Langsung ke konten utama

ep.17 bende mataram - Gusti Ayu Retno Ningsih

BENDE MATARAM JILID 17. GUSTI AYU RETNONINGSIH Titisari lantas saja berdiri setengah berjongkok dengan pandang masih saja menebak-nebak. Tak usahlah dia menunggu lama, karena pada saat itu juga terdengarlah suara berdengung di udara. Gadis itu segera mendongak dan melintaslah gerombolan tabuan22) berleret-leret seperti seekor naga. Ia melihat Gagak Seta berdiri tegak sambil menyapukan tongkatnya. Gerombolan tabuan yang kena hantamannya lantas saja bubar berderai. Tetapi barisan yang menyusul, segera melayang rendah dan menyambar ber-deru-deru. Titisari yang tadi terkejut oleh sikap Gagak Seta, kini tahu apa sebabnya. Melihat Gagak Seta dikerumuni ribuan tabuan kumatlah hati kanak-kanaknya. Dengan gembira, ia berloncat-loncatan sambil memekik-mekik. Waktu itu Gagak Seta nampak sibuk. Tangan dan tongkatnya berserabutan menyerang dan mempertahankan diri. Sangaji yang berdiri tak jauh daripada orang tua itu, segera datang menyusul dan menggebu tentara angkasa yang menyerang begitu bernafsu. Titisari heran, mengapa Sangaji berani melawan tentara tabuan dengan dada terbuka, la tak tahu, kalau anak muda itu pernah menghisap madu lebah Tunjungbiru, yang membuat dirinya kebal dari segala bisa tabuan. Kecuali itu, getah sakti Dewadaru yang mempunyai sifat menghisap terhadap segala, menolong dirinya pula. Karena begitu mencium bau binatang hidup, lantas saja bergolak hebat. Anehnya, pasukan tabuan itu seperti sadar akan bahaya. Mendadak saja mereka bubar berderai dan terbang terbirit-birit. Gagak Seta tercengang-cengang menyaksikan kesaktian Sangaji. Mula-mula ia menduga anak muda itu mempunyai ilmu sakti pengusir tabuan. Teringat akan daya sakti getah Dewadaru, batallah dia akan minta penjelasan. "Bagus!" ia berseru gembira. "Serbulah tabuan semua ini. Jangan biarkan mendekati kita. Aku akan menolong bakal isterimu." Sekali meloncat, Gagak Seta sudah berada di depan Titisari. Ternyata gadis itu, sudah hampir menjadi sasaran binatang-binatang angkasa. Agaknya, ketika merasa gagal me-nyerang kedua sasarannya segera merubah arah kepada sasaran yang lain. Gntunglah, begitu tentara tabuan menyerang dari angkasa, secepat kilat Gagak Seta menyambar pinggangnya dan dibawa lari kembali ke gubuk. Barisan tabuan itu kemudian beterbangan mengelilingi gubuk. Terhadap Sangaji, mereka tak berani menghampiri tapi terhadap Gagak Seta dan Titisari mereka tak kenal takut. Sangaji sadar akan kesaktiannya. Cepat ia menghampiri gubuk dan mengusirnya. Melihat datangnya Sangaji, cepat-cepat barisan tabuan itu lari menyibakkan diri. Yang masih bandel, tiba-tiba saja tersedot dan jatuh rontok dari udara. Ratusan ekor menempel pada lengan dan kaki Sangaji. Sedangkan yang akan rontok mengarah kepala, segera disapu bersih oleh Sangaji. Melihat kesaktian dan ketangkasan Sangaji, Titisari bergirang bukan main. Dia melompat-lompat kecil sambil membanggakan kawannya itu kepada Gagak Seta yang berdiri berenung-renung. Sekonyong-konyong terdengarlah siul panjang melengking di udara dan muncullah lima orang laki-laki di antara belukar yang tumbuh di seberang-menye-berang jalan. Barisan tabuan yang kacau itu kemudian seperti kena diatur kembali. Mereka terbang berputaran. Tak lama kemudian melanjutkan perjalanannya. Gagak Seta nampak tersinggung kehormatannya. Dengan meraup tanah, ia menghantam udara. Dan seperti hujan, barisan tabuan rontok berantakan. Segera lainnya hendak menuntut dendam, tapi kena dicegat Sangaji. Karena kesaktian getah Dewadaru dan madu lebah Tunjungbiru, semua dapat diusirnya pulang-pergi sehingga barisan angkasa kembali menjadi kacau. "Hoeeee, bangsat iblis!" terdengar salah seorang dari mereka yang datang menghampiri. "Kamu berani mengganggu tabuan piaraan kami, apakah sudah bosan hidup?" Mendengar dampratan itu, Titisari seperti mendapat napas. Memang dia seorang gadis bermulut tajam lantas saja membalas mendamprat. "Kau bilang apa, bangsat iblis? Kamulah yang berani mengganggu kami. Apa kamu sudah bosan hidup?" Mendengar Titisari mendamprat kelima orang pendatang itu, Gagak Seta bergembira. Segera ia membantu, "Hai! Apakah mereka bangsat iblis? Eh, bukan! Mereka iblis kudisan dan anjing-anjing buduk." "Eh, kenapa begitu?" sahut Titisari. "Pantas moyongnya begini galak." Kelima orang itu gusar bukan kepalang, mendengar suatu percakapan timbal-balik yang merendahkannya. Salah seorang yang berkulit hitam, tiba-tiba saja meloncat sambil menyodok Titisari dengan penggadanya. Ternyata dia bukan orang sembarangan. Karena serangannya cepat dan bertenaga. Tetapi Gagak Seta bukan pula laki-laki mu-rahan. Begitu melihat Titisari diserang, tongkatnya lantas saja menyekat. Dengan mengulum senyum, ia menggagalkan serangan sambil memusnahkan pula tenaga sambaran. Laki-laki berkulit hitam itu terperanjat bukan kepalang. Bagaimana tidak? Serangannya mendadak saja jadi macet. Bahkan tenaga jasmaninya pun lenyap tak karuan. Ia berusaha menarik penggadanya tetapi seperti terkait. Sadar akan bahaya, cepat-cepat ia mengerahkan seluruh tenaganya. Tenaganya tetap terenyahkan, la heran benar-benar. "Hm—kamu anjing buduk, bagaimana berani bertingkah di hadapanku. Minggat!" bentak Gagak Seta. Dengan sedikit menggetarkan tongkatnya, laki-laki itu tiba-tiba saja terpental di udara dan terlempar sejauh sepuluh langkah. Keempat kawannya tercengang-cengang. Mereka segera menghampiri, tetapi benar-benar aneh. Setelah kena dipentalkan di udara, dengan menungging laki-laki berkulit hitam itu terbanting di tanah. Dia mencoba berdiri, tetapi kembali jatuh terbalik. Sekali lagi hendak berdiri tapi sekali lagi pula jatuh terbalik. Akhirnya terkapar di atas tanah dengan napas kempas-kempis. "Kang Seto, bagaimana?" salah seorang di antara temannya menghampiri. Orang itu kelihatan heran, terkejut dan bingung. Mendengar teguran temannya, laki-laki berkulit hitam yang terkapar di atas tanah itu mencoba bangkit. Tapi begitu ia bangkit, kembali tubuhnya jatuh terjongkok. Tenaganya seperti terpunahkan. Tulang-belulangnya terasa terlolosi. Menyaksikan bagaimana rekannya kena dijungkir-balikkan dengan sekali hentak dan terus menanggung derita tak terpunahkan mereka tak berani lagi berlaku gegabah terhadap Gagak Seta. Serentak mereka bersiul memanggil barisan tahuannya dan berlindung dalam kerumunannya. Rupanya mereka telah minum obat pemusnah bisa, sehingga tidak takut berada di antara binatang-binatang angkasa yang berbisa itu. "Siapa kamu?" damprat salah seorang di antara mereka yang tadi memaki Gagak Seta, Titisari dan Sangaji sebagai iblis. "Jika kamu laki-laki, sebutkan nama kalian!" Gagak Seta mendongakkan kepala sambil tertawa terbahak-bahak. Sama sekali dia tak memandang mereka. "Hai, kamu bilang apa?" tiba-tiba Titisari membalas mendamprat. "Apakah matamu lamur, sampai aku pun kalian sebutkan laki-laki? Kamu gerombolan orang liar, kenapa menggembala begini banyak tabuan untuk mencelakai kami?" Selagi mereka hendak menjawab, tiba-tiba terdengarlah gemeretak roda kereta yang ditarik dua ekor kuda. Sekalian yang berada di tempat itu, menoleh ke arah jalan. Dan nampaklah seorang laki-laki berpakaian putih mendongakkan diri dari jendela kereta. Laki-laki itu kemudian memberi perintah kepada saisnya agar menghentikan kuda penarik dengan serentak. Kemudian ia meloncat ke tanah dan berjalan perlahan-lahan menghampiri mereka. Barisan tabuan yang kena dimasuki, segera bubar berderai dan beterbangan kalang-kabut. Kelima penggembala tabuan dengan gugup menyibak pula dan mem-bungkuk hormat kepadanya. Titisari terkejut, karena dia kenal siapakah orang itu. Dia adalah sang Dewaresi pemimpin rombongan dari Banyumas yang pernah mengganggunya di serambi kadipaten Pekalongan. Dia pulalah yang berani berkata keras di depan Pangeran Bumi Gede di dalam rapat agung. Pribadinya memang berwibawa dan berpengaruh. Gerak-geriknya gesit dan langkahnya penuh yakin. Tatkala melihat Titisari, sebentar ia terperanjat. Kemudian cepat tenang kembali seperti tidak mendapat sesuatu kesan. Dengan berku-lum senyum, ia menghampiri Gagak Seta sambil membungkuk hormat. "Beberapa sahabatku telah mengganggu Tuan. Atas kekurangajaran beberapa sahabatku, perkenankan aku meminta maaf," katanya. Kemudian beralih kepada Titisari, "Hai... Nona pun berada di sini. Mengapa meninggalkan Pekalongan tanpa pamit?" Titisari kenal akan perangai sang Dewaresi tatkala di serambi kadipaten. Maka ia tak menghiraukan ucapannya. Sambil menoleh kepada Gagak Seta ia berkata mengadu. "Paman Gagak Seta, inilah dia telur busuknya. Baiklah Paman menghajar padanya, biar kapok." Gagak Seta mengangguk. Kemudian dengan pandang tajam ia mendamprat sang Dewaresi. "Gdara memang milik manusia seluruh dunia. Aku tahu. Tapi mengapa kamu begini serakah, sampai dengan sewenang-wenang membiarkan binatang piaraanmu menggang-gu orang? Bersandar kepada pengaruh siapa, kamu sampai berani mengangkangi udara seolah-olah milikmu seorang?" "Tabuan ini datang dari jauh. Mereka sudah terbang melintasi wilayah negara berhari-hari lamanya. Mungkin mereka sudah lapar dan haus, sehingga susah dikendalikan lagi," sang Dewaresi membela. "Hm!" dengus Gagak Seta. "Sudah berapa kali kamu mencelakai orang?" "Kami melintaskan binatang-binatang itu di udara bebas yang jauh dari pedusunan. Belum pernah kami mencelakakan orang." "Eh—kau bilang apa? Bukankah kamu ini Dewaresi!" "Benar," sahut sang Dewaresi heran. Pandangnya beralih kepada Titisari. Lantasberkata, "Rupanya Nona ini yang memberitahukan namaku kepada Tuan." "Hai telur busuk!" damprat Titisari. "Kau bilang, aku menyebutkan namamu kepada Paman Gagak Seta. Siapa sudi menyebutkan namamu? Duh!" Sang Dewaresi tiada tersinggung hatinya oleh dampratan Titisari. Bahkan dia nampak tersenyum. Tanpa memperdulikan Titisari, ia berkata kepada Gagak Seta. "Sebenarnya siapakah Tuan yang terhormat?" Tapi sebelum Gagak Seta menjawab, kembali Titisari mendamprat sengit. "Bukankah kamu sudah mendengar, aku menyebutkan namanya? Kamu telur busuk memang banyak bertingkah, ldih!" Kembali sang Dewaresi tersenyum sambil mengerlingkan mata. Lakunya seperti kerbau nggayemi ) mendengar lengking suara Titisari. Diam-diam Titisari jadi dengki kepadanya. "Bukankah kamu anaknya Kebo Bangah?" Gagak Seta bertanya kepada sang Dewaresi. Belum lagi sang Dewaresi menyahut, mendadak saja kelima penggembala tabuan jadi gusar. Serentak mereka memaki. "Hai... kau laki-laki bangsat! Bagaimana kau berani menyebut nama junjungan kami dengan begitu saja." Gagak Seta tertawa terbahak-bahak sambil mendongakkan kepala. Berkata meyakinkan. "Orang lain memang harus membungkuk hormat terlebih dahulu sebelum memanggil namanya. Orang lain memang harus menyertai sebutan paduka yang mulia sebelum memanggil namanya. Orang lain harus memanggilnya dengan nama aslinya, Aria Bangah atau sebutan Gede Singgela. Tapi aku, boleh memanggil bangsat itu dengan Kebo Bangah. Memang dia seekor kerbau ). Kalian mau apa?" Mendadak saja sekali menekan tongkatnya, Gagak Seta melesat ke arah kelima orang itu. Kemudian menghadiahi mereka tamparan plak-plok-plak-plok serta melepas sambungan geraham. Dan pada detik itu pula, ia telah melesat kembali ke tempatnya semula. "Hai, Paman Gagak Seta!" teriak Titisari girang. "Paman belum mengajar kepandaian ini kepadaku," Titisari benar-benar bersikap dingin terhadap mereka, sehingga tak menghiraukan peristiwa penamparan itu. Keruan mereka yang kena tampar Gagak Seta, mukanya menjadi matang biru. Sang Dewaresi terperanjat menyaksikan kegesitan Gagak Seta, cepat-cepat ia menolong bawahannya, agar terbebas dari rasa sakit. "Hm, jadi kamu kemenakan bangsat Kebo Bangah?" Gagak Seta berkata dingin. "Sudah dua puluh tahun lebih, aku tak berjumpa dengan pamanmu. Apakah dia belum mampus?" Panas hatinya sang Dewaresi, mendengar nama pamannya diperlakukan demikian. Tetapi sadar kalau Gagak Seta bukan orang sembarangan dan rupanya sudah mengenal pamannya, mau tak mau ia harus menelan hinaan itu. Dengan terpaksa ia membungkuk hormat seraya berkata, "Paman pernah berkata kepadaku, bahwa sebelum sahabat-sahabatnya meninggal terlebih dahulu, dia belum mau kembali ke alam baka..." Gagak Seta tertawa gelak. Mendamprat, "Otakmu palsu seperti pamanmu. Kamu pandai memakiku dengan jalan memutar. Bagus! Aku hanya hendak minta penjelasan, mengapa kamu membawa binatang piaraan-mu menyeberang ke daerah Kasultanan?" Sang Dewaresi menyiratkan pandang kepada Titisari dan Sangaji. Melihat lengan dan kaki Sangaji penuh dengan tabuan, sesaat ia terhenyak. Pikirnya, lengan dan kaki bocah ini penuh rentep dengan tabuan Kelingking. Mengapa tidak mampus? Jangan lagi begini banyak, seekor tabuan Kelingking sudah dapat menyita nyawa seseorang. Memang selain bisa tabuan Kelingking berbahaya luar biasa, sesungguhnya jenis tabuan itu sudah ditaburi racun berbahaya pula. Binatang-binatang itu direndam terlebih dahulu ke dalam getah buah Ingas yang liurnya bisa membusukkan daging. Karena itu, seseorang yang kena disengat tabuan Kelingking, akan mati dengan daging membusuk. Sang Dewaresi jadi sibuk menebak-nebak. Mau dia percaya, kalau Sangaji memiliki ilmu sakti penolak bisa. Tetapi ilmu apakah itu? Menurut pamannya, di dunia ini tiada obat pemusnah racun Ingas dan bisa sengat kecuali yang dimiliki keluarganya. Dasar ia berotak terang, maka tak mau dia berlaku gegabah. Dengan mengimbangi gelagat, terpaksa ia membungkuk hormat lagi menyahut pertanyaan Gagak Seta. "Biasanya kami selalu tinggal di daerah Jawa Barat. Kali ini kami melancong ke wilayah Jawa Tengah. Karena iseng, kami membawa tabuan kami." "Kenapa?" "Bunga-bunga sari yang dibutuhkan tabuan kami, dewasa ini nyaris ludes..." Gagak Seta tertawa mendongak. "Kamu bisa mengecoh siapa saja, tapi janganlah terhadapku..." "Memang betul, Paman," sambung Titisari. "Telur busuk ini datang ke Jawa Tengah, karena memenuhi panggilan seseorang, la menghadiri rapat rahasia di serambi kadipaten Pekalongan. Bukankah begitu." Sebenarnya sang Dewaresi mendongkol mendengar ujar Titisari, tetapi dia bisa membawa diri. Dengan tersenyum manis, ia membalas dengan membungkuk hormat. "Hm—memang keponakan dan Paman, sama-sama busuk," kata Gagak Seta. "Kamu bisa malang-melintang di daerahmu tanpa ada yang mengusik. Tapi jangan mencoba-coba edan-edanan di sini. Jika Gagak Seta masih bernapas, janganlah bermimpi di siang hari bolong. Tapi karena memandang pamanmu, kali ini kamu kubebaskan. Nah, enyahlah dari sini!" Merah-padam muka sang Dewaresi direndahkan demikian rupa. Gntuk melawan Gagak Seta, terang ia merasa takkan menang. Hendak menerima hinaan itu alangkah sakit. Maka dengan cerdik ia membalas. "Jika demikian, kami mohon diri. Karena Tuan memandang Paman, baiklah pula kami akan menghadap Paman dan menyampaikan semua ucapan Tuan. Andaikata dalam beberapa tahun ini Tuan masih sehat wal'afiat, alangkah besar hati kami apabila Tuan sudi berkunjung ke pondok kami. Kami menjamin bahwa Tuan takkan menemukan suatu bahaya apa pun juga." Gagak Seta tertawa lebar. Katanya sambil menaikkan alis, "Benar-benar mulutmu licin seperti pamanmu. Tetapi aku tak mempunyai kebiasaan berjanji kepada seseorang. Hanya kutegaskan di sini, bahwa pamanmu tak takut kepadaku—aku pun tak takut padanya. Dua puluh tahun yang lalu, aku dan pamanmu pernah bertempur beberapa kali. Hasilnya setali tiga uang! Karena itu apa guna kini mengadu kekuatan lagi. Akhirnya sama juga..." ia berhenti mengesankan. Mendadak berubah menjadi bengis, "Eh—kamu masih menunggu apa lagi? Nah, enyahlah dari sini!" Sang Dewaresi terperanjat. Pikirnya, ilmu Paman belum kuwarisi separuhnya. Orang ini pernah bertempur dengan Paman dan tidak ada yang kalah atau menang. Pasti bukan orang sembarangan. Dan nampaknya, ia bukan pembual besar. Hm—kalau aku tak cepat-cepat mengundurkan diri, bisa aku dipermainkan di depan gadis ini... Mendapat pikiran demikian, segera dia memberi isyarat kepada kelima orang bawahannya. Kemudian setelah mengerling kepada Titisari, ia berjalan mengarahkan kereta kudanya. Kelima orang hamba sang Dewaresi segera bersiul nyaring. Barisan tabuan mendadak saja terbang menanjak udara dengan berdengung-an. Sebentar saja telah lenyap dari pengli-hatan. Dan mereka kemudian berjalan berdampingan dengan tersipu-sipu. "Paman Gagak Seta!" kata Titisari nyaring. "Benarkah orang dapat menguasai lebah!?" Gagah Seta menyusuti keringat di sepanjang lehernya, la menghela napas sambil meminta seteguk air. Maka mereka memasuki gubuk. Setelah meneguk air, berkatalah Gagak Seta berlega-hati. "Sungguh berbahaya...! Sungguh berbahaya...!" "Apakah yang membahayakan?" Titisari heran. "Duduklah!" perintah Gagak Seta. Kemudian berkata menasihati, "Jika kamu bersua dengan jahanam itu, cepat-cepatlah berlalu. Bukan terhadap ilmu berkelahinya, tapi semata-mata karena binatang piaraannya itu. Aku sih... tiada takut. Aku bisa berjaga diri dan mengusir pergi. Tetapi kamu... itu, sih lain." "Bukankah binatang piaraannya itu adalah lebah lumrah?" Titisari menungkas. "Bukan! Bukan! Tabuan itu bernama Kelingking. Lihat! Warnanya hitam bersemu hijau. Dan di sepanjang perutnya tergarit warna merah," sahut Gagak Seta sambil menjumput seekor tabuan yang mati merentep pada tubuh Sangaji. Setelah diperlihatkan kepada Titisari dia berkata lagi, "Konon kabarnya, tabuan ini hanya hidup di suatu pegunungan di daerah Jawa Barat. Binatang ini sudah berusia tua. Kabarnya, dulu adalah tabuan piaraan Aria Bangah, putera sulung Raja Siliwangi. Tatkala bertempur melawan Ciung Wanara, Aria Bangah mencoba mengerahkan tentara udaranya. Tetapi tak berhasil, karena Ciung Wanara memiliki khasiat sakti semacam yang dimiliki Sangaji. Dengan demikian, Aria Bangah dapat dikalahkan. Dia lari ke Jawa Tengah dan bermukim di Gunung Dieng. Ia hidup sebagai pendeta dengan gelar Kyai Gede Singgela. Tabuan piaraannya tetap dibawanya serta. Dan selanjutnya entah bagaimana tiba-tiba tabuan itu bisa dikuasai bandot busuk," ia berhenti lagi. Meneruskan, "Bandot busuk—paman Dewaresi itu—waktu mudanya bernama Gunawan. Rupanya setelah mendapat tabuan Kelingking, dan mendengar sejarah tabuan itu, lantas merubah namanya (nunggak semi ) dengan Aria Bangah gelar Gede Singgela. Tapi dasarnya dia seorang bandot seperti kerbau, maka kami tetap memanggilnya si Kebo Bangah," ia tertawa gelak. "Apa sih bahayanya tabuan Kelingking?" tanya Titisari dengan bernafsu. "Bisanya bagaikan seekor ular. Sekali kamu kena disengat, tak kan dapat disembuhkan dan dipulihkan