wongso Udel dan Sa-wungrana. Mereka terikat erat dari kaki sampai lehernya. Melihat pemandangan itu, baik Titisari maupun Sangaji bertambah heran.
"Mengapa Aria Singgela belum kembali?" terdengar suara Pangeran Bumi Gede setelah diam sekian lamanya. "Apakah diapun berte-mu dengan hantu...?" -
"Bertemu dengan hantu?" sahut Sanjaya "Andaikata benar, tak mungkin ia kena dikalahkan..."
Hebat kata-kata Sanjaya ini. Para pendekar merasa seperti ditempeleng. Bukankah ucap-an itu berarti bahwa mereka tak becus meng-atasi kesulitan? Karena itu mereka berdiam diri tak berani berlagak.
"Kutaksir mereka kena hajar Paman Gagak Seta," tiba-tiba Titisari berbisik dengan rasa puas.
"Apa sebab kau bisa menduga demikian?" Sangaji minta keterangan.
"Kalau benar-benar hantu, takkan mungkin memilih lawan. Apa sebab hantu itu tiada mencegat Paman Kebo Bangah? Hm, ayahku memang mampu berbuat demikian. Tapi dia tak pernah bergurau. Berbeda dengan Paman Gagak Seta."
Dugaan Titisari memang tepat. Yang meng-hajar mereka sesungguhnya adalah Gagak Seta. Seperti diketahui ia berusaha mencari Adipati Surengpati. Belum lagi bisa dikete-mukan, ia melihat rombongan pendekar undangan Pangeran Bumi Gede mendaki gundukan. Teringat akan keadaan Sangaji, segera ia berbalik. Dan begitu melihat perginya Kebo Bangah, terus saja ia berniat menggoda dan membuat mereka jeri sendiri. Ia mengenakan topeng dan mencegat mereka di tengah jalan. Tak usah diterangkan lagi, bahwa mereka merupakan mainan empuk bagi pendekar sakti itu. Meskipun jumlahnya banyak bukanlah menjadi soal. Dalam hal ini ia bekerja dengan Fatimah, yang mau menjadi pengamat gerak-gerik mereka. Ternyata Fatimah bisa membawa diri. Dengan berlagak sebagai seorang gadis desa yang tolol, ia bisa mengelabui Sanjaya.
Setelah dapat menebak siapa yang menjadi hantu. Titisari dan Sangaji segera melan-jutkan pengobatannya. Mereka saling men-dorong dan menerima. Sebentar saja mereka tenggelam dalam kesibukannya masing-masing.
Manyarsewu, Cocak Hijau, Yuyu Rumpung, Abdulrasim, Sawungrana dan para pendekar lainnya mulai teringat urusan perut mereka. Seketika itu juga mereka jadi sibuk. Mereka melihat Pangeran Bumi Gede belum ada tanda-tandanya hendak meninggalkan ben-teng. Lantas saja mereka menyerbu desa-desa dan merampas apa saja yang dapat dirampas. Mereka adalah sebangsa pendekar yang biasa bergerak dengan bebas dalam masyarakat. Selamanya mereka ditakuti, disegani dan dihormati rakyat. Sepak terjang mereka tiada yang berani melawan. Karena itu lambat laut mereka merasa dunia ini seakan-akan menjadi miliknya sendiri. Segala tata tertib pergaulan manusia tiada diindahkan sama sekali. Maka celakalah rakyat yang kena serbuannya. Kecuali kehilangan hak miliknya, mereka disakiti matang biru.
"Hai!" tiba-tiba Cocak Hijau mendongak ke atas. "Kalau malam ini sri paduka belum meninggalkan benteng, bukankah lebih baik kita tidur di kamar atas itu?"
Manyarsewu yang diajaknya berbicara men-dongakkan kepalanya pula ke atas. Mulutnya yang kian membengkak tak dapat merdeka digerakkan, sehingga ia hanya memanggut-manggut saja tanda setuju.
"Bagus! Nah, marilah kita periksa!" seru Cocak Hijau.
Mendengar seruan Cocak Hijau, Titisari terkejut setengah mati. Waktu itu, ia sedang menerima dorongan tenaga sakti Sangaji yang bergolak sedikit demi sedikit. Apabila sampai terganggu, bahayanya tak dapat digambarkan lagi. la mendengar langkah Cocak Hijau memanjat tangga. Ia jadi bingung dan cemas.
Kalau saja aku bisa melepaskan tangan kiriku, aku bisa mengambil senjata biji sawo, pikirnya sibuk dalam hati. Mau ia bisiki telinga Sangaji agar beristirahat. Tetapi pada saat itu Sangaji baru sampai pada taraf menentukan. Urat nadinya yang tergeser dari tempatnya, mulai didorongnya sedikit demi sedikit ke tempatnya semula.
Selagi ia bingung dan cemas, langkah Cocak Hijau sudah hampir mendekati ambang pintu. Mendadak saja, ia mendengar langkah itu berhenti dengan tiba-tiba. Karena curiga ia mengintip dari celah dinding. Betapa heran-nya, ia melihat Cocak Hijau berdiri terpaku mengawaskan genting. Mulutnya kemudian berkomat-kamit.
"Hantu?"
Mendadak saja ia membalikkan badan dan lari berserabutan ke bawah. Sudah barang tentu Manyarsewu jadi keheran-heranan. Ingin ia memperoleh keterangan, tapi mulutnya terasa amat kaku seolah-olah terlengket erat.
"Gampang perkara kamar itu," kata Cocak Hijau terengah-engah. "Mari kita mencari penginapan lain saja."
"Mengapa?" Manyarsewu memaksa diri untuk minta penjelasan.
"Setan!" sahut Cocak Hijau sambil lari ngiprit. Mau tak mau karena melihat wajah dan suara Cocak Hijau bernada sungguh-sungguh, Manyarsewu lantas ikut lari dengan kepala menebak-nebak.
Pangeran Bumi Gede sendiri tak lama kemudian meninggalkan benteng dengan dikawal Sanjaya. Pangeran itu sibuk dengan rencananya sendiri. Melihat sepak terjang para pendekar yang tak karuan macamnya, ia jadi sebal. Teringat bahwa Kebo Bangah dan sang Dewaresi belum muncul, ia jadi gelisah. Diam-diam ia menaruh curiga kepadanya. Dengan demikian, benteng jadi sunyi senyap.
Titisari waktu itu masih tercengang-ce-ngang. Tak habis-habis ia berpikir, apa sebab pendekar Cocak Hijau yang biasanya beradat berangasan dan bengis, mendadak bisa lari pontang-panting perkara hantu. Apakah Gagak Seta berada di atas genting, ia menco-ba menebak. Karena tangannya harus senan-tiasa menempel tak dapat ia bergerak dengan leluasa. Terpaksa ia menunggu. Tak usah lama, teka-teki itu segera terjawab. Genting di sebelah ruang atas tiba-tiba memperdengar-kan suaranya. Kemudian sesosok bayangan meloncat turun dengan ringan. Dialah Fatimah si gadis angin-anginan. Tatkala lewat di depan pintu kamar, ia berkata tanpa menoleh.
"Hai! Bagaimana pendapat kalian? Apakah perananku kurang bagus?"
Tanpa menunggu jawaban, ia terus turun ke bawah dan keluar benteng dengan menggendong tangannya di belakang punggung. Tahulah Titisari, bahwa yang jadi hantu tadi sebenarnya Fatimah. Untung baginya. Cocak Hijau pernah merasakan aniaya hantu yang menghadangnya di tengah jalan. Dengan sendirinya ia masih jeri. Coba, apabila tahu bahwa yang jadi hantu kali ini adalah Fatimah, dengan sekali hantam masakan tak sanggup merubuhkan.
Titisari tertawa lebar. Kini, ia tiada ragu-ragu lagi terhadap gadis itu. Malahan diam-diam ia merasa berhutang budi. Teringat bahwa kemungkinan-kemungkinan yang lain akan terjadi, pikirnya mulai bekerja keras, la tak mau percaya bahwa Cocak Hijau benar-benar takut kepada setan. Kalau keberaniannya mulai tumbuh kembali, pastilah dia akan datang memeriksa lagi.
Selagi berpikir keras, sekonyong-konyong ia mendengar langkah ringan memasuki ruang dalam. Ia mau menduga—Itulah Fatimah. Ingin ia memanggilnya untuk diajaknya berunding, tatkala mengintip dari celah din-ding, ternyata bukan Fatimah. Yang datang adalah seorang gadis jelita, lembut dan ber-pakaian rajin.
Gadis itu seperti sudah untuk beberapa kali memasuki benteng. Ternyata tatkala melihat deretan kursi dan meja, ia mundur setengah langkah. Ia mengembarakan mata, kemudian melepaskan seruannya, "Fatimah! Aku datang!"
Titisari menjadi heran. Apabila diamat-amati, gadis itu tak asing lagi baginya. Dialah Gusti, Ayu Retnaningsih yang dikabarkan sebagai calon isteri Pangeran Ontowiryo. Dahulu ia pernah berkenalan di Desa Gebang.
"Aji!" ia berbisik. "Bukankah dia Gusti Ayu Retnaningsih murid pamanmu, Suryaningrat? Mengapa dia datang kemari juga dan agaknya sudah kenal Fatimah?"
Sangaji masih saja tenggelam dalam semadinya. Karena itu tak sempat menjawab bisikan Titisari. Melihat Sangaji tak menaruh perhatian, Titisari melemparkan pandangan-nya kembali kepada Gusti Ayu Retnaningsih dengan kepala penuh teka-teki.
Tatkala itu, masuklah Fatimah dari pintu belakang. Begitu melihat Gusti Ayu Retna-ningsih, lantas saja berlarian kemudian memeluk erat.
"Retnaningsih! Kau begini sudah besar!" serunya girang.
Gusti Ayu Retnaningsih tak kurang-kurang pula girangnya. Hanya saja dalam kegirangan-nya pandangannya sayu melihat keadaan Fatimah.
Rasa heran Titisari kian meningkat. Pikirnya, siapa sih sebenarnya Fatimah ini? Nampaknya dia begitu akrab dengan anak ningrat itu.
Kebetulan sekali, sewaktu itu Sangaji sudah mulai menarik tenaga hisapannya. Setelah mengatur tata napasnya, perlahan-lahan matanya terbuka. Terus saja ia mengarahkan pandangannya ke bawah sana dan melihat pertemuan mesra antara Fatimah dan Gusti Ayu Retnaningsih.
