BENDE MATARAM
JILID 18
HANTU BERKELIARAN DI SIANG HARI
SEKEMBALINYA dari pesanggrahan Gusti Retnoningsih, Sangaji dan Titisari terus men-cari kudanya. Kemudian melanjutkan per-jalanan mengarah ke timur. Setelah hari hammerekapir mendekati luhur, sampailah mereka di suatu jalanan yang sulit. Di depan mereka, bukit-bukit mulai menghadang. Gundukan-gundukan tanah yang menyekati perjalanan, penuh batu-batu tajam dan semak-belukar.
Mereka kemudian beristirahat. Setelah memperoleh pohon rimbun, segera mereka merebahkan diri. Dan sebentar saja, sudah memasuki alam lain. Maklumlah, satu malam suntuk mereka berada dalam ketegangan. Seluruh urat-syarafhya bekerja dengan mati-matian, dan sekarang mendapat kesempatan untuk bernapas. Tetapi hidup ini memang kerdil. Belum lagi mereka tidur lelap selama satu jam, tiba-tiba pendengaran mereka yang tajam menangkap bunyi derap kuda. Seperti saling berjanji, mereka menegakkan kepala dan sambil bertiarap terus mengarahkan pan-dangannya. Herannya, mereka melihat Sanjaya yang datang berderap dengan diikuti semerekaorang laki-laki pendek tegap. Dialah pendekar Abdulrasim dari Madura. Dan ketika sampai di gundukan, Sanjaya melompat ke tanah dan menuntun kudanya. Abdulrasim pun menirumerekakan perbuatan majikannya. Dengan demikian, mereka kini meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki.
"Di manakah terjadinya pertempuran itu?" Sanjaya minta penjelasan kepada Abdulrasim.
"Yuyu Rumpung, Manyarsewu, Cocak Hijau dan Sawungrana sudah berhasil mengejarnya. Kemungkinan sekali, mereka berada tak jauh dari sini. Mari!"
Dengan cepat mereka menuruni gundukan. Kemudian sambil melompat ke atas pungmerekagung, cemetinya menghajar paha kudanya kalang-kabut. Terang sekali, bahwa mereka dalam keadaan tergesa-gesa.
Setelah mereka lenyap di balik gerombol pohon, Sangaji dan Titisari bangkit dengan berbareng. Mereka saling pandang dengan kepala berteka-teki.
"Sungguh berbahaya!" bisik Titisari. "Se-umpama ular itu mengetahui diri kita, mau tak mau kita terpaksa berolahraga. Untunglah kita mempunyai kebiasaan mencencang kuda jauh dari tempat kita beristirahat."
"Apa yang membahayakan?"
"Hm, anak pamanmu itu, licin seperti ular. Kau harus berhati-hati."
Sangaji tertawa melalui hidung. "Dia lagi tersesat. Sekiranya kelak aku berhasil me-nyadarkan pasti dia akan kembali ke jalan yang benar," katanya.
"Hm," dengus Titisari. Kemudian tanpa menoleh ia mencari kudanya. Sangaji mengikuti dari belakang.
"Aji!" kata gadis itu lagi. "Kau jangan enak-enak berdendang. Mereka tadi membicarakan tentang pertempuran. Siapa yang sedang meremerekaka kejar, itulah yang harus kauperhatikan."
"Apa sangkut-pautnya dengan aku?"
Titisari tak segera menjawab, la melompat ke atas punggung kudanya. Seraya menarik kendali, ia berkata mengajak.
"Kau ikut, tidak? Aku ingin melihat siapakah yang lagi bertempur."
Sebenarnya Sangaji ingin cepat-cepat me-nuju ke Sejiwan. Gunung Damar sudah berdiri di depan. Oleh petunjuk Nuraini dahulu tahu-lah dia, bahwa Dusun Sejiwan berada di baliknya, la khawatir, gurunya sudah terlalu lama menunggu dirinya. Tapi mengingat tabiat kekasihnya yang rupanya dimanjakan keluar-ganya, maka mau tak mau ia harus pandai membawa diri. Demikianlah, ia menyertainya tanpa membantah.
Mereka menuruni gundukan dan mengikuti jejak kuda Sanjaya. Willem adalah seekor kuda yang benar-benar perkasa serta cekatan. Seperti pandai membaca gejolak hati majikan-nya, ia terus berderap kencang mengikuti jejak. Itulah sebabnya, dengan cepat mereka berdua telah sampai di suatu lapangan yang berada di dekat tebing Sungai Bogowonto.
"Lihat! Mereka benar-benar sedang bertem-pur!" seru Titisari.
Waktu Sangaji mengamat-amati, nampakmerekalah dua orang laki-laki setengah umur sedang berkelahi dengan sengit menghadapi keroyok-an enam orang.
"Hai!" Titisari cemas, "Bukankah itu gurumu? Paman Wirapati!"
Mendengar ucapan Titisari, Sangaji terkesiap. Cepat ia menjepit perut Willem. Kuda itu lantas saja meloncat dan terbang secepat kilat. Apabila sudah berada di tepi lapangan tak usahlah Sangaji beragu lagi. Memang, gurunya sedang bertempur melawan kerubutan lawan. Lantas siapakah yang berada di sampingnya membantu gurunya itu? Pahlawan itu sebaya dengan usia gurunya. Hanya saja tubuhnya agak pendek tetapi berkesan lebih kokoh dan mantap.
Mereka mempergunakan senjatanya ma-sing-masing. Suatu tanda, bahwa mereka memasuki saat-saat yang tegang dan tak berani merendahkan lawannya. Dengan demikian, senjata mereka nampak berkere-depan di tengah matahari yang bersinar terik.
"Hai! Siapakah yang bertempur tak menge-nal tata-tertib?" teriak Titisari melengking. Mereka berhenti bertempur sejenak, tetapi sesaat kemudian perkelahian mulai lagi. Bahkan makin sengit dan seru.
"Guru! Biarlah aku memasuki gelanggang!" seru Sangaji. Suara Sangaji kini jauh berbeda dengan dua bulan yang lalu. Dia kini sudah memiliki tata-pernapasan ilmu sakti Kumayan Jati. Karena itu suaranya bertenaga hebat bagaikan gerung harimau terluka. Karuan saja, mereka yang bertempur jadi kaget, sampai tanpa disadari sendiri masing-masing melommerekapat mundur dua langkah. Sangaji pun tak terkecuali. Selama menekuni ilmu Gagak Seta, belum pernah sekali juga dia berteriak. Diammerekadiam ia bersyukur dalam hati, karena ternyata kepandaiannya kini bertambah maju tanpa sadar. Sebaliknya mendengar suara itu— meskipun bertenaga luar biasa—Wirapati segera mengenalnya. Dengan setengah ter-cengang, ia berseru girang, "Apakah anakku Sangaji berada di sana?"
Wirapati ternyata tak berani lengah barang sebentar pun sehingga tiada menoleh.
"Benar, aku Sangaji!" sahut Sangaji.
Karena girangnya Wirapati terus saja menje-jak tanah dan berlompat berjumpalitan di udara. Sudah sering Sangaji menyaksikan kepandaian gurunya berjumpalitan di udara. Tapi kali ini, dia benar-benar kagum. Karena tanpa melihat, Wirapati dapat berjumpalitan terbang di udara dan turun dengan manis sekali satu langkah di depannya. Kalau Sangaji sendiri sebagai muridnya terus kagum, lainnya tak usah dibicarakan lagi. Mereka tercengang-cengang sampai mulutnya terlongoh-longoh. Ternyata mereka adalah Yuyu Rumpung, Abdulrasim, Manyarsewu, Cocak Hijau, Sawungrana dan Sanjaya. Hanya orang yang membantu Wirapati itu sajalah yang masih nampak tak bergerak dari tempatnya. Pandang matanya tetap tajam dan angker.