kembali jika tiada bersedia menjadi hamba si bandot busuk itu. Karena dialah satu-satunya orang di seluruh dunia ini yang memiliki obat pemusnahnya. Kabarnya, tabuan Kelingking direndamnya pula dalam getah buah Ingas yang berliur racun jahat. Kauta-hu warna buah Ingas? Bentuknya seperti sawo. Seseorang yang kena sentuh liurnya, akan mati membusuk. Karena itu bagaimana bahayanya bisa kaubayangkan. Mungkin kamu bisa menghindarkan diri dari sengatan dua ekor tabuan. Tapi tidak untuk seratus atau seribu ekor yang menyerangmu sekaligus dari berbagai jurus... Tadi kulihat Sangaji bisa melawannya. Mula-mula aku kaget. Kemudian heran. Akhirnya aku gembira dan bersyukur. Kupikir, andaikata mereka melawan aku bisa menghadapinya. Sedangkan terhadap tentara tahuannya adalah bagianmu. Hanya saja... andaikata si Kebo Bangah bandot busuk itu muncul pula, nah itulah berbahaya. Aku, sih tak takut padanya. Tetapi kamu berdua, meskipun sudah hampir meyakinkan ilmu saktiku yang kuberikan kepadamu, belum bisa melawannya. Sekali kamu bertempur takkan bisa lolos dari pengamatannya..." "Apa dia maha-sakti?" Titisari cemas. "Apakah ayahmu belum pernah memberi tahu kepadamu, bahwa di dunia ini selain ada Kyai Kasan Kesambi, Pangeran Mangkubumi I, Pangeran Samber Nyawa, Kyai Haji Lukman Hakim, ayahmu dan Gagak Seta masih ada seorang lain bernama Kebo Bangah?" Titisari menarik napas. Seperti terhadap diri sendiri, dia berkata perlahan, "Pangeran Mangkubumi I, Pangeran Samber Nyawa dan Kyai Haji Lukman Hakim sudah wafat. Kini tinggal Kyai Kasan Kesambi, Ayah, Paman Gagak Seta dan Kebo Bangah. Siapakah di antara keempat orang yang masih hidup itu, yang terunggul?" "Meskipun keenam orang masih hidup lengkap, takkan mampu melawan Kyai Kasan Kesambi." "Bagus!" Titisari girang. "Bukankah Kyai Kasan Kesambi adalah kakek-guru Sangaji?" "Ya," sahut Sangaji berbesar hati. "Aku adalah murid Wirapati—murid keempat Kyai Kasan Kesambi." "Aku sudah mengetahui. Caramu mengatur napas, caramu bergerak dan gaya lakumu adalah gaya warisan Kyai Kasan Kesambi. Meskipun kamu telah menghisap getah sakti Dewadaru dan menelaah ajaran napas Ki Tunjungbiru, apakah kau kira kamu mampu mewarisi ilmu saktiku begini gampang, andaikata kamu tak memiliki warisan ilmu Kyai Kasan Kesambi?" sahut Gagak Seta sungguh-sungguh. "Anak! Kyai Kasan Kesambi kini sudah menjadi seorang pertapa. Dia tak mengurusi soal keduniawian. Tapi cobalah kamu datang menghadap padanya. Jika dia mau memberi wejangan ) dan wewenangan ) tentang cara melebur ilmu sakti Bayu Sejati dan ilmu sakti Kumayan Jati, kamu akan menjadi satu-satunya orang yang bakal bisa menggempur kecongkakkan Kebo Bangah. Apa lagi, jika bakal mertuamu mau campur tangan. Karena dengan demikian, sekaligus kamu memiliki ilmu-ilmu simpanan Surengpati, Kyai Kasan Kesambi dan Gagak Seta. Siapa orang di seluruh dunia yang mampu menandingi ilmu gabungan kami bertiga?" Mendengar ujar Gagak Seta, mata Titisari bersinar-sinar penuh harapan. Sedangkan Sangaji nampak gelisah luar biasa. Sebab, tiba-tiba saja teringatlah dia kepada gurunya yang sudah berjalan mendahului sebulan yang lampau. Tiba-tiba Gagak Seta melompat berdiri dan kemudian berjalan mondar-mandir seperti laku serigala, la termenung-menung beberapa saat lamanya. Kemudian berkata seorang diri. "Bandot bengkotan Kebo Bangah itu sudah berhasil memiliki Ilmu Swaradahana untuk menaklukkan semua binatang galak dan berbisa. Inilah ketekunan yang tidak mudah. Dewaresi bisa menghasut yang bukan-bukan kepadanya. Dan sekali keluar dari sarangnya, pastilah Bandot bangkotan itu membawa binatang piaraannya yang beraneka warna. Aku harus menemukan suatu senjata penangkis untuk melawan binatang-binatangnya yang berbisa..." Titisari jadi ikut berpikir pula. "Paman! Di tempat kami, di kepulauan Karimun Jawa, penduduk gemar makan ulat lebah. Aku pernah ikut salah seorang pelayan kami yang sering mencari sarang-sarang lebah di hutan. Dia membebat kepalanya dengan kain tebal. Kemudian dengan membawa obor dia mengusir kerumunan lebah. Dengan demikian berhasillah dia membawa sarang lebah pulang." "Hm, bagus!" sahut Gagak Seta, tetapi mukanya nampak suram. Ia berjalan mondar-mandir kian cepat. "Tapi aku bukan seorang perempuan yang hanya pandai mempertahankan diri atau hanya mengusir tabuan," katanya seperti memaki diri sendiri. Titisari terdiam, la tak berkata lagi. Dan membiarkan Gagak Seta sibuk seorang diri semalam penuh. Keesokan harinya karena melihat Gagak Seta agaknya membatalkan kepergiannya, segera ia berkemas dan berangkat memasuki dusun berbelanja. Waktu matahari hampir mendekati titik-te-ngah, ia datang kembali dengan membawa dua ekor ayam dan sebuah bungkusan tebal. Beda dengan biasanya, Gagak Sata sama sekali tak menaruh perhatian kepada dua ekor ayam yang dibawanya. Masih saja ia duduk termenung-menung seperti seorang lagi ber-duka. Dengan demikian, Titisari bisa memasak dengan leluasa tanpa gangguan. Setelah selesai memasak, ia membuka bungkusannya. Kemudian berkata kepada Sangaji. "Aji! Kau bisa bermain dakon?" Dia adalah gadis lincah yang tak senang kepada suatu kemurungan. Gntuk mengisi kekosongan hati, ia mencari kesibukan lain. Tadi ia membeli sebungkus isi sawo. Maksudnya hendak dipergunakan sebagai biji-biji permainan dakon ). Tapi kawannya—Sangaji—adalah seorang pemuda yang dibesarkan di tangsi militer Belanda. Masa kanak-kanaknya hilang direguk suatu nasib yang tak berketentuan. Permainan kanak-kanak, tak begitu banyak dikenalnya. Kecuali, memancing, berketapel, berlari, berburu dan adu tinju. "Dakon? Apa dakon itu?" "ldih! Masa tak tahu?" Titisari setengah menyesali. "Mari kuajari." Dengan tersenyum pahit, Sangaji menghampiri. Ia merenungi gadisnya, tatkala membuat enam belas lobang di tanah. Kemudian mengisi tiap lobang dengan tujuh biji isi sawo. "Sekarang lihat dan dengarkan petunjuk-petunjukku," hendak mulai mengajar. Mendadak saja, Gagak Seta yang duduk termenung-menung seorang diri melesat sambil meraup semua biji isi sawo. "Ini dia! Ketemu! Ketemu!" serunya girang. Kemudian ia lari keluar gubuk dan dengan sekaligus menebarkan seraup biji isi sawo ke udara. "Hai! Bukankah isi sawo ini bisa dijadikan senjata pembidik pemusnah tabuan?" katanya nyaring. Melihat Gagak Seta begitu girang, Sangaji dan Titisari saling memandang. Mereka ikut pula lari keluar gubuk menyaksikan Gagak Seta membidikkan biji-biji sawo dengan cekatan dan berwibawa. "Ah!" seru Titisari tertahan. "Sekiranya biji-biji sawo bisa Paman jadikan suatu senjata bidik, alangkah gampang. Aku bisa mengumpulkan biji sawo ribuan dalam sehari." "Kamu memang anak siluman," kata Gagak Seta. "Seandainya tidak ada kamu, sampai kepala ubanan tak bakal aku menemukan senjata pemusnah untuk melawan tabuan si bandot Kebo Bangah. Hai, kamu bocah berdua, ikutlah aku! Bukankah kamu ingin kuajari ilmu membidik untuk menum-bangkan lawan dari jauh?" Orang tua itu lantas saja menarik lengan kedua muda-mudi itu. Mereka dibawa lari memasuki hutan. Dan di sana mereka diajar menimpuk dari jauh dan membidik cepat. Ilmu membidik dan menimpuk tidak hanya bersandarkan suatu tenaga jasmani belaka. Tetapi harus menguasai tenaga napas yang teratur. Dengan demikian, bisa mengendalikan daya tekan dan lontaran yang dikehendaki. Untuk melahirkan ilmu itu, mereka berdua membutuhkan waktu sepuluh hari lamanya. Tetapi Gagak Seta nampak bergirang benar. Dengan pandang berseri-seri tak bosan-bosan ia memuji hasil penemuannya itu. "Memang aku seorang jembel. Hm, bagaimana aku bisa membeli alat senjata yang bukan-bukan. Sekarang aku tak perlu lagi kain penutup tubuh atau obor gede. Cukup dengan sekali lontaran, aku bisa meruntuhkan ribuan tabuan. Si tua bangsat Kebo Bangah pasti akan mendongkol setengah mati..." Karena gembiranya, Sangaji diajari pula ilmu permainan petak. Mula-mula ber-loncat-loncatan seperti kanak-kanak bermain petak. Tapi lambat laun, terasa besar daya gunanya. Karena tiba-tiba menjadi ilmu rahasia mengenal bidang gerak. Untuk menguasai ilmu petak ini, Sangaji memerlukan sembilan hari lamanya. Sebaliknya Titisari sudah dapat memahami dalam waktu hanya tiga hari saja. Dengan demikian, nampaklah perbedaan nilai kecerdasan antara Sangaji dan Titisari. Sesungguhnya, sampai di kemudian hari Sangaji tak dapat melawan kecerdasan otak Titisari. Sebaliknya, Titisari di kemudian hari menemukan suatu kesulitan karena kecerdasan otaknya sendiri. Seperti diketahui, seseorang yang terlalu pandai tak betah menekuni suatu ajaran sampai mencapai dasarnya, karena tak mau terikat oleh suatu pengertian tunggal yang beku. Deru hatinya ingin menguasai ilmu-ilmu yang lain dengan cepat dan sekaligus seperti arus air turun dari ketinggian yang segera meraba seluruh persada bumi yang dihadapi. Itulah sebabnya, dalam hal ketabahan, keuletan, kesempurnaan dan ketangguhan tak menang dengan Sangaji. Setelah menerima ajaran ilmu petak, Gagak Seta hendak menurunkan pula ilmu menggunakan tongkat. Tetapi Sangaji menolak. "Mengapa?" Gagak Seta heran. "Otakku terlalu bebal," katanya. "Paman sudah mengajariku begini banyak. Ilmu Kumayan Jati saja belum dapat kukuasai dengan sempurna." Gagak Seta terhenyak sebentar. Dengan berdiam diri ia merenungi pemuda itu. Pikirnya, anak ini jujur, sederhana, dan berhati mulia. Hatinya tidak serakah seperti kebanyakan. Kukira hanya alasan yang di cari-cari saja, dia menyatakan tidak akan sanggup menerima beberapa macam ilmu. "Sangaji! Kamu seorang yang jujur," akhirnya dia berkata. Kemudian dengan menggandeng Titisari ia berkata kepada gadis itu, "Ayo, kita berlatih!" Dan dengan sekali melesat, tubuhnya hilang di balik semak-belukar dengan menggandeng Titisari. Pada suatu hari, Gagak Seta tidur mendengkur di bawah pohon jati. Waktu itu matahari lagi sepenggalan tingginya, Sangaji berada tak jauh dari orang tua itu—lagi menekuni rahasia-rahasia Ilmu Kumayan Jati. Titisari merenungi Gagak Seta. Terasalah dalam hatinya, bahwa dalam beberapa hari lagi orang itu akan berangkat berpisah entah ke mana. Mengingat budinya, dia jadi terharu. Timbullah niatnya hendak membalas jasa orang itu sekuasa-kuasanya. Maka ia hendak berbelanja. Dalam benaknya ia sibuk merencanakan suatu resep masakan yang istimewa. Dengan menjinjing keranjang, ia memasuki Dusun Karangtinalang. Pagi itu, penduduknampak sibuk. Sebagai seorang gadis yang berwatak usil, lantas saja ia sibuk me-nebak-nebak. Bukankah hari ini, hari biasa? pikirnya. Mengapa mereka berada di jalan begini berbondong-bondong? Mendapat pikiran demikian, segera ia mempercepat langkah. Kemudian menggabungkan diri ke dalam kerumunan orang. Tak usahlah lama ia menunggu teka-teki itu, atau ia melihat kereta kuda berderet-deret. Dua belas ekor kuda nampak pula tercincang di seberang-menye-berang jalan. "Eh, apakah ada keramaian?" ia sibuk menduga-duga. la berhenti di depan sebuah rumah yang berhalaman luas. Rumah itu terlalu sederhana. Dinding dan tiang-tiang gurunya terdiri dari bambu yang sudah tua. Di tempat-tempat tertentu meskipun belum reot sudah banyak yang keropos. Halamannya yang luas nampak tak terpelihara. Semak belukar tumbuh dengan liarnya. Samar-samar beberapa pohon tinggi yang berdiri sebagai pagar, kelihatan hitam semua seperti bekas kena bakar. Rumah ini tidak ada keistimewaannya. Reyot dan tak terpelihara. Nampaknya habis mengalami kebakaran. Mengapa mendapat perhatian begitu besar? Titisari berpikir dalam hati. Rasa usilnya lantas saja menjadi berkobar-kobar. Ia melongokkan kepala di antara penduduk yang berdiri merubung jalan. Mendadak saja, ia melihat seorang gadis berjalan menyusup di seberang sana. Dialah Nuraini—anak pungut Wayan Suage—yang berjalan bersama Wirapati dua bulan yang lampau. Melihat dia Titisari lantas saja membuntuti. Ternyata, Nuraini berusaha melintasi halaman rumah itu dengan hati-hati. Begitu berhasil berada di tepi sana, segera ia mempercepat langkah. Ia memasuki suatu tikungan dan mulailah dia berlari-lari. Mendadak saja sesosok bayangan bekelebat di depannya. "Kau lagi mencuri apa?" bayangan itu menegur galak. Nuraini terperanjat sampai raut mukanya berubah. Melihat siapa yang menghadang, hatinya jadi lega. "Ah! Bukankah kau sahabat Kangmas ) Aji?" ujarnya. "Kangmas, kangmas, kangmas," damprat Titisari tak senang. "Mengapa memanggil kangmas?" Sebentar Nuraini tercengang mendengar bunyi teguran itu. Kemudian menjawab, "Karena dia putera almarhum Made Tantre. Aku sendiri anak pungut almarhum Wayan Suage. Se-lain almarhum Made Tantre lebih tua usianya daripada ayah-angkatku kangmas Sangaji pun beberapa tahun lebih tua daripadaku." Titisari terdiam. Tapi kesan mukanya tetap keruh. Tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. "Dimanakah guru Sangaji?" "Ah, Beliau sudah mendahului pulang ke Sejiwan. Dia sudah menunggu terlalu lama. Mengira, Kangmas Aji mengambil jalan lain ia segera meneruskan perjalanan." "Inilah aneh. Mengapa kamu di tinggal seorang diri?" Nuraini tersenyum lebar. Ia memaklumi kecurigaan Titisari. Lantas saja memberi penjelasan. "Pertama-tama, aku pernah hidup di dusun ini beberapa tahun lamanya. Hampir semua penduduk mengenalku. Kedua, Paman Wirapati meninggalkan pesan untuk Kangmas Aji, apabila dia lewat dusun ini. Ketiga, aku ingin berbicara kepadanya tentang pesan penghabisan ayah-angkatku." Titisari merenungi Nuraini dengan pandang tajam, la melihat gadis itu bersanggul bentuk Jawa Barat dan mengenakan tusuk rambut dari emas yang dihiasi pula dengan beberapa butir intan. Mendadak saja ia menyambar cepat dan mencabut tusuk rambut itu dari sanggul. Nuraini terperanjat. Ia sama sekali tak mengira Titisari akan memperlakukannya demikian rupa, sehingga tusuk rambut itu bisa tercabut dari sanggulnya. Tak peduli dia seorang gadis yang cekatan, tangkas, gesit dan pandai berkelahi. "Adik!" serunya menebak-nebak. "Mengapa... Mengapa?" Tetapi Titisari sesungguhnya seorang gadis yang nakal. Perangainya angin-anginan pula. Dia bisa menangis dan tertawa dengan berbareng. Kadang-kadang tingkah-lakunya lembut. Mendadak sontak bisa jadi berandalan. Dan kali itu, watak berandalannya lagi kumat, karena hatinya panas mendengar Nuraini menyebut kangmas terhadap Sangaji. Maka ia hendak mempermainkannya. Dengan menjulurkan lidah ia berkata nakal. "Hai yayi Nuraini... Aku pinjam tusuk rambutmu hendak kuperiihatkan kepada Kangmas Sangaji." Merah muda raut muka Nuraini mendengar olok-olok Titisari. Dengan mengendapkan rasa mendongkolnya, ia mencoba. "Adik! Kembalikan!" "Idih! Kembalikan? Baik, kamu boleh ambil kembali kalau mampu," sahut Titisari. Dan setelah berkata demikian, sekonyong-konyong ia melesat pergi. Pikirnya, kebetulan. Biar ku-ujinya ilmu petak Paman Gagak Seta dengan dia. Hm... enak saja kamu memanggil kangmas, Aji adalah kepunyaanku. Kau tak boleh menyebut namanya tanpa izinku..." Nuraini tak mengetahui isi hati Titisari. Ia mengira, gadis cantik itu hendak menggodanya barang sebentar. Tak tahunya, dia benar-benar lari dengan cepat. Maka rasa mendongkolnya berubah menjadi panas. Sekaligus ia menjejak tanah dan melesat mengejar. Nuraini sebenarnya bukanlah seorang gadis sembarangan. la gesit, cekatan dan tangkas. Seumpama Titisari belum mewarisi ilmu petak dari Gagak Seta, pasti akan bisa dikejarnya dengan gampang. Sayang, Titisari sekarang bukan lagi Titisari dua bulan yang lalu. Seperti kupu-kupu ia melesat ke sana ke mari seperti kanak-kanak bermain gobak sodor ). Aneh-nya, larinya cepat luar biasa. Diam-diam Nuraini heran. Dan ketika ia mengamat-amati, hatinya tercekat. Hai! Bukankah ini ilmu petak paman Gagak Seta? pikirnya dalam hati. Aneh! Apakah dia muridnya? Ah, mustahil Paman Gagak Seta mengambil seorang murid. Dan tak mungkin pula dia menjadi murid seorang aneh itu. Mendapat pikiran demikian, hatinya yang mulai cemas menjadi tenang kembali. Tetapi Titisari waktu itu memang sengaja menguji ilmu petak ajaran Gagak Seta. Karena itu lam-bat-laun kecurigaan Nuraini kian naik. Segera ia mengenali dan rasa cemasnya bergolak hebat. "Adik!" serunya mencoba. "Apa kabar Paman Gagak Seta?" Mendengar Nuraini menyerukan nama Gagak Seta, Titisari heran sampai berhenti berlari. Kemudian menyongsong dan mendadak saja melesat sambil menghantam tulang rusuk. "Adik! Adik! Siapa adikmu?" dia mendamprat. Buk! Tulang rusuk Nuraini kena dihantamnya dengan satu jurus Ratna Dumilah. Nuraini jadi penasaran. Melihat perangai Titisari, lantas saja timbullah marahnya. Segera ia mengadakan perlawanan. "Huh! Apa sih hebatnya Ilmu Ratna Dumilah," ejek Titisari. Kemudian dengan gesit ia mengelak dan menghajar tulang rusuk Nuraini kembali. Buk! Nuraini heran bukan kepalang. Pikirnya, apakah benar-benar dia murid Paman Gagak Seta? la mencoba menyerang. Sekarang ia mendapat kepastian. Titisari lagi menggunakan jurus yang sedang dilancarkan. Bahkan lebih gesit dan lebih sempurna. Keruan ia kaget sampai berteriak, "Tahan dulu. Siapa yang mengajarimu jurus ini?" Titisari tertawa. Menjawab, "Inilah ciptaanku sendiri. Mengapa? Apakah murahan?" Setelah berkata demikian dengan memutar tubuh ia melancarkan jurus ketiga. Melihat gerakannya, Nuraini bertambah heran. Katanya, "Kau kenal nama Gagak Seta?" "Tentu saja aku kenal dia. Sebab dia adalah sahabatku. Soalnya, inilah ilmu ciptaanku untuk merabu musuh. Lihat!" Tanpa mempedulikan keadaan hati Nuraini dia terus menyerang dengan jurus-jurus Ratna Dumilah bertubi-tubi. Sudah barang tentu Nuraini keripuhan. Satu dua kali dia bisa menangkis. Selanjutnya terpaksa mundur dan mundur. Tetapi Titisari terus memberondongi pukulan-pukulan dahsyat. Memang dia lagi kumat. Hatinya gemas, sekaligus ia menyerang dengan sungguh-sungguh. Kadang-kadang menggunakan jurus-jurus warisan ayahnya. Sudah barang tentu, Nuraini bukan tandingan lagi. Sebentar saja pundaknya kena terhajar dan kemudian pinggangnya. Tak ampun lagi ia roboh terjengkang. Titisari benar-benar nakal. Melihat Nuraini roboh, tusuk rambut sitaannya lantas diancamkan di depan kedua kelopak mata. "Ih! liiih!" ia gemas dan seolah-olah ingin mencublas sekali tusuk. Nuraini memejamkan mata. Bulu kuduknya menggelidik. Ia mencoba menyenakkan mata. Terlihatlah tusuk rambutnya berkelebat di depan gundu matanya. Keruan ia cepat-cepat menutup mata menunggu nasib. Tetapi ternyata Titisari tiada mengusik matanya. Maka timbullah watak perwiranya. "Kau menggangguku tanpa perkara. Kalau mau membunuh, bunuhlah cepat. Jangan menyiksaku dengan membutakan mata." "Hm, membunuh sih perkara gampang. Tapi tiada niatku hendak membunuhmu," sahut