"Kau masih belum juga bersedia keluar dari sini?" kata Gusti Ayu Retnaningsih menegas.
Fatimah melepaskan pelukannya sambil menggelengkan kepala. Sejenak kemudian menyahut. "Selama dia sendiri tidak membawa aku... aku akan tetap menunggu di sini."
Gusti Ayu Retnaningsih menghela napas, la duduk di atas kursi sambil terus merenungi Fatimah.
"Baiklah kuwartakan kepadamu," la berkata lembut. "Kakakmu sebenarnya sudah datang dari perantauan."
Mendengar kata-kata Gusti Ayu Retna-ningsih, Fatimah nampak kaget sampai tersentak. Matanya berkilatan, kemudian maju satu langkah sambil berkata kurang yakin. "Kalau benar-benar sudah datang, mengapa dia belum kemari? Bukankah dia harus meninjau makam ayah bunda?"
"Kau tak percaya?"
Fatimah menggelengkan kepala. Dan dengan sinar tajam Gusti Ayu Retnaningsih berusaha meyakinkan. "Masakan kau tak mempercayai wartaku ini. Kapan aku pernah berbohong padamu?"
"Kau bohong atau tidak, apa peduliku? Manusia manakah di dunia ini yang tak pernah membohong?" sahut Fatimah cepat. Rupanya wataknya yang angin-anginan akan kumat. Sebaliknya Titisari dan Sangaji jadi tercengang-cengang. Mereka tahu Gusti Ayu Retnaningsih adalah puteri bangsawan. Tapi Fatimah begitu enak saja membawa adatnya. Padahal kesan dirinya tak melebihi seorang dayang belaka, meskipun memiliki beberapa kelebihan sedikit. Apakah dia keturunan bangsawan juga?
Sementara itu, Gusti Ayu Retnaningsih nampak menghela napas lagi. Lalu berkata tertekan-tekan, "Aku sendiri pernah bertemu dengan muridnya."
"Muridnya? Apakah dia mempunyai murid?"
"Hm, bukankah kepergiannya ke daerah barat adalah untuk menyusui calon murid-nya?" jawab Gusti-Ayu Retnaningsih. Dan mendengar jawaban itu, hati Sangaji memukul dengan keras. Meskipun masih samar-samar, kata-kata itu terasa seperti lagi membicarakan dirinya.
"Siapa?" Fatimah menegas.
"Namanya Sangaji. Apakah kau belum per-nah mendengar wartanya dari guruku?"
Bukan main terguncang hati Sangaji mendengar pernyataan itu, meskipun hatinya tadi samar-samar sudah dapat menebak. Terang sekali mereka lagi membicarakan gurunya Wirapati. Apakah hubungannya antara gurunya dan Fatimah? Teringat akan keadaan gurunya pada dewasa itu, hatinya lantas saja mengeluh. Tentu saja Titisari kembali terkejut untuk kesekian kalinya.
"Tenang! Tenang! Jangan kauturuti luapan hatimu. Perlahan-lahan bukankah kita bisa menyelidiki?"
Meskipun pandai, pada saat itu dugaan Titisari hanya benar separuh. Ia mengira Sangaji terharu karena Fatimah ternyata masih mempunyai hubungan dengan dia. Sama sekali tak diduganya, bahwa kekasihnya pada saat itu lagi terkenang kepada gurunya yang sedang menderita hebat di atas pem-baringan.
"Siapa? Sangaji?" Fatimah menegas.
Gusti Ayu Retnaningsih memanggut. Tak disadari sendiri Fatimah lantas saja mendo-ngak ke atas. Mulutnya berkomat-kamit:
"Ah! Apakah benar siluman itu murid kakakku?"
"Apakah kau pernah berjumpa?" Gusti Ayu Retnaningsih kini berganti heran.
Fatimah ragu-ragu. Pandangannya belum beralih dari ruang atas. Dalam pada itu Sangaji dan Titisari yang berada di ruang atas merasa seperti terpandang. Sekarang mereka baru mengetahui dengan jelas, apa sebab Fatimah bisa menggunakan jurus Wirapati.
Ternyata gadis itu adalah adik Wirapati. Soalnya kini, kapan Wirapati mengajari jurus itu kepadaya?
Sejenak kemudian, pandang Fatimah runtuh ke tanah. Perlahan-lahan ia memutar tubuhnya menghadap Gusti Ayu Retnaningsih, lalu berkata setengah berbisik, "Ya—aku pernah bertemu dan memukulnya beberapa kali."
Seperti air terluap dari bendungan. Gusti Ayu Retnaningsih meloncat dari kursinya. Berseru girang.
"Kau pernah bertemu? Di mana?"
Mendengar luapan suara Gusti Ayu Retnaningsih, Titisari mencubit paha Sangaji. Waktu itu masa istirahat. Dengan demikian tangan kiri Titisari bisa bergerak dengan merdeka.
"Kau dicari! Turunlah! Bukankah suatu pertemuan yang menggembirakan?"
Merah muka Sangaji digoda demikian. Buru-buru ia menangkis. "Sst! Bukankah perkenalanku bersama-sama dengan engkau? Aku sudah berada di sampingmu. Meskipun malaikat sendiri yang mencari, dengan aku berdiri."
Mendengar jawaban Sangaji, bukan main lega hatinya Titisari. Sinar matanya terus saja berkilat-kilat dan kepalanya diletakkan di atas pundak kekasihnya.
"Kau pernah bertemu di mana?" Gusti Ayu Retnaningsih mengulangi pertanyaannya, karena melihat Fatimah tetap membungkam.
Fatimah hendak menjawab, mendadak saja batal sendiri. Ia menyambar pergelangan ta-ngan gadis ningrat itu dan berkata penuh perasaan.
"Sebenarnya... aku ini adalah adik sepergu-ruanmu. Karena gurumu adalah guruku. Aku mempunyai seorang kakak yang mesti bisa mengajar aku. Tapi ia belum sempat bertemu denganku. Menurut Ibu... kakak adalah seorang pemuda yang manis. Semenjak Ayah meninggal dunia, ia diambil anak angkat oleh Eyang Guru. Aku ditinggal hidup seorang diri dengan Ibu sampai... sampai Ibu meninggal dunia. Ibu pesan, aku tak boleh meninggalkan makam beliau sebelum Kangmas Wirapati membawa aku pergi..."
"Kau adalah adik seperguruanku?" potong Gusti Ayu Retnaningsih. "Hm... benar... karena engkau datang sesudah aku. Tapi dalam hal ilmu kepandaian... kau berada jauh di atasku."
"Siapa bilang? Guru kita jarang sekali singgah ke mari. Aku seolah-olah dianggapnya tak pernah ada dalam dunia ini."
"Ah, kau terlalu perasa," sahut Gusti Ayu
Retnaningsih. Kemudian mengalihkan pem-bicaraan. "Bagaimana? Apakah kau belum mau meninggalkan tempat ini untuk menemui kakakmu?"
"Apakah Kakak sudi menerima aku?"
Gusti Ayu Retnaningsih berbimbang-bim-bang. Dan di atas sana Sangaji sedang menunggu jawaban gadis ningrat itu, sekalian mendengar warta tentang gurunya. Melihat sikap gadis ningrat itu, agaknya sudah menge-tahui bahwa gurunya dalam keadaan luka parah. Teringat akan penderitaan dan cinta kasih gurunya, hati Sangaji lesu. Tak disadari sendiri ia meraba-raba kantongnya.
"Kau mencari apa?" tanya Titisari.
"Aku mempunyai obat pemunah racun yang mengeram dalam tubuh guru dan obat penyembuhnya," jawab Sangaji pelahan. "Kau mau mengambilkan?" '
"Dari mana kau peroleh?" Titsari heran.
Sangaji kemudian menceritakan dengan singkat asal mula diperolehnya obat pemunah racun tersebut dari tangan Bagas Wilatikta. Mendengar keterangan itu, Titisari bergembira. Terus saja ia mengeluarkan obat dari kantong Sangaji dan diamat-amati.
"Titisari, berjanjilah!" kata Sangaji dengan sungguh-sungguh. "Tak peduli apa saja yang bakal terjadi, sudikah engkau menyampaikan obat pemunah ini kepada Guru?"
"Mengapa tak kau sendiri?"
"Siapa tahu... siapa tahu... barangkali aku... belum tentu selamat dari sini, mengingat banyaknya bahaya yang mengancam..." Sangaji tersekat-sekat.
"Hm... kalau kau mati, masakan aku akan hidup terus?" potong Titisari dengan suara bergemetaran. Dan Sangaji jadi terharu bukan main. Kepalanya menunduk ke ruang bawah.
"Apakah Kakak sudi menerima aku?" Fatimah terdengar menegas.
"Tentu... tentu..." jawab Gusti Ayu Retna-ningsih berbimbang-bimbang. "Soalnya... soalnya."
"Soalnya bagaimana?"
Gusti Ayu Retnaningsih hendak menyam-paikan keadaan diri Wirapati, tetapi ia sadar akibat warta buruk itu. Tatkala mulutnya hen-dak bergerak, mendadak di jauh sana terde-ngar suara langkah. Fatimah terkejut. Cepat ia lari ke pintu dan melongok ke luar halaman.
"Hai! Apakah itu pengiring-pengiringmu?" seru Fatimah.
Gusti Ayu Retnaningsih lari pula ke ambang pintu dan menjenguk ke luar. Ia melihat serombongan pasukan berkuda mengiringkan seorang pemuda berbaju putih dengan takzim. Wajahnya lantas saja berubah. Ternyata dia adalah tunangannya. Pangeran Ontowirjo.
"Sst! Fatimah!" bisik Gusti Ayu Retnaningsih gugup, "apakah engkau bisa menyediakan sekedar makanan dan minuman?"
Fatimah tercengang.
"Untuk siapa? Dia?"
Gusti Ayu Retnaningsih mengangguk.
"Eh... dia?" Fatimah menegas lagi. "Apakah engkau kenal padanya?"
Gusti Ayu Retnaningsih menundukan ke-pala. Raut mukanya bersemu dadu. Menyahut tak jelas.
"Kalau tiada halangan... dialah bakal ipar-mu."