"Kangmas Bagus Kempong! Inilah muridku selama pergi meninggalkan perguruanku," seru Wirapati. Kemudian ia mengarah kepada Sangaji, "Aji! Dialah paman gedemu ) kakak-seperguruanku."
Sangaji adalah seorang pemuda yang mengutamakan tata-santun di atas segalanya. Maka begitu mendengar ujar gurunya, terus saja menghampiri dan membungkuk hormat kepada Bagus Kempong.
"Anakku terima-kasih. Siapa namamu?" kata Bagus Kempong sambil mendengarkan kelegaan hatinya.
"Sangaji."
"Nama bagus!" pujinya. Kemudian berseru kepada Wirapati, "Adik Wirapati! Engkau me-nemukan bahan bagus dan luar biasa. Murid-mu begini hebat!"
Wirapati terus menghampiri dan meme-luknya dari belakang. Bagus Kempong mem-balas pelukan itu pula. Nampaknya mereka tak mengacuhkan kehadiran lawannya yang berjumlah lebih banyak dan bersiaga menye-rang dengan tiba-tiba.
"Eh, monyet! Anjing!" Maki seorang laki-laki berkepala botak dan bertubuh pendek. "Kamu akan segera berangkat ke neraka apa perlu berpeluk-pelukan seperti perempuan?"
"Eh, kaubangkotan jahanam, masih beranikah mengumbar suara di hadapanku?" tiba-tiba Titisari menyahut tajam.
Mendengar suara Titisari, Bagus Kempong menoleh. Kemudian bertanya kepada Wirapati, "Siapakah Nona ini?"
Belum lagi Wirapati menjawab, Sangaji cepat-cepat memberi penjelasan. "Dia adalah kawanku berjalan, Paman."
"Oh," terdengar Bagus Kempong termerekacengang. Tetapi dia tak berkata lagi.
Dalam pada itu, Yuyu Rumpung maju selangkah dengan pandang berkilat-kilat.
"Aku tidak berbicara kepadamu, mengapa kamu begini kurang ajar?"
"Eh, enak saja kamu bicara," damprat Titisari berani. "Kauhilang, pamanku ber-peluk-pelukan seperti perempuan. Kautahu, di antara semua yang berada di sini, hanya akumerekalah seorang perempuan. Nah, bukankah kamu menghina aku?"
Wajah Yuyu Rumpung berubah. Tetapi kare-na ucapan Titisari benar, mau tak mau ia harus menelan rasa gusarnya. Sekonyong-konyong pendekar Abdulrasim berkata nyaring.
"Nona! Bukankah kita sudah saling menge-nal?"
"Lantas?"
"Nona adalah puteri Adipati Surengpati. Terimalah hormatku. Kemudian kupinta, agar Nona jangan ikut campur dalam urusan ini."
Abdulrasim rupanya masih teringat akan peringatan sang Dewaresi dahulu di halamerekaman kadipaten, bahwa sekali-kali jangan meli-batkan diri dengan puteri Adipati Surengpati. Karena apabila sampai terli-bat, urusan bisa jadi runyam. Adipati Surengpati yang disegani dan ditakuti semua orang gagah di penjuru tanah air ini, bagaimana bisa tinggal diam apamerekabila mendengar puterinya dihina seseorang. Maka pendekar itu mencoba membersihkan diri. Sebaliknya, tatkala Bagus Kempong menmerekadengar Abdulrasim menyebutkan nama Adimerekapati Surengpati, ketika itu juga berkerut-kerut-lah dahinya. Sebagai murid Kyai Kasan Kesambi, tahulah dia siapa Adipati Surengpati. Meskipun belum pernah bersua dengan orangnya, tapi menurut tutur-kata gurunya tidak begitu menyenangkan. Karena Adipati Surengpati terkenal angkuh, kejam dan penyendiri.
"Sangaji," bisiknya, "... apakah kawanmu itu benar-benar puteri Adipati Surengpati?"
Sangaji mengiakan sambil mengangguk, dan Bagus Kempong nampak menghela napas. Dengan pandang tajam ia mengawasmerekakan gerak-gerik Titisari yang nampak berkemerekasan liar.
"Aji!" tiba-tiba Titisari berkata kepada Sangaji. "Bukankah itu sahabatmu. Anak-angkat Pangeran Bumi Gede, Tuan Sanjaya? Hai, bagaimana dia bisa berada di sini? Tolonglah tanyakan, di mana kini kakakku Nuraini berada?"
Mendengar ujar Titisari, Sangaji terkejut dan tersipu-sipu. Sanjaya dan Abdulrasim berubah hebat wajahnya. Mereka saling memandang dengan pandang keripuhan.
"Nona! nDoromas Sanjaya adalah sesem-bahanku. Aku sudah bersikap hormat kepadamerekamu, mengapa engkau bersikap kurang ajar?" tegur Abdulrasim.
"Tak bolehkah aku berkata sebenarnya?" sahut Titisari dengan tertawa.
Abdulrasim jadi kuwalahan. Memang apa yang dikatakan Titisari adalah peristiwa sebe-narnya. Waktu itu dia pun lagi menghadap Sanjaya. Kemudian terdengar jendela rumah diketuk orang. Dan tahu-tahu seorang gadis lemah-lembut sudah berada di dalam kamar. Sebagai seorang pendekar, ia diajar menghar-gai ucapan seseorang yang benar, meskipun akan menyakiti hati. Karena itu dia terpaksa membungkam mulut.
Sebaliknya Sanjaya yang berhati licin, de-ngan tenang terus melangkah maju. la terse-nyum sambil mengangguk. Berkata lemah-lembut.
"Perkara itu, bukankah bisa dibicaramerekakan pada waktu lain? Pada saat ini, kami sedang menghadapi suatu perkara yang harus kami selesaikan." la berhenti mengemerekasankan. Kemudian mengarah kepada Yuyu Rumpung, Manyarsewu, Cocak Hijau dan Sawungrana yang nampak tak bersabar lagi. Berkata kepada mereka, "Apakah yang harus kita lakukan?"
"Hm" dengus Cocak Hijau. "Gadis itu, bukankah yang datang berkeluyuran di hala-man kadipaten?"
Sanjaya terhenyak heran. Ia merenungi Titisari dengan pandang berkilat.
"Semenjak dahulu... ingin aku memuntir lehernya," kata Cocak Hijau lagi, "sekarang, jangan biarkan dia mengacau lagi. Serahkan dia kepadaku."
Tiba-tiba terdengarlah suara tertawa halus tetapi tajam menusuk hati. Itulah guru Sangaji, sang perwira Wirapati. Pendekar itu dengan maju selangkah terus menungkas.
"Kata-katamu tidaklah mudah engkau laksanamerekakan, selama aku masih berada di sini. Cobalah!"
Kata-kata Wirapati terkenal sederhana, tetapi berwibawa. Dan begitu mendengar ucapannya Cocak Hijau yang berwatak bera-ngasan, lantas saja menggeser maju hendak melancarkan serangan. Tetapi Sanjaya dengan cepat mencegah. Katanya angkuh terhadap Wirapati.