Titisari sambil tertawa nakal. "Hanya saja kamu harus bersumpah tujuh turunan kepadaku." Nuraini beradat angkuh, kukuh dan keras hati. Dalam soal kehormatan diri, ia memilih mati daripada dihina. Maka ia menantang. Keruan ia cepat-cepat menutup mata menunggu nasib... "Kalau kamu mau membunuh, bunuhlah! Tapi jangan bermimpi kamu bisa memaksaku bersumpah segala terhadapmu." "Eh—hm..." Titisari mengancam. "Baiklah, kamu sudah kuberi kesempatan. Sayang ... sayang... rupamu cantik... siapa mengira akan mati muda..." Nuraini memejamkan matanya rapat-rapat. Kedua telinganya ditutupnya rapat. Dan mulutnya terkatup rapat untuk menguatkan hati. Karena itu, sejenak jadi hening. Mendadak ia mendengar Titisari berkata, "Meskipun ayah-angkatmu adalah sahabat ayah Sangaji, tapi kamu baru berkenalan dengan dia selama setengah hari saja. Sebaliknya, aku sudah bersahabat beberapa hari sebelumnya. Aku memanggilnya Aji begitu saja. Mengapa kamu begitu lancang dengan memanggilnya kangmas? Apakah kaukira, dia sudi jadi suamimu?" Mendengar ujar Titisari, Nuraini heran sampai tercengang-cengang. "Kau bilang apa?" tanyanya menegas. "Bagaimana kamu berkata, bahwa aku bakal jadi isteri kangmas Sangaji?" "Hm... aku bukan goblok! Kau tadi berkata, kalau kamu akan membicarakan suatu pesan almarhum ayah-angkatmu. Hayo... pesan apa itu!" "Ah!" Nuraini terkejut. Mendadak terus berkata dengan mantap. "Baik... kau menghendaki aku bersumpah apa?" "Pertama-tama, kau harus menerangkan bunyi pesan gurunya. Kedua, kau harus menerangkan bunyi pesan ayah-angkatmu. Ketiga, kau tak boleh kawin dengan Sangaji," sahut Titisari dengan sungguh-sungguh. Mendengar ujar Titisari, Nuraini tertawa. Tiba-tiba timbullah pula sifat gadisnya, "Baik-baik aku... bersumpah... eh tidak... Eh! Eh! Siapa mengira, kalau Kangmas Sangaji mempunyai cadangan isteri begitu molek. Meskipun tak usah bersumpah, bagaimana aku bisa kawin dengan dia." "Hai, benarkah itu?" seru Titisari girang. Terus ia melepaskan ancamannya sambil minta ketegasan lagi, "Mengapa? Apa karena Aji seorang pemuda yang bebal otak? Atau karena tidak tampang? Hayo bilang!" Nuraini menarik napas lega, karena terbebas dari ancaman. Matanya bersinar girang. Melihat perangai dan keadaan hati Titisari, hatinya bertambah-tambah lega. Menjawab tenang, "Dengarkan! Bukankah aku harus menerangkan semua? Yang pertama, gurunya berpesan kepadanya agar dia cepat-cepat menyusul ke Sejiwan. Dia akan ditunggu di kaki gunung. Dan benda yang dicari belum diketemukan. Gurunya menunggu penjelasannya. Kedua, inilah pesan ayah-angkatku yang hendak kubicarakan dengan Kangmas Sangaji. Ayah-angkatku memang berpesan kepadanya, agar dia... agar dia mengambilku sebagai isterinya. Tetapi ah,... Ayah lupa, kalau aku sudah menjadi milik orang lain. Karena itu, bagaimana bisa aku melakukan pesan itu?" Mendengar ujar Nuraini, Titisari girang bukan kepalang sampai mau melompat. Lantas saja dia berkata nyaring merendahkan diri, "Maaf! Aku salah duga. Jika demikian, tak usahlah kamu menepati tuntutanku yang penghabisan. Kau boleh memanggil Aji dengan kangmas." Setelah berkata demikian, ia memeluk Nuraini dan menciuminya. Kemudian dengan kata mesra ia minta penjelasan, "Sesungguhnya, kamu milik siapa?" Nuraini tak menjawab dengan segera. Mukanya merah dan tiba-tiba menunduk ke tanah. Akhirnya berkata tersendat-sendat, "Kamu sudah pernah melihatnya." "Aku sudah pernah melihat?" Titisari mengerutkan dahi. Sebentar dia berdiam menebak-nebak, kemudian berkata, "Hm... apa ada seorang pemuda yang bisa mencuri hatimu?" "Eh!" Nuraini tertawa lebar, "Apa di dunia ini hanya ada Kangmas Sangaji belaka?" "Habis?" Titisari tertawa merasa, "Siapa yang melebihi dia? Apa kamu tidak berbohong tak mau kawin dengan dia?" "Meskipun aku hendak digantung, takkan mau aku menjadi isterinya." "Mengapa? Apa karena dia tolol?" "Tolol?" Nuraini terbelalak. "Sama sekali tidak. Aku mengagumi keluhuran budinya, kemuliaan hatinya dan keperwiraannya." Titisari jadi sibuk sendiri mendengar ujar Nuraini. "Inilah aneh." Nuraini kemudian menekan pergelangan tangan Titisari sambil berkata menguji, "Adikku. Ingin aku bertanya kepadamu. Benar-benarkah di dalam dunia ini hanya ada seorang Sangaji belaka dalam hatimu?" Titisari adalah seorang gadis polos. Mendapat pertanyaan demikian tanpa segan-segan terus mengangguk. "Sekiranya di dunia tiba-tiba muncul seorang pemuda yang jauh lebih ganteng dan perkasa, apakah kamu akan meninggalkan dia?" ujar Nuraini lagi. "Aku meninggalkan dia? Hm... jangan bermimpi. Hanya saja, di kolong dunia ini tak bakal ada seorang pemuda yang bisa melebihi Aji. Aku yakin." Nuraini tertawa. "Aduh! Sekiranya Kangmas Sangaji mendengar kata-katamu, bagaimana takkan berbesar hati dia. Dan tahukah kamu adikku, kalau di dalam hatiku pun tersimpan sebutir mutiara yang tak bisa terenggutkan lagi? Keadaan hatiku samalah halnya dengan keadaan hatimu." "Siapakah dia?" "Kamu pernah melihatnya, tatkala ayah-angkatku membuka arena di lapangan terbuka." "Ah!" Titisari tersadar. Terus menebak, "Bukankah pemuda itu memenangkan arena, pertandingan? Dia anak Pangeran Bumi Gede si Sanjaya. Bukankah dia?" Nuraini mengangguk sambil menyahut, "Dia boleh menjadi anak pangeran. Dia boleh menjadi seorang pengemis, apa peduliku? Dia boleh berhati mulia. Dia boleh berhati buruk. Dia boleh berhati jahat, kejam dan segalanya. Dalam hatiku, dialah mutiara hatiku seorang yang akan kubawa mati." Suara Nuraini kian jadi pelan dan mendadak saja berubah mengharukan. Titisari jadi mengerti perasaannya. Dengan penuh perasaan ia menangkap pergelangan tangan Nuraini. Kemudian ia mengangsurkan tusuk rambut yang dirampasnya. "Maaf atas perlakuanku tadi. Ini kukembalikan." Sinar mata Nurani berkilat-kilat tatkala menerima tusuk rambut itu. Ia menciumnya dengan mesra. Titisari yang cerdas lantas saja dapat menebak. "Apakah benda ini dari dia?" Nuraini mengangguk. "la menghadiahkan benda ini kepadaku diam-diam, tatkala aku berada dalam kamar tahanan. Katanya, "Itulah tusuk sanggul ibunya." Titisari dapat merasakan rasa bahagia Nuraini. Lantas saja ia memeluknya. Nuraini pun membalas memeluk pula. Dengan demikian, mereka berpadu jadi berpeluk-pelukan. Hatinya berpadu dan seperti senasib. "Adik," tiba-tiba Nuraini berkata lagi. "Kulihat kau tadi menggunakan jurus-jurus ajaran Paman Gagak Seta. Benarkah itu?" "Kaukenal dia?" Nuraini mengangguk. "Ah," Titisari heran, kemudian meneruskan, "Memang aku menerima ilmu Paman Gagak Seta yang bernama Ratna Dumilah dengan lengkap." Kini Nurainilah yang menjadi heran. Ujarnya, "Kamu diwarisi ilmunya?" Titisari segera mengisahkan riwayat pertemuannya sampai dapat mewarisi ilmu sakti itu. "Kamu beruntung, adikku," tungkas Nuraini. "Menurut kabar, Paman Gagak Seta tak pernah mengajar seseorang lebih dari satu jurus. Jika beliau mewarisiku tiga jurus, adalah suatu keuntungan belaka. Waktu itu, aku masih kanak-kanak. Ayah sering meninggalkan aku seorang diri sehingga kerapkali satu hari penuh aku tak bertemu dengan sesuap nasi. Rupanya dia iba kepadaku. Aku diajari beberapa jurus Ilmu Ratna Dumilah. Tapi dasar otakku bebal, maka aku hanya mewarisi tiga jurus belaka. Dia lantas menghilang tak tahu rimbanya." Titisari mendengarkan keterangan Nuraini dengan sungguh-sungguh. Teringatlah dia, bagaimana Nuraini dulu menghajar beberapa orang kalang-kabut dengan ketiga jurus yang kini telah dikenalnya. Ia percaya, kalau Nuraini tidak berdusta. Tiba-tiba saja, terdengarlah daun kering ber-gemerisik. Sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Gagak Seta telah berada di depannya. Agak jauh di belakangnya, berdiri Sangaji pula. "Hai anak siluman!" damprat Gagak Seta kepada Titisari. "Jika kenakalanmu itu kauulangi lagi terhadapnya, aku akan menamparmu sampai jera." Setelah berkata demikian, ia melesat pergi dan lenyap dari penglihatan. Titisari terperanjat sampai berdiri tegak. Tahulah dia bahwa selama dia berkutat dengan Nuraini, Gagak Seta berada tak jauh daripadanya. Karena itu, malu bukan kepalang. "Titisari!" terdengar Sangaji agak menyesal. "Perbuatanmu tadi kena intainya." "Mengapa kamu berdiam saja?" Titisari membalas menyesali. "Aku didekapnya!" jawab Sangaji. "Aku diajak menyusulmu, karena dia hendak meninggalkan kita dengan tergesa-gesa." Titisari membungkam. Ia kenal sepak-ter-jang Gagak Seta yang aneh. Hanya saja cara berpamit Gagak Seta kepadanya, agak luar biasa. Tapi seumpama nasi sudah menjadi bubur, semuanya telah terjadi. Mau tak mau dia harus menelan kesan yang kurang sedap itu. Mendadak Sangaji berkata penuh selidik. "Titisari! Mengapa kamu tadi mengancam Nuraini. Paman Gagak Seta kulihat tubuhnya sampai bergemetaran." Memperoleh pertanyaan itu, Titisari benar-benar jadi kelabakan. Maklumlah, dia teringat akan alasan perbuatannya hendak memaksa Nuraini agar bersumpah takkan menjadi isteri Sangaji. Tapi dasar ia cerdik, maka cepat-cepat ia mengalihkan persoalan. "Aji! Kemari! Kamu dicari adikmu," ujarnya sambil menjatuhkan gundu mata kepada Nuraini. Sangaji terhenyak. Melihat Nuraini dan teringat pula akan pesan Wayan Suage, mukanya menjadi merah. Seperti seseorang yang merasa bersalah, ia datang menghampiri dengan mengunci mulut. Kemudian duduk agak jauh di sebelah kiri. Nuraini tahu membaca hati mereka berdua. Ia tertawa perlahan-lahan, tetapi tak berkata sepatah kata pun juga. Diam-diam Sangaji dan Titisari berterima-kasih kepadanya oleh alasannya masing-masing. "Kak Nuraini membawa pesan untukmu," kata Titisari memecahkan ketegangan. Teringat akan gurunya, mendadak Sangaji jadi gopoh. Ya, bukankah sudah lebih satu bulan dia berpisah dengan gurunya? Sekaligus hilanglah perhatiannya terhadap laku Titisari kepada Nuraini yang belum terjawab. Maka terloncatlah pertanyaannya. "Apakah kamu membawa pesan guru? Dimanakah dia?" "Paman Wirapati menunggumu sampai dua minggu di sini. Kemudian berangkat ke timur. Seminggu kemudian dia memberi kabar padaku tentang benda warisanmu. Dia berhasrat benar hendak menemukan. Tapi sampai sekarang, tiada kabar beritanya. Barangkali sekarang ini dalam perjalanan pulang ke Sejiwan. Kamu diperintahkan agar cepat-cepat menyusul. Dia akan menyongsong di kaki Gunung Damar." "Kalau begitu, ayo kita berangkat!" ajak Sangaji. Tetapi Nuraini menggelengkan kepala. Pemuda itu menjadi heran. "Mengapa?" dia menegas. "Aku harus menjaga rumah." "Menjaga rumah? Apakah rumahmu..." "Bukankah kamu dilahirkan dan dibesarkan pula di dalam rumah itu?" potong Nuraini. Diingatkan tentang hal itu, mendadak saja tubuh Sangaji bergetar. Hatinya terguncang. Lantas saja dia menjadi terharu. "Kak Nuraini!" Titisari menungkas. "Dinding mempunyai telinga. Marilah kita mencari tempat yang aman, agar bisa berbicara lebih leluasa." Peringatan itu menyadarkan mereka berdua. Lantas saja bertiga mereka pulang ke pondok. Di sana mereka lantas berbicara seleluasa-luasanya. Nuraini mengabarkan tentang per-jalanan bersama Wirapati. Sedangkan Sangaji dan Titisari mengkisahkan tentang pertemuan dengan Gagak Seta. "Kak Nuraini," kata Titisari. "Paman Gagak Seta mewarisiku beberapa macam ilmu sakti. Jika kamu menghendaki, aku akan mengajarimu." Tetapi Nuraini menggelengkan kepala. "Terima kasih. Akhir-akhir ini aku mempunyai persoalan yang belum kuselesaikan. Jika telah selesai, kelak aku akan mencarimu." Lembut kata-kata Nuraini, tetapi berwibawa dan berpengaruh sehingga Titisari yang usilan terbungkam karenanya. Tak terasa matahari terus merangkak-rangkak ke barat. Senja hari mulai tiba. "Ijinkan aku menengok rumah sebentar," kata Nuraini lagi. "Mengapa tidak kita bertiga?" Sangaji menyahut dan terus saja bangkit. "Kita mempunyai tamu. Biarlah kutengok-nya dahulu." "Tamu?" Sangaji heran. Belum lagi Nuraini memberi keterangan, Titisari menegas, "Apakah rumah Sangaji berada di suatu pekarangan yang luas?" Nuraini mengangguk. Matanya terbelalak. "Yang kaumaksudkan tamu, bukankah orang-orang yang berkendaraan kereta dan kuda?" Kembali lagi Nuraini mengangguk. Kemudian berkata, 'Tadi aku ke kali. Sewaktu hendak pulang, kulihat banyak kereta berkuda berhenti di depan rumah. Hati-hati, aku berjalan melintasi pagar. Tak tahunya, kamu mengikutiku. Bukankah begitu?" Titisari tertawa, lantas menceritakan riwayat pertemuannya dengan Nuraini kepada Sangaji. Tetapi pemuda itu seolah-olah tiada mendengarkan. Ia nampak sibuk seorang diri. Memang hatinya sedang diamuk oleh bermacam-macam perasaan yang datang pergi tiada berketentuan. Menjelang petang hari, Nuraini pergi seorang diri dan pulang ke pondok sesudah Isa. Wajahnya nampak cerah dan sekali-kali tersenyum samar-samar. Titisari melihat perubahan itu, tetapi berlagak seolah-olah tak memperhatikan. "Malam ini kalian tak dapat menjenguk rumah," kata Nuraini. "Banyak tamu tak diundang menginap di situ. Dan kalian tahu, siapakah mereka? Mereka adalah yang pernah muncul di lapangan kadipaten Pekalongan." "Eh, mengapa mereka sampai di sini?" Sangaji terperanjat. Ia menduga, pastilah ada hubungannya dengan Wayan Suage. Pikirnya, pantas, Yuyu Rumpung berkeliaran di sekitar desa ini. Kemudian berkata hati-hati penuh selidik, "Apakah mereka datang bersama Pangeran Bumi Gede? Mustahillah, apabila mereka mengetahui rumah Paman Wayan Suage tanpa mendapatkan keterangan sebelumnya. Nuraini, apakah pendapatmu tentang mereka? Apakah kepentingannya?" "Siapa tahu?" sahut Nuraini tenang? Dan sama sekali ia tak mengemukakan pendapatnya. Karena itu, Sangaji jadi gelisah seorang diri. Tetapi melihat Titisari tetap tenang lam-bat-laun hatinya jadi tenteram juga. Meskipun demikian, hatinya sibuk menduga-duga. Malam itu, ia berbaring di depan pintu memandang alam, Nuraini dan Titisari berada di dalam. Mereka berdua nampak seia sekata. Ia mengira, kalau mereka berdua sudah tidur dibuaikan mimpinya masing-masing. Tetapi sesungguhnya tidak demikian. Titisari yang usilan sebenarnya berpura-pura memejamkan mata. Dengan diam-diam, ia mengamat-amati gerak-gerik Nuraini yang mendadak berjalan mondar-mandir di depan dipan. Gadis itu kelihatan sangat sibuk. Keningnya berkerut-kerut seperti ada sesuatu soal yang sedang dipecahkan. Beberapa saat kemudian, Nuraini mencabut suatu benda dari sanggulnya. Benda itu di-amat-amati, dibuainya lembut dan akhirnya diciumnya berulang kali. Titisari tersenyum melihat perangainya. Tahulah dia, bahwa benda itu adalah tusuk rambut hadiah Sanjaya yang tadi pagi dapat dirampasnya. Mendadak suatu pikiran menusuk benaknya, apakah Sanjaya berada pula di antara mereka. Jika dia berada di antara mereka, pastilah ayahnya mendampinginya pula. Nuraini terus menciuminya tiada hentinya. Mulutnya tersenyum manis. Kemudian mulutnya berkomat-kamit. Dan terdengar dia berbisik, "Kamu memang nakal, tapi... kamu pandai merusak hatiku." Titisari terus berpura-pura tidur pulas. Tetapi setiap kali, ia tak lupa menyenakkan mata untuk menonton sandiwara yang berlaku di depannya. Mendadak saja Nuraini menyimpan tusuk rambut itu. Kemudian memutar tubuh. Hati-hati ia berjalan mengendap-endap menghampiri pintu belakang dan setelah membuka daunnya, terus saja meloncat keluar. Titisari heran bukan kepalang. Kecurigaannya lantas saja timbul. Dasar dia berwatak usil-an, maka ia meloncat pula dari pembaringan dan terus menyusul menyekat kepekatan malam. Dalam hal ilmu berlari, Titisari lebih gesit daripada Nuraini. Pertama-tama, ia sudah mewarisi sebagian ilmu ayahnya. Dan kedua, sudah mendapat ilmu petak dari Gagak Seta. Maka sebentar saja, bayangan Nuraini sudah terkejar. Dilihatnya Nuraini berlari secepat angin menuju ke timur. Dan ia terus menguntit dari jarak tertentu agar tak diketahui. Ternyata Nuraini menuju ke rumah usang yang berhalaman luas. Itulah rumah orangtua Sangaji yang dahulu terbakar habis oleh rombongan penari aneh dari Banyumas. Wayan Suage yang dapat diselamatkan Wirapati, mencoba membangunnya kembali. Meskipun tidak sementereng dahulu, tetapi cukuplah untuk berteduh dua keluarga. Namun hatinya terlalu sedih teringat oleh peristiwa terkutuk dahulu. Maka ia meninggalkan rumah tak terawat itu untuk merantau mencari isterinya. Dalam rumah, dian memancarkan sinar terang. Sedangkan di halaman depan, beberapa orang bertiduran di tengah alam. Nuraini tak mengenal takut. Melihat halaman depan terjaga rapat, maka ia memasuki halaman belakang yang penuh semak belukar. Lantas ia menghampiri dinding rumah dengan berjinjit-jinjit. Dari luar pagar nampaklah sesosok bayangan berjalan mondar-mandir pada dinding bambu oleh pantulan cahaya dian. Dan Nuraini seperti kagum mengamat-amati bayangan itu. Titisari terus saja melompati pagar belakang dan bersembunyi di belakang pohon. Melihat Nuraini yang seperti orang linglung mengawasi bayangan yang bergerak-gerak di dinding, ia jadi geli. Pikirnya, hm... pastilah dia pemuda puja-annya yang sudah diintipnya semenjak tadi. Hampir satu jam lamanya, Nuraini tetap tak bergerak di tempatnya. Lama kelamaan Titisari kehilangan kesabarannya. Dalam hati memakilah dia, Eh... kamu pengecut benar. Kalau memang cinta, mengapa tak berlaku terang-terangan. Bukankah kamu bisa menjebol jendela dan terus saja masuk? Memang Titisari seorang gadis berhati polos. Apa yang terasa dalam hati, terus saja dilakukan tanpa ragu-ragu dan pertimbangan. Maka begitu ia melihat sikap Nuraini, lantas saja dia hendak membuat jasa. Dengan gesit ia meloncat menghampiri jendela dari arah lain. Ditahanlah napasnya agar tiada mengejutkan Nuraini. Ia bermaksud hendak mengetuk jendela dan terus melontarkan Nuraini ke dalam. Tetapi baru saja ia hendak bertindak, mendadak di depannya suatu langkah berderap memasuki serambi rumah. Terdengar suara menghormat. "Raden Mas... kita sudah berusaha mencari benda itu. Tapi masih saja belum berhasil." "Lantas?" terdengar suara memotong. Titisari mengerling kepada Nuraini. Nampak gadis itu terkejut girang, dan tahulah Titisari, bahwa yang bersuara itu adalah Sanjaya. "Para pendekar sakti masih saja menjaga sungai itu dengan rapat. Mereka melihat sesosok bayangan yang menyelundup ke dalam kolongan. Bayangan itu mencurigakan. Sayang, waktu dikejar tiba-tiba bisa melenyapkan diri seperti setan." Mendengar ujar orang yang sedang memberikan laporan kepada Sanjaya, Titisari terperanjat. Apakah bayangan itu bukan Paman Wirapati, guru Sangaji? pikirnya sibuk. Jika demikian, aku harus berwaspada. Siapa tahu mereka datang kemari karena benda warisan Wayan Suage pula? Memperoleh pikiran demikian, segera ia mengundurkan diri dengan perlahan-lahan. Kemudian menghampiri serambi tengah