Mendengar pernyataan Gusti Ayu Retna-ningsih, Fatimah terperanjat seperti tersengat lebah. Dasar wataknya angin-anginan, lantas saja ia melompat memeluk tiang.
"Bagus?" serunya girang. "Aku bakal mem-punyai ipar. Hanya saja tak dapat aku menye-diakan makanan dan minuman yang layak. Eh... siapa namanya?"
"Pangeran Ontowiryo. Mengapa?"
Kembali Fatimah terkejut sampai sejenak terhenyak. Maklumlah, hampir rakyat seluruh wilayah kerajaan tahu akan sepak terjang
Pangeran Ontowiryo yang kerap kali me-mimpin laskar memusnahkan perusuh-pe-rusuh negeri. Namanya termasyhur dan men-jadi pujaan penduduk.
"Kau benar-benar kejatuhan wahyu!" seru Fatimah lagi. Kemudian lari ke ruang belakang dengan sekencang-kencangnya sambil berka-ta, "Biarlah kucarikan dulu air kali dan batu-batu."
"Batu-batu? Untuk apa?" Gusti Ayu Retnaningsih minta penjelasan.
"Biar dia belajar menggerogoti batu-batu?" jawab Fatimah.
Meskipun ada hubungan keluarga perguru-an, agaknya Gusti Ayu Retnaningsih belum kenal watak Fatimah yang angin-anginan. Itulah sebabnya, begitu mendengar jawaban Fatimah, ia berdiri tegak terlongong-longong dengan kepala menebak-nebak. Sebaliknya Titisari dan Sangaji yang berada di ruang atas, mau tak mau tersenyum geli menyaksikan adegan itu.
"Gadis itu benar-bebar gendeng?" gerutu Titisari perlahan.
Dalam pada itu, Gusti Ayu Retnaningsih mulai sibuk memperbaiki letak pakaiannya. Kemudian berjalan ke ambang pintu hendak menyongsong kedatangan kekasihnya. Tapi ternyata Pangeran Ontowirjo tak jadi mema-suki halaman benteng.
Ia hanya duduk tegak di atas kudanya dengan mengamat-amati benteng. Sebagai seorang prajurit, benteng itu menarik perhatian-nya. Pengiring-pengiringnya menjajari dengan penuh waspada dan nampak mengadakan pembicaraan.
Beberapa waktu kemudian Pangeran Ontowirjo memutar kudanya. Dan dengan suatu isyarat tangan ia memerintahkan sekalian pengiringnya meninggalkan benteng, menuju barat laut.
Melihat Pangeran Ontowiryo meninggalkan benteng, Gusti Ayu Retnaningsih jadi kecewa. Mau ia berteriak memanggilnya, tapi segera mengurungkan. Martabatnya sebagai puteri bangsawan tidak mengizinkan berbuat demikian di tengah alam terbuka. Maka dengan laju ia menghampiri meja dan menghempaskan diri di atas kursinya. Lalu berdiam diri dengan pandang berme-nung-menung.
Selagi ia bermenung-menung, mendadak terdengar suara langkah mendekati ambang pintu. Dan muncullah seorang pemuda berpe-rawakan ramping yang berdiri terkejut begitu melihat Gusti Ayu Retnaningsih.
"Ah... maaf...," katanya gugup, "apakah aku salah masuk?"
Gusti Ayu Retnaningsih tak kurang-kurang kagetnya. Tatkala mendengar langkah kaki, ia mengharap kedatangan Pangeran Ontowiryo. Siapa tahu dia berubah pikiran dan datang melihat-lihat benteng. Di luar dugaan ia meli-hat seorang pemuda yang sama sekali asing baginya. Meskipun ia termasuk seorang puteri ningrat yang pernah berguru di luar istana dan mempunyai pergaulan agak luas, namun betapapun juga ia belum mempunyai pengucapan hati sebebas Fatimah atau gadis-gadis dari kalangan rakyat. Itulah sebabnya, tiba-tiba saja ia menjadi kemalu-maluan seolah-olah terbongkarlah rahasia hatinya. Dengan gugup pula menyahut sulit. "Tu... tuan mencari siapa?"
Pemuda berperawakan ramping itu, masih saja berdiri tegak seakan-akan kehilangan daya ingatan. Tak lama kemudian ia nampak berbimbang-bimbang.
"Sebenarnya... hendak aku berteduh. Di mana-mana terjadi pertempuran. Penduduk mengungsi sampai dusun-dusun jadi sepi... Apakah Nona juga berteduh di sini?"
"Tidak."
"Tidak?" pemuda itu tercengang. "Kalau tidak, apakah benteng ini milik keluarga Nona?" "Tidak."
Memperoleh jawaban tidak dua kali, pemu-da itu benar-benar heran. Dilayangkan matanya dan ia melihat beberapa deret kursi yang teratur berjajar menghadap meja pan-jang. Mendadak saja suatu ingatan menusuk benaknya, lalu minta keterangan.
"Apakah di sini markas suatu pergerakan?"
Belum lagi Gusti Ayu Retnaningsih men-jawab pertanyaan itu, Fatimah keluar dengan membawa niru besar penuh minuman. Begitu melihat pemuda ramping itu ia tersenyum manis. Mengira, bahwa pemuda itu Pangeran Ontowiryo dengan hormat ia mempersilakan.
"Apakah Pangeran tak sudi memasuki pon-dokanku? Jelek-jelek aku bakal iparmu."
Sudah barang tentu, pemuda itu terkejut bercampur heran, la sudah terkejut sewaktu dipanggil pangeran, mendadak mendengar pula istilah ipar. Yang kelabakan adalah Gusti Ayu Retnaningsih. Mau ia memberi keterang-an, tapi Fatimah sudah mengambil tindakan. Begitu habis meletakkan nirunya, terus saja ia melompat dan menarik tangan pemuda itu memasuki ruangan dalam.
"Duduklah! Masakan malu-malu segala?" katanya.
Pemuda ramping itu didorongnya duduk dan jatuh terhenyak di atas kursi dengan pandang terlongong-longong.
"Aku bukan pangeran," ia mencoba memberi penjelasan.
"Kau boleh mengaku apa saja. Masakan aku bisa kau kecoh?" bantah Fatimah dan terus menyodorkan minuman dan sepiring ketela Jawa. "Kaumakanlah! Sekali-sekali kau bela-jar menggerogoti batu!"
Sekarang jelaslah bagi Gusti Ayu Retna-ningsih, apa yang dimaksudkan menggerogoti batu-batu. Itulah ketela Jawa yang bentuknya seperti batu. Dasar pemuda itu lapar, maka tawaran itu merupakan suatu karunia baginya. Tanpa ragu-ragu ia menyambar ketela itu. Fatimah lantas saja mengerling genit kepada Gusti Ayu Retnaningsih sambil berkata, "Nah, kau temani kekasihmu. Bukankah di sini lebih bebas daripada dalam istana?"
Sehabis berkata demikian. Fatimah lari ke dapur dengan sekencang-kencangnya. Hati-nya girang bukan main, seperti kanak-kanak menemukan suatu permainan.
Yang merasa runyam adalah Gusti Ayu Retnaningsih. Wajahnya merah padam karena malu dan bingung. Pemuda yang berada di depannya tak kurang-kurang pula heran bercampur malu. Tapi dasar laki-laki, ia lebih berani menghadapi sesuatu persoalan. Setelah dua tiga kali diperlakukan Fatimah demikian rupa mendadak saja terbersitlah suatu perasaan naluriahnya. Diam-diam ia mulai mengamat-amati Gusti Ayu Retnaningsih. Pikirnya, dari mana gadis secantik ini? Pastilah dia bukan gadis desa...
Dalam pada itu, Titisari dan Sangaji yang mengintip di ruang atas ikut tertarik pula. Mula-mula mereka menduga yang datang ialah Pangeran Ontowiryo. Sama sekali mereka tidak mengetahui, bahwa Pangeran Ontowiryo mendadak saja berubah haluan. Maklumlah, mereka hanya mengandalkan kepada pembicaraan Gusti Ayu Retnaningsih dan Fatimah. Tapi begitu pemuda itu muncul di ambang pintu, mereka jadi heran. Terang sekali, dia bukan Pangeran Ontowiryo. Mes-kipun mereka hanya sekilas pandang melihat Pangeran Ontowiryo, tapi bagi mata mereka sudah cukup mengesankan.
"Lihat!" bisik Titisari. "Saudaramu sepergu-ruan bisa mati kaku dipermainkan begitu oleh Fatimah."
Sangaji adalah seorang pemuda perasa.
Mendengar dan menyaksikan sikap Fatimah terhadap pemuda itu, ia jadi geli bercampur iba. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk be-naknya. Tak terasa terlompatlah kata-katanya. "Ah! Diapun berada di sini?"
"Siapa?" Titisari heran
"Itulah Surapati murid Ki Hajar Karang-pandan," sahut Sangaji cepat. "Dialah dahulu yang dikirimkan Pangeran Bumi Gede ke Jakarta menjajal-jajal kemampuanku. Dahulu aku pernah dikalahkan sampai guruku Wira-pati menjadi gusar..."
Setelah ia menerangkan sejarah pertemuan-nya dengan Surapati lebih jelas lagi. Kemudian berkata mengandung cemas.
"Pangeran Bumi Gede adalah musuh Pangeran Ontowiryo. Celakalah kalau dia tahu, bahwa Gusti Ayu Retnaningsih adalah tunangan Pangeran Ontowiryo. Dia bisa dijual mentah-mentahan."
Sehabis berkata demikian, darahnya lantas saja tersirap sampai tubuhnya nyaris ber-goyangan. Tentu saja Titisari terkejut bukan kepalang. Cepat ia mendekap pinggang kekasihnya sambil berbisik, "Aji! Biar apa saja yang terjadi, kau kularang memikirkan dia, entahlah kalau aku tak berada di sam-pingmu."
Hebat pengaruh bisikan Titisari itu. Sebagai seorang pemuda yang halus perasaannya, tahulah dia ke mana maksud gadis itu. Pikirnya dalam hati, benar katanya. Kalau aku terlalu memikirkan gadis lain, bukankah berarti aku menusuk perasaannya?
Oleh pikiran itu, hatinya jadi tenang kembali. Kini ia bisa mengamat-amati kedua muda-mudi itu lagi dengan hati bebas.