"Antara kami dan Tuan belum pernah berkenalan. Kecuali tatkala Tuan berada di alun-alun kadipaten Pekalongan. Waktu itu, kami berlaku lapang dada. Mengingat Tuan tidak tersangkut-paut dalam urusan dahulu. Tapi kini, lainlah halnya. Tuan berani mema-suki daerah terlarang kami. Tuan berani pula mengganggu pekerjaan kami. Itulah suatu pantangan bagi kami. Nah, kembalikan pusaka itu!"
Mendengar Sanjaya berbicara tentang pusaka, Sangaji kaget. Dengan wajah berubah tegang, ia melemparkan panmerekadang kepada Wirapati dan Titisari. Kemudian dengan perlahan-lahan ia memerekamasuki gelanggang dan berdiri di samping gurunya.
"Kau berbicara tentang apa?"
Wirapati menegas dengan tenang.
"Tentang pusaka warisan kami."
"Apa sangkut-pautnya dengan kami?"
"Eh—hm." Sanjaya tersenyum manis. "Kami bukan anak-anak yang belum pandai beringus. Bukankah Tuan Guru si bocah tolol itu, kami mempunyai persoalan sendiri. Beradanya Tuan di sekitar daerah terlarang itu, masakan secara kebetulan saja. Mestinya bocah tolol itu sudah mengmerekaungkapkan rahasia pusaka warisan kami kepada Tuan."
Sangaji sudah biasa disebut sebagai anak tolol, la tak memedulikan. Sebaliknya tidaklah demikian halnya Titisari, gadis yang memu-janya di atas segala. Mendengar dia disebut sebagai bocah tolol, serentak gusarlah gadis itu. Tajam dia mendamprat,
"Hai! Kau berani mentolol-tololkan kawanmerekaku. Kau ular busuk, tutuplah mulutmu!" la menoleh kepada Sangaji. Terus memberi saran, "Aji! Dulu, aku pernah mendengar kisah gurumu yang galak berlawanan berbicara de-ngan pendeta edan Hajar Karangpandan. Bahwasanya antara engkau dan ular itu mem-punyai ganjelan yang harus kauselesaikan. Inilah suatu kesempatan yang bagus sekali untuk membuktikan, bahwa engkau bukanlah seorang pemuda tolol. Hajarlah dia biar belajar bersopan santun. Kalau Kak Nuraini gusar, akulah lawannya."
HEBAT KATA-KATA TITISARI. SEPERTI GELEDEK DI SIANG HARI mereka yang mendengar jadi terpengaruh. Yuyu Rumpung, Manyarsewu, Cocak Hijau, Sawungrana dan Abdulrasim tidak begitu jelas mengetahui per-soalannya yang terjadi antara Sanjaya dan Sangaji. Mereka hanya menebak-nebak belamerekaka, setelah munculnya peristiwa Wayan Suage dahulu di tengah lapangan hijau di Pekalong-an. Meskipun tiada yang membicarakan lagi, tetapi sedikit banyak masuk pula dalam perha-tian mereka. Secara samar-samar mereka mulai menduga-duga peristiwa gelap yang meliputi diri Pangeran Bumi Gede, Raden Ayu Bumi Gede dan Sanjaya.
Terhadap Sangaji dan Titisari, mereka berempat mempunyai pengalamannya sendiri. Yuyu Rumpung mengenal Sangaji, sebagai seorang yang harus dihantam rampung. Karena dia menaruh dendam sebesar bong-kahan batu pegunungan. Maklumlah, kehor-matan dirinya terus-menerus merosot tak keruan semenjak terlibat dengan anak muda itu. Dan Manyarsewu serta Cocak Hijau me-ngenal Sangaji selagi mengadu kepandaian melawan Sanjaya di lapangan arena. Mereka berdua menyaksikan, bahwa Sanjaya akan dapat mengalahkannya. Hanya saja, pemuda asing itu ulet luar biasa. Sebaliknya Abdul-rasim dan Sawungrana hanya mengenal Titi-sari belaka, tatkala gadis itu berada di serambi kadipaten Pekalongan. Terhadap Sangaji, mereka tak mempunyai perkara yang harus diselesaikan. Lainlah halnya dengan Wirapati, Titisari, Sanjaya dan Sangaji sendiri.
Mereka mengetahui belaka, apa yang terjadi dan apa yang harus diselesaikan. Dengan demikian, mereka yang terbersih dari sekalian anasir itu, hanyalah Bagus Kempong sebagai seorang pendekar murid Kyai Kasan Kesambi yang ketiga. Dia berada di luar garis dengan kepala berteka-teki. Maklumlah, dengan Wira-pati baru saja dia bertemu. Waktu itu, dia lagi meronda mengelilingi wilayahnya. Mendadak saja, ia melihat seseorang yang lagi bertempur menghadapi kerubutan. Sebagai seorang murid Kyai Kasan Kesambi yang terkenal dan mengutamakan jiwa ksatria, heranlah dia menyaksikan suatu pertempuran berat sebe-lah. Itulah suatu perkelahian yang bertentangan dengan tata-tertib seorang ksatria. Segera ia menghampiri. Alangkah kaget dan terharunya, karena tiba-tiba kenallah dia siapa yang lagi bertempur menghadapi kerubutan. Dialah adik-seperguruan yang hilang tiada kabar-beritanya selama 12 tahun. Tanpa ragu-ragu lagi, dia terus terjun ke gelanggang dan merabu musuh adik seperguruannya kalang kabut. Wirapati segera mengenal ka-kak-seperguruannya. Hatinya terharu bukan kepalang. Ingin dia cepat-cepat menyelesaimerekakan pertempuran itu. Tetapi lawannya bukanmerekalah lawan sembarangan. Kecuali berjumlah lebih banyak, sesungguhnya termasuk golongmerekaan pendekar-pendekar sakti pilihan. Itulah sebabnya, antara mereka berdua belum sem-pat berbicara seleluasa-lelusanya. Dan belum lagi mereka bisa menyelesaikan pertempuran, datanglah lagi suatu desakan baru. Sanjaya dan Abdulrasim datang mengkerubut. Kemu-dian datang pulalah Sangaji dan Titisari yang membuat mereka bisa bernapas selintasan.
"Anakku Titisari," kata Wirapati tiba-tiba. "Semerekasungguhnya persoalan antara Sangaji dan Sanmerekajaya adalah persoalanku dan gurunya, dan anmerekatara aku dan gurunya, sudah memperoleh suatu penyelesaian. Hal ini tak perlu dikutik- kutik lagi. Karena itu selama aku ada, Sangaji dan Sanjaya tak kuperkenankan mengadu kepandaian. Kecuali apabila berdasarkan alasan lain."
"Ah, ya" Titisari meraba keningnya dan se-olah-olah tersadar. "Bukankah Ki Hajar Ka-rangpandan menyatakan, bahwa dia menyemerekarah kalah? Dengan begitu, anak-angkat pamerekangeran itu dinyatakan kalah pula. Jika demimerekakian sama sekali tidak pada tempatnya dia menyebut Sangaji dengan istilah tolol. Bahkan dialah sebenarnya yang tolol sebagai jago godogan. Bukankah begitu?"
Terang sekali, Titisari menjatuhkan pamor Sanjaya di hadapan orang banyak. Karuan saja, Sanjaya yang biasa mengagung-agung-kan diri menjadi mendongkol. Dengan mata berkilatan dia berkata, "Nona... aku bukan guruku. Guruku bukan aku pula."