dan sisi lain. Lantas saja ia mendekam dan mengintip dengan diam-diam. Ia heran berbareng girang. Karena yang berada di dalam ternyata Sanjaya dan pendekar Madura Abdulrasim, yang pernah mengadu kepandaian di dalam serambi kadipaten Pekalongan dahulu. Sanjaya nampak bermenurig-menung. Kemudian terdengar pendekar Abdulrasim tertawa melalui dada. Katanya memaklumi, "nDoromas, aku pun pernah menjadi- anak muda. Apakah nDoromas masih saja terkenang pada tawanan yang sudah hilang tak karuan itu?" Sanjaya terkejut. Pandang matanya seko-nyong-koyong berkilat-kilat. Mendengus, "Paman, tebakanmu setengah benar. Memang semenjak aku berkenalan dengan dia, hatiku senantiasa tak tenteram. Tak kukira aku berada di dalam rumahnya." Maksud Sanjaya adalah membicarakan Wayan Suage, tatkala ditawannya sebagai seseorang bernama Mustapa. Tetapi baik Abdulrasim maupun Titisari salah duga. Kedua-duanya mengira, bahwa hati anak muda itu lagi risau memikirkan Nuraini. Pikir Titisari, hm, kamu dan Nuraini benar-benar lucu. Kamu begini resah hati memikirkannya. Padahal, gadismu sudah berada di luar dinding. Gadismu pun gelisah bukan kepalang. Karena mendapat kesan lucu, tanpa disadari tertawa geli. Sanjaya terperanjat mendengar bunyi tertawanya. "Siapa?" ia membentak sambil memadamkan pelita, Abdulrasim pun secepat kilat melesat keluar pintu dan memburu keluar halaman. Titisari tak menyahut. Tetapi dengan sebat ia menyambar Nuraini. Dan sebelum Nuraini sadar akan perbuatannya, ia telah menerkam urat ketiak sehingga gadis itu tak dapat berkutik. Kemudian berkatalah Titisari sambil tertawa geli. "Kak Nuraini! Tak usahlah malu-malu kucing! Tak usah pulalah gelisah, aku akan mengantarkanmu kepadanya." Waktu itu kebetulan sekali Sanjaya membuka pintu jendela. Kesempatan itu dipergunakan Titisari dengan bagus dan cepat. "Terimalah! Inilah kekasihmu!" katanya. Sehabis berkata demikian ia melemparkan ke dalam. Dan berbareng dengan gerakan itu ia melesat pula keluar pagar. Itulah sebabnya, tatkala Abdulrasim sampai di luar tiada melihat sesuatu kecuali terbukanya pintu jendela. Sanjaya terperanjat bukan main, tatkala melihat sesosok tubuh terlempar ke dalam. Entah mengapa, mendadak saja kedua tangannya menyambut dan tanpa dikehendaki sendiri lantas saja memeluknya. "Siapa yang bosan mati sampai berani memasuki jendela?" bentak Abdulrasim dari luar jendela. "Paman! Masuklah kembali! Nyalakan lampu!" sahut Sanjaya gugup. Seperti anjing terpukul kepalanya, Abdulrasim melesat ke dalam lewat jendela. Kemudian dengan cekatan ia menyalakan lampu. Ketika melihat siapa yang berada di dalam pelukan Sanjaya, tanpa berkata lagi terus saja ngeloyor pergi. Keruan Sanjaya jadi merah padam mukanya. Tetapi ia harus menerima keadaan itu. Perlahan-lahan ia meletakkan tubuh Nuraini di atas lantai. Kemudian mundur dengan pandang menebak-nebak. "Apakah kamu masih kenal padaku?" ujar Nuraini dengan suara lembut. Sanjaya mengamat-amati. Mendadak dia kaget. Katanya gugup, "Kau?" "Ya, aku. Mengapa?" sahut Nuraini dengan tersenyum. "Tadi adalah sahabatku yang nakal, dengki dan jahil. Dia mengikutiku dengan diam-diam. Tiba-tiba melemparkan aku ke dalam tanpa kusadari." Sanjaya diam menimbang-nimbang sebentar. Kemudian mempersilakan Nuraini duduk di atas kursi. Gadis itu pun tak menolak. Tetapi ia menundukkan kepala dan mengunci mulut. Sanjaya merenungi dengan penuh selidik. Dilihatnya gadis itu agak pucat karena terkejut. Tetapi nampak juga selapis cahaya merah tanda bergirang. Dadanya berdetakan pula. Sebagai seorang pemuda yang cerdik dan berpengalaman, tahulah dia menebak hatinya. Karena dapat menebak, hatinya sendiri seko-nyong-konyong berdebaran pula. "Apa perlumu mengunjungi aku pada malam hari begini?" tegurnya. Mendapat pertanyaan demikian. Nuraini tak kuasa menjawab. Kepalanya kian menunduk. Dan Sanjaya lantas saja jadi perasaan. Teringatlah dia, kalau gadis itu telah kehilangan ayahnya. Hatinya lantas menjadi iba. "Adik!" kata Sanjaya penuh iba. "Ayahmu telah meninggal dunia. Kutahu, kamu akan menjadi anak yatim piatu. Apakah pendapat-mu, jika aku mengajakmu hidup bersamaku dalam satu keluarga? Kamu akan kuanggap sebagai adikku sendiri." "Aku adalah anak-angkat ayahmu... bukan anak kandungnya..." bantah Nuraini. Sanjaya tersadar. Pikirnya, ya, benar... antara aku dan dia tidak ada hubungan darah. Mendapat pikiran demikian, bakat buayanya lantas saja timbul. Tanpa ragu-ragu lagi, ia terus memeluknya. Hatinya berdebaran, karena angannya sudah mulai menari-nari dalam benaknya. "Inilah untuk ketiga kalinya aku memelukmu," bisiknya. "Yang pertama tatkala kita bertanding. Yang kedua, tatkala berada di ambang pintu kamar tahanan. Dan yang ketiga... ah, sekarang kita tidak ada yang mengganggu lagi." Mendengar bisik pemuda idaman hatinya, napas Nuraini terasa sesak. Hatinya berbahagia bukan main, sampai mulutnya tak dapat berkutik. "Mengapa kamu tahu, aku berada di sini?" Sanjaya berkata lagi. "Bukankah ini rumah kita?" jawab Nuraini. "Setiap malam kamu selalu kukenangkan. Di luar dugaanku, kamu tiba-tiba berada di sini. Apakah kamu sedang menjenguk kampung halamanmu?" Diingatkan tentang rumahnya, dengan sendirinya teringatlah dia kepada Wayan Suage yang dikabarkan sebagai ayah kandungnya. Hatinya lantas tergetar, sehingga tanpa disadari ia mengurai pelukannya. Syukur, Nuraini sedang tertambat hatinya. Gadis itu tak melihat suatu kesan. "Kini aku tak berayah-bunda lagi," bisik Nuraini. "Apakah kamu akan membiarkan aku hidup sebatang kara?" Sanjaya seorang pemuda yang licin. Mendengar bisik Nuraini, cepat-cepat ia melenyapkan kesannya. Dan dengan manis sekali ia membalas. "Kata-kata itu janganlah kamu ulangi lagi. Untuk selama-lamanya aku adalah kepunyaanmu dan kamu adalah pula milikku untuk selama-lamanya." Pemuda itu kemudian mengusap-usap rambut Nuraini dengan penuh kasih. Dan Nuraini puas bukan kepalang. Dengan pandang cemerlang ia menatap wajah Sanjaya, kemudian menghadiahi suatu senyum madu. "Benarkah katamu?" ia minta ketegasan. 'Tentu. Aku akan mengawinimu." "Kau tak berpura-pura?" "Aku bersumpah, jika aku menyia-nyiakan dikau biarlah tubuhku mati terkupas senjata tajam." Hati Nuraini tergetar mendengar bunyi sumpahnya. Kemudian ia berdiri perlahan-lahan dan berkata penuh wibawa. "Sesungguhnya aku anak yatim-piatu. Hidup diselimuti alam. Banyak sekali aku tak mengenal tata-santun pergaulan golongan tertentu. Tetapi aku bukanlah seorang gadis hina. Sekali aku menaruh hati kepadamu, biar menghadapi lautan api atau terancam ribuan senjata pun, aku akan tetap mengikutimu ke mana saja kaupergi." Sanjaya adalah seorang pemuda yang pandai main sandiwara. Tetapi mendengar bunyi ketetapan hati Nuraini, mau tak mau ia terkesiap. Hatinya berdetakan dan tiba-tiba saja ia menaruh hormat kepadanya. Dengan sedikit membungkuk ia berkata, "Adikku engkau adalah kekasihku." Nuraini mengamat-amati. Kemudian tertawa bahagia. Berkata penuh yakin, "Sebentar atau lama, kamu pasti kembali ke kota. Aku akan menunggumu di sini. Di rumah ini. Di rumah ayah-angkatku dan ayahmu. Kapan saja, kamu boleh mengirimkan utusan ke mari untuk meminangku..." ia berhenti karena napasnya menjadi amat sesak. Meneruskan, "Sebaliknya... aku akan menunggumu dan tetap menunggumu selama hayat di kandung badan." "Tentang hal itu, janganlah kau beragu," sahut Sanjaya cepat. "Setelah aku selesai mempersiapkan diri, segera aku akan ke mari menjemput dikau." Mendengar janji Sanjaya, air mata Nuraini tak dapat ditahannya lagi. Berbareng dengan percikan air mata, gadis itu tersenyum puas. Kemudian berputar mengungkurkan Sanjaya. "Kau mau ke mana? Bukankah kamu akan bermalam di sini?" Sanjaya gugup. Wajah Nuraini jadi merah dadu. Ia menatap Sanjaya. Ketika tiada kesan buruk, ia tersenyum sambil menjawab, "Aku takkan pulang sebelum engkau pergi. Sementara aku tidur di rumah sahabatku." Sanjaya tak dapat menahannya lagi, meskipun besar keinginannya hendak berada dekat padanya. Ia melihat Nuraini meloncat jendela dan hilang di seberang sana. Saat itu ia merasa dirinya seolah-oleh sedang bermimpi. Dengan hati puas, Titisari pulang ke pondoknya untuk terus tidur. Karena memperoleh pengalaman yang menggembirakan, cepat sekali ia tertidur pulas. Tahu-tahu, matahari telah menjenguk di udara. Sebentar ia heran, ketika belum melihat Nuraini. Tetapi apabila mengingat peristiwanya semalam, segera ia dapat memaklumi. Lantas saja ia mencari Sangaji yang sudah bersiap dan terus menceritakan peristiwa Nuraini semalam. Mendengar Sanjaya berada di Desa Karangtinalang, hati Sangaji jadi berdegupan. Ia curiga dan dalam benaknya timbullah suatu teka-teki gemuruh. "Jika demikian, tak usahlah kita menunggu dia. Ayo kita berangkat!" ajaknya gelisah. Titisari menyetujui dan gadis itu segera mandi. Setelah bersantap, mereka bergegas menuju ke timur menghindari jalan raya. Maksudnya hendak menjauhi tamu-tamu yang datang. Tetapi ternyata dusun itu telah sunyi kembali. Rupanya para tamu sudah meninggalkan dusun semenjak matahari belum menyingsing, mereka jadi beriega hati. "Titisari!" kata Sangaji. "Apakah kita meninjau dahulu tempat penyimpanan kedua pusaka warisan Paman Wayan Suage?" Titisari meninggikan alis. Sejurus kemudian menjawab, "Ayo kita ke sana. Tetapi kita harus pandai melihat keadaan." Mereka berdua kemudian mengarah ke tenggara. Jalan besar yang menuju ke Desa Kemarangan, Pesantren dan Bener, dihindari. Karena mereka melihat bekas tapak-tapak kuda dan roda kereta. Sebaliknya mereka menyeberangi hutan belukar yang penuh dengan semak-semak berduri. Lewat waktu zhuhur, mereka telah sampai di Dusun Kaliba-wang. Dari sana mereka mengarah ke desa Gowong dan Singajaya. Dan menjelang petang hari mereka telah berada di tepi Sungai Jali. Perjalanan mereka tiada mudah. Seumpama tubuh mereka tidak cukup kuat dan tabah, pastilah tak gampang dapat mencapai desa itu dalam waktu satu hari saja. Meskipun demikian, mereka bukanlah manusia yang terdiri dari besi dan baja. Maka rasa lelah akhirnya memaksa mereka untuk beristirahat Selagi mereka duduk berdiam untuk melemaskan urat-uratnya, sekonyong-konyong terdengarlah suara orang berbicara tak jauh di sebelahnya. "Telah kuketahui tempat penginapan Gusti Ayu Retnoningsih. Dia berada di suatu rumar dekat pesanggrahan Adipati Purworejo di Gebang." "Ah! Masa dia berada di sana? Apa kerjanya?" "Barangkali dia sedang ikut keluarganya bercengkerama siapa tahu." "Baiklah! Mari kita tinjau dahulu. Apabila benar, menjelang pagi kita bekerja," sahut yang lain setelah diam sejurus. Mereka berbicara dengan perlahan-lahan, tetapi keadaan sekitar tempat itu sunyi senyap, maka tiap patah katanya terdengar sangat jelas. Sangaji terperanjat. Kecurigaannya timbul sekaligus. Ingin ia menjengukkan kepala agardapat mengetahui siapakah yang sedang berbicara tadi. Mendadak Titisari meloncat sambil berkata nyaring. "Hai Aji! Kau tak sanggup menemukan tempat persembunyianku. Nah, tangkaplah aku kalau kau mampu!" Sangaji dapat menebak maksud Titisari yang cerdik itu. Tiada ragu-ragu lagi ia terus memburunya dengan tertawa geli. Titisari senang melihat Sangaji dapat menebak maksudnya. Maka ia terus lari berputaran dengan langkah bergedebukan. Sangajipun berlari-lari pula seperti seorang pemuda dusun yang goblok. Dua orang yang sedang berbicara tadi kaget. Karena tak menyangka bahwa di petang hari terdapat sepasang muda-mudi berada di tepi kali. Tetapi ketika melihat cara mereka berlari-larian, kecurigaannya hilang. Mereka menyangka, kalau Titisari dan Sangaji adalah anak kepala desa atau anak seorang priyayi ) pangreh-praja. Meskipun demikian, mereka cepat-cepat menjauh dan menyeberangi kali Jali dengan tergesa-gesa. Setelah main ubak-ubakan beberapa saat lamanya, Titisari dan Sangaji berhenti berlari. Kemudian saling memberi isyarat dan terus mengintip dari jauh. "Apa mereka bermaksud baik?" Sangaji minta pertimbangan. Titisari menaikkan alisnya. Dahinya berke-rinyut. "Yang dibicarakan bukan orang semba-rangan. Paling tidak, mereka telah mengikuti Putri ningrat itu semenjak lama." "Apakah perlu kita perhatikan?" "Hm... malam itu bukankah kita tidak ada pekerjaan? Jurusan yang harus kita tempuh pun menyeberangi sungai pula. Baiklah, daripada kita menganggur, kita ikuti mereka dari jauh. Siapa tahu ada totonan yang menarik hati." Sangaji tahu kalau Titisari adalah gadis yang nakal dan usilan. tetapi apa yang dikatakan, tiada terlalu salah. Percaya kepada kecerdasan otaknya, ia menduga bahwa Titisari pasti telah dapat menebak sebagian besar dari pembicaraan mereka meskipun hanya beberapa patah kata. Maka ia menyetujui sarannya. Si Willem dan kuda putih milik Titisari segera diseberangkan dengan hati-hati. Syukurlah, meskipun arus sungai sangat deras, tetapi tiada dalam. Maka setelah berjuang beberapa waktu lamanya, mereka berhasil mencapai seberang sana dengan selamat. Malam hari, bulan tiada di udara. Alam hitam lekam seolah tersekati tirai. Hanya bintang-bintang bergetar lembut jauh di angkasa dan tiada pedulian seperti semenjak Adam belum dilahirkan. Angin pegunungan mulai meniup tajam, menggelitikkan bulu roma. Anjing-anjing pedusunan sekali-kali menggonggong menghardik sasaran yang dicu-rigai. Tak lama kemudian mereka telah sampai di perbatasan Desa Gebang. Willem dan si kuda putih disembunyikan di dalam ladang teta-naman. Dan mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Desa Gebang ternyata merupakan sebuah desa yang terpandang juga. Rumah penduduk tegak berdiri di seberang-menyeberang jalan. Dan rata-rata terdiri dari papan kayu yang cukup rapat. Dibandingkan dengan keadaan desa lainnya, sesungguhnya Desa Gebang termasuk sebuah desa yang makmur. Dengan mudah mereka mendapatkan pesanggrahan Adipati Purworejo yang terletak di tepi desa menghadap ke selatan. Halamannya luas dan dari balik dinding rumah nampak cahaya dian berpencaran menggapai alam ria. Mereka segera balik mencari kudanya. Dan di tengah ladang itu, mereka berbaring melepaskan lelah. Sangaji dan Titisari adalah dua serangkai muda-mudi yang masih penuh semangat. Kecuali itu, sudah mempunyai pengalaman agak lumayan bergaul dengan alam. Itulah sebabnya, mereka mulai bisa bertiduran dengan begitu saja di tengah alam tanpa banyak pertimbangan lagi. Tubuhnya terlalu kuat pula melawan serangan angin dan hawa bumi. Lewat tengah malam, mereka bangkit berbareng. Tubuhnya cukup segar kembali, dan mereka bergegas memasuki desa. Keadaan desa sunyi-senyap, lengang dan mencurigakan. Mereka terus meloncati pagar pesanggrahan dan memanjat pohon yang berdiri tegak di luar kamar ruang tengah. Dengan beraling-aling segerombol mahkota daun, mereka menjenguk ke dalam lewat celah-celah atap. Apa yang mereka lihat, membuat hatinya terperanjat karena kagum. Di dalam kamar itu nampak tujuh orang wanita yang jelita. Ketujuh wanita itu duduk bersimpuh di atas lantai menghadap seorang gadis yang sedang merenda. Itulah Gusti Ayu Retnoningsih yang dimaksudkan kedua orang yang berbicara di tepi Sungai Jali tadi. Wajahnya cantik luar biasa. Melihat kecantikan Gusti Ayu Retnoningsih, Umbulah kenakalan Titisari. Gadis itu lantas saja mencubit paha Sangaji, sampai anak muda itu kelabakan. Karena Titisari tiada bersuara, maka mau tak mau Sangaji harus menderita cubitan itu dengan mengunci mulut. Tak lama kemudian, terdengarlah suara gemeresek di luar halaman. Titisari menarik lengan Sangaji agar berwaspada. Dan dengan segera, mereka melihat dua sosok bayangan berkelebat memasuki halaman. Melihat bentuk tubuhnya, mereka segera mengenalnya sebagai seorang laki-laki yang berbicara di tepi kali petang hari tadi. Kedua orang tadi langsung saja menuju ke bawah jendela dan mendengarkan suara dehem tiga kali. Dua wanita yang bersimpuh segera membuka jendela sambil minta penjelasan. "Siapakah yang datang mengunjungi kami?" Dua orang tadi lantas saja melesat memasuki kamar dengan melewati jendela. Melihat mereka, Gusti Ayu Retnoningsih cepat-cepat mempersilakan duduk sambil menanyakan namanya. "Hamba bernama Tukimin dan dia adalah kemenakan hamba bernama Paiman," sahut laki-laki jangkung sambil bersembah. Gusti Ayu Retnoningsih mengamat-amati muka Tukimin dengan cermat. Melihat mukanya penuh bekas luka, mendadak matanya bersinar. Menegas, "Bukankah kamu ini yang terkenal dengan nama Sondong Majeruk?" Laki-laki itu terkejut. Kemudian bersembah sekali lagi sambil menjawab, "Ah, Gusti Ayu benar-benar bermata tajam. Memang hamba digelari orang sebagai Sondong Majeruk. Sebenarnya tak berani hamba digelari sebagai Sondong Majeruk. Sebenarnya tak berani hamba mengenakan nama keramat seorang tokoh kenamaan pada zaman Pesantrenan. Pernah pada suatu kali hamba bertemu dengan guru Gusti Ayu Retnoningsih, sang Perwira Suryaningrat, salah seorang murid Kyai Kasan Kesambi pertapa sakti di Gunung Damar. Hamba banyak memperoleh ajaran-ajaran ilmu gelar dan gulung dari padanya. Dan semenjak itu, hamba merasa diri hamba sekerdil ibu jari. Lantas hamba memutuskan hendak menggunakan nama hamba yang asli saja." Mendengar orang itu menyebutkan nama Suryaningrat sebagai guru Gusti Ayu Retnoningsih, Sangaji terperanjat sampai tubuhnya bergetar. Tahulah dia, bahwa Suryaningrat adalah adik seperguruannya gurunya Wirapati. Seperti diketahui, Kyai Kasan Kesambi mempunyai lima orang murid. Gagak Handaka, Ranggajaya, Bagus Kempong, Wirapati dan Suryaningrat, dengan sendirinya menjadi adik-seperguruan Sangaji. "Sangatlah besar rasa terima-kasihku, kamu sudi membantuku menghadapi bahaya tak terduga ini. Ayahku telah berangkat pulang dahulu ke timur. Dan aku diperintahkan menunggu Kangmas Ontowiryo di sini. Mendadak salah seorang dayangku memberi kabar tentang maksud jahatnya. Di dalam hal ini, sangatlah besar terima-kasihku kepadamu. Aku akan patuh dan mendengar semua kata-katamu." "Gusti Ayu! Janganlah menyanjung-nyanjung hamba demikian tinggi. Kedatangan hamba ini, semata-mata karena dititahkan junjungan hamba sang Perwira Gagak Seta agar melindungi Gusti Ayu. Jadi sudah selayaknya, bahwa sanjung puji itu harus dialamatkan kepada beliau," sahut Sondong Majeruk dengan takzim. Mendengar disinggungnya nama Gagak Seta, Sangaji jadi terperanjat lagi. Sekaligus sibuklah dia menduga-duga tentang diri Gagak Seta. Apakah orang jempol itu mempunyai laskar terpendam? Mengingat dia dahulu pernah berjuang melawan Belanda di samping Pangeran Mangkubumi I, maka tiada mus-tahillah kini mempunyai pengikut bekas laskar pejuang. Mendapat pikiran demikian, hatinya jadi tenteram dan bertambah-tambahlah dia