Surapati waktu itu masih saja menggerumu-ti ketela Jawa dengan lahap sambil sekali-kali menyiratkan pandang kepada Gusti Ayu Retnaningsih.
"Sebenarnya siapakah Nona?" akhirnya ia memberanikan diri minta keterangan.
Gusti Ayu Retnaningsih tak segera menja-wab. Pandangannya runtuh kepada pinggang Surapati yang nampak mengenakan pedang panjang. Ia sadar akan suasana peperangan. Kalau bersikap terus terang jangan-jangan malah membahayakan diri. Maka dengan hati-hati ia membalas minta keterangan.
"Gadis tadi adalah sahabatku. Dan kau siapa?"
"Namaku Surapati. Secara kebetulan sekali, aku lewat di sini. Memang aku lagi mencari tempat berteduh. Desa-desa yang kulalui hampir semuanya menjadi sepi."
"Apakah engkau seorang prajurit?" "Tidak."
"Kalau engkau bukan seorang prajurit, apa sebab membawa-bawa pedang dalam per-jalanan?"
Memperoleh pertanyaan demikian, Surapati sejenak terhenyak. Ia diam menimbang sambil mengamat-amati pedangnya. Lalu menjawab, "Aku lagi mencari seorang temanku."
"Siapa?"
Sebenarnya pertanyaan ini tidaklah wajib dijawabnya. Tapi begitu matanya terbentur dengan pandang Gusti Ayu Retnaningsih yang cantik dan dengan penuh wibawa, mau tak mau runtuhlah hatinya. Dengan alasan tak sampai mengecewakan hati gadis itu, lantas saja ia menjawab, "Temanku itu bernama Sangaji. Ia berasal dari Jakarta. Menurut kabar, ia sudah hampir satu tahun berada di Jawa Tengah. Karena rasa rinduku, ingin aku mencari sampai ketemu."
Meskipun keterangannya setengah ber-bohong, tapi begitu mendengar nama Sangaji, wajah Gusti Ayu Retnaningsih lantas saja berubah. Terlebih-lebih Titisari, meskipun ia sudah mendengar keterangan Sangaji tentang pemuda itu. Diam-diam ia berpikir, apa mak-sudnya hendak mencari Aji?
Dalam pada itu Surapati begitu melihat perubahan wajah Gusti Ayu Retnaningsih, terus saja meletakkan ketelanya. Kemudian menegas, "apakah Nona pernah bertemu dengan dia atau kenal padanya?"
Gusti Ayu Retnaningsih adalah seorang pu-teri ningrat. Sebagai seorang puteri bang-sawan, ia mengutamakan watak keperwiraan. Karena itu, tak dapat ia berbohong. Se-sungguhnya, tentang pemuda Sangaji ia mem-punyai kesan tersendiri. Teringatlah dia akan budi Sangaji tatkala pemuda itu menolong dirinya dari lembah hina. Seumpama tiada Sangaji, apakah jadinya. Melihat Sangaji yang berperawakan tegap dan berparas tidak buruk, diam-diam dia jatuh hati. Hanya saja teringat bahwa dia sudah ditunangkan dengan Pangeran Ontowiryo. Tak dapat ia mengizinkan hatinya merana sesuka-sukanya. Meskipun demikian, kenangan itu senantiasa mengganggu benaknya. Teringat bahwa Sangaji adalah murid Wirapati, tiba-tiba saja teringatlah dia pula kepada Fatimah. Ia tahu Fatimah adalah adik Wirapati. Dengan dalih rindu kepada sesama keluarga perguruan ia nekad berangkat ke luar kota seorang diri. Sebagai seorang gadis yang sudah menghisap alam perguruan, tidaklah dia sekukuh gadis-gadis golongannya yang teguh memegang adat keraton. Maka dengan membawa cundrik pusaka perguruan, diam-diam ia berangkat ke luar istana dengan tak memedulikan api peperangan yang mulai membakar tepi kota.
"Kau mencari seorang pemuda bernama Sangaji?" ia minta ketegasan.
"Ya. Apakah Nona kenal padanya?" seru Surapati setengah girang.
Gusti Ayu Retnaningsih hendak menjawab. Tiba-tiba sebuah kepala berwajah keriput muncul di ambang pintu. Dialah Cocak Hijau yang jadi penasaran kena dipermainkan hantu. Begitu melihat Surapati dan Gusti Ayu Retnaningsih, cepat ia menarik kepalanya. Lantas berteriak menantang.
"Hai, setan alas! Kalau kau laki-laki, ayo bertempur di tengah matahari!"
Surapati dan Gusti Ayu Retnaningsih saling memandang dengan heran. Apakah orang itu bermaksud menantang mereka? Kalau benar, apa alasannya.
Dalam pada itu Titisari mencubit Sangaji sambil berkata perlahan. "Dia datang lagi. Hebat ini nanti."
Sangaji melemparkan pandang ke pintu.
Pikirnya kalau sampai bergebrak—terang sekali Surapati dan Gusti Ayu Retnaningsih bukanlah tandingnya Cocak Hijau. Memikirkan demikian, diam-diam ia berdoa semoga mereka berdua cepat-cepat mengangkat kaki.
Memang Cocak Hijau benar-benar lagi penasaran. Tadi ia lari mendahului, tatkala melihat hantu muncul di samping kamar atas. Setelah menimbang-nimbang, ia memutuskan balik kembali. Dasar hatinya keras dan bera-ngasan. Ia tak sudi kena dipermainkan begitu murah. Maka tanpa memberi tahu Ma-nyarsewu ia kembali seorang diri ke benteng. Pikirnya, biasanya setan atau hantu atau iblis, berkeliaran di malam hari. Apa sebab mendadak muncul pula di siang hari bolong. Coba kulihatnya.
Dengan hati mantap ia memasuki halaman. Lalu mengintip dari luar dinding. Ia melihat Surapati dan Gusti Ayu Retnaningsih lagi duduk berhadap-hadapan dan sedang meng-adakan pembicaraan. Pikirnya, aneh! Masakan gadis lumrah? Dia terlalu cantik. Tak mungkin seorang gadis desa yang secara kebetulan memasuki benteng. Hm... jangan-jangan mereka ini penjelmaan setan. Hih!
Memperoleh pertimbangan demikian, ia bersiap-siap. Lalu menantang dari luar.
Dalam pada itu Surapati dan Retnaningsih masih saja heran bercampur geli. Lambat laun seperti berjanji, mereka merasa lagi menghadapi seorang yang kurang waras otaknya.
Cocak Hijau mengulangi tantangannya sam-pai tujuh delapan kali. Tapi tetap saja, ia tak memperoleh jawaban. Baik setan pria dan iblis perempuannya tak menggubrisnya. Ia jadi lebih yakin, bahwa setan memang tak berani berkelahi di tengah matahari. Karena itu, hatinya kian menjadi besar. Keberaniannya sebagai pendekar sekaligus timbul lagi. Namun demikian untuk nekad menyerbu memasuki ruangan dalam, ia masih berbim-bang-bimbang. Mendadak saja teringatlah dia kepada batu. Pikirnya, coba biar kulempari batu. Ingin kutahu, apakah setan-setan tak takut kepada batu.
Begitu memperoleh keputusan, terus saja ia mencari batu-batu dan ditumpuknya menjadi sebuah onggokan. Kemudian mulailah dia bekerja. Dengan berjingkit-jingkit ia mengintip lagi. Dilihatnya kedua setan itu masih saja duduk dengan berdiam diri. Hatinya jadi panas, karena merasa terhina.
"Bagus keberanianmu memang hebat! Tapi rasakan kini timpukan tuanmu ini!"
Terus saja ia menyinsingkan lengan bajunya dan menyambitkan empat batu sekaligus.
Surapati dan Gusti Ayu Retnaningsih kian tercengang mendengar ucapan Cocak Hijau. Tak ragu-ragu lagi mereka mengira sedang berhadapan dengan orang edan benar-benar. Belum lagi ia memutuskan sikap, mendadak saja empat batu menyambar bagaikan anak panah. Untung, hati Cocak Hijau masih bercampur jeri. Karena itu sambitannya tak tepat. Meskipun demikian mendesingnya empat batu itu mengejutkan mereka. Serentak mereka meloncat bertebaran. Surapati ke kiri dan Gusti Ayu Retnaningsih ke kanan.
Sebaliknya, Cocak Hijau heran karena sam-bitannya tak mengenai sasarannya. Sebagai seorang pendekar biasanya ia mengandalkan kepandaiannya sendiri. Selama hidupnya belum pernah sambitannya luput dari sasarannya. Itulah sebabnya ia bertambah yakin lagi berhadapan dengan setan yang pandai menghilang.
Gugup ia berpikir: O ya... dahulu aku pernah mendengar bahwa setan perempuan lebih jahat daripada setan laki-laki. Biarlah yang perempuan dahulu kuremukan kepalanya. Dan setelah berpikir demikian terus saja ia menimpuk ke arah Gusti Ayu Retnaningsih.
Keruan saja Gusti Ayu Retnaningsih terkejut setengah mati. Inilah pengalamannya untuk yang pertama kalinya, ia diserang seseorang tanpa mengerti kesalahannya. Dalam kagetnya ia melompat menghindarinya. Surapati lebih cepat lagi. Tatkala melihat ancaman bahaya, dengan gesit ia menjejak tanah dan menangkis batu itu dengan pedangnya. Seketika itu juga terbersitlah letikan api menusuk udara.
"Setan alas! Nah, pulanglah ke asalmu!" teriak Cocak Hijau.
Setelah berteriak demikian, mendadak saja ia melompat masuk dan menyerbu dengan pedangnya pula. "Hayo! Hayo! Pulang ke asal-mu! Pulang ke asalmu!" Mulutnya berkaok-kaok.
Cocak Hijau adalah seorang pendekar beradat berangasan dan sembrono. Meskipun demikian ilmunya tinggi. Sebagai seorang pendekar yang berkedudukan di Gresik, belum pernah ia dikalahkan. Hanya sekali ia pernah bertempur sama kuat dengan Manyarsewu. Karena itu tikamannya hebat. Gerakan tangannya menimbulkan kesiur angin.
Surapati dan Gusti Ayu Retnaningsih bertambah heran. Melihat gerakannya yang hebat, kini mereka sadar sedang berhadapan dengan seorang pendekar yang kurang waras otaknya.