"Bagus!" potong Titisari. Kemudian menoleh kepada Wirapati seraya berkata membakar hati. "Dialah yang menantang. Apakah kita akan membiarkan tantangan itu tak terjawab."
Wirapati kenal akan kenakalan dan keliaran Titisari sewaktu berada di tengah lapangan hijau di Pekalongan. Ia tahu pula, bahwa otaknya cerdas luar biasa. Tetapi sebagai seorang pendekar yang sudah berpengalaman, tak gampang-gampang kena terbakar hatinya. Kehormatan dirinya, melarang muridnya bertempur melawan seseorang murid tanpa kehadiran gurunya. Maka dengan tenang dia berkata, "Sudah kukatakan, selama aku bera-da di sini, tidak kuperkenankan mereka meng-adu kepandaian. Aku khawatir akan diter-tawakan para saktiawan seluruh dunia ini."
"Baik. Paman bersitegang mempertahankan kehormatan diri. Tapi mengapa, Paman sammerekapai terlibat dalam pertempuran melawan mereka? Paman ternyata dikerubut mereka yang tak tahu malu. Apakah menghadapi bangsa cecurut demikian, masih perlu Paman menginjak sendi-sendi kehormatan diri? Bih!"
Diejek sebagai bangsa cecurut, Yuyu Rumpung, Manyarsewu dan Cocak Hijau yang beradat berangasan, tak dapat lagi menyabar-kan diri. Serentak mereka menyerang ber-bareng. Wut! Tapi benar-benar aneh. Dengan sedikit menggeserkan kaki, Titisari luput dari hantaman mereka bertiga. Keruan saja muka mereka berubah hebat.
"Nah, tu lihat! Bukankah mereka benar-benar bangsa cecurut?" ejek Titisari.
Wirapati dan Bagus Kempong terkesiap hatinya, tatkala gadis itu diserang tiga pendekar dengan berbareng. Mau mereka bergerak mengulur tangan. Tapi ternyata Titisari jauh lebih gesit daripada mereka. Maka diam-diam mereka kagum kepada kegesitannya.
"Jahanam anak haram!" maki Yuyu Rum-pung. "Jangan terburu-buru berbesar hati, engkau bisa mengelakkan serangan kami. Hayo maju! Akulah yang mewakili nDoromas Sanjaya."
"Ih, bandot tua ini benar-benar tak tahu malu," balas Titisari. "Aji! Kauwakili aku menghajar botaknya yang mengkilat itu!"
Yuyu Rumpung benar-benar kuwalahan. Segera ia menarik kedua tangannya bersiap menyerang. Waktu itu Sangaji telah memasuki gelanggang.
"Aji, mundur!" seru Wirapati yang mengkhawatirkan keselamatan muridnya. "Bukankah sudah kupesankan padamu bahwa engkau harus menghindari dia?"
Tetapi Titisari menyahut, "Paman! Terhadap si botak bandotan ini, tak perlu Paman membesarkan hatinya. Dia pantas dihajar! Dan biarmerekalah Aji menghajar mulutnya yang kotor! Bukankah Paman bertempur melawan mereka untuk mempertahankan pusaka warisan Aji? Ternyata anak-angkat pangeran itu merasa diri berhak mewarisi pusaka ayahnya. Idih! Terhadap ayah kandungnya tidak mau mengakui, tetapi begitu mendengar pusakanya, mulutnya lantas ngiler. Benar-benar berhati jahanam!"
Memang Titisari benci benar terhadap Yuyu Rumpung. Pertama-tama, ia pernah bertempur dan pernah melihat pemuda pujaannya dikalahkan sewaktu baru memiliki ilmu sakti Kumayan Jati tiga jurus. Dalam hatinya kini ingin menguji ilmu sakti Kumayan Jati yang sudah dimiliki Sangaji dengan lengkap. Ia percaya, bahwa Sangaji akan dapat menaklukkan pendekar itu sampai tujuh turunan. Kalau harapannya ini terkabulkan, bukankah Wira-pati akan kagum pula kepadanya?
Tetapi ucapan Titisari tanpa disadarinya sendiri, telah menusuk hati dua orang. Selain Yuyu Rumpung, Sanjaya pula. Pemuda itu sekaligus menggerung karena geramnya. De merekangan meluapnya amarahnya, ia terus menermerekajang dengan satu jurus serangan yang sangat berbahaya. Tangannya mencengkeram dan mengancam kepala. Itulah jurus ilmu sesat ajaran iblis Pringgasakti.
Sangaji terkejut melihat serangan itu. Teringatlah dia bahwa dengan jurus itu pula pergelangan tangan Wayan Suage kena dipatahkan. Dan begitu teringat akan nasib Wayan Suage, sekaligus tergetarlah hatinya. Suatu endapan api amarah bergolak dalam dadanya. Rasa muak dan jijik terhadap San-jaya sekaligus meledak dahsyat. Dan tanpa dipikir lagi, ia menyambut serangan Sanjaya dengan satu jurus ilmu sakti Kumayan Jati yang maha kuat. Bum! Seperti layang-layang terputus, Sanjaya terpelanting sepuluh langkah dan jatuh terjungkal di atas tanah dengan memuntahkan darah.
Semua orang terkejut menyaksikan peristi-wa yang terjadi dengan secepat itu. Titisari yang tahu akan kehebatan ilmu sakti Kuma-yan Jati, terkejut juga. Sama sekali tak didu-ganya, bahwa Sangaji dapat memukul roboh Sanjaya hanya dalam satu gebrakan saja.
"Monyet! Binatang!" maki Yuyu Rumpung kalang-kabut. Dia terus menyerang dengan kedua tangannya berbareng. Tenaganya tak terperikan besarnya.
Waktu itu Sangaji sedang dalam termangu-mangu. Seperti Titisari, sama sekali tak dimerekaduganya bahwa ilmu saktinya sudah maju demikian pesat, sehingga dapat menum-bangkan Sanjaya dalam satu gebrak, la heran berbareng terharu. Sebab betapapun juga Sanjaya adalah teman sepermainan sewaktu kanak-kanak. Meskipun kesan hati kanak-kanaknya sudah terlalu samar-samar, tetapi terhadap Wayan Suage ia mempunyai kesan mendalam. Mendadak saja ia mendengar kesiuran angin.
"Aji! Awas!" teriak Titisari terperanjat.
Syukur, Sangaji, sudah memiliki ilmu petak pendekar sakti Gagak Seta. Dalam keadaan terjepit, kakinya terus menjejak tanah. Dengan sedikit menggeserkan kaki ia terhindar dari marabahaya. Kemudian ia melontarkanserangan balasan dengan menggunakan jurus Jaga Saradenta dan Wirapati berbareng.
Yuyu Rumpung telah mengenal ilmu sakti pemuda itu, tatkala bertempur di luar Dusun Karangtinalang. Teringat akan kedahsyatan ilmu itu, serta pula menyaksikan bagaimana Sanjaya roboh dalam satu gebrakan saja terus ia menjatuhkan diri ke tanah dengan ber-gulungan. Hasilnya ia benar-benar tertipu. Termerekanyata pukulan Sangaji adalah pukulan biasa. Meskipun demikian, karena Sangaji kini sudah memiliki ilmu tata-pernapasan Gagak Seta, tenaga pukulannya berderu juga. Seumpama pukulan mendarat di dagunya belum tentu dia bisa mempertahankan diri.