menaruh hormat kepada orang tua itu. Mendadak lengannya kembali dicubit Titisari. Bisik gadis cilik itu, "Adik seperguruanmu begini cantik. Mestinya kamu harus memperlihatkan jasa." Merah muka Sangaji mendengar kata-katanya. Meskipun berotak sederhana, tahulah dia ke mana maksud kalimat gadis itu. Tapi ia heran, bagaimana Titisari bisa mengerti kalau Gusti Ayu adalah adik-seperguruannya. Belum lagi dia berbicara, Titisari seolah-olah telah dapat membaca isi hatinya. Katanya berbisik lagi, "Tiap orang di seluruh penjuru dunia ini, masa tak mengenal nama murid Kyai Kasan Kesambi?" Alasan Titisari benar-benar masuk akal dan bernalar. Maka dia membatalkan maksudnya hendak berkata, dan mengarahkan perhatiannya kembali kepada Gusti Ayu Retno-ningsih. "Gusti Ayu! Jahanam itu benar-benar bagaikan binatang. Setiap kali mengadakan perjalanan, belum pernah ia pulang dengan tangan kosong. Pasti ada barang dua-tiga gadis yang dibawanya pergi. Malam ini dia akan tertumbuk batu. Sekarang, baiklah Gusti Ayu. Hamba mempunyai akal untuk menjebak dia," kata Sondong Majeruk gagah. Gusti Ayu Retnoningsih mengangguk perlahan. Setelah memberi isyarat kepada sekalian dayangnya, masuklah dia ke kamar lain. Kini tinggal Sondong Majeruk dan Paiman yang berada dalam kamar itu. Sondong Majeruk kemudian menghampiri pembaringan. Tirai disingkapnya dan nampaklah pembaringan itu diselimuti kain sutera ungu yang indah. Tetapi anak-buah Gagak Seta itu tanpa memedulikan segala terus saja naik ke pembaringan dan berbaring terlentang. Kedua kakinya yang kotor berlumpur dan pakaiannya yang usang kelihatan seperti seonggok sampah ditimbun di atas selimut pembaringan yang indah bersih. "Berjagalah kau di luar. Sekalian teman-teman harus bergiliran meronda kemari," perintahnya kepada kemenakannya. Tanpa berbicara lagi, Paiman terus saja meloncat jendela dan hilang dalam kegelapan malam. Sondong Majeruk, turun pula dari pembaringan. Setelah menutup jendela rapat-rapat seperti semula, kembali dia berbaring tak peduli di atas pembaringan yang berselimut indah. Tirai pembaringan kemudian ditutupnya dan ia menyelimuti tubuhnya rapat-rapat. Titisari yang cerdas otak segera tahu apa maksud orang itu. Bisiknya kepada Sangaji, "Rupanya anak buah Paman Gagak Seta bertingkah laku seperti dia juga. Dia bisa berjena-ka dalam menghadapi bahaya. Bukankah dia bermaksud menggantikan kedudukan puteri itu?" Sangaji mengangguk dengan menutup mulut, karena mengetahui sekitar pesanggrahan dijaga oleh orang-orang pandai. Sebaliknya Titisari yang usilan, tak betah dengan suasana yang terlalu tegang senyap. Segera ia mencari dalih dengan mencubiti lengan dan paha Sangaji sambil sekali-kali menggoda. "Aji! Sekiranya kamu orang yang mau menculik puteri itu, apakah yang akan kaulakukan setelah mengetahui si bandot ampek itu yang tidur terlentang di atas pembaringan." Sangaji tak pandai bergurau, tetapi begitu mendengar ujar Titisari mau tak mau tersenyum geli juga. Sekiranya tak berada di atas pohon, pasti dia akan tertawa lebar. Tak disadari, ia jadi mengamat-amati segulung tubuh yang terlentang berselimut rapat di atas pembaringan. Kurang lebih pukul satu malam, terdengarlah suara daun bergemerisik. Kemudian delapan bayangan meloncati pagar pesanggrahan dan langsung menghampiri jendela kamar. Titisari menarik lengan Sangaji agar memperhatikan gerak-geriknya. Ternyata kedelapan bayangan itu terus membuka jendela tanpa ragu-ragu lagi. Kemudian melompat berbareng melewati jendela. Di dalam kamar, pelita masih saja menyala. Sekilas pandang Titisari mengenal beberapa orang di antara mereka. Itulah penggem-bala-penggembala tabuan kelingking sang Dewaresi yang pernah merasakan kesaktian Gagak Seta. Dua orang di antara mereka mengembangkan kain kasar semacam tenda, sedangkan yang lain membuka sebuah goni besar. Dengan cekatan mereka mendekati pembaringan dan terus saja menungkrap korbannya. Dengan sekali renggut Sondong Majeruk yang berada di atas pembaringan terus diangkat dan dibelesakkan ke dalam goni. Yang bertugas membawa goni, lantas mengikat erat dan dipanggul di atas pundak. Mereka bekerja dengan cepat dan tanpa bersuara seperti sudah terlatih rapi. Kemudian dengan memberi isyarat, berbareng meloncati jendela dan bersembunyi di kegelapan malam. Sangaji bergerak hendak mengejar, tetapi Titisari mencegahnya cepat. "Bukankah pesanggrahan sudah ada yang menjaga?" bisik gadis itu. "Biarkan mereka bertempur dahulu. Kita turun ke gelanggang setelah mereka kecapaian." Sangaji tak membantah. Dan segera ia melihat kedelapan orang penculik itu melarikan diri ke utara. Di belakang mereka berkelebat pulalah sepuluh orang yang membawa tongkat bambu. Itulah laskar Gagak Seta yang berjaga dengan diam-diam di sekitar pesanggrahan. Setelah mereka lenyap dari penglihatan, Sangaji dan Titisari turun ke tanah. Dengan bergandengan tangan, mereka terus mengikuti dari jauh. Mereka sudah memiliki ilmu petak Gagak Seta, karena itu langkahnya cepat luar biasa dan tiada menerbitkan suara apa pun juga. Ternyata rombongan si penculik dan laskar Gagak Seta melintasi batas desa dan terus menuju ke timur laut. Mereka berkejar-kejaran hampir satu jam lamanya dan akhirnya berhenti di sebuah rumah batu tua. Rombongan penculik memasuki rumah batu itu, sedangkan laskar Gagak Seta dengan cekatan mengurungnya rapat- rapat. Titisari mengajak Sangaji mengitari rumah dan melompati pagar dari arah belakang. Ternyata rumah batu itu adalah bekas benteng kompeni pada masa Perang Giyanti. Serambi depannya lebar dan diterangi dengan obor buah jarak. Di ruang tengah duduklah seorang laki-laki setengah umur yang mengenakan pakaian bersih dan mentereng. Dialah sang Dewaresi, raja tak bermahkota dari daerah Banyumas. Sangaji dan Titisari segera bergerak dengan hati-hati. Mereka bisa menilai kesaktian orang itu. Kalau Yuyu Rumpung yang berbahaya saja sudi mengabdikan diri menjadi salah seorang penasihatnya, pastilah kesaktian sang Dewaresi berada di atasnya. Mendapat pertimbangan demikian mereka jadi sangsi, apakah Sondong Majeruk mampu menghadapi apa lagi mengalahkan. "Paduka sang Dewaresi," kata pemimpin dari delapan penculik yang baru tiba dengan membungkuk hormat. "Gusti Ayu Retnoningsih sudah berhasil hamba angkut." Sang Dewaresi tiada menyambut ujarnya. Dia hanya tertawa dingin. Kemudian melemparkan pandang ke arah pekarangan sambil berkata lembut. "Sahabat-sahabat! Mengapa hendak memasuki rumah dengan cara bersembunyi? Silakan masuk saja!" Sangaji kaget. Pikirnya, hebat orang ini. Anak buah Paman Gagak Seta sudah berlaku dengan hati-hati dan tiada sembarangan bergerak. Meskipun demikian bisa diketahui. Sesungguhnya pada saat itu, anak buah Gagak Seta masih saja bersembunyi. Dan mereka akan tetap berada dalam persembunyiannya sebelum memperoleh tanda atau isyarat dari Sondong Majeruk. Sang Dewaresi tiada berkata lagi. Dengan berdiam diri ia memperhatikan goni penung-krap korbannya. Sejurus kemudian dia menggerutu. "Hm... tak pernah kusangka, kalau puteri bangsawan itu begini mudah mengunjungi tempatku." Dengan tenang ia berdiri dari tempatnya kemudian menghampiri goni itu seraya mencabut sepucuk senjata tipis berbentuk pedang panjang. Sangaji dan Titisari terperanjat. Mereka yakin, kalau sang Dewaresi sudah mengetahui siapakah yang berada dalam goni itu. Diam-diam mereka berdua menyiapkan segenggam isi sawo sebagai senjata bidiknya, hasil ajaran Gagak Seta. Sekonyong-konyong terdengarlah suara berdesing. Beberapa batang anak-panah mengaung di udara menyambar sang Dewaresi. Itulah anak-panah laskar Gagak Seta yang sudah mengkhawatirkan nasib temannya. Dengan tenang, sang Dewaresi mengibaskan pedangnya. Beberapa anak panah di-sapunya bersih sedangkan tangan kirinya berhasil pula menjepit dua batang pula. Rekan-rekan Sondong Majeruk terperanjat sampai memekik. Paiman lantas saja berseru nyaring, "Paman! Keluarlah cepat!" Mendengar seruan itu, dalam goni itu lantas saja terjadi suatu pergerakan cepat dan tangkas. Terdengar goni terobek dan menyambarlah sebatang golok ke arah sang Dewaresi. Kemudian Sondong Majeruk membebaskan diri dari tungkrapan itu dengan bergulungan. Orang itu sebenarnya hendak menyerang sang Dewaresi dengan cara tiba-tiba. Tetapi ternyata rencananya gagal, karena sang Dewaresi benar-benar tak mudah diingusi. Dalam pada itu sang Dewaresi telah menangkis serangan golok dengan mudah. Melihat siapa yang keluar dari dalam goni tertawalah dia perlahan. Ujarnya, "Eh, mengapa malam ini ada sulapan? Apakah seorang puteri bisa berubah menjadi seorang bandot runyam? Benar-benar suatu ilmu sulap goni yang hebat!" Terang sekali, dia mengejek Sondong Majeruk. Tetapi Sondong Majeruk tiada menggubris ejekannya. Dengan melambaikan tangannya, ia memberi aba-aba kepada rekannya agar mengepung lawan. Dan dengan serentak rekan-rekannya melompat ke dalam gelanggang. "Selama beberapa hari ini, banyak laporan yang mengadukan tentang penculikan gadis-gadis. Bukankah itu semua adalah perbuatanmu yang terhormat Tuan besar?" ia mendamprat. Sang Dewaresi tertawa melalui hidung. Dengan tenang ia menjawab, "Sebenarnya hanya empat orang. Dan dengan menyesal terpaksa kuwartakan, bahwa mereka tidak begitu cantik. Hm... sama sekali tak kukira, kalau polisi-polisi desa bisa mengenakan pakaian sejembel pengemis." "Aku memang pengemis merdeka. Mendengar laporan tentang penculikan itu, terpaksalah aku, si pengemis melongok mencari jejak biang keladinya. Tak tahunya tuanlah yang terhormat yang menjadi pemetiknya." "Begitu?" sahut sang Dewaresi dengan angkuh. "Sebenarnya adalah suatu kehormatan besar, sampai aku sudi berkenalan dengan gadis-gadis di sini. Apakah Tuan menyesali? Baiklah, malam ini biarlah kukembalikan. Tapi seperti kukabarkan tadi, mereka tidak begitu cantik. Hanya lumayan saja untuk iseng pada malam perantauan." Setelah berkata demikian, sang Dewaresi memberi perintah kepada anak-buahnya agar membawa keempat gadis culikannya. Dan dengan cepatnya, anak-buahnya membawa empat gadis ke serambi depan. Pakaian mereka nampak kusut dan pandang matanya kuyu menyedihkan. Terang sekali, mereka habis diperkosa dalam suatu sekapan. Melihat mereka, Sondong Majeruk menggeram. Lantas dia berkata lantang, "Tuan yang terhormat. Sebenarnya siapakah kamu?" "Aku bernama Dewaresi. Keluarga Arya Singgela. Apa perlu kamu mengetahui namaku?" "Hm, karena dengan peristiwa ini, terpaksalah aku memberanikan diri untuk menangkapmu." "Silakan, jika kamu mampu," jawab sang Dewaresi dengan tertawa. Kemudian memasukkan pedangnya ke dalam sarungnya. Rupanya ia hendak melawan Sondong Majeruk dengan tangan kosong. "Bagus!" seru Sondong Majeruk dan dengan sekali gerak ia telah mempersiapkan suatu serangan. Mendadak saja dia mendengar kesiur angin dan sesosok bayangan berkelebat luar biasa cepat di depannya. Untung dia tangkas. Cepat ia mengelak. Meskipun demikian lehernya kena juga tersambar selintasan. Sondong Majeruk adalah seorang polisi desa. Dia terkenal sebagai seorang polisi yang disegani, karena pandai berkelahi dan termasuk seorang pendekar yang tangguh. Dalam setiap pertempuran, belum pernah dia dikalahkan. Tapi kini hampir saja dia kena dijatuhkan dalam satu gebrakan saja. Sudah barang tentu, hatinya tercekat dan parasnya berubah hebat. Cepat ia memutar tubuh dan menghantam sang Dewaresi dengan dahsyat. Mendengar kesiur anginnya, tak berarti sang Dewaresi menangkis. "Aji! Rupanya dia mengerti tentang Ilmu Kumayan Jati. Lihatlah jurusnya!" bisik Titisari. Sangaji yang sedang menumpahkan seluruh perhatiannya kepada gelanggang pertempuran mengangguk kecil. Dalam pada itu, Sondong Majeruk mulai mendesak, la berbesar hati, melihat lawannya tak berani menangkis pukulannya. Maka dengan sebat ia memutar pula dan mengulangi serangannya. Serangannya kali ini, dapat digagalkan pula oleh sang Dewaresi dengan mengelakkan diri. Dia jadi penasaran. Cepat-cepat ia menyilangkan kedua tangannya ke da-da. Kemudian memutar tubuh dan menyerang lagi. "Itulah jurus 'makan sate kambing', pecahan keempat," bisik Sangaji kepada kekasihnya. Titisari mengangguk. Sang Dewaresi ternyata seseorang yang pandai melihat gelagat. Begitu melihat lawannya bukanlah suatu makanan empuk, segera ia bertindak hati-hati. Kemudian membalas menyerang pula. Sasarannya adalah pundak kanan. Sondong Majeruk cepat mengelak dan kembali ia menyerang dengan jurus makan sate kambing. Kali ini sang Dewaresi dapat memperlihatkan kepandaiannya. Luar biasa gesit ia mengelak. Dan dengan mendadak tubuhnya melesat ke belakang punggung lawan sambil melontarkan serangan. Sangaji dan Titisari terkejut. "Inilah suatu serangan susah ditangkis!" kata mereka dalam hati. Rupanya anak buah Sondong Majeruk sadar pula, bahwa pemimpinnya berada dalam bahaya. Mereka bergerak serentak hendak menolong. Tetapi Sondong Majeruk ternyata cukup gesit. Dengan tenang, ia mendengar desir angin. Untuk mengelak dan menangkis, terang tak sempat lagi. Maka ia memutar tubuh dan menyambut serangan itu dengan jurus makan sate kambing lagi. Sang Dewaresi ternyata tak berani menangkis serangan itu untuk kesekian kalinya. Gesit ia memiringkan tubuh ke belakang dan melompat mundur dua langkah. "Hebat!" Sondong Majeruk mengeluh dalam hati. Kini ia tak mau berlalai-lalai lagi. Ke mana saja sang Dewaresi bergerak, selalu ia berusaha menghadapi dengan berhadap-hadapan. Tetapi ternyata, ia kalah jauh dengan sang Dewaresi. Setelah bertempur selama dua puluh jurus, tujuh belas kali dia terancam bahaya. Untung ia ketolongan oleh jurusnya Ilmu Kumayan Jati yang sakti, makan sate kambing. "Rupanya Paman Gagak Seta hanya mewarisi dia satu jurus belaka," bisik Titisari. Sangaji mengangguk. Teringat dia akan pengalamannya sewaktu melawan Yuyu Rumpung. Waktu itu, dia sudah memiliki tiga jurus ilmu sakti Kumayan Jati. Meskipun demikian tak dapat dia mengalahkan. Apa lagi Sondong Majeruk yang hanya memiliki satu jurus belaka kini harus menghadapi sang Dewaresi. Diam-diam ia mengkhawatirkan keselamatan Sondong Majeruk, berbareng merasa syukur karena kini dia telah mewarisi empat belas jurus ilmu sakti Kumayan Jati dalam waktu hampir dua bulan saja. Pertempuran itu berjalan terus. Sang Dewaresi telah berhasil mendesak Sondong Majeruk ke pojok. Sebagai seorang yang sudah berpengalaman, tahulah Sondong Majeruk apakah maksud lawannya. Maka dengan mati-matian, ia berusaha mempertahankan diri dan bergerak sedikit demi sedikit ke tengah ruang. Tetapi sang Dewaresi pun bukanlah pula lawan yang kena digiring semaunya. Dengan tertawa panjang tiba-tiba tangannya menyambar dengan dibarengi berkelebatnya tubuh. Tahu-tahu, dagu Sondong Majeruk kena dihajar. Dan belum lagi Sondong Majeruk sempat menangkis, sang Dewaresi sudah menghajar tulang rusuknya empat kali. Sudah barang tentu Sondong Majeruk mundur terhuyung-huyung dan roboh di atas lantai. Anak-buahnya lantas saja menyerang berbareng. Tetapi dengan sekali sambar, sang Dewaresi berhasil menangkap tengkuk dua orang dan dibenturkan dengan suatu hentakan. Kedua orang itu lantas saja jatuh terkapar, sedangkan yang lainnya jadi ketakutan. "Hm, kalian kira siapakah aku ini?" dengus sang Dewaresi dengan angkuh. Kemudian meneruskan dengan diselingi tertawa merendahkan, "Kalian kira, aku bisa dengan mudah terjebak? Semenjak tadi, tahulah aku siapa yang berada dalam goni itu." Dengan melambaikan tangannya ia memanggil beberapa anak-buahnya yang datang dengan mendorong seorang gadis yang berpakaian agak kusut. Semua yang melihat termasuk Sangaji dan Titisari terperanjat belaka. Karena gadis itu ternyata Gusti Ayu Retnoningsih. Dengan wajah berbangga hati, sang Dewaresi berkata, "Hm, bagaimana kalian bisa berpikir, kalau aku bisa kalian akali. Selagi kamu bandot busuk masuk ke dalam goni, aku sudah berada dalam rumah. Dengan mudah aku mengundang puteri bangsawan itu. Dia mengira, aku adalah salah seorang di antara rombongan kalian. Begitu tiba, dia lantas kugondol pergi mendahului kalian. Aku sudah bersiaga menunggu kedatangan kalian. Nah, kalian mau apa sekarang?" Anak buah Sondong Majeruk tiada yang dapat berkutik. Mereka masih saja dalam suatu keheranan. Dan sang Dewaresi berkata lagi, 'Tadinya aku menaruh perhatian sewaktu si bandot busuk itu memperkenalkan diri sebagai anak-buah Gagak Seta, memang aku kenal si jembel tua itu. Kutaksir, anak-buahnya pasti hebat. Tak tahunya hanya begini macamnya. Mengingat dia, aku mengampuni jiwamu. Aku hanya ingin memiliki kedua butir gundu matamu." Setelah berkata demikian, Sang Dewaresi menghampiri Sondong Majeruk yang tak dapat berkutik lagi. Kemudian dengan mengembangkan jarinya, ia hendak mencukil kedua gundu matanya. Tapi pada saat itu, mendadak berkelebatlah sesosok bayangan yang terus menolak tangan sang Dewaresi yang nyaris menempel di kelopak mata. Sang Dewaresi terperanjat. Ia mendengar sambaran angin yang sangat dahsyat. Sebelum sadar apa artinya itu, tiba-tiba saja kakinya telah kena tergeser sampai dia mundur terhuyung dua langkah. Inilah hebat dan mengherankan. Selama dia menjadi raja tak bermahkota di wilayah Banyumas, belum pernah ia bertemu dengan lawan seberat kali ini. Siapakah dia? Tatkala sudah bisa tegak berdiri, cepat ia mengamat-amati. Alangkah herannya! Karena dia adalah seorang pemuda yang pernah dilihatnya di alun-alun Pekalongan dan di sebelah Desa Karangtinalang. Menurut laporan Yuyu Rumpung dia sepanjang ini lumrah saja. Bagaimana sekarang ternyata begini hebat. Sesungguhnya dia adalah Sangaji. Tatkala melihat sang Dewaresi hendak mencukil mata Sondong Majeruk, tanpa memedulikan akibatnya lantas saja ia melesat memberi pertolongan. Begitu ia berhasil mengundurkan sang Dewaresi, lantas berkata lantang, "Kau berhati jahat. Kamu sudah menculik seseorang keturunan bangsawan, tetapi tingkah-lakumu malahan kurang ajar. Semestinya kamu harus minta maaf dan bertobat!" Sang Dewaresi menenangkan hatinya, kemudian tertawa geli mendengar ujar Sangaji. "Apakah alasanmu?" "Apakah matamu tidak melihat sekalian orang gagah di kolong langit ini?" "Hm—maaf, maaf. Baiklah karena kamu orang gagah, aku bersedia minta maaf." "Tak berani aku menyebut diriku orang gagah," sahut Sangaji agak sulit. Maklumlah, dia tak pandai berperang lidah. "Aku hanya memberanikan diri untuk mencegah perbuatanmu yang terkutuk. Nah, kembalikan puteri itu kepada yang berhak. Dan enyahlah kau dari wilayah ini!" Mendengar tuntutan Sangaji, sang Dewaresi tertawa panjang. Kemudian mengejek, "Berapa umurmu Tuan muda yang mengaku orang gagah? Kamu yang belum pandai