Tak berani ayal lagi, Surapati terus saja menyongsong tikaman itu dengan pedangnya. Lalu membentak, "Jahanam! Kau siapa?"
Tapi Cocak Hijau tak menggubris per-tanyaannya. Dalam hatinya ia takut kena semprot ilmu siluman si setan. Terus saja ia menikam lagi dan menikam lagi. Dengan terpaksa Surapati membela diri. Sebat luar biasa ia menangkis serangan itu lagi tiga kali berun-tun-runtun.
Melihat cara menangkisnya Cocak Hijau jadi lega hati. Terang sekali, setan kali ini bukanlah setan semalam. Ilmunya tidak begitu tinggi. Karena itu, kini ia mau berbicara dan tak takut kepada bahaya ilmu silumannya.
"Hai, setan alas! Kau kepengin mendengar namaku? Siapa sudi? Aku tidak begitu goblok sampai kau mau mengecohku. Coba kalau aku sampai memperkenalkan, bukankah engkau akan datang memusuhi pada malam hari gelap gulita dengan ilmu silumanmu? Huuh... kentutmu!"
Dengan mengerahkan tenaganya, ia memutar pedangnya cepat sekali bagai kitiran.
Kemudian merangsak dengan cepat dan berani.
Surapati segera saja jatuh di bawah angin. Selangkah demi selangkah ia terdesak sampai nyaris memepet dinding. Cocak Hijau jadi girang. Dengan hati lapang ia memutar pe-dangnya dan bergerak hendak menusuk. Teta-pi Surapati bukanlah murid seorang pendekar murahan. Melihat bahaya ia tidak menjadi gugup. Terus saja ia memiringkan tubuhnya. Dan ujung pedang Cocak Hijau menancap ke dinding keropos sampai jadi berguguran.
Setelah itu sebat Surapati menghajar lengan Cocak Hijau sebelum pedangnya sempat dicabut. Tetapi Cocak Hijau benar-benar seorang pendekar gagah pula. Dengan matanya yang awas ia melihat gerakan lawan. Terus saja ia mengangkat kakinya dan menyongsong sabetan itu dengan tumitnya. Tepat tangkisannya. Tangan Surapati kena dilemparkan ke samping. Dan belum lagi bersiaga, Cocak Hijau sudah mencabut pedangnya dan melancarkan serangannya kembali.
Gusti Ayu Retnaningsih melihat bahaya. Terdorong rasa senasib, mendadak saja ia mengangkat kursi dan melemparkan dengan sebat. Dengan demikian, batallah serangan Cocak Hijau.
"Terima kasih Nona, " kata Surapati. Dalam hatinya ia kagum kepada kelincahan puteri itu yang nampak halus gerak-geriknya.
Dalam pada itu, Cocak Hijau mulai menye-rang lagi. Tatkala ujung pedangnya menusuk dada, pedang Surapati menangkis. Hebat kesudahannya. Keras melawan keras. Telapak tangan Cocak Hiaju sampai merasa panas dan agak nyeri.
"Bagus! Tenagamu benar-benar tenaga setan!" teriak Cocak Hijau bergusar. "Sekarang terimalah seranganku ini!"
Dengan menggerung ia mengibaskan pedangnya. Lalu dengan sebat menusuk perut tiga kali beruntun.
Surapati terkejut. Ia meloncat mundur em-pat langkah sambil berteriak, "Nanti dulu! Agaknya ilmumu hampir sejalan dengan ilmu Manyarsewu. Apakah kau teman seperguru-annya?"
Cocak Hijau terhenyak sejenak mendengar teriakan Surapati. Tapi sebentar lagi, ia sadar kembali. Membentak, "Kau setan alas! Tentu saja kau kenal saudaraku Manyarsewu!"
Sadarlah Surapati, bahwa ia lagi bertempur melawan salah seorang pendekar lawan gurunya di Pekalongan. Karena itu, kini ia tidak ragu lagi. Terus saja ia menggempur dengan hebat. Meskipun demikian, Surapati kalah pengalaman. Sebentar kemudian, ia terdesak lagi sampai terpaksa berputar-putar dari tempat ke tempat.
Gusti Ayu Retnaningsih yang hanya berdiri di luar gelanggang, lambat laun mencemaskan keadaan Surapati. Menimbang bahwa diapun terancam bahaya, maka tanpa memedulikan akibatnya terus saja ia mencabut cundriknya yang panjangnya setengah lengan. Lalu berka-ta keras, "Saudara! Jangan takut! Aku akan membantumu!"
Hampir berbareng dengan pernyataannya, cundriknya telah menikam ke arah punggung Cocak Hijau. Ia adalah murid Suryaningrat. Meskipun belum mewarisi kepandaian guru-nya, tapi apabila dibandingkan dengan murid-murid pendekar murahan tak usah dia merasa kalah. Hanya saja, ia kurang latihan dan kurang ulet. Maklumlah dia seorang puteri ningrat. Keadaan hidupnya sehari-hari serba gampang dan tersediakan. Perjuangan melawan kepahitan hidup tak pernah dialaminya.
Majunya Gusti Ayu Retnaningsih, diluar dugaan Cocak Hijau. Begitu juga halnya dengan Surapati. Pemuda itu menjadi keheran-heranan, berbareng girang. Girangnya ia memperoleh bantuan. Herannya ia jadi menebak-nebak siapakah gadis itu sebenarnya. Itulah sebabnya, kalau tadi merasa repot, ia kini bisa membalas menyerang dengan cepat dan penuh semangat. Mula-mula Cocak Hijau agak lemas juga menghadapi Gusti Ayu Retnaningsih. Ia menyangka setan perempuan lebih perkasa dan jahat daripada setan laki-laki. Tetapi setelah bertempur dua tiga gebrakan, hatinya jadi lega. Ternyata setan perempuan itu lebih lemah daripada setan laki-laki. Benar tipu-tipu serangannya hebat dan ruwet, namun dia tahu setan perempuan itu kurang latihannya. Karena itu, walaupun dikerubut dua, hatinya tetap besar.
Sangaji dan Titisari yang mengintip dari ruang atas, mengkhawatirkan kedudukan kedua muda-mudi itu. Mereka tahu, lambat laun kedua muda-mudi itu akan kalah. Sedangkan mereka kenal, Cocak Hijau sebagai seorang pendekar yang bengis dan kejam. Dalam hati mereka ingin menolong, tapi keadaannya tak mengizinkan. Mereka tak bisa melepaskan diri dari suatu keharusan saling menempel.
Pada saat itu, mereka mendengar Surapati berkata nyaring. "Nona! Biarlah aku melayani dia seorang diri."
Tetapi betapa mungkin Gusti Ayu Retnaningsih mau mendengarkan maksud baiknya. Sebagai seorang puteri ningrat yang dididik mengutamakan keperwiraan, takkan ia mengkhianati temannya senasib. Meskipun tahu tak bisa memenangkan lawan, tetap ia melawan sebisa-bisanya. Bagaimana akhir-nya, ia menyerahkan diri kepada nasib.
Melihat Gusti Ayu Retnaningsih tak mau mendengarkan seruannya, Surapati jadi gugup. Lantas saja ia berkata, "Hai! Musuhmu adalah aku! Biarkan dia keluar gelanggang dengan selamat!"
Cocak Hijau tertawa lebar. Sekarang yakin-lah dia, bahwa kedua muda-mudi itu bukannya hantu atau setan. Hatinya bertambah lega. Gerak-geriknya bertambah mantap dan membahayakan. Hatinya yang mau menang sendiri lalu mulai berkata, "Mana bisa aku membiarkan gadis cantik ini bebas merdeka tanpa membayar? Biarlah kutangkapnya dahulu..."
Berpikir demikian, serangannya kini meng-arah kepada Gusti Ayu Retnaningsih. Dengan mengerahkan tenaga sedikit ia menangkis cundrik. Kemudian tangannya maju hendak menyambar pinggang.
Surapati jadi cemas. Cepat menangkis. Serunya gugup, "Nona! Lekaslah lari!"
"Baik! Tapi jawablah dulu! Siapa gurumu?" sahut Gusti Ayu Retnaningsih.
"Guruku bernama Ki Hajar Karangpandan. Nah, janganlah takut. Sebentar lagi dia datang!"
Sudah terang, Surapati hendak menggertak Cocak Hijau dengan mengandalkan nama gurunya. Sebaliknya Gusti Ayu Retnaningsih jadi terkejut mendengar nama itu. Segera berkata, "Ki Hajar Karangpandan? Kalau begi-tu... kalau begitu..."
Belum lagi ia habis berbicara, Surapati sudah memotong. "Nah, pergilah! Asal kau bisa menolong nyawamu sendiri, pastilah guruku kelak bisa membalaskan dendam."
Nama pendekar Ki Hajar Karangpandan bukanlah merupakan nama yang asing bagi pendekar Cocak Hijau. Ia tahu, bahwa lawan-nya lagi menggertak dirinya. Dasar adatnya berangasan, ia lalu membentak dengan nada tinggi hati.
"Aku pernah dikerubut beramai-ramai. Suruhlah gurumu datang membawa teman-temannya seperti Wirapati, Jaga Saradenta, Ki Tunjungbiru dan Tirtomoyo...! Masakan aku kena kau gertak?"
Terang sekali, Cocak Hijau lagi mengobral cerita burung. Sewaktu berada di Pekalongan, bukan Cocak Hijau yang kena keroyok. Malahan Ki Hajar Karangpandanlah yang kena keroyok Cocak Hijau, Manyarsewu dan pendekar-pendekar lainnya. Namun Surapati terperanjat juga mendengar Cocak Hijau bisa menyebutkan deretan nama pendekar-pendekar yang pernah didengar. Ia percaya seba-gian, bahwa Cocak Hijau setidak-tidaknya per-nah mengukur tenaga dengan nama-nama pendekar yang disebutkan. Mendadak saja ia mendengar suara mendengus dari arah ruang belakang.
"Hm—kau menyebut nama kakakku Wira-pati? Apakah kau sudah bosan hidup?"
Ketiga orang itu kaget. Serentak mereka menoleh dan terlihatlah Fatimah berdiri tegak dengan membawa sebatang golok di tangan-nya. Surapati dan Cocak Hijau belum kenal Fatimah. Mereka terus saja meloncat mundur dengan alasan masing-masing. Bagi Surapati, munculnya gadis itu di luar dugaan. Mungkin pula memiliki ilmu kepandaian diluar dugaan. Sebaliknya, benak Cocak Hijau yang masih dipengaruhi takhayul, setengah menyangka bahwa Fatimah adalah setan baru yang mungkin jahat benar.