"Anakku Sangaji!" seru Wirapati. "Janganmerekalah tergesa-gesa hendak merebut kememerekanangan dengan cepat."
Mendengar suara gurunya, hati Sangaji ter-bombong ). Tekadnya menjadi bulat, untuk memperlihatkan kemampuannya di hadapan gurunya. Maka ia menghampiri Yuyu Rummerekapung yang sudah bersiaga membalas serangmerekaan.
Sangaji telah memperoleh pengalaman bertempur melawan sang Dewaresi. Meskipun gaya ilmu serangan Yuyu Rumpung berbeda dengan sang Dewaresi, tetapi titik tolaknya ada persamaannya. Yakni, mengutamakan kelincahan dan kedahsyatan tenaga. Biarlah aku berhemat melepaskan tinju Kumayan Jati, pikirnya. Dan berbekal pikiran demikian, ia melawan Yuyu Rumpung dengan ilmu Jaga Saradenta dan Wirapati yang diaduknya se-rapih mungkin. Itulah sebabnya, maka per-tempuran nampak berimbang.
Diam-diam Wirapati bergembira dalam hati, menyaksikan kemajuan muridnya. Ternyata tenaga Sangaji jauh berbeda dengan kemam-puannya dua bulan yang lalu. Kini, setiap pukulannya mempunyai pengaruh yang cukup menggetarkan. Kesiur angin berderu-deru menyapu samping-menyamping. Tetapi lawan yang dihadapinya bukanlah lawan yang empuk. Bagaimanapun juga, Yuyu Rumpung adalah seorang pendekar sakti—mahaguru dan penasehat sang Dewaresi. Dengan Wira-pati saja, belum tentu dapat dikalahkan.
"Kau mencari mampus! Jangan salahkan aku!" ancam Yuyu Rumpung dengan gemas. Terus saja ia merangsak maju.
"Aji! Jangan terlalu banyak memberi hati!" seru Titisari nyaring.
Mendengar seruan kekasihnya dan melihat serangan Yuyu Rumpung kian berbahaya, Sangaji terus merubah tata-berkelahinya. Perlahan-lahan ia meninggalkan jurus-jurus ilmu Jaga Saradenta yang mengutamakan tenaga jasmani. Kemudian bergerak lincah, memasuki ilmu Wirapati.
Bagus! pikir Yuyu Rumpung gembira. Tahu-lah aku sekarang. Anak itu hanya memiliki tenaga dahsyat. Ilmunya tiada yang istimewa. Biarlah kini kukurungnya. Memperoleh pikiran demikian, ia meloncat ke samping dan melibat rapat.
Titisari jadi bingung menyaksikan Sangaji terkurung rapat, la berharap-harap, agar ke-kasihnya mengeluarkan ilmu saktinya Kuma-yan Jati. Namun sekian lama, masih saja kekasihnya berputar-putar dengan tangkisan dan pukulan jasmaniah belaka. Gelisah ia melemparkan pandang kepada Wirapati yang nampak pula mengerutkan dahi. Rupanya Wirapati mencemaskan muridnya pula. Sebagai seorang guru inginlah dia menolong muridnya. Tetapi jiwa ksatria tidak memperkemerekanankan. Mendadak terdengar Sangaji berkata nyaring.
"Guru! Titisari! Ijinkanlah aku menghajar orang ini!"
Setelah berkata demikian, tangannya mulai bergerak aneh. Kemudian mengibas udara dan terus membalas merangsak. Yuyu Rumpung melihat gerakan aneh itu. Sebagai seorang pendekar yang sudah biasa mengagungkan kepandaian sendiri, tak mau ia mendesak. Ia tetap bersitegang dan inilah saat yang dikemerekahendaki ilmu Kumayan Jati.
Terus saja, Sangaji meliuk. Kaki kanannya menggeser cepat. Melihat gerakan ini, Yuyu Rumpung terperanjat. Sekaligus teringatlah dia kepada daya gempur ilmu anak muda itu. Cemerekapat ia menarik kedua tangannya dan disilangmerekakan untuk melindungi dada. Kemudian sikumerekanya ditekuknya pula, untuk membarengi memerekanyodok. Inilah cara pertahanan berbareng memerekalontarkan serangan. Biasanya, dengan gerakmerekaan ini dia bisa menumbangkan lawan dengan sekali sodokan. Tetapi kali ini, dia bukan menghadapi lawan yang berilmu lumrah. Inilah kesalahan yang tak terampunkan. Maka tiba-tiba saja, tubuhnya bergetar. Sangaji telah melepaskan satu jurus ilmu sakti Kumayan Jati yang keras. Belum lagi Yuyu Rumpung mempersiagakan serangan balasan, sekali lagi Sangaji melontarkan pukulan yang aneh. Punmerekadaknya kena terhajar. Rongga dadanya lantas saja menjadi sesak dan tubuhnya tiba-tiba terus terlempar sejauh lima belas langkah.
Semua orang menjadi kaget kembali, hingmerekaga mereka memperdengarkan rasa herannya. Justru pada saat itu, terjadilah suatu keanehan lain. Mendadak nampaklah sesosok bayangan berkelebat dengan menerkam kain leher Yuyu Rumpung. Bayangan itu kemudian berdiri demerekangan tegak. Ternyata dia adalah seorang laki-laki berkulit hitam mengkilat, bibirnya tebal berkepala gede. Roman wajahnya terkesan dingin beku. Dia tersenyum pahit dengan panmerekadang mata berkilat-kilat. Semua yang melihat mereka menjadi terperanjat setengah mati, karena orang itu adalah iblis Pringgasakti.
"Guru!" seru Sanjaya bergembira dan terus saja menyongsong kedatangan Pringgasakti dengan terhuyung-huyung. Ia hendak datang bersembah, mendadak ia mundur selangkah, karena di belakang gurunya nampak sesosok tubuh lain yang mengenakan jubah panjang warna abu-abu. Perawakan sesosok tubuh itu, tinggi semampai. Dan wajahnya benar-benar mengerikan dan menggigilkan hati. Barang-siapa sekali melihat wajahnya, takkan sudi melihat wajahnya untuk yang kedua kalinya.
Waktu itu, Wirapati dan Bagus Kempong sedang saling memandang. Mereka heran, menyaksikan Sangaji dapat menumbangkan lawan dengan sekali pukul. Tadi mereka ber-dua sudah mengadu kekuatan dengan Yuyu Rumpung.
Orang itu termasuk seorang pendekar yang tangguh. Bagaimana mungkin, bisa dilontar-kan lima belas langkah oleh seorang anak kemarin sore seperti layang-layang putus? Sedang mereka terheran-heran dan sibuk menduga-duga, muncullah iblis Pringgasakti dan sesosok tubuh berjubah abu-abu yang berwajah menyeramkan. Wirapati terperanjat melihat munculnya Pringgasakti, sampai hati-nya tergetar. Sedangkan Bagus Kempong yang belum mengenal Pringgasakti, tersentak melihat sesosok tubuh yang berwajah menye-ramkan.
Wirapati terus maju menghadapi Pringga-sakti. Dengan sedikit membungkuk dia berka-ta, "Aku atas nama rekanku Jaga Saradenta menyambut kedatanganmu, dua bulan yang lalu kita pernah bertemu. Mestinya engkau masih mengenal aku."
"Hm." Dengus Pringgasakti, "Apakah engmerekakau bernama Wirapati murid Kyai Kasan Kesambi?"