beringus, berani memberi nasihat dan menggurui aku?" Sangaji terhenyak menghadapi bunyi ejekan itu. Ia seperti mati kutu. Mendadak berkelebat-lah sesosok bayangan lagi dari jendela. Dialah Titisari yang segera berkata kepada Sangaji. "Aji! Hajarlah jahanam busuk itu!" Sang Dewaresi terperanjat tatkala melihat Titisari. Sejurus kemudian berkata dengan nada merendah. "Eh, bukankah ini puteri Adipati Surengpati? Nama Nona senantiasa terlekat dalam benakku dan takkan kulupakan seumur hidupku. Bukankah Nona bernama, Endang Retno Titisari? Sayang, sewaktu kita berjumpa di kadipaten Pekalongan dan di luar Desa Karangtinalang terjadi suatu gangguan. Itulah sebabnya, tak dapat aku berbicara seleluasa-luasanya." Disebut sebagai badut, sang Dewaresi tiada bersakit hati. Bahkan dia tertawa lebar dengan mata berkilat-kilat. Katanya seperti memohon. "Nona! Bukankah Nona datang pula untuk memintakan kebebasan puteri bangsawan itu? Baiklah, aku akan membebaskan semua. Aku pun berjanji dan bersumpah, takkan mencari wanita lain lagi, asalkan kamu sudi mendampingi aku seumur hidupku. Nah, bukankah itu suatu tukar-menukar yang adil dan bagus?" "Bagus!" seru Titisari gembira. Dengan memegang lengan Sangaji, dia berkata mengajak, "Aji! Badut ini menurut kabar bertempat tinggal di wilayah Banyumas. Mari kita berpesiar ke sana. Bukankah Banyumas memiliki pemandangan yang indah pula?" Belum lagi Sangaji menjawab, sang Dewaresi buru-buru menyahut, "Aku hanya menghendaki engkau seorang diri untuk selama-lamanya. Apa perlu bocah tolol ini menyertai kita berdua?" Mendengar sang Dewaresi menyebut Sangaji si tolol, Titisari bergusar hati. Dengan sekali melesat ia menyambar pipi sang Dewaresi seraya mendamprat. "Bedebah! Kau berani memaki dia? Kaulah si badut tolol." Sesungguhnya sang Dewaresi gandrung kepada Titisari, seorang gadis padat-singsat, tangkas-gesit yang usianya lagi memasuki tujuh belas tahun. Begitu ia melihatnya, matanya berseri-seri. Tak bosan-bosan ia mengamat-amati perawakan tubuhnya dan kejelitaan wajahnya yang begitu serasi. Sama sekali tak diduganya, kalau gadis yang begitu molek bisa berubah begitu hebat dengan mendadak. Karena tiada mengira sama sekali, maka dia lengah tak berjaga-jaga. Tahu-tahu pipinya terasa panas kena tampar Titisari. Untung, gadis itu meskipun sudah menguasai ilmu sakti Ratna Dumilah belum memiliki tenaga bayu. Itulah sebabnya, maka tamparannya tiada menimbulkan luka. Meskipun demikian, sang Dewaresi terperanjat setengah mati. Maklumlah, selama hidupnya belum pernah dia kena tampar seseorang dengan berhadap-hadapan. Sang Dewaresi jadi mendongkol. Cepat ia hendak membalas dengan menyerang dada. Maksudnya hendak berkurang ajar pula dengan menggerayangi. Titisari nampaknya seperti lengah. Ia membiarkan tangan sang Dewaresi sampai masuk sejari di depan dada. Mendadak saja, ia melesat ke samping dan menampar lagi dengan jurus sakti Ilmu Ratna Dumilah yang mengagumkan. Sang Dewaresi kaget. Aneh, dengan ilmu apakah dia bisa menerobos penjagaanku? pikirnya. Hatinya jadi gemas. Maka ia menyerang kembali. Juga kali ini, Titisari bisa mengelak dan mengirimkan serangan. Mau tak mau sang Dewaresi merasa kuwalahan. Karena untuk menghajar Titisari dengan sung-guh-sungguh, hatinya tak sampai hati. Bagaimana mungkin tangannya akan menyakiti kemungilannya yang begitu menggiurkan? Akhirnya kemendongkolannya ditumpahkan kepada Sangaji. Pikirnya, biar kurobohkan pemuda ini. Kalau dia sudah kurobohkan, tanpa kumengapakan pasti runtuh pulalah hatinya. Mendapat keputusan demikian, ia berpura-pura menyerang Titisari. Tetapi mendadak kakinya menyepak ke belakang mengarah Sangaji yang masih berdiri tegak. Itulah jurus serangan sakti ajaran pendekar Kebo Bangah, pamannya yang termasyhur sebagai tokoh sakti yang utama. Sangaji terperanjat, karena tiada menyangka diserang demikian rupa. Untuk mengelak, tiada kesempatan lagi. Sebaliknya dia pun tak sudi diserang tanpa membalas. Maka cepat ia melontarkan serangan balasan yang mendadak pula. Dengan demikian, mereka berdua terpaksa adu tenaga. Brak! Kedua-duanya menggeliat mundur dengan kesakitan. Dan mereka jadi penasaran pula. Akhirnya ber-tempurlah mereka dengan dahsyat. Laskar Sondong Majeruk jadi keheran-heranan, melihat cara bertempur Sangaji. Dengan cepat mereka mengenal jurus pertahanan Sangaji tatkala diserang sang Dewaresi dengan mendadak. Itulah satu jurus yang seringkali dipergunakan Sondong Majeruk untuk menolong diri. "Hai! Dia pun mengenal jurus makan sate kambing!" seru salah seorang di antara mereka dengan suara tertahan. "Mengapa dia mengenal jurus itu pula?" Sesungguhnya, tatkala sang Dewaresi menyerangnya dengan tiba-tiba, tanpa berpikir lagi ia menyambut dengan jurus makan sate kambing. Kemudian dia mendesak dengan jurus-jurus lain yang dahsyat dan teratur. Sondong Majeruk yang sudah dapat tegak berdiri lagi, heran sampai terlongong-longong melihat jurus-jurus Sangaji. Pikirnya, Ilmu Kumayan Jati adalah ilmu rahasia pendekar Gagak Seta. Karena rejeki besar semata, aku dapat mewarisi satu jurusnya. Tetapi pemuda ini memiliki jurus-jurus lain yang jauh lebih banyak. Dia bisa pula menggunakan dengan cepat, tepat dan kuat. Apakah dia sudah mewarisi Ilmu Kumayan Jati? Sang Dewaresi sendiri heran pula. Menurut Yuyu Rumpung, pemuda itu hanya berkepandaian lumrah. Tapi ternyata begini hebat dan susah dilawan. Apakah selama berpisah kurang lebih dua bulan ini, sudah berjumpa dengan iblis atau malaikat yang bisa merubahnya menjadi manusia baru? Mendadak teringatlah dia kepada Gagak Seta. Bukankah pemuda itu berada bersama dia? Pikirnya, bukan mustahil dia sudah memiliki ilmu Gagak Seta. Baiklah kuujinya dengan ilmu sakti Paman Kebo Bangah." Cepat ia menghujani Sangaji dengan bertubi-tubi. Tetapi sampai empat puluh jurus masih saja belum bisa dikalahkan. Meskipun demikian, lambat-laun ia melihat juga kelemahan lawannya. Dasar ia mempunyai pengalaman jauh lebih banyak. Maka sedikit demi sedikit ia bisa mendesaknya. Sesungguhnya Sangaji agak kerepotan juga. Dia sudah menggunakan empat belas jurus ilmu sakti Kumayan Jati. Kemudian mengulangi lagi dengan memutar balik. Begitulah seterusnya berulang-kali. Dan inilah kelemahannya. Sang Dewaresi yang cerdik lantas saja bisa menebak rahasia dirinya. Lewat beberapa jurus lagi, dia merasa kewalahan. Sang Dewaresi dapat mencegat jurus-jurusnya sebelum dilancarkan dengan sem-purna. Kecuali itu, gerak-geriknya bertambah lincah. Setelah bertempur selama dua belas jurus lagi, pundaknya mulai kena terhajar. Syukur, tubuhnya kuat dan dalam dirinya mengalir getah sakti Dewadaru. Maka begitu kena pukul, lantas mempunyai daya bertahan. Itulah sebabnya, hajaran itu tak menyakiti tubuhnya. Melihat keuletan Sangaji, untuk sementara sang Dewaresi tak berani mendesak. Ia hanya berputar-putar mencari lowongan dan menunggu pula. Sangaji mengulangi jurusnya yang lambat-laun dapat dikenalnya. Kemudian merangsaklah dia dengan bertubi-tubi serta tiba-tiba. Waktu itu Sangaji sudah habis memainkan empat belas jurusnya. Maka anak muda itu bersiaga hendak mengulangi lagi. Inilah saat yang ditunggu-tunggu sang Dewaresi. Dengan cepat, ia menyambar pundak dan mencengkeram dada sekaligus. Sangaji terperanjat. Jalan untuk keluar seolah-olah buntu dan pepat. Merasa terjepit, mendadak saja ia malah menubruk. Itulah ajaran ilmu Jaga Saradenta dan Wirapati yang dahulu dipersiapkan untuk melawan Pringgasakti. Sang Dewaresi terkejut bukan kepalang. Inilah suatu kejadian yang tak diduganya. Tahu-tahu lengannya kena terhajar dan ter-cengkeram. Kaget ia meloncat mundur, tapi tak urung lengan bajunya rontang-ranting. "Sungguh berbahaya!" keluhnya dalam hati. Ia harus merasa bersyukur, tulang lengannya tidak remuk. Sebaliknya Sangaji girang dengan hasil itu. Kini ia mendapat suatu penemuan baru. Ternyata suatu ilmu itu tidak selamanya harus mengikuti jurus-jurus yang sudah ditentukan. Dalam suatu perkelahian kiranya diperkenankan memutar-balikkan atau mencampuradukkan dengan ilmu lain. Semuanya harus disesuaikan dengan corak-perkelahiannya. Memperoleh pendapat demikian, Sangaji bisa menambal kekurangannya jurus ilmu sakti Kumayan Jati dengan ilmu ajaran Jaga Saradenta dan Wirapati. Maka makin lama ia menjadi makin tangguh dan berbahaya. Sang Dewaresi jadi kerepotan. Kini ia tak dapat menebak corak jurus lawannya. Nampaknya jadi kacau dan campur-aduk, tapi anehnya jauh lebih berbahaya dan sukar diduga. Mendapat kesan, bahwa Sangaji sukar dirobohkan dengan segera, maka sang Dewaresi merubah tata-berkelahinya. Kini ia memperlambat gerakannya seolah-olah berayal. Kemudian melontarkan ejekan menghina untuk memanaskan hati lawan. Memang dia seorang raja tak bermahkota yang sudah berpengalaman. Selain mengenal ilmu sakti ajaran pamannya, pandai pula berperang urat-syaraf. Maka Sangaji kena dijebaknya sehingga anak muda itu berkelahi dengan bernafsu. "Hm, inilah ilmu si jembel Gagak Seta?" ejek sang Dewaresi. "Kukira ilmunya setinggi gunung, tak tahunya hanya ilmu silat pasaran." Hati Sangaji jadi panas mendengar nama Gagak Seta direndahkan demikian rupa. Maka ia membalas mendamprat. "Ilmuku tiada sangkut-pautnya dengan dia. Benar aku sudah memperoleh petunjuknya, tapi akulah yang dasar goblok." "Eh, benarkah kamu si goblok atau si kerbau tolol itu?" Sang Dewaresi tertawa terkekeh-kekeh. Hati Sangaji kian mendongkol. Dengan penuh semangat, ia mendesak. Sebaliknya, sang Dewaresi hanya melayani dengan ayal-ayalan. Orang itu sudah memperhitungkan perkelahian itu dalam jangka waktu panjang. Pikirnya, biar habis tenaganya dahulu, baru kuhajar kalang-kabut. Memang, lambat-laun tenaga Sangaji jadi kendor juga, meskipun semangat tempurnya masih berkobar-kobar. Mendadak . sang Dewaresi melesat dengan gesit. Kemudian menyerang dengan tiba-tiba. Tangan kanannya mencengkeram rambut dan yang lain menyodok ke arah dada. Selain itu, kakinya didepakkan menyerang lambung. Benar-benar Sangaji dalam keadaan bahaya. Nampaknya sulit untuk mengelak. Titisari yang menonton adu kepandaian itu dengan waspada, terkejut melihat kekasihnya terancam bahaya. Sejak tadi dia sudah mempersiapkan senjata bidiknya yang terdiri dari isi sawo. Benci dia melihat tingkah-laku manusia dari barat itu. Maka begitu memperoleh kesempatan, ia hendak menghajar dengan diam-diam. Kini ia melihat bahaya, karuan saja hatinya tercekat. Cepat ia melontarkan senjata bidikan tujuh delapan biji sekaligus. Sang Dewaresi terkejut melihat berkelebat-nya senjata bidik itu. Cepat ia melolos pedang tipisnya dan menyapu sekian biji itu. Hanya saja dia merasa aneh. Terang sekali, dia sudah berhasil menyapu bersih, tetapi lututnya menjadi sakit. Dengan hati terkejut ia melompat mundur dan terus memeriksanya. Ternyata ada sebutir biji sawo yang berhasil menembus kainnya dan menancap pada kulitnya. Tentu saja ia marah bukan kepalang. Dengan menggerung dia meledak. "Binatang manakah yang membokong dari jauh? Kalau berani, marilah berhadap-hadapan dengan terang-terangan..." Belum lagi ia menyelesaikan kalimatnya, sebuah benda melayang cepat menyambar kepadanya. Ia hendak mundur, tetapi sia-sia belaka. Tahu-tahu mulutnya telah tersumbat penuh. Ia kaget bercampur gusar, karena mulutnya mendadak terasa asin. Cepat-cepat ia menyemburkan keluar. Ternyata yang menyumbat mulutnya adalah sekerat tulang itik. la mendongak ke atas, karena dari sanalah asal serangan tadi. Tapi sekali lagi ia kena hajar. Mendadak saja atap rumah seperti rontok. Dan debu berbareng pecahan genting merontoki matanya. Dengan gemas, terpaksalah dia melompat ke samping. Kembali dia mendongak dan mulutnya siap mengumpat. Tetapi sekali lagi, sebelum mulutnya berhasil melepaskan suara, sekerat tulang menyumbatnya dengan tiba-tiba. Kali ini rasanya masam dan pedas bukan kepalang. Dipermainkan demikian, hatinya mau meledak. Maklumlah, selama hidupnya belum pernah dia dipermainkan seseorang begitu kurang ajar. Dengan menggerung, ia menyem-burkan tulang itu dari mulutnya. Tepat pada saat itu berkelebatlah sesosok bayangan turun dari atas. Karena mendongkol, segera ia menyambutnya dengan pukulan dahsyat. Tapi kembali dia heran, dia tak berhasil mengenai sasaran. Sebaliknya tangannya seperti menangkap sesuatu. Tatkala dilihat ternyata tulang kepala seekor kambing. Ia mendongkol berbareng heran. Dan kembali ia mendongakkan kepala. Dan terdengarlah seorang berkata, "Nah, bagaimana dengan ilmu silat pasaran?" Sangaji dan Titisari mengenal suara itu. Berbareng mereka berseru girang. "Paman Gagak Seta!" Sekalian orang yang berada di serambi rumah itu mendongakkan kepala ke atap. Mereka melihat Gagak Seta lagi menggerogoti paha kambing dengan nyamannya. Mulutnya penuh dengan bongkahan-bongkahan daging, sedangkan kedua tangannya berkutat mencengkeram tulangnya seolah-olah khawatir akan terlepas. Melihat Gagak Seta, hati sang Dewaresi jadi kecut. Dengan hormat ia berkata, "Ah, kiranya Paman berada di atas. Dari sini aku memberi hormat." Benar-benar dia membungkuk hormat. Kemudian membuang tulang batok kambing ke lantai. "Hm, kau masih mengenalku?" dengus Gagak Seta dingin. Dengan acuh tak acuh masih saja dia menggerogoti paha kambing. "Bukankah aku pernah bertemu dengan Paman? Dengan ini aku menyesali diriku sendiri, mengapa mataku begini buta sampai tak mengetahui Paman. Sewaktu aku berjumpa dengan Paman, segera aku mengirimkan warta kilat dengan burung dara. Aku memperoleh petunjuk-petunjuk yang berharga, bagaimana aku harus membawa diri jika bertemu dengan Paman. Dan pamanku menyampaikan pesannya, agar aku menghaturkan hormatnya kepada Paman. Pamanku berdoa dan selalu berharap, agar Paman tetap sehat wal'afiat." "Eh, Kerbau Bandot itu pandai juga berpura-pura," tukas Gagak Seta. "Mestinya dia harus memakiku kalang-kabut dan mengutuki Tuhan pula, mengapa aku belum mampus. Aku memang seorang pencuri ayam dan pencuri kambing. Lihat apa yang kugerogoti ini, tapi aku bukanlah seorang pencuri anak dara. Hai! Apakah pamanmu masih sehat kuat?" Benar-benar sang Dewaresi tak dapat berkutik ditelanjangi Gagak Seta di depan orang banyak. Tetapi mengingat kesaktian Gagak Seta ia harus pandai membawa diri. Maka dia hanya mengangguk kecil belaka. "Hai kunyuk!" tegur Gagak Seta garang. "Kau tadi bilang, bahwa ilmuku adalah ilmu pasaran. Bukankah kamu sengaja merendahkan?" Sang Dewaresi sedih bukan main ditegur demikian. Gerutunya menyesali diri, "Hm— siapa mengira, dia sudah berada di situ. Benar-benar ilmunya tak boleh dibuat gegabah ..." Kemudian berkata dengan takzim, "Paman, maafkan kelancanganku ini. Karena menurutkan hati saja, aku mengoceh tak keruan." Gagak Seta tertawa terbahak-bahak sambil melompat turun ke lantai. "Kau tadi menyebut anak muda itu sebagai orang gagah. Tapi ternyata dia kena kaukalahkan. Jika begitu kamulah si orang gagah. Ha ha ha ..." Sang Dewaresi tak berani menyahut sem-barangan. Meskipun hatinya mendongkol bukan main, ia berjuang mati-matian untuk menguasai. Karena apabila sampai kena terje-bak, dia bisa babak-belur menghadapi seorang sesakti pamannya. Gagak Seta berkata lagi, "Aku tahu, karena kamu percaya kepada ilmu si bangkotan busuk, maka kau mengira bisa berbuat semau-maunya di wilayah ini. Benarkah dengan berbekal ilmu bangkotan itu kau bisa malang-melintang tanpa tandingan? Hm! Hm! Jangan bermimpi! Selama aku belum mampus, kukhawatirkan kamu tak mendapat tempat di sini." Sang Dewaresi masih terus mengendalikan diri. Dengan membungkuk terpaksa ia menyahut, "Paman adalah pendekar sakti seperti pamanku sendiri. Karena itu, aku wajib patuh kepada semua kehendak Paman. Paman menghendaki apa?" "Eh, kau bilang apa? Bagus! Kau hendak memaksaku, agar menghina angkatan muda? Mana bisa begitu?" Sang Dewaresi membungkam mulut. Itulah satu-satunya sikap untuk melawan Gagak Seta agar selamat. "Dengarlah!" damprat Gagak Seta. "Aku si tua bangkotan ini tidaklah sekerdil pamanmu. Kalau hatiku lagi berdendang kerapkali aku memberi satu dua petunjuk kepada seseorang yang kejatuhan rejeki. Seperti Sondong Majeruk itu. Tapi ia hanyalah suatu ilmu kasar belaka. Dia belum boleh di sebut sebagai ahli warisku. Karena itu, kau tak boleh merendahkan ilmuku sebagai ilmu silat pasaran. Hm! Hm! Bukanlah aku tukang membual, tapi kalau aku sudah mengangkat seorang murid yang langsung kudi-dik, belum tentu tak dapat menjungkir-balikkan tampangmu meskipun kau sudah mewarisi ilmu pamanmu. Kau percaya tidak?" "Tentu, tentu. Bagaimana aku tak percaya?" sahut sang Dewaresi berpura-pura. "Bagus! Kau pandai berpura-pura!" tukas Gagak Seta yang dapat membaca isi hatinya. "Mulutmu berkata begitu tapi hatimu memaki kalang-kabut. Pamanmu kerbau bangkotan pun pandai berbicara seperti monyong-mu. "Tidak, tidak. Sama sekali tidak. Masa aku berani memaki Paman?" "Paman Gagak Seta!" sela Titisari gemas. "Jangan percaya ocehannya! Di dalam hatinya, dia sedang memakimu kalang-kabut!" "Bagus! Bagus!" Gagak Seta kena terbakar. "Jadi kau berani memaki?" Berbareng dengan kalimatnya yang penghabisan, tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu pedang tipis sang Dewaresi telah berpindah ke tangannya. Sudah barang tentu sang Dewaresi terperanjat bukan main. Selama hidupnya, belum pernah pedangnya terampas dengan terang-terangan. Dia merasa diri termasuk golongan pendekar yang gesit, tangkas dan cekatan. Namun dibandingkan dengan kepandaian Gagak Seta, benar-benar dia mati kutu. Mau tak mau terpaksalah dia menelan kenyataan yang pahit itu. "Hm!" dengus Gagak Seta. "Pedang apakah ini?" Titisari menyahut, "Itulah pedang yang biasa dipergunakan memasak di dapur. Kalau bukan untuk menyembelih babi, mungkin ayam pengkor." Mendengar kata-kata Titisari, hati sang Dewaresi mendongkol tak kepalang. Matanya sampai merah dan dengan bersungut-sungut mengawasi Titisari. Tetapi Titisari tak peduli. Dengan pandang mata tajam pula ia menentangnya. Dasar sang Dewaresi gandrung kepadanya, maka ia mau mengalah. Hilanglah kemendongkolan hatinya dan seketika jadi gregetan. Ih! Sekali kau kutangkap, takkan kulepaskan sebelum tubuhmu reyot tak keruan. Ingat-ingatlah itu! ancamnya dalam hati. "Hai pencuri dara, dengarkan!" kata Gagak Seta. "Jika aku melawanmu—biarpun kamu mendatangkan seribu dewa—takkan kau memperoleh tempat berpijak. Karena itu, aku hendak melantik seorang murid untuk melawanmu ..." Benar-benar sang Dewaresi direndahkan. Seketika itu juga panaslah hatinya. Dengan berani ia membalas. "Saudara tolol ini, tadi bertempur denganku beberapa jurus. Seumpama Paman tidak mengganggu, pastilah