"Hai! Kau bilang pernah dikerubut Wirapati? Siapa bilang?" bentak Fatimah.
"Aku," sahut Cocak Hijau dengan tinggi hati.
"Hm, tak mungkin anak-murid Gunung Damar mengekerubut macam monyongmu. Cobalah bunuh!"
"Mana dia?" Cocak Hijau masih tetap ta-kabur.
Belum lagi ia memperoleh jawaban, Fatimah telah mengibaskan goloknya dan menyerang dengan cepat luar biasa.
Waktu itu Sangaji dan Titisari dalam keadaan cemas. Melihat munculnya Fatimah mereka mempunyai sekelumit harapan. Hanya saja mereka belum pernah melihat nilai ilmu kepandaian gadis yang berwatak angin-anginan itu. Di luar dugaan, Fatimah bisa bergerak dengan sebat dan membahayakan. Dalam gebrakan permulaan, Cocak Hijau kena dimundurkan tiga langkah.
"Dia pun tak bakal menang," bisik Titisari. Dia pernah mencoba kekuatan Fatimah. Dengan sendirinya, bisa mengukur kemam-puannya. Maka ucapannya itu mengejutkan hati Sangaji.
Dalam hal kegesitan dan ketangguhan, Fatimah menang setingkat daripada Gusti Ayu Retnaningsih. Maklumlah, dia seorang gadis yang dipaksa hidup dengan berjuang. Dengan demikian ia lebih memiliki keuletan dan ketabahan daripada Gusti Ayu Retnaningsih. Hanya saja, ilmu kepandaian yang diwarisi tidak lengkap dan kurang teratur. Dalam gebrakan permulaan, gerakannya bisa menge-labui lawan. Tapi lambat laun, ia akan kehi-langan keseimbangan.
Waktu itu Gusti Ayu Retnaningsih dan Surapati berdiri di luar gelanggang dengan hati kebat-kebit. Dengan penuh perhatian mereka mengikuti pertempuran itu. Mendadak saja mereka melihat bahaya. Fatimah kena didorong masuk dalam lingkaran tipu musli-hat. Tak dikehendaki sendiri, terloncatlah seruan Gusti Ayu Retnaningsih. "Fatimah! Awas!"
Mendengar seruan peringatan Gusti Ayu Retnaningsih, hati Cocak Hijau jadi men-dongkol. Sebab dengan demikian, gagallah tipu muslihatnya. Dan karena mendongkol, lantas saja ia menyerang Gusti Ayu Retna-ningsih. Surapati, terkejut. Cepat ia menangkis dan membalas menyerang. Dengan begitu, Cocak Hijau dikerubut tiga orang.
Meskipun gagah, akhirnya Cocak Hijau kewalahan juga menghadapi tenaga gabungan itu. Masing-masing mempunyai cara penye-rangan dan pertahanan yang khas. Yang satu dari ajaran pendekar Ki Hajar Karangpandan. Dan hanya saja, ilmu kepandaian yang dua khas ajaran perguruan Gunung Damar yang tak boleh dipandang ringan. Mau tak mau ia jadi bingung. Kini ia bermaksud hendak meloloskan diri, tetapi kepungan mereka sa-ngat rapat.
Suatu kali ia kena dilibat Surapati. Tahu-tahu pahanya kena ditusuk golok Fatimah. Ia kaget dan dengan menggerung membalas menyerang. Namun segera dikurung Gusti Ayu Retnaningsih dan Surapati dengan berbareng.
Karena lukanya itu, kelincahannya jadi agak berkurang. Meskipun demikian, biar bagaimana ia menang tenaga dan pengalaman. Dalam adu tangkisan, Gusti Ayu Retnaningsih kena terbentur ke samping. Mendadak saja pundaknya kena terbabat pedang Surapati. la merasa kesakitan. Selagi begitu, Fatimah menampar pedangnya sehingga jatuh berkelontangan ke tanah.
Melihat jatuhnya pedang, dengan sebat Surapati memukul kepala Cocak Hijau berbareng dengan Gusti Ayu Retnaningsih yang menusukkan cundriknya ke paha. Tak ampun lagi Cocak Hijau roboh terjengkang ke tanah. Dan Fatimah yang berwatak angin-anginan, terus saja meludahi mukanya. Kemudian pangkal goloknya diletakkan ke lengan lawan.
"Jangan disakiti!" teriak Gusti Ayu Retnaningsih. "Kita ikat saja dia!"
Seperti burung kecil yang tunduk kepada perintah majikan, Surapati lantas melepaskan ikat pinggangnya yang terbuat dari kain batik. Kemudian dibuat pengikat lengan Cocak Hijau. Fatimah menyumbangkan ikat ping-gangnya pula yang panjangnya lebih dari sepuluh depa. Dengan penuh semangat, ia segera mengikat Cocak Hijau erat-erat dari kaki sampai ke leher. Dengan demikian, Cocak Hijau kini mirip sebuah pisang goreng terbungkus daun kelapa. Seluruh tubuhnya terbebat rapat-rapat. Hanya tinggal kepalanya belaka yang nongol seperti kepala itik.
"Tuuu rasakan! Melawan anak-anak kemarin sore saja kau tak mampu." Damprat Fatimah. "Masihkah monyongmu berkaok-kaok menantang Wirapati segala?"
Cocak Hijau memaki kalang-kabut. Tangkisnya setengah menggugat. "Kalian curang. Coba satu lawan satu."
"Iddiiih—katamu, kau pernah dikerubut Wirapati, Jaga Saradenta... dan siapa lagi tadi? Ih! Melawan kita saja tak becus."
"Siapa bilang tak becus?"
Dasar watak Fatimah angin-anginan, terus saja ia menyobek sudut kainnya. Lalu disum-batkan ke mulut Cocak Hijau sehingga pendekar yang selamanya tak pernah kalah itu, tak dapat lagi berkaok-kaok mengumbar mulutnya, la hanya bisa melototkan matanya sampai merah membara. Mulutnya masih saja berusaha berontak dengan menyemburkan bunyi ah - ih - uh.
"Nona..." kata Surapati. "Tak kusangka aku akan berjumpa dengan murid pendekar Wirapati."
Setelah berkata demikian, ia mem-bungkuk hormat kepada Fatimah.
"Kau bilang aku murid Wirapati?" potong Fatimah acuh tak acuh. "Kau salah terka. Aku murid Suryaningrat seperti tunanganmu. Kau seorang pangeran janganlah sembarangan membungkuk hormat terhadap seseorang. Gerak-gerikmu mewakili rakyat yang kau pimpin."
Fatimah masih menyangka, Surapati adalah Pangeran Ontowiryo. Keruan saja hampir ber-bareng, Surapati dan Gusti Ayu Retnaningsih menolak dugaan itu. Kata Surapati gugup, "Aku bukan seorang pangeran. Aku bernama Surapati, murid Ki Hajar Karangpandan."
"Apa kau bilang?" Fatimah kini jadi ter-cengang-cengang. Pandangnya beralih kepada Gusti Ayu Retnaningsih minta penjelasan.
"Benar. Dia bukan Pangeran Ontowiryo," kata Gusti Ayu Retnaningsih perlahan. Wajahnya terus saja berubah merah jambu.
"Ah! Kalau bukan Pangeran Ontowiryo, apa sebab ke mari?"
"Hanya secara kebetulan saja aku singgah ke mari," sahut Surapati.
"Eh—macammu! Secara kebetulan pula engkau menggerogoti ketelaku sampai hampir habis."
"Untuk ini aku bersedia membayar. Kalau tak sudi kubayar aku akan melakukan segala perintahmu sebagai penebus sepiring ketela-mu."
"Bagus!" sahut gadis angin-anginan itu dengan cepat.
"Kau telah berjanji sendiri. Nah, duduklah makanlah ketelaku semua tanpa minum!"
Surapati tercengang. Sama sekali tak diduganya, perintah gadis itu terlalu lunak. Diam-diam ia berpikir, dari luar kelihatannya galak. Siapa tahu hatinya sebenarnya baik.
Maka dengan senang hati, segera ia duduk dan mulai menggerumuti ketela. Tapi meng-gerumuti ketela sebenarnya mempunyai caranya sendiri. Kalau tiada hati-hati, lambat-laun tenggorokan bisa pepat. Benar juga, belum lagi Surapati menghabiskan lima buah ketela besar, ia mulai kelabakan mencari minum. Tetapi ia malu memperoleh kesulitan. Dengan licin ia mulai memutar lidah.
"Nona! Kau rupanya kenal dengan pendekar Wirapati. Apakah dia sanakmu?"
"Kau benar... apa maksudmu?" sahut Fatimah.
Surapati tertawa menyeringai.
"Dahulu hari, guruku pernah bertanding melawan pendekar Wirapati. Masing-masing membawa seorang murid yang harus dididiknya dalam jangka waktu dua belas tahun. Murid guruku bernama Sanjaya. Dialah kakak seperguruanku putera Gusti Pangeran Bumi Gede. Sedangkan murid pendekar Wirapati, bernama Sangaji. la berhenti mencari kesan sambil menelan ludah. Kemudian meneruskan, "untuk menemukan muridnya, pendekar Wirapati harus merantau ke barat sampai datang ke Jakarta. Dalam hal ini gurukulah yang beruntung. Dengan gampang bisa menemukan muridnya. Ah, hebat akhirnya."
Mendengar cerita Surapati, mau tak mau Fatimah dan Gusti Ayu Retnaningsih tertarik hatinya. Bahkan Titisari yang sudah menge-tahui hal itu ikut memasang kupingnya. Memang Surapati pandai berbicara. Dahulu tatkala bertemu dengan Sangaji, Wirapati dan Jaga Saradenta, ia bisa membakar hati orang. Peristiwa itu terjadi di Jakarta, sewaktu ia di-utus Pangeran Bumi Gede menyesapi berita tentang beradanya lawan anak-angkatnya sekalian menguji kepandaiannya. Kini, ia lagi mempunyai maksud tertentu terhadap dua gadis itu. Baginya adalah mudah untuk memikat hati mereka dengan memutar lidah-nya.