"Benar."
"Kauhilang atas nama si dogol Jaga Sara-denta menyambut kedatanganku? Bagus! Memang aku lagi mencari padanya. Bukankah kematian adikku ada hubungannya dengan dia?" Bagus Kempong yang mendengarkan percakapan antara adik-seperguruannya dan Pringgasakti, tiba-tiba terkejut. Sebagai salah seorang murid Kyai Kesambi, dapatlah dia dengan cepat menebak bahwa orang itu pasti ada hubungan tertentu dengan gurunya. Dia bergerak maju pula, siap menghadapi ke-mungkinan.
"Adik Wirapati! Apakah dia pernah mengemerekanal guru kita?" tanyanya nyaring.
"Menurut kabar, dia pernah bertempur sela-ma tujuh hari tujuh malam mengadu kepandaimerekaan pada zaman Perang Giyanti."
"Hm-hm." Pringgasakti menggerung. Kemu-dian beralih mengamat-amati Sanjaya, yang berdiri tegak dengan wajah pucat lesi. Ia ter-peranjat, sewaktu melihat mulut Sanjaya berdarah pula. Tanyanya menegas, "Apakah nDoromas bertempur dengan mereka?"
Sanjaya mengangguk. Dengan setengah berbisik dia berkata, "Bukankah engkau sudah menerima wartaku?"
Pringgasakti memperdengarkan tertawanya. Dengan menyipitkan matanya berkatalah dia, "Apakah dia gadismu?"
Mendengar ujar Pringgasakti, Sanjaya nam-pak gugup. Ia mendehem tertahan seolah-olah minta dengan sangat kepada gurunya, agar merahasiakan tentang gadis itu. Tetapi Titisari yang cerdas, dengan cepat dapat membaca apa yang masih berkesan samar-samar.
"Eh, pantas! Malam itu kakakku Nuraini tiada datang lagi ke pondok. Siapa menduga, telah mengabdikan diri kepada anak pangeran yang ganteng ini untuk menyampaikan berita. Aji! Apakah dugaanku ini salah?" katanya nyaring.
Sangaji adalah seorang pemuda yang berhati sederhana. Ia tak pandai menangkap kalimat-kalimat sindiran atau ejekan tajam. Lagi pula, pada saat itu hatinya sedang tegang, melihat kedatangan Pringgasakti dan sosok tubuh yang berjubah abu-abu yang tetap berdiam diri seperti tugu tak bernyawa. Itulah sebabnya, tatkala mendengar ucapan Titisari yang ditujukan kepadanya, ia menjadi terkejut. Gugup ia hendak menjawab, tetapi mendadak terdengarlah Pringgasakti tertawa bergelora.
"Eh, adik kecilku. Rupanya kita selalu ber-jodoh untuk selalu bertemu," katanya.
"Abu! Benar-benar engkau tak memandang mata terhadap ayahku," damprat Titisari geram.
"Kauhilang apa?" sahut Pringgasakti cepat. Hatinya tergetar juga, meskipun gadis itu menggunakan nama ayahnya untuk men-ciutkan keberaniannya. Yuyu Rumpung yang sejak tadi diterkamnya sampai tak berkutik, dilemparkan seperti sekantung goni. Ia kena pukul ilmu sakti Kumayan Jati yang mem-buatnya terlempar sampai lima belas langkah. Belum lagi bisa tegak di atas tanah. Tahu-tahu kain lehernya kena terkam Pringgasakti dan ia terus dijinjing seperti sekantung goni tak berharga. Dia terkatung-katung tanpa dapat berkutik, sementara Pringgasakti berbicara. Dan baru terlempar di atas tanah, sewaktu hati Pringgasakti tergetar oleh ucapan Titisari. Seluruh tubuhnya menjadi luar biasa dan de-ngan tertatih-tatih ia mencoba bangun, Kemudian duduk di pinggir sana bagai seorang pengemis bangkrut.
"Kauhilang apa?" terdengar Pringgasakti mendesak.
"Di depanku engkau masih saja berani mengangkat-angkat kematian adikmu. Me-ngapa tak teringat akan budi ayahku?"
"Itu adalah perkaraku," bentak Pringgasakti. "Karena mengingat ayahmu, minggirlah kau."
"Hm, enak saja bicara. Tahukah kamu, bahwa Paman Wirapati dan Paman Jaga Saradenta adalah guru sahabatku? Jika kamu berani menghinanya, samalah halnya engkau menghinaku dan menghina ayahku," ujar Titisari.
Mendengar ujar Titisari, Pringgasakti nam-pak bergelisah. Bagaimanapun juga, ia benar-benar takut kepada ayah Titisari. Tetapi apamerekabila bersikap mengalah terhadap seorang gadis kecil di depan para pendekar, bagaimana mungkin? Tiba-tiba terdengarlah Wirapati berkata menungkas, "Anakku Titisari, biarlah hal ini kita selesaikan sendiri. Antara aku dan dia, tiada mempunyai suatu perkara. Tetapi, apabila dia menghina rekanku Jaga Sara-denta, bagaimana aku dapat bertopang dagu? Dahulu, aku pernah menerima janji Ki Tunjungbiru agar melupakan peristiwa balas dendam itu. Dan aku segera menerima serta menyetujui, karena aku tak mempunyai se-suatu perkara yang harus kuselesaikan. Jaga Saradenta pun menyetujui juga, meskipun wataknya yang berangasan, masih saja me-ngantongi dendam. Kini kudengar, iblis itu mengungkit-ungkit kematian adiknya. Inilah suatu soal, di mana aku tak dapat berdiri di luar garis. Karena aku hadir, pada malam kematian saudaranya. Nah, biarlah dia men-cari perhitungan kepadaku, apabila dia senga-ja membuat gara-gara."
"Hohaaa... bagus! Bagus! Tuhan Maha
Pemurah. Akhirnya dugaanku menemui kebe-naran." Pringgasakti menggeram setinggi la-ngit. "Jadi benar-benarkah adikku mati, per-buatan kalian?"
Mendengar ucapan Pringgasakti, semua yang hadir kecuali Bagus Kempong kaget bercampur heran. Mereka semua pernah menyaksikan sepak-terjang iblis itu yang sakti luar biasa. Mereka sibuk menduga-duga, pasti-lah saudaranya lebih hebat daripadanya. Bagaimana dapat dibinasakan oleh Wirapati.
"Pringgasakti! Meskipun saudaramu terbina-sa, tapi dia mati secara ksatria. Beberapa lawannya, telah dapat ditewaskan pula. Itulah kejadian lima tahun yang lalu," kata Wirapati dengan tenang. "Dunia ini sesungguhnya luas. Tak dapatlah engkau sekali menjejak sudah menemukan dasarnya. Tetapi jika engkau penasaran kepadaku, nah majulah!"
Pringgasakti tertawa dingin. Katanya ang-kuh, "Kau mempunyai teman, suruhlah meng-kerubut aku."
Belum lagi Wirapati menyahut, Bagus Kempong telah berada di sampingnya. Kakak seperguruannya, bagaimana bisa tinggal diam melihat dia hendak bertempur menentukan mati-hidup. Justru pada saat itu, majulah Sangaji. Pemuda itu berkata dengan tekad bulat. "Guru! Biarlah aku maju terlebih dahu-lu."
Pringgasakti tertawa mendongak. Sambil meludah ke tanah, ia berkata, "Kau bocah ingusan hendak maju pula? Bagaimana aku dapat berlawanan dengan anak kemarin sore?"