aku akan dapat menumbangkan. Lantas, Paman hendak melantik murid yang mana lagi?" Gagak Seta tertawa gelak sambil mengerling kepada Sangaji yang menelan hinaan sang Dewaresi dengan berdiam diri. "Anakku Sangaji, apakah kamu muridku?" Teringatlah Sangaji, bahwa orang tua itu dahulu menolak kehendaknya tatkala menyebutnya sebagai guru. Bahkan sewaktu ia hendak bersembah, dia membalas memberi sembah pula. Maka cepat ia menjawab, "Aku tak mempunyai rejeki untuk menjadi murid-mu. "Nah, kau telah mendengar," kata Gagak Seta kepada sang Dewaresi. Dan sang Dewaresi menjadi heran. Ih! Jadi dia bukan muridnya? Habis, siapakah guru anak itu? Dia begitu hebat! pikirnya. Dalam pada itu Gagak Seta tak mengindahkan apa yang berkutik dalam hati sang Dewaresi. Dengan mata bersinar-sinar ia merenungi Sangaji dan berkata memutuskan. "Hari ini dan jam ini pula, aku hendak melantik seorang murid. Dan engkaulah kulantik menjadi muridku. Apakah kau senang mempunyai guru seperti aku?" Mendengar keputusan Gagak Seta, Sangaji girang bukan main. Serentak ia membungkuk dan bersembah dengan takzim sampai berulang tujuh kali. "Hai anak tolol!" damprat Gagak Seta. "Kau hanya bersembah seperti orang tak waras. Mengapa mulutmu tak mengucapkan sepatah kata, menyebut aku sebagai gurumu?" "Dalam hatiku, Paman adalah guruku. Tetapi pada saat ini belum berani aku menyebut Paman sebagai guruku, sebelum memperoleh izin kedua guruku. Aku berjanji hendak minta izin kedua guruku ..." Sejenak Gagak Seta merenungi ucapan Sangaji. Akhirnya tertawa panjang sambil berkata, "Benar? Itulah perbuatan seorang yang berhati mulia, yang tak mau melupakan asal-usul. Nah, biarlah sekarang aku melengkapi ilmumu. Aku akan mengajarmu empat jurus pelengkap. Lihat!" Gagak Seta kemudian mengajari empat jurus pelengkap ilmu sakti Kumayan Jati yang berjumlah delapan belas jurus. Seperti diketahui, Sangaji sudah memiliki empat belas jurus Ilmu Kumayan Jati. Maka kini lengkaplah sudah. Tinggal enam jurus lagi yang merupakan kunci mendampar musuh dengan pelontaran tenaga dahsyat. Dengan sabar Gagak Seta mengulangi keempat jurus itu sampai Sangaji paham benar. Tahu-tahu matahari sudah menyingsing di timur. Burung-burung mulai memperdengarkan suaranya. Dan penduduk mulai pula bekerja mencari nafkah. Dalam serambi rumah baru itu, jadi terang benderang. Terhadap sang Dewaresi, Sangaji gemas dan geram. Ingin sekali ia menumbangkan orang itu yang bersikap sewenang-wenang dan mau menang sendiri. Maka ia menekuni empat jurus tambahan itu dengan penuh semangat dan dendam berkobar-kobar. Sebentar saja, sudahlah ia dapat memahami. Sebaliknya, sang Dewaresi heran menyaksikan tingkah laku Gagak Seta. "Bagaimana orang mengajari seseorang di depan lawannya? Bukankah hal itu menggelikan benar? Di dunia mana saja suatu ilmu diajarkan kepada seseorang dengan rahasia. Tujuannya untuk mengejutkan lawan dan menghujani pukulan tertentu yang tak terduga sama sekali." Mendadak suatu pikiran berkelebat dalam benaknya. Pikirnya, apakah orang tua itu se-ngaja hendak merendahkan aku? Memperoleh pikiran demikian cepat ia merenungi dan ikut pula menekuni empat jurus itu. Dasar otaknya cerdas dan cerdik. Maka dengan mudah ia sudah dapat memahami dan ternyata keempat jurus itu amat sederhana dan mudah dihapal. Tetapi satu hal ia salah perhitungan. Memang Ilmu sakti Kumayan Jati nampaknya sederhana. Namun justru kesederhanaannya itulah letak kuncinya yang tersulit. Seseorang yang cerdas otaknya dan cepat memahami takkan dapat menyelami intisari Ilmu Kumayan Jati dengan sempurna, seperti Titisari. Karena dasar rahasia serta kunci ilmu sakti Kumayan Jati itu ialah berdasarkan suatu tenaga ajaib khas milik tata-jasmani yang tersembunyi. Sangaji berhasil menelaah ilmu sakti Kumayan Jati, karena pertama-tama, ia memiliki getah sakti pohon Dewadaru yang tiada duanya dalam dunia ini. Kedua, otaknya tidak begitu cerdas dan pengucapan hatinya sangat sederhana. Itulah suatu keuntungan yang tak pernah terduga oleh manusia mana pun juga di dunia ini. Agaknya tabiat dan cetakan manusia Sangaji seolah-olah sengaja disediakan alam untuk menjadi ahli waris Ilmu Kumayan Jati di kemudian hari. Demikianlah, setelah keempat jurus ilmu sakti Kumayan Jati sudah dipahami, mulailah ia bertempur kembali melawan sang Dewaresi. Sang Dewaresi tiada takut melawannya, karena dia sudah paham akan keempat jurus itu. Dengan pandang merendahkan ia bahkan mulai pula menyambut serangan Sangaji dengan jurus yang baru diajarkan tadi. Tapi mendadak, terkejutlah dia. Tiba-tiba ia menemui suatu kesulitan yang tak terduga. Benar, gerakan keempat jurus itu sama sekali tak salah, tetapi tatkala hendak mengerahkan tenaga jasmani, ia merasa seperti tercebur dalam rawa berlumpur. Karuan saja cepat-cepat ia hendak menarik kembali. Tapi kasep, Sangaji waktu itu terus melontarkan pukulan ilmu sakti Kumayan Jati yang sudah lengkap. Gugup sang Dewaresi menangkis dengan sekenanya. Inilah suatu kesalahan telak yang ditunggu-tunggu setiap pukulan ilmu sakti itu. Yakni, membuat lawan sibuk demikian rupa, sehingga terpaksa menangkis. Maka begitu sang Dewaresi menangkis pukulan Sangaji ia terlontar mundur empat langkah. Seketika itu juga, pucatlah muka si raja tak bermahkota itu. Seluruh tubuhnya terasa nyeri. Napasnya pun nyaris terdesak ke dalam rongga dada. Untung, bagaimanapun juga. Dia adalah kemenakan seorang pendekar sakti pula. Sebentar dapatlah ia menguasai diri dan terus menyerang Sangaji dengan pukulan-pukulan ajaran pendekar Kebo Bangah. Ilmu ajaran pendekar sakti Kebo Bangah ini, terlarang keras untuk diperlihatkan di sembarang tempat. Kecuali apabila dalam keadaan terjepit. Sekarang, sang Dewaresi menggunakan ilmu ajaran itu. Suatu tanda, bahwa dia sudah merasa terjepit. Tapi, meskipun sudah mencurahkan seluruh kepandaiannya, hasilnya hanya berimbang, la tak berhasil menumbangkan Sangaji. "Sungguh berbahaya!" keluhnya dalam hati. "Apabila aku tak dapat terjatuhkan di depan mata si jembel itu, pastilah akan runtuh keharuman nama pamanku." Sambil bertempur ia memeras otak. Mendadak, teringatlah dia akan ilmu simpanan pamannya yang khusus diciptakan untuk melawan tokoh-tokoh sakti seangkatan pamannya. Ilmu itu baru separoh bagian yang sudah diwarisi. Pamannya benar-benar berpesan, agar menyimpan ilmu itu. Sebab apabila sampai ketahuan salah seorang pendekar seangkatannya, akan sia-sialah usahanya untuk merebut kedudukan sebagai pendekar sakti nomor wahid. Dengan berkerut-kerut ia berpikir dalam hati, hm, apakah dalam keadaan begini, aku tak diperkenankan meng-gunakan ilmu rahasia itu? Semenjak kanak-kanak, aku dididik Paman untuk mewarisi ilmu saktinya. Tetapi ternyata aku tak dapat berbuat banyak terhadap murid si jembel Gagak Seta yang baru saja diberi pelajaran. Kalau aku sampai kena dikalahkan... apakah kata si jembel itu terhadap Paman? Masih saja dia beragu hendak mengeluarkan ilmu rahasia keluarganya. Tetapi ia kena desak terus, bahkan seringkali kena terhajar. Sedangkan tadinya, ia merasa bisa memenangkan Sangaji. Dasar, ia berwatak manja dan mau menang sendiri, tak dapatlah lagi ia menggenggam rahasia ilmu keluarganya dapat terdesak mundur mendadak saja ia melontarkan pukulan dahsyat dan aneh. Pukulan itu mengeluarkan desis seperti seekor ular hendak menyemburkan bisa. Tubuhnya berkelebat seperti bayangan dan bergerak melilit lawan. Melihat serangan itu, Sangaji segera menangkis. Tetapi di luar dugaan, ia seperti kehilangan tenaga tangan lawan. Tangan sang Dewaresi sekonyong-koyong lemas seperti ular. Inilah suatu pantangan utama, bagi ilmu sakti Kumayan Jati yang berpokok kepada tenaga keras. Tetapi andaikata Sangaji sudah berpengalaman, sebenarnya ia bisa pula me-rubah menjadi pukulan lembek seperti yang pernah diperlihatkan Gagak Seta dua bulan yang lalu, tatkala menghadapi sebatang pohon. "Plok!" Batang leher Sangaji kena tamparan sang Dewaresi, tanpa dapat membalas. Ia terperanjat. Cepat ia menundukkan kepala dan membalas serangan dengan dahsyat. Tapi sekali lagi, ia menghadapi suatu tangan yang lemas-lembut. Sang Dewaresi ternyata bertempur dengan melenyapkan tenaga. Ia hanya mengadu kegesitan, menggeser kaki atau mengelak. Itulah sebabnya, maka tenaga lontaran ilmu sakti Kumayan Jati yang membutuhkan sasaran kuat, tiada berdaya sama sekali. Tenaga pukulannya seperti deru angin meninju udara kosong. "Plok!" Sekali lagi sang Dewaresi berhasil menghajar batang leher. Dan kembali Sangaji terperanjat. Cepat ia berputar dan melontarkan pukulan gempuran. Sang Dewaresi tak mau menangkis dengan mengadu tenaga. Tangannya lemas kembali dan bergerak dengan berputaran. Memperoleh pengalaman dua kali berturut-turut, betapa bebal otak Sangaji, bisa juga berpikir cepat. Buru-buru, ia menarik lontaran pukulannya. Kemudian teringatlah dia akan pukulan lemas. Segera ia hendak menandingi tata-berkelahi sang Dewaresi dengan pukulan lemas. Tetapi berbareng dengan terbersitnya pikiran itu, pundaknya sudah kena terhajar lagi. Kali ini terasa panas, dan nyeri. Dan belum lagi dia bisa menggunakan jurus-jurus lembek, dua kali berturut-turut ia kena terpukul. "Anakku Sangaji, mundur!" perintah Gagak Seta. "Hitunglah kamu kalah satu kali. Maklum, kamu kalah berpengalaman dengan dia. Tak mengapa." Sangaji seorang pemuda penurut. Begitu mendengar perintah Gagak Seta, terus saja ia meloncat ke luar gelanggang. Dengan menahan rasa sakit, masih saja ia sempat membungkuk terhadap lawannya menyatakan kekalahannya. Katanya, "Benar-benar aku mengagumimu. Aku menyatakan kalah terhadapmu." Lega hati sang Dewaresi mendengar pengakuan itu. Dengan membusungkan dada, ia mengerlingkan mata kepada Titisari. Mulutnya berkulum senyum, namun ia tak berani berkata sepatah kata pun untuk lebih menggait perhatian gadis yang digandrungi itu. Dalam pada itu Gagak Seta, terdengar tertawa bergelak-gelak. Kemudian berkata nyaring. "Si Kerbau Bangkotan ternyata seorang bandot yang rajin juga. Dua puluh tahun tak pernah bertemu. Mendadak kini mempunyai ilmu simpanan hebat. Kau boleh menyatakan terima-kasih kepada pamanmu, karena aku si jembel belum memperoleh ciptaan untuk memecahkan ilmu rahasia keluargamu. Nah, pergilah kamu dari sini dengan baik-baik. Aku takkan mengganggumu." Mendengar ujar Gagak Seta, sang Dewaresi terkejut. Pikirnya, aduh, celaka! Karena terpaksa, aku mengeluarkan ilmu rahasia ini. Paman berpesan agar aku merahasiakan benar, kare-na berbahaya apabila kena dilihat salah seorang pendekar sakti lawan Paman. Kini, ternyata si jembel itu sudah mengetahui. Hm, kalau sampai Paman mengetahui kelancang-anku, aku bisa dihukumnya berat." Teringat akan pesan pamannya, kegembiraan hatinya lenyap seperti embun terhembus cerah matahari. Dengan membungkam mulut ia membungkuk hormat terhadap Gagak Seta. Sekonyong-konyong Titisari berseru, "Eh, tunggu dulu. Aku mau berbicara denganmu." Mendengar seruan Titisari, sang Dewaresi heran menebak-nebak, sampai terhentilah langkahnya hendak keluar serambi depan. Ia mengamat-amati gadis itu. Matanya berkilat-kilat, karena jantungnya berdebar. Titisari kemudian bersembah kepada Gagak Seta sambil berkata takzim. "Paman Gagak Seta! Berlakulah adil. Aku selalu bersama dengan Sangaji. Mengapa, hanya dia seorang yang Paman terima sebagai murid?" Gagak Seta tercengang mendengar kata-kata Titisari. Kemudian tertawa sambil menggelengkan kepala. Menjawab, "Sebenarnya, aku sudah melanggar pantanganku sendiri dengan menerima seorang murid. Selama aku hidup sampai hari ini, belum pernah terbintik dalam otakku hendak menerima seorang murid. Tapi ternyata, nasi sudah menjadi bubur. Sangaji sudah menjadi muridku. Karena itu pula, tak dapat lagi aku berbuat suatu kesalahan. Dengan terpaksa aku harus mengecewakan hatimu. Tapi ayahmu sendiri luar biasa pandainya. Bagaimana bi-sa aku mengambil puterinya sebagai muridku?" Titisari terperanjat dan mukanya berubah seperti tersadar. Kemudian dengan perlahan-lahan dia berkata, "Oh maaf! Aku lupa, kalau Paman takut kepada ayahku," dia membentak dengan muka membara. "Kau berkata apa? Aku takut? Hm... hm..." "Mengapa Paman tak berani menerimaku sebagai murid?" Gagak Seta kena terbakar hatinya. Seketika itu juga menjawab, "Aku tak berani menerimamu sebagai muridku? Siapa bilang? Nah, saksikan semua. Mulai hari ini, aku mengambil seorang murid baru lagi. Yakni kamu! Mustahil, si setan belang akan bisa menggerogoti tulang-belulangku ..." Titisari tertawa girang. Jebakannya ternyata berhasil. Maka dengan suara nyaring ia berkata, "Ucapan seorang jantan bernilai seribu ekor kuda, kata pepatah. Mulai sekarang, guru ja-ngan menyesal mempunyai murid seperti aku. Sekarang murid minta penerangan kepada guru, bagaimana cara menandingi ilmu si ku-nyuk itu yang bergerak seperti ular?" Gagak Seta diam berpikir. Tak tahu dia menebak maksud Titisari. Tetapi dia percaya, akan kecerdikan otaknya. Pastilah anak siluman belang itu mempunyai maksud tertentu, pikirnya. Maka ia tertawa gelak. Tatkala hendak memberi penjelasan, sekonyong-konyong Titisari berkata, "Bukankah untuk menangkap ular, harus dipergunakan tali? Nah, tali itu harus melingkar demikian rupa sampai si ular akan terlilit sedikit demi sedikit." "Bagus!" seru Gagak Seta girang. Dasar ia seorang pendekar bertabiat Jenaka serta ugal-ugalan ), maka kumatlah dia ketika mendengar kelakar Titisari. Dengan bertepuk tangan dia berkata lancar, "Apa lagi, kalau kamu mempunyai garam. Maka tak perlulah kau bersusah payah mencari tali. Cukup de-ngan menebarkan segenggam garam dan ularitu akan kelojotan ) kehilangan tenaga gerak. Dia akan mati lemas tanpa bersuara..." Sang Dewaresi tak mengerti ke mana tujuan percakapan ini. Tetapi dia merasa lagi dipermainkan. Dengan pandang tak senang ia membersitkan penglihatan dengan benak me-nebak-nebak. Matanya merah membara oleh hawa penasaran dan kurang tidur. "Sebenarnya apakah kehendakmu memanggilku?" tegurnya tak bersabar lagi. Dengan tersenyum Titisari menatap wajahnya. Kemudian menjawab, "Hai, kamu berbicara dengan siapa?" Sang Dewaresi tercengang. Membalas, "Bukankah aku bersedia menerima perintahmu?" "Bagus!" Titisari tertawa menggoda. Tiba-tiba ia merogoh suatu benda berbungkus dari dalam dadanya. Tatkala dikibarkan ternyata sebuah kebaya berduri tajam, entah terbuat dari bahan apa. Ketika Gagak Seta melihat benda itu, ia berjingkrak karena girangnya. Katanya nyaring, "Ah! Anak siluman! Apakah kamu menerima warisan benda mustika itu dari ayahmu? Hm, dengan mengenakan perisai mustika Syech Siti Jenar, kamu akan menjadi kebal. Dan tiada barang tajam di dunia ini yang dapat menembusnya. Hai! Apakah ayahmu sudah menceritakan riwayat perisai mustika itu?" Titisari menggelengkan kepala dengan mata berseri. Dalam pada itu, semua yang hadir di serambi, mengarahkan seluruh perhatiannya kepada benda mustika yang berwujud kebaya berwarna hitam halus dan berduri tajam. Gagak Seta kemudian berkata lagi sambil tertawa mendongak ke atap. "Anakku! Menurut kabar, perisai mustika itu dahulu, adalah milik Narpati Gajah Mada Mahapatih kerajaan Majapahit. Itulah sebabnya pula, mengapa Mahapatih Gajah Mada tak dapat dilawan orang. Ia terkenal sakti dan kebal. Setiap negeri yang didatanginya dengan tergesa-gesa menyatakan takluk. Kemudian mustika itu jatuh ke tangan pahlawan Ma-japahit Kusen ). Pahlawan itulah yang berhasil menewaskan Sunan Kudung, salah seorang calon wali Bintara. Juga Sunan Drajat, Sunan Kudus dan Sunan Giri tak mampu mengalahkannya. Setelah negeri Majapahit runtuh, tiada kabar beritanya lagi tentang benda mustika itu. Tiba-tiba Sunan Kudus mengabarkan, bahwa benda itu jatuh ke tangan Syech Siti Jenar. Inilah bahaya. Maka dengan tergesa-gesa Sunan Kalijaga menciptakan sebuah baju sakti pula bernama Kotang Ontokusuma yang dikabarkan sebagai baju sakti Arya Gatotkaca, Raja Pringgadani yang oleh kesaktian baju tersebut bisa terbang mengarungi angkasa. Inilah suatu cara untuk dapat mengurangi pengaruh kesaktian benda warisan Mahapatih Gajah Mada terhadap rakyat." Orang tua itu berhenti mengesankan. Ia tertawa perlahan dan tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. "Sekarang kulihat kamu mendapat warisan benda sakti Syech Siti Jenar. Aku tak usah berkhawatir lagi. Aku percaya, kau bisa menggebuki ular buduk kemenakan si Kerbau Bandotan. Hanya saja, mulai hari ini kamu harus sanggup memperlihatkan gigimu. Seperti almarhum Syech Siti Jenar, pahlawan sakti yang tiada terlawan. Kau tahu? Tabiat dan perangai Syech Siti Jenar adalah setali tiga uang dengan ayahmu. Sifatnya menyendiri, kokoh pendiriannya dan tak perdulian ter-hadap segala. Itulah sebabnya, mengapa Syech Siti Jenar dibenci oleh sekalian wali. Aha... biar orang percaya kepada cerita itu, aku sekelumit pun tak sudi mendengarkan. Bagaimana mungkin, rahasia bisa berubah menjadi anjing buduk? Itulah fitnah! Padahal tatkala Syech Siti Jenar dihukum, sama sekali tiada mengadakan perlawanan. Seumpama beliau melawan, kutanggung sekalian wali di Demak akan bisa dijungkir-balikkan. Begitulah juga nasib ayahmu. Meskipun hampir semua orang yang merasa dirinya gagah benci kepada ayahmu, aku si jembel tetap menghormati. Tapi itu pun bukan berarti, bahwa aku setuju kepada tingkah-lakunya." "Paman! Paman berbicara tak keruan jun-trungnya," tukas Titisari. "Aku lagi menghadapi ular bandot dan bukan lagi menghadapi salah seorang wali." Gagak Seta terkejut. Kemudian tertawa terbahak-bahak sambil menyahut. "Ah, betul! Memang mulutku senang melantur tak keruan juntrungnya. Nah, sekarang perlihatkan kemampuanmu menangkap ular bandot." "Bagus! Aku murid Gagak Seta, masa tak mampu menjungkir-balikkan ular itu?" Titisari berseru nyaring. Dan sambil mengenakan baju mustika, lantas saja memasuki gelanggang. Sang Dewaresi tiada gentar, meskipun sedikit banyak hatinya terpengaruh juga oleh riwayat benda mustika itu. Pikirnya, walaupun kamu mengenakan perisai dari dewa, masa tak mampu merobohkanmu dalam satu gebrakan saja." Kemudian berkata, "Nona, silakan maju! Aku rela mati dalam tanganmu yang kuning langsat." "Idih!" maki Titisari. "Semua ilmu tempurmu, adalah suatu ilmu lumrah. Tiada harganya untuk kaupamerkan kepadaku. Murid Gagak Seta ingin melihat ilmu rahasiamu yang busuk. Ayo, kita mulai! Tapi berjanjilah! Jika kamu sampai menggunakan ilmu lain, kau terhitung kalah." Dengan tersenyum sang Dewaresi menjawab, "Aku akan melayani sekehendakmu." "Hm—hm... tak kukira, kau ular bandot bisa juga pandai berbicara," Titisari tertawa. Tiba-tiba saja tubuhnya melesat. Dan