Dalam hal inf Fatimahlah yang tertambat hatinya, demi pemuda itu menyebut-nyebut nama kakaknya. Sesungguhnya belum pernah ia bertemu muka dengan kakaknya dalam keadaan jelas. Sewaktu kakaknya (Wirapati) merantau ke daerah barat, ia baru berumur tiga tahun, la tinggal bersama ayah bundanya yang hidup sebagai petani. Tatkala daerah perbatasan kerajaan terjangkit penyakit kolera, ayahnya meninggal dunia. Kemudian Kyai Kasan Kesambi mengambil suatu kebijak-sanaan. Suryaningrat—muridnya yang bungsu diutus menilik keadaan keluarga Wirapati. Perintah itu dilakukan satu tahun sekali. Begitu Fatimah berumur dua belas tahun, mulailah Suryaningrat menurunkan ilmu warisan perguruan Gunung Damar. Semenjak itu, Suryaningrat menilikinya setiap tiga bulan sekali sampai pada suatu hari ibu Fatimah menyusul suaminya ke alam baka. Fatimah jadi seorang gadis yatim piatu, la hidup merdeka, tapi tanpa pengawasan dan pendidikan.
Sehingga akhirnya menjadi seorang gadis yang senang membawa maunya sendiri. Pada saat-saat tertentu, ia berada di dalam benteng apabila sedang berlatih. Gurunya sering meyakinkan bahwa kakaknya sewaktu-waktu akan pulang menjenguknya. Karena kakaknya adalah seorang pendekar besar, alangkah tidak baiknya apabila dia menjadi seorang gadis tiada guna. Maka dalam khayalannya ia selalu mengharap-harap kedatangan kakak-nya. Setiap kali gurunya datang menje-nguknya, selalu ia menanyakan kabar beri-tanya. Begitu juga terhadap Gusti Ayu Retnaningsih. Tetapi baik Suryaningrat maupun Gusti Ayu Retnaningsih tak dapat mengabarkan kepergian kakaknya dengan jelas. Kini ia mendengar warta tentang alasan kepergian kakaknya dari mulut Surapati. Keruan saja hatinya tertarik bukan main.
"Lantas bagaimana?" desaknya dengan bernafsu.
Surapati adalah seorang pemuda yang sudah masak dan mempunyai banyak pe-ngalaman mengenai kesan seseorang. Melihat perhatian Fatimah begitu besar, timbullah kenakalannya hendak mempermainkan. Sahutnya acuh tak acuh. "Apa yang lantas?"
"Kau mengumbar mulutmu setengah matang, masakan enak didengarkan kuping?" damprat Fatimah gregetan. "Ingat janjimu! Kau harus menebus ketelaku yang kaugero-goti!"
Surapati berpura-pura terkejut, la mendo-ngak ke atap, lalu membuka mulut hendak meneruskan berbicara. Sewaktu hendak mulai, sengaja ia menyumpali mulutnya dengan sebongkah ketela. Kemudian mengumbar monyongnya. Tentu saja kata-katanya kurang jelas.
Gusti Ayu Retnaningsih adalah seorang bangsawan murni. Gerak-geriknya halus dan hatinya perasa. Terus saja ia menyodori sege-las air teh. Sebaliknya Fatimah yang beradat angin-anginan, lantas menyemprot.
"Kalau kau mau minum, bilanglah! Masakan nyengar-nyengir seperti monyet? Siapa kesu-dian melihat monyongmu kesumpalan ketela... Idih!"
Itulah kehendak Surapati. Diam-diam hatinya girang, karena ia merasa diri menang. Sambil menyambar gelas air teh, ia mengerling kepada Gusti Ayu Retnaningsih yang menggairahkan hatinya.
"Nah... teruskan!" desak Fatimah lagi sete-lah Surapati meneguk airnya.
"Apakah kau ingin mendengar hebatnya guruku?" sahut Surapati tenang-tenang.
"Siapa kesudian mendengarkan kehebatan gurumu."
"Hah... apa kau bilang?" Surapati tak senang. "Guruku adalah seorang laki-laki sejati di kolong langit. Betapa bisa Wirapati nempil kepandaiannya? Belum lagi muridnya diadu dengan kakak seperguruanku ia sudah kena kujatuhkan."
"Hm," Fatima menggerutu. "Mari kita tinggalkan burung yang pandai mengoceh ini."
Gusti Ayu Retnaningsih mengangguk tanda setuju sambil berkata, "Memang, aku berniat hendak minta diri. Aku khawatir akan keper-gok Kangmas Pangeran."
"Hai, nanti dulu!" teriak Surapati nyaring sambil berdiri. "Kau bilang aku mengoceh seperti burung? Hm... kau kira apa murid-murid Ki Hajar Karangpandan?"
"Kalau tidak semacam burung pastilah semacam monyong babi. Kau mau apa?"
"Bedebah!" maki Surapati sambil meng-gempur meja. la benar-benar tersinggung kehormatannya. Matanya melotot dan bibirnya bergemetaran. "Kalau aku sebangsa burung atau monyong babi, lantas kalian bangsa apa?"
"Aku murid Suryaningrat. la adalah adik seperguruan Wirapati. Kau bilang sendiri, Wi-rapati seorang pendekar. Nah, dengan sendiri-nya termasuk golongan pendekar. Bukan seperti monyongmu!" sahut Fatimah tajam.
Mendengar ujar Fatimah, tubuh Surapati menggigil karena menahan marah. Gusti Ayu Retnaningsih yang berperasaan halus, kemu-dian berkata menengahi. "Biarlah aku mohon diri dahulu. Apabila kalian tersesat di Yogya, sudilah mampir barang sebentar."
Fatimah terhenyak mendengar keputusan Gusti Ayu Retnaningsih hendak berangkat benar-benar. Berat rasa hatinya akan segera terpisah dengan saudara seperguruannya. Sebaliknya Surapati yang belum reda hawa amarahnya terus saja berkata, "Hai! Kau bilang, aku kauharapkan mampir ke rumah-mu? Bagaimana bisa? Kau belum lagi memperkenalkan dirimu."
Mendengar suara Surapati yang masih bernada galak, kembali watak Fatimah yang angin-anginan menyahut. "Kau mengaku adik seperguruan anak angkat Pangeran Bumi
Gede! Kalau engkau diharapkan mampir, itu-lah suatu anugerah. Kau tahu siapa dia? Dialah tunangan Pangeran Ontowiryo lawan besar majikanmu."
Surapati kaget bercampur heran, la jadi bersangsi. Pikirnya, masakan dia tunangan Pangeran Ontowiryo? Kalau benar apa sebab sampai keluyuran di sini seorang diri? Mendadak saja timbullah niat jahatnya. Kalau bisa membekuk Nona itu, bukankah besar artinya? Memperoleh pikiran demikian, terus saja ia melompat menghadang pintu.
"Berhenti!" gertaknya. "Kalian kini jadi tawananku." Setelah berkata demikian, ia tertawa riuh.
Fatimah seorang gadis yang tajam mulut-nya. Barangkali memiliki ketajaman otak pula. Hanya sayang, ia belum berpengalaman dalam kehidupan petualangan. Karena itu tak disadari sendiri, ia telah membuka suatu rahasia besar yang merupakan pantangan dalam suasana perang. Maksudnya tadi hanyalah sebagai gertakan belaka untuk membuat hati Surapati mengkeret. Tak tahunya, ucapannya itu mempunyai ekor panjang yang sangat berharga bagi pihak yang saling bermusuhan. Meskipun tak takut—mengingat keperkasaan Surapati tadi—hatinya tergetar juga.
"Kau banyak bertingkah di sini. Kau mau tangkap dia?"
"Jangan mimpi!" bentak Fatimah.
Belum lagi habis perkataannya, Surapati telah melompat dan menyerang dengan sung-guh-sungguh. Tadi, ia telah menyaksikan sen-diri, betapa mereka bisa berkelahi dengan baik. Dalam hal ketangguhan, tak usahlah dia khawatir akan gagal dan kalah.
Gusti Ayu Retnaningsih sadar, bahwa ia kalah tangguh. Namun demikian, tak sudi ia dijatuhkan pamornya. Demi membela ke-agungan perguruannya, serentak ia menang-kis serangan itu. Fatimahpun tak mau berpe-luk tangan pula. Segera ia menyerbu lawan dari samping. Dengan demikian pertempuran bertambah lama bertambah seru.
Di ruang atas, Titisari menyaksikan semua-nya itu semenjak tadi. Hatinya ikut men-dongkol menyaksikan lagak Surapati.
"Dia berani menghina Aji! Coba kalau Aji dapat kutinggalkan, masakan aku tak mampu menghajarnya," katanya dalam hati. la melirik kepada Sangaji. Pemuda itu tiada menaruh perhatian terhadap mereka. Ia lagi tenggelam dalam semadinya. Karena itu, tak berani ia mengganggu. Ia mengarahkan matanya ke bawah lagi. Tiba-tiba ia hampir berteriak terkejut. "Celaka!"
Fatimah membabat kepala Surapati dari atas. Tetapi Surapati bisa mengelak dengan cepat, sehingga senjata Fatimah kehilangan sasaran. Dan belum lagi gadis itu berhasil menarik lengannya, Surapati telah membalas menyerang dengan memukul sikunya. Tak ampun lagi, senjatanya jatuh bergelontangan di atas tanah.
"Kau tahu sekarang, betapa hebat ilmu warisan Ki Hajar Karangpandan?" seru Surapati dengan takabur. Kemudian ia menyabetkan pedangnya sambil berteriak nyaring. "Awas!"
Fatimah melihat bahaya mengancam. Ia mengendapkan diri sambil meloncat mundur. Dan pada saat itu, cundrik Gusti Ayu Retna-ningsih menangkis dari samping.
"Bagus! Kau mempunyai tenaga juga!" kata Surapati sambil tertawa, la tahu, gadis itu kalah tenaga daripadanya. Tatkala pedangnya kena sampok, tangan gadis bangsawan itu ter-getar miring.
"Surapati, maafkan!" sahut Gusti Ayu Retnaningsih. "...mungkin kau bisa menawan aku. Tetapi kau berkata bisa mengalahkan kakakku seperguan Sangaji? Itulah suatu obrolan yang menyakitkan hati."
"Hm—apa sih kehebatan murid Wirapati itu? Di Jakarta dia pernah kurobohkan dalam tujuh gebrakan."