Sangaji adalah seorang pemuda jujur. Apabila sudah diputuskan, tak gampang-gam-pang merubah niatnya. Maka untuk mem-perkokoh kedudukannya, dia menjawab, "Adikmu itu, sebenarnya akulah yang mem-bunuh. Kematiannya tiada sangkut-pautnya dengan guruku."
Mendengar ujar Sangaji, Pringgasakti terpe-ranjat seperti tersambar geledek. Tiba-tiba saja, dia menggerung tinggi dan meledak.
"Apa kauhilang? Apa kauhilang? Engkaulah yang membunuh adikku? Oah... oah... oah... bangsat kecil! Kukirimkan kepalamu ke neramerekaka biar digerogoti anjing-anjing iblis!"
Sebat luar biasa, ia terus menerkam. Di luar dugaannya Sangaji dapat mengelak manis sekali dengan ilmu petak Gaga Seta. Katanya sambil meloncat, "Tahan, biarlah kuberi ke-terangan terlebih dahulu. Lima tahun yang lalu, aku masih kanak-kanak. Tetapi hal itu bukanmerekalah berarti, bahwa aku akan mengingkari tangmerekagung-jawab. Adikmu menerkam aku dengan tiba-tiba. Karena gugup aku menarik pelatuk pistol. Secara kebetulan menembus pusat. Adikmu terus terjengkang mati. Sekarang, baiklah kau memperhitungkan hutang-piutang itu kepadaku. Aku seorang laki-laki takkan melarikan diri mengungsi sampai ke ujung lamerekangit. Sebaliknya, engkau berjanji tak boleh lagi menuntut kesalahan tangan ini terhadap kedua guruku. Kausanggup?"
"Benarkah kau laki-laki sejati, sehingga takkan kabur?"
"Pasti tidak!"
"Baiklah. Dengan ini aku menghapus semua tuduhanku terhadap kedua gurumu. Tapi, kau sekarang harus kubawa untuk kukorbankan kepada adikku."
"Abu," tiba-tiba Titisari menungkas. "Dia pun seorang laki-laki sejati. Bagaimana bisa kaubawa dengan begitu saja?"
"Adik kecil! Kauhilang apa?" Pringgasakti menegas.
"Dia adalah ahli waris satu-satunya dari penmerekadekar Jaga Saradenta dan Wirapati murid Kyai Kasan Kesambi yang termasyhur," kata Titsari. "Sekarang ini, murid Kyai Kasan Kesambi hampir mewarisi kepandaian gurunya. Lihat, di samping pendekar Wirapati berdirilah seorang pendekar gagah. Dialah kakak-seperguruan-nya yang bernama Bagus Kempong. Mereka berdua jika mau, akan dapat mengambil nyawamu dengan mudah. Tetapi ternyata memerekareka tak bergerak. Suatu tanda, bahwa mereka mengampuni nyawamu.... Sebaliknya engkau tak mengenal tingginya udara. Tanpa mememerekadulikan mereka, kau lantas saja hendak mengmerekagondol muridnya. Bagaimana bisa begitu?"
"Cuh, bah!" Pringgasakti meludah di tanah. "Kauhilang, mereka mengampuni aku? Eh, anak murid Kyai Kasan Kesambi! Gurumu per-nah bertempur melawan aku selama tujuh hari tujuh malam, sewaktu mudanya. Apa kalian benar-benar sudah mewarisi ilmu gurumu? Mari-mari kita mencoba-coba!"
"Apa perlu mereka melayani kamu," potong Titisari. "Melawan muridnya seorang diri, belum tentu engkau dapat memenangkan. Kaupercaya, tidak?"
Direndahkan demikian rupa oleh Titisari, sudah barang tentu meledaklah amarah Pringgasakti. Dengan menggarit-garit tanah seperti laku seekor kuda, mulutnya berkaokan setinggi udara. Kemudian membentak, "Jikamerekalau dalam tiga jurus tak dapat aku merubuh-kannya sampai mampus, aku membenturkan kepalaku di sini biar hancur."
Meskipun hanya sekilas pandang, Pringgasakti pernah melihat Sangaji bertempur melawan musuh-musuhnya, tatkala berada di lapangan hijau di Pekalongan. Diapun pernah mendengar kabarnya. Karena itu, ia tak memandang mata terhadap pemuda itu. Hanya saja, sama sekali tak diketahuinya, bahwa pemuda itu sudah mewarisi sebagian besar ilmu sakti Kumayan Jati yang tiada duanya dalam dunia ini.
"Bagus! Semua orang di sini menjadi sak-sinya. Tapi tiga jurus sebenarnya terlalu sedikit. Aku beri kesempatan sampai sepuluh jurus," kata Titisari.
"Tidak," sahut Sangaji. "Akan kulawan dia sampai delapan belas jurus."
"Kauhilang apa? Delapan belas jurus?" Pringgasakti heran, kemudian tertawa panjang merendahkan. Katanya lagi, "Baiklah, kau cari mampus."
"E-hm, kau jangan tergesa-gesa berbesar kepala," tegur Titisari. "Lebih baik, semua kawan-kawanmu, suruhlah menjadi saksinya. Juga pengawalmu itu, suruhlah menghitung tiap jurusnya."
"Pengawal?" Pringgasakti heran. "Siapakah yang mengawal aku? Aku datang seorang diri. Selama hidupku, tak pernah aku memelihara pengawal."
"Habis, siapakah yang berdiri di belakangmu itu? Dia mengenakan jubah abu-abu dan ber-topeng iblis."
Cepat luar biasa, Pringgasakti memutar tubuh sambil mencengkeram. Orang yang mengenakan jubah abu-abu itu, tetap berdiri bagaikan tugu. Tetapi benar-benar aneh. Entah bagaimana caranya mengelak, tahu-tahu dia lolos dari cengkeraman Pringgasakti. Wajahmerekanya tak berubah. Tetap kejang dan mengerimerekakan penglihatan.
Pringgasakti terkejut. Dengan muka berubah ia minta penjelasan.
"Kausiapa? Apa yang kaukehendaki, sehingga selalu mengikuti aku?"
Suara iblis itu terdengar agak bergetar. Terang sekali, bahwa jantungnya lagi berdegup keras. Tetapi orang berjubah abu-abu itu seperti tak menghiraukan. Dia tetap diam tak bergerak.
Pringgasakti kemudian menubruk dengan sebat. Tapi untuk kedua kalinya, dia gagal. Ia mengulangi lagi dan kembali gagal pula. Nampaknya, orang itu sama sekali tak berge-rak. Hanya saja, anehnya tak dapat kena serangan. Sudah barang tentu semua orang menjadi kaget heran. Tanpa merasa, mereka terus mengikuti gerak-gerik orang berjubah abu-abu itu, yang bergerak mundur melintasi lapangan. Akhirnya, tegak kembali di antara deretan barisan pohon yang merupakan sepetak hutan bersemak belukar.
"Engkaukah yang meniup seruling menomerekalong aku?" tanya Pringgasakti menegas. Dan semua yang mendengar pertanyaan Pringgamerekasakti terheran-heran belaka.
"Orang itu menolong Pringgasakti?" pikir mereka.