dengan menggunakan Ilmu Ratna Dumilah ajaran Gagak Seta ia terus menyerang dengan bertubi-tubi. Sesungguhnya ilmu sakti Ratna Dumilah membutuhkan kegesitan untuk mengacaukan perhatian lawan. Itulah sebabnya, maka tubuh Titisari berkelebat seperti bayangan. Sebentar ia melontarkan pukulan tangan dan tiba-tiba berubah menjadi tendangan kaki tanpa berhenti. Sang Dewaresi terkejut bukan main. Sama sekali tak diduganya, kalau Titisari memiliki ilmu demikian hebat. Kini, tak lagi dia berani merendahkan lawan. Cepat ia menggeserkan kaki dan mengelak selekas mungkin. Kemudian ia menekuk lengan dan dengan lemas melontarkan serangan balasan. Itulah salah satu jurus ilmu rahasia pendekar sakti Kebo Bangah. Sasaran bidikannya menjurus ke pundak. Barangsiapa kena terhajar, pasti akan roboh seketika itu juga. Tapi mendadak, tangannya sakit luar biasa, kecuali itu tenaga lontarannya seperti terbalik. Sebentar heranlah dia, teringat akan benda mustika cerita Gagak Seta tersadarlah dia. Cepat-cepat ia memeriksa tangannya selintasan karena takut kena racun. Ternyata darah mulai mengucur membasahi kulitnya. Itulah akibat baju berduri yang tajam luar biasa. Tetapi darahnya tetap merah. Suatu tanda bahwa duri benda mustika itu tiada mengandung racun. Maka legalah hatinya. Meskipun demikian, hatinya jadi ciut. Kini ia tak memperoleh sasaran bidikan yang terulang. Seluruh lengan, punggung dan dada Titisari terlindung oleh benda mustika yang benar-benar tak mempan oleh tinju betapa keras pun. Gntuk menyerang kaki, tidaklah mungkin. Karena Titisari bisa bergerak demikian gesit dan sukar diduga. Satu-satunya tempat yang kosong dari lindungan benda sakti ialah, muka dan rambut, la jadi kebingungan, sambil berlompatan menghindari serangan, ia berpikir keras. Tak kukira, gadis begini hebat kepandaiannya. Benar-benar puteri adipati Karimun Jawa yang sakti dan murid Gagak Seta yang tiada cela. Tapi kalau aku mengalah, bagaimana mungkin aku melihat sinar matahari lagi. Sebaliknya, jika kuterkam mukanya, bukankah sayang seribu sayang! Dia begini cantik jelita. Apakah rambutnya saja yang harus kurenggut? Ah, rasanya kurang pantas. Aku akan dituduh sebagai seorang yang berlaku kasar dan meninggalkan tata-tertib gelanggang... Hm... hm... Benar-benar, ia tak dapat memperoleh keputusan, karena itu, ia jadi kerepotan. Makin lama, ia makin kena terdesak. Hatinya kagum bukan main dan bertambah gandrung kepada Titisari. Maklumlah, hampir seluruh kepandaiannya sudah dicurahkan untuk merobohkannya dengan menggunakan ilmu rahasia pamannya. Tadi, dia begitu gampang menampar Sangaji. Tapi kali ini macet, karena Titisari menggunakan perisai benda mustika yang tak mempan kena tinju dan pukulan. Syukurlah dia cerdas, la merobek lengan bajunya dan tangannya segera dibebatnya. Dalam hatinya sudah memperoleh keputusan hendak menyerang muka Titisari dan merenggut rambut. Jika perlu ia memberanikan diri memukul tubuh yang diselimuti benda mustika. Pikirnya, tanganku sudah terlindung pula, masa tak mampu menembus perisai benda mustika. Tetapi sekonyong-konyong Titisari meloncat keluar gelanggang sambil berseru mendamprat. "Kau palsu! Kau kalah! Kau hendak menggunakan ilmu lain." Sang Dewaresi terkejut. Memang tata-berkelahi ilmu rahasia pamannya, tidak diperkenankan menggunakan pembebat tangan sebagai pelindung. Maka dengan terpaksa ia menyahut, "Ah—aku lupa, Nona..." "Nah, sekarang teranglah bahwa ilmu keluargamu yang kaubanggakan, tiada mempan berhadap-hadapan dengan murid Gagak Seta," dengus Titisari dengan licin. "Artinya pula, bahwa ilmu rahasiamu tiada anehnya. Sewaktu dulu kita mengadu kepandaian di serambi kadipaten Pekalongan, malaslah aku untuk memperlihatkan kemampuanku. Karena itu, aku kalah. Tapi kini ternyata sama kuat. Kau masih mendongkol. Baik! Aku pun masih mendongkol." Semua yang mendengar ujar Titisari, jadi terheran-heran. Mereka berpikir, "Gadis ini benar-benar licin." Sebenarnya belum tentu dia bisa mengalahkan sang Dewaresi. Hanya dengan menggunakan kelicinan akal, dia bisa mengalahkan. Tapi mengapa, dia seolah-olah hendak menantang lagi." Sebaliknya Gagak Seta yang dapat menebak akal Titisari tertawa dalam hati. la percaya, bahwa muridnya yang satu ini amat cerdas otaknya dan tak segan-segan menggunakan akal licin di luar dugaan orang. Maka itu dengan tenang, ia terus menggerogoti tulang kambingnya sampai licin bersih. "Nona! Aku menerima semua pernyataanmu. Tak perlu lagi, kita meneruskan bertempur. Apa gunanya, kita bertempur sungguh-sungguh?" ujar sang Dewaresi kuwalahan. "Hih, enak saja kamu berbicara," tukas Titisari. "Ingat, dahulu di serambi kadipaten pernah aku kaupermainkan. Aku kau ajak bertempur dalam satu lingkaran. Kini, aku pun akan membalas menantangmu bertempur dalam satu lingkaran pula." Sang Dewaresi merasa terdesak. Tantangan Titisari tak dapat ditolaknya, mengingat dia dulu menantangnya berkelahi pula dalam suatu lingkaran. Maka berkatalah dia terpaksa. "Nona, di antara kita siapa yang kalah, tidak penting. Tapi jika Nona benar-benar bergembira hendak menantang mengadu kepandaian denganku, aku hanya bersedia melayani belaka." "Eh, kau mulut palsu, dengarkan," potong Titisari tak peduli. "Dahulu, sewaktu aku terpaksa bertempur melawanmu, aku kalah suara. Semua yang hadir dalam ruang kadipaten adalah sahabat-sahabatmu belaka yang bersiaga membantumu, jika kamu kalah. Kini lainlah suasananya. Di belakang berderetlah sahabat-sahabatmu. Aku pun berada di tengah sahabat-sahabatku. Meskipun jumlahnya kalah besar dengan jumlah begundal-begundal-mu, tak apa. Di sini aku berani mengeluarkan ilmu kepandaianku untuk melawanmu. Aku tak usah takut, begundal-begundalmu akan membantumu." "Hm," dengus sang Dewaresi geli bercampur mendongkol. "Sekarang marilah kita membuat garis lingkaran seperti dahulu." "Baik," sahut sang Dewaresi. Dan seperti tatkala di kadipaten Pekalongan, sang Dewaresi menggarit suatu lingkaran dengan ujung kakinya. Anak buah Gagak Seta benci terhadap sang Dewaresi. Tetapi menyaksikan kesaktianorang itu bisa menggarit lantai dengan ujung kaki, mau tak mau mereka memuji dalam hati. Sebab, apabila seseorang tiada memiliki tenaga sakti tak mungkin dapat menggarit lantai sedalam satu kaki dengan hanya menggu-nakan tekanan ujung kaki. "Bagus!" seru Titisari girang. "Ingatlah! Dulu kamu mengikat kedua belah tanganmu untuk melawanku. Sekarang pun, aku hendak bertanding dengan menim caramu merendahkan lawan. Aku mau mengikat kedua kakiku. Nah dengan demikian, adillah tata-pertandingan adu kepandaian ini." Semua yang mendengar ujar Titisari heran sampai terlongong-longong. Pikir mereka serentak, gadis ini meskipun cerdik dan pandai, bagaimana dapat melawan kesaktian sang Dewaresi dengan mengikat kedua kakinya? Lagi pula daerah geraknya begitu terbatas. Apakah dia memiliki ilmu siluman? Sang Dewaresi sendiri heran bukan kepalang. Dengan mengerutkan kening, sibuklah dia menduga-duga. Sangaji pun diam-diam ikut berpikir keras. Hanya Gagak Seta seorang diri yang masih saja menggayemi sekerat dagingnya dengan nyamannya. Pada saat itu, tiba-tiba leher bajunya terasa tercekam oleh suatu tangan yang kuat Tubuhnya terangkat lebih tinggi lagi sampai hampir mengenai atap. Titisari terus memasuki lingkaran, la melepas cindenya dan kedua kakinya kemudian diikatnya erat. Dengan pandang berkilatan ia menantang pandang Dewaresi tanpa berkedip. "Benar-benarkah Nona hendak melawanku dengan kedua kaki terikat?" Sang Dewaresi masih sibuk menebak-nebak. "Kau kira apa murid Gagak Seta ini? Bilanglah dengan terus terang, apakah kamu dulu atau akulah yang menyerangmu terlebih dahulu." Dengan mengerling garis lingkaran sang Dewaresi menjawab, "Aku adalah seorang laki-laki. Sudah barang tentu harus menerima seranganmu terlebih dahulu. Kemudian akan kupertimbangkan, apakah aku perlu membalas serangan pula." "Kau licin sekali!" damprat Titisari. "Kau hendak menaksir kelemahan lawan terlebih dahulu, bukan? Kemudian membalas serangan dengan sekali hantam. Bagus! Mari kita mulai. Siap?" Melihat Titisari begitu bersikap tenang, sang Dewaresi beragu. Pikirnya, dalam lingkaran sekecil ini, apakah yang hendak dilakukan terhadapku. Tapi... siapa tahu dia mempunyai ilmu rahasia di luar dugaan. Baiklah aku menyerangnya saja terlebih dahulu untuk melihat bagaimana cara dia mengelak dan melontarkan serangan. Mendapat pikiran demikian, maka dengan licin dia berkata, "Nona... sebenarnya dalam suatu arena pertempuran, tiada beda antara kedudukan seorang wanita dan pria. Jika aku membiarkan Nona menyerangku terlebih dahulu, itu berarti bahwa aku merendahkan Nona. Baiklah biar aku dahulu yang menyerangmu." Tapi berbareng dengan kalimatnya yang penghabisan Titisari telah memotong dengan seruan nyaring, "Awas serangan!" Ia melihat Titisari meloncat dengan menjejakkan ujung kakinya yang terikat. Belum lagi dia dapat menduga bagaimana gadis itu menyerang, tiba-tiba terlihatlah barisan isi sawo berkeredep menghujani dirinya. Inilah suatu serangan yang tak pernah diduganya. Sang Dewaresi terkejut bukan main. Gntuk menangkisnya dengan pedang tipisnya, tiada sempat lagi. Jarak antara dia dan Titisari terlalu dekat, karena mereka berdua berada di dalam satu lingkaran. Satu-satunya daya untuk menangkis senjata bidik itu hanyalah lengan bajunya. Tetapi lengan bajunya sudah terlanjur disobeknya tadi, tatkala hendak dipergunakan membebat kedua tangannya untukmelawan baju mustika Titisari. Hendak melon-cat mundur, berarti kalah. Sebaliknya membiarkan tubuhnya ditembus senjata bidik lawan, berarti akan mati terjengkang dalam lingkaran dengan hati penasaran. Dalam keadaan terjepit ia menjejak tanah dan tubuhnya terus terloncat ke udara dan mengapung tinggi. Dengan demikian, semua senjata bidik Titisari lewat berdesingan di bawah tapak kakinya. Tetapi celaka. Belum lagi dia turun ke tanah, Titisari sudah menghujani serangan bidikan untuk kedua kalinya. "Lihat serangan kedua!" seru gadis itu. Serangan kali ini, benar-benar tak dapat dihindarkan lagi. Maklumlah, tubuhnya masih berada di udara. Lagi pula serangan itu meliputi semua bidang gerak. Atas—bawah— samping-menyamping dan bertebaran begitu padat. Itulah hasil ajaran Gagak Seta untuk melawan tabuan kelingking binatang piaraan Kebo Bangah. "Tamatlah riwayatku," sang Dewaresi mengeluh dengan putus asa. "Tak kuduga, gadis ini begitu kejam!" Pada saat itu, tiba-tiba leher bajunya terasa tercekam oleh suatu tangan kuat. Tubuhnya terangkat lebih tinggi lagi sampai hampir mengenai atap. Kemudian terdengarlah suara senjata Titisari berdesingan lewat di sampingnya. Tahulah dia, bahwa ada seseorang yang menyelamatkan jiwanya. Belum lagi dia sempat mengetahui siapakah yang menjadi malaikat penolongnya, tubuhnya telah terlempar jatuh ke tanah. Sebenarnya lemparan itu tiada keras. Tapi aneh. la seperti tak dapat bergerak, sehingga ia jatuh dengan menyangga lengan. Mau tak mau, ia terpaksa jatuh tersungkur mencium tanah. Seketika itu juga sadarlah dia, bahwa yang menolong dirinya adalah Gagak Seta. Sebab di antara mereka tidak ada orang yang melebihi kepandaiannya selain Gagak Seta. Itulah sebabnya, begitu ia berhasil merayap bangun, terus saja ngeloyor keluar rumah dengan diikuti seluruh anak buahnya. "Paman! Mengapa Paman menolong ular bandot itu?" Titisari menyesali. Gagak Seta tertawa. Menjawab, "Dengan pamannya, aku bersahabat baik meskipun jahatnya bukan kepalang. Kalau kemenakannya sampai mati oleh tangan muridku, kesannya kurang baik." Setelah berkata demikian, ia menepuk-nepuk pundak Titisari sambil berkata penuh bangga. "Anak manis! Karena kecerdikanmu, kamu telah mengangkat nama perguruanmu. Gntuk jasamu, apakah yang harus kulakukan terhadapmu?" Titisari bergembira mendapat pujian gurunya. Dengan menggigit bibir dia menyahut, "Paman! Tongkat paman yang buruk itu, begitu menakutkan hatiku sampai Yuyu Rumpung tak berani berkutik." "Eh, anak cerdik? Tapi meskipun aku sudi mempertimbangkan ujarmu itu, tak dapat aku mengajarimu. Aku hanya akan mewariskan satu-dua tipu silat kepadamu dalam beberapa hari ini. Sayang, hari ini aku begitu malas." "Aku akan menyediakan beberapa masakan kegemaran Paman." "Hari ini, tiada sempat untuk menikmati masakanmu. Lain kali apakah buruknya?" Dalam pada itu Sondong Majeruk dan kawan-kawannya menghampiri Sangaji dan Titisari untuk menyatakan terima-kasih. Gusti Ratnaningsih pun telah berhasil membebaskan diri dan segera menarik tangan Titisari. Seperti terhadap saudara sekandungnya, puteri itu terus mengutarakan rasa hatinya, la amat terharu memperoleh pertolongannya. "Paman Suryaningrat yang menjadi guru Tuan Puteri adalah adik-guru Sangaji. Nah, dengan demikian, kita semua sebenarnya adalah satu keluarga perguruan," ujar Titisari seraya memperkenalkan Sangaji. Gusti Ratnaningsih sejenak terhenyak. Kemudian dengan suatu luapan kegirangan yang tak tertahankan, menarik pergelangan tangan Sangaji dan diajaknya berbicara. Sondong Majeruk kemudian membungkuk hormat kepada Gagak Seta dan ikut menyatakan gembira bahwa orang tua itu kini sudah mempunyai dua orang murid. Dia tahu, bahwa Gagak Seta benar-benar melanggar pantangannya sendiri dengan mengambil murid. Dia yang hanya memperoleh warisan satu jurus belaka, menaruhkan harapan besar kepada Sangaji. Segera dia menoleh kepada Sangaji sambil berkata takzim. "Meskipun berusia jauh lebih muda dariku, aku akan memanggilmu kakak, karena kakak adalah murid panembahan Gagak Seta. Nah, terima hormatku. Apabila senggang, sudilah kiranya singgah di rumahku di Desa Nglaran." Dengan tersipu-sipu, Sangaji membalas hormat Sondong Majeruk. Wajahnya bersemu merah, karena tak tahu apa yang harus dilakukan. "Gcapan Sondong Majeruk patut kaudengarkan," kata Gagak Seta kepada Sangaji. "Sudah sewajarnya, kamu dipanggilnya kakak. Karena dalam suatu perguruan, tingkatan ilmu merupakan tataran kehormatan dan bukan usia jasmani." Mendengar ujar Gagak Seta, maka Sangaji terpaksa juga menerima panggilan itu, meskipun hatinya masih merasa canggung. 'Tahukah kamu hai anakku, bahwasanya adikmu Sondong Majeruk itu sebenarnya adalah seorang kepala polisi dusun. Dialah Kepala Kampung Dusun Nglaran. Nah, kalian sekarang sudah menjadi sahabat. Hatiku bersyukur bukan kepalang. Sekarang muridku yang kecil kuperintahkan mengantarkan Gusti Retnoningsih pulang ke Pesanggrahan. Aku sendiri mempunyai urusan penting yang belum selesai kukerjakan." Sampai di sini, mereka berpisah. Gagak Seta pergi ke jurusan timur. Sondong Majeruk dan kawan-kawannya mengarah ke utara. Sedangkan Titisari mengantarkan Gusti Retnoningsih pulang ke Pesanggrahan. Sangaji ikut pula mengawal, karena mengkhawatirkan mereka akan bertemu dengan sang Dewaresi di tengah jalan. Ternyata Gusti Retnoningsih seorang puteri bangsawan yang ramah. Di sepanjang jalan, ia terus berbicara dengan Sangaji dan Titisari. Terhadap Sangaji ia mengabarkan, bahwa sebenarnya dia belum berhak di sebut murid Suryaningrat. Karena ilmu yang diwarisi belum sampai seperempat bagian. Dan terhadap Titisari ia menerangkan, kalau murid-murid Gagak Seta tersebar luas di persada wilayah Jawa Tengah. Kebanyakan mereka menjabat pangkat kepala kampung atau polisi pangreh-praja. Mereka dahulu adalah bekas pengikut Gagak Seta tatkala Perang Giyanti sedang berkecamuk hebat. (Bersambung) ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bende Mataram - JILID 7. SUATU PERTEMPURAN TAK TERDUGA

Bende Mataram - JILID 7. SUATU PERTEMPURAN TAK TERDUGA WIRAPATI girang bukan main. Sangaji telah cfiketemukan. Kini tinggal menunggu Jaga Saradenta pulang dari penyelidikan ke luar kota. Seminggu sekali Jaga Saradenta datang ke pondokan dan membawa berita. Adakalanya sampai satu bulan. Dia pasti girang, kata Wirapati dalam hati, nanti malam biar kuajaknya mulai bekerja. Mudah-mudahan dia datang. Sekiranya tidak, biarlah kumulai dahulu. Waktu berarti pedang. Satu hari lengah berarti terkikisnya waktu yang dijanjikan. Hm—tinggal empat tahun. Kalau Sangaji mempunyai bakat, agaknya masih ada waktu. Mendadak saja timbullah suatu pikiran lain. Eh, sekiranya Sangaji nanti malam tak datang apa yang akan kulakukan? Bukankah hati kanak-kanak seringkali berubah? Celaka—aku belum tahu rumahnya. Memikir demikian, cepat ia kembali ke lapangan. Sangaji baru saja melangkahkan kaki meninggalkan lapangan. Ia girang. Mau dia percaya, kalau selama itu Sangaji masih tertegun-tegun memikirkan kehebatannya y...

ep.48 bende mataram - Pulang

BENDE MATARAM JILID 48 PULANG HATI seorang perempuan memang sukar diduga. Kalau tidak masakan perbuatan Rukmini dapat terluput dari pengamatan Sangaji yang sudah memiliki ilmu sangat ting-gi. Soalnya, seluruh perhatiannya ditegangkan oleh peristiwa yang terjadi di tengah lapangan. Dan sekelumitpun tiada terbintik dalam hati Sangaji, bahwa ibunya akan membunuh difi pula mencontoh Sonny de Hoop. Alasan untuk berbuat demikian sangatlah lemah. Jalan pikir Rukmini memang sangat aneh. Melihat anaknya tiada hendak meninggalkan rumah, lantas timbullah keputusannya akan membunuh diri. Ia sendiri tak dapat pergi bersama anaknya, sebeluin berbicara dengan Major de Hoop yang sudah beberapa tahun lamanya menjadi perlindungannya. Gntuk perbuatan itu, ia merasa berutang budi setinggi gunung. Kalau ia pergi begitu saja meskipun alasan-alasannya cukup kuat serta mendesak ia takut dikatakan sebagai makhluk tak kenal budi. Padahal anjingpun mengerti akan mem-balas budi. Masakan manusia tidak? Sekiranya...

BENDE MATARAM - JILID 8. SONNY SI GADIS INDO

BENDE MATARAM - JILID 8. SONNY SI GADIS INDO DENGAN berdiam diri pula Jaga Saradenta membimbing tangan Sangaji di samping Wirapati. Kesan pertempuran tadi masih saja meriuh dalam otaknya. Hatinya bisa menduga apa yang bakal dilakukan Pringgasakti ketika melihat adiknya mampus begitu terhina di tengah lapangan. “Iblis itu benar-benar kebal dari semua senjata tajam. Tapi kekebalannya tak kuasa mempertahankan diri dari letupan pistol. Jika begitu, boleh juga kita belajar menembak,” katanya perlahan. Wirapati adalah murid keempat Kyai Kasan Kesambi yang diajar membenci senjata bidikan. Begitu mendengar ujar Jaga Saradenta lantas saja menyahut. “Bukan karena mesiu pistol dia mampus, tetapi karena kebetulan tepat mengenai lubang kelemahannya.” “Bagaimana kautahu?” “Pertama-tama kulihat dia selalu melindungi kepalanya rapat-rapat dari gempuran cempulingmu. Seandainya dia benar-benar kebal, apa perlu berlaku begitu? Kedua, tembakan pistol Sangaji tepat mengenai pusatnya. Memang se-mendjak kau ...