"Jika demikian, kau hebat! Tapi, kukira melawan kekasihnya saja kau tak mampu."
"Siapa dia?"
"Dia bernama Titisari. Puteri Adipati Karimun Jawa, Surengpati."
"Cuh!" Surapati meludah ke tanah. "Jangan kau kira hatiku mengkeret kau gertak dengan nama Surengpati. Apa sih hebatnya bangsat Surengpati? Coba, suruhlah dia ke mari. Ingin kulihat tampangnya!"
Panas hati Gusti Ayu Retnaningsih mende-ngar suara Surapati. Dan Fatimah yang bera-dat aseran, terus saja memungut goloknya dan membabat kakinya.
"Jahanam! Mulutmu memang mulut babi!" bentaknya.
Surapati terkejut diserang dengan men-dadak. Untung dia gesit. Melihat berkelebatnya golok Fatimah, cepat ia menjejak tanah dan meloncat berjungkir balik. Dengan demikian barulah dia selamat dari tebasan golok.
Sekarang ketiga-tiganya sudah saling mengumpat. Hati merekapun sudah panas pula. Karena itu mereka kini bertempur dengan sungguh-sungguh. Titisari yang berada di ruang atas, geli hatinya menyaksikan sepak-terjang mereka, la merasa lucu. Tadi mereka bersatu-padu melawan Cocak Hijau. Tiba-tiba kini, dari teman menjadi lawan dan saling menikam. Bagaimana kesudahannya nanti, hanya iblis yang tahu.
Tatkala itu, terdengarlah suara langkah. Kemudian muncullah rombongan Manyarsewu dan Yuyu Rumpung yang tadi lari berserabutan meninggalkan benteng dengan diikuti Pangeran Bumi Gede dan Sanjaya. Di luar benteng, mereka membiarkan Cocak Hijau memasuki benteng kembali untuk membuat penyelidikan. Setelah ditunggu sekian lama, ternyata Cocak Hijau tiada kabarnya, Manyarsewu jadi berkhawatir. Segera ia mengajak kawan-kawannya menyusul rekannya. Hati-hati mereka mendekati benteng dan mengintip dari celah dinding. Mereka melihat Surapati, Fatimah dan Gusti Ayu Retnaningsih sedang bertempur dengan serunya.
Inilah aneh! pikir Manyarsewu. Dengan membesarkan hati ia memasuki benteng seorang diri. Tak urung kawan-kawannya ikut pula. Demikianlah, maka mereka masuk ben-teng hampir berbarengan.
Surapati, Fatimah dan Gusti Ayu Retnaningsih terkejut melihat datangnya mereka. Dengan sendirinya, mereka bertiga berhenti berkelahi. Seperti berjanji, mereka melompat mundur. Tetapi belum lagi mereka mundur beberapa langkah, Manyarsewu telah menyambar dengan kecepatan luar biasa. Sedangkan Yuyu Rumpung dan pendekar-pendekar lainnya dengan serentak menolong Cocak Hijau yang terikat erat seperti seekor itik.
Dengan tertatih-tatih, Cocak Hijau segera berdiri. Napasnya sesak, karena mulut, telinga dan hidungnya disumbat demikian rupa. Setelah ia terbebas, terus saja ia menyerang Fatimah dan Gusti Ayu Retnaningsih dengan berbareng. Pendekar itu mendongkol hatinya, karena ia kena telikung. Mukanya sampai merah membara. Karena itu serangannya hebat luar biasa.
Melihat serangan itu, Fatimah meloncat menghindari. Manyarsewu yang sedang me-rabu Surapati, buru-buru mencegah.
"Tahan! Kita tangkap saja mereka hidup-hidup. Biarlah mereka berbicara!"
Cocak Hijau tak mendengar seruan rekan-nya, karena telinganya masih tersumbat. Dengan mata menyala-nyala ia mengejar Fatimah yang lari berputaran, sedangkan Gusti Ayu Retnaningsih mencoba merintangi dari samping.
Karena merasa kena rintangan Gusti Ayu Retnaningsih, Cocak Hijau mengalihkan murkanya kepada gadis bangsawan ini. Tanpa segan-segan lagi, tangannya terus menyambar pergelangan Gusti Ayu Retnaningsih dan diputar ke belakang punggung. Tak ampun lagi, Gusti Ayu Retnaningsih habis tenaganya, la mati kutu.
"Kau bilanglah, aku tak becus mencekuk tampangmu!" damprat Cocak Hijau.
Pada saat itu Fatimah berada di luar garis. Melihat Gusti Ayu Retnaningsih dalam bahaya, tanpa peduli keselamatan diri terus melompat menyerang. Manyarsewu yang sudah berhasil merobohkan Surapati buru-buru menghadang dan memotong serangan itu. Dengan gampang ia dapat menyambar pergelangan tangan Fatimah dan diterkam kencang-kencang.
"Bedebah!" makinya galak. "Hayo bilang! Siapa yang menjadi hantu?"
Baru saja Manyarsewu menutup mulutnya, tiba-tiba terdengar daun pintu berkerenyit. Sekalian yang berada di dalam benteng menoleh. Tetapi mereka tak melihat sesuatu. Mau tak mau hati mereka kebat-kebit juga.
Fatimah cerdik. Saat itu dipergunakannya dengan baik. Dengan mengerahkan tenaga, ia berhasil merenggutkan diri dari terkaman
Manyarsewu yang agak kendor karena terpe-ngaruh suara gerit daun pintu. Kemudian melompat mundur dan berlindung di belakang tiang.
"Hai iblis! Kau mau lari ke mana?" Mendadak saja Cocak Hijau itu menggerung. Dalam hatinya memang dia amat mendongkol terhadap gadis itu. Sedangkan terhadap Gusti Ayu Retnaningsih sebenarnya jatuh nomor dua. Itulah sebabnya, tanpa memedulikan Gusti Ayu Retnaningsih lagi, lantas saja ia melompat mengejar.
Fatimah tahu, ia bukan lawan Cocak Hijau. Namun hatinya tak gentar. Dengan mengi-baskan tangan, ia memukul balik serangan Cocak Hijau. Kemudian dengan pukulan aneh ia membalas menggaplok pipi Cocak Hijau. Inilah jurus darurat ajaran Suryaningrat yang dipetik dari ilmu Mayangga Seta. Tentu saja Cocak Hijau kaget bercampur heran. Pipinyapun terasa nyeri.
"Iblis! Kau berlagak tolol," ia memaki. Lalu dia menyerang dengan dua tangan berbareng.
"Ha ha ha... lihat! Kepalanya gundul!" tiba-tiba Fatimah tertawa riuh sambil menuding Yuyu Rumpung. Mau tak mau Cocak Hijau menoleh. Ia mengira terjadi suatu peristiwa di luar pengamatan. Tatkala melihat gundul Yuyu
Rumpung yang licin polos bekas kena hajaran hantu semalam, ia kembali mengarah kepada Fatimah. Tetapi tepat pada saat itu, kaki Fatimah melayang dan singgah di paha kanannya. Meskipun tak sampai terjungkal, tak urung tubuhnya tergoncang juga.
"Benar-benar kau iblis keparat!" Kembali ia memaki untuk kesekian kalinya. Dengan menggerung ia menerkam. Fatimah menang-kis, dengan cepat. Ia berhasil menangkis, tetapi kalah tenaga. Tubuhnya berputar ter-kisar dari tempatnya. Merasa akan meng-hadapi bahaya, cepat ia menjejak tanah hen-dak mendaki tangga.
Cocak Hijau adalah seorang pendekar bukan sembarangan. Gerak-geriknya gesit dan sudah berpengalaman. Dengan tiba-tiba saja, tubuhnya terbang dan menghadang tepat di bawah kaki tangga. Sikutnya digerakkan, maka hidung Fatimah kena terbentur. Darah-nya lantas saja mengucur. Dasar wataknya angin-anginan, tanpa berpikir panjang lagi ia berteriak tinggi.
"Anak Surengpati! Turunlah! Tolong! Tolong!"
Titisari terkejut mendengar seruannya. "Celaka! Kalau dia tidak kubunuh dahulu, bisa membahayakan Sangaji."
Buat Titisari, Sangaji adalah segala-galanya. Ontuk kepentingan Sangaji, ia mau berkorban. Ontuk kepentingan Sangaji, ia berani menempuh bahaya macam apa pun jua. Karena itu, tak peduli siapa saja yang sekiranya akan merugikan kekasihnya, mau ia membunuhnya tanpa mempertimbangkan segala akibatnya. Wataknyapun tak kurang anehnya daripada Fatimah. Apa yang dipikirkan, lantas saja di-kerjakan. Segera ia menghunus belatinya dan siap akan disambitkan dari celah dinding. Tetapi belum lagi ia bergerak, sekonyong-konyong ia mendengar suara. "Hm..." Itulah suatu suara yang dikenalnya semenjak kanak-kanak.
"Ah! Ayah datang!" serunya dalam hati. Dengan berdebar-debar ia mengintip dari celah dinding.
Bende Mataram - JILID 7. SUATU PERTEMPURAN TAK TERDUGA WIRAPATI girang bukan main. Sangaji telah cfiketemukan. Kini tinggal menunggu Jaga Saradenta pulang dari penyelidikan ke luar kota. Seminggu sekali Jaga Saradenta datang ke pondokan dan membawa berita. Adakalanya sampai satu bulan. Dia pasti girang, kata Wirapati dalam hati, nanti malam biar kuajaknya mulai bekerja. Mudah-mudahan dia datang. Sekiranya tidak, biarlah kumulai dahulu. Waktu berarti pedang. Satu hari lengah berarti terkikisnya waktu yang dijanjikan. Hm—tinggal empat tahun. Kalau Sangaji mempunyai bakat, agaknya masih ada waktu. Mendadak saja timbullah suatu pikiran lain. Eh, sekiranya Sangaji nanti malam tak datang apa yang akan kulakukan? Bukankah hati kanak-kanak seringkali berubah? Celaka—aku belum tahu rumahnya. Memikir demikian, cepat ia kembali ke lapangan. Sangaji baru saja melangkahkan kaki meninggalkan lapangan. Ia girang. Mau dia percaya, kalau selama itu Sangaji masih tertegun-tegun memikirkan kehebatannya y...
Komentar