Belum lagi habis keheranan mereka, menjuruslah suatu kejadian yang tiada nalar. Mendadak saja orang berjubah abu-abu itu bergerak, tahu-tahu melesat lenyap menerobos semak belukar. Dengan menggerung Pringgasakti memburunya. Tetapi meskipun Pringgasakti sebat luar biasa, ternyata yang diubernya tak dapat dikejarnya. Orang berjubah abu-abu itu benar-benar seperti hantu melenyapkan diri di siang hari bolong.
"Abu!" teriak Titisari, "Orang itu lenyap tak keruan."
Dengan berjumpalitan Pringgasakti men-darat di tempatnya semula di bawah sebatang pohon agak rindang. Ia berdiri terheran-heran sambil mulut berkomat-kamit, "Benar-benar hebat. Aku tak mampu mengejarnya."
"Ya, kau tak mampu. Masakan engkau tak dapat mengejarnya?" Titisari membakar hatinya. "Kejarlah dia! Dan jangan kau main raksasa ganas di sini."
Pringgasakti terhenyak sejenak. Wajahnya berubah-ubah. Nampaknya dalam hatinya sedang berkecamuk suatu perjuangan yang hanya diketahuinya sendiri. Mendadak saja, dia mendongak sambil menggeram.
"Huahaaa... bocah! Siapa namamu yang membunuh adikku?"
Dengan tak mengenal takut. Sangaji men-jawab, "Aku bernama Sangaji."
"Bagus! Bersiaplah menerima mautmu," ancam Pringgasakti. Tubuhnya nampak menggigil, sedang kedua belah tangannya tiba-tiba membersitkan segumpal asap tipis. Itulah suatu ilmu sesat yang terkenal dengan nama ilmu hitam janda Calon Arang yang sudah lama lenyap dari persada bumi. Barangsiapa yang kena tersentuh, akan ter-bakar kering seperti ayam terpanggang. Tetapi ternyata dia tak bergerak. Hatinya penuh kebimbangan.
"Apakah engkau sudah bersiaga?" ger-taknya. Ucapannya berkesan lebih di alamat-kan kepada dirinya sendiri yang berada dalam kebimbangan. Terasalah di sini, bahwa ke-agungan gurunya yang diancamkan Titisari kepadanya, nampak berpengaruh pula.
"Ya, aku siap!" sahut Sangaji. Dan pemuda itu telah bersiaga menjaga diri dengan ilmu sakti Kumayan Jati.
Mendengar Sangaji sudah bersiaga, secepat kilat Pringgasakti menyerang dengan tiada ragu-ragu lagi. Tangan kanannya berkelebat dan menyusullah tangan kirinya dengan jari mencengkeram seketika itu juga, angin berke-siur dengan menebarkan gulungan asap tipis.
Titisari dan Wirapati terperanjat sampai memperdengarkan seruan cemasnya. Bagus Kempong yang berpribadi setenang air telaga tercekat pula hatinya. Mukanya berubah men-jadi pucat.
Tetapi di luar dugaan, Sangaji dapat menge-lak dengan tepat sambil melontarkan tangan kirinya. Itulah jurus ilmu sakti Kumayan Jati yang kedua belas. Pinggasakti kaget. Ia men-dengar kesiur angin berderu. Cepat-cepat ia menghindar. Namun, kasep juga. Memang ilmu sakti Kumajan Jati, adalah suatu ilmu yang tiada duanya di dunia. Dahulu, sewaktu Pring-gasakti bertempur melawan Kyai Kesambi, ilmu itu belum terlahir. Karena itu, ilmu sakti Kumayan Jati masih asing bagi Pringgasakti. Tiba-tiba saja pundaknya kena terhajar dan ia terpental tiga langkah. Tetapi Pringgasakti bukanlah seorang pendekar lumrah. Ia terkenal sakti luar biasa. Namanya menggetarkan dunia semenjak puluhan tahun yang lalu. Meskipun pundaknya terhajar, tubuhnya kuat bagaikan sebatang pohon baja. Ia hanya tergoyang selin-tasan, mendadak saja memental balik dengan menusukkan suatu serangan maut. Inilah suatu kejadian yang tak terduga- duga.
Sangaji terperanjat bukan kepalang. Cepat-cepat ia hendak menangkis dengan jurus ilmu sakti Kumayan Jati keenam. Tetapi usahanya sia-sia belaka. Ia kalah cepat. Tiba-tiba saja lengan kirinya telah kena tercengkeram tangan Pringgaskti yang berasap. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, sampai ia memekik karena kesakitan. Ontunglah, dalam tubuhnya memerekangalirlah suatu getah sakti pohon Dewadaru yang tanpa disadarinya sendiri, lantas saja bergolak melindungi kulit dagingnya. Itulah sebabnya, ia masih bisa mempertahankan diri terhadap cengkeraman tangan Pringgasakti yang berasap.
Pada detik-detik berbahaya tangan kanan-nya terus saja bergerak. Jari telunjuk dan te-ngah berputar menusuk dada. Itulah gerak tipu jurus ke-tujuh ilmu sakti Kumayan Jati. Bamerekarangsiapa yang kena tertusuk kedua jari itu, pasti akan tertembus, meskipun andaikata berperisai baja. Mestinya tangan kiri harus membantu menyodok. Tetapi sayang, lengan kirinya sudah tercengkeram lawan. Maka ia hamerekanya bergerak secara untung-untungan belaka.
Sebaliknya, Pringgasakti cukup awas dan berwaspada. Begitu ia mendengar kesiur angin yang mendesis, tahulah dia bahwa lawan lagi menggunakan suatu jurus ilmu sakti yang masih asing baginya. Meskipun demikian, tak mau dia melepaskan cengkeramannya. Ia hanya mengelak dengan endapan tubuh. Tetapi, gerakan dua jari Sangaji, sebenarnya adalah suatu gerakan tipu daya. Mendadak saja berubah menjadi tinju dan menghantam pundaknya yang sebelah. Seperti diketahui, ilmu sakti Kumayan Jati berpokok kepada tenaga dahsyat yang membutuhkan sasaran benturan tak bergoyang. Gagak Seta dahulu pernah memberi contoh, bagaimana dengan mudah bisa mematahkan sebatang pohon sepelukan orang. Meskipun Sangaji belum bisa mewarisi daya tenaga ilmu sakti Kumayan Jati secara keseluruhannya, tetapi setidak-tidak-nya tujuh bagian sudah dimiliki. Maka begitu pundak Pringgasakti kena hajar, menjeritlah iblis itu kesakitan. Tangan kirinya yang dibuatmerekanya mencengkeram lengan Sangaji tergetar dan menjadi lemas. Ia hendak bertahan sekumerekaat-kuatnya. Di luar dugaan, ilmu sakti Kumamerekayan Jati mempunyai kodrat aneh luar biasa. Makin lawan bertahan, makin menjadilah kesaktiannya. Pringgasakti lantas saja kena terangkat naik dan dilemparkan jungkir-balik.
Sangaji sendiri sewaktu menyerang lawan, ia membarengi dengan merenggutkan lengan kirinya. Itulah sebabnya, begitu Pringgasakti kena dipentalkan, ia terjengkang pula ke belakang oleh dorongan tenaganya sendiri. Dengan demikian, kedua orang itu terhuyung-huyung berbareng dan bersama-sama pula menubruk pohon yang berdiri di sekitarnya.
Pohon-pohon yang tumbuh di sekitar meremerekaka cukup besar dan kokoh. Meskipun demimerekakian, ternyata tak tahan menerima tubrukan mereka. Dahan-dahannya patah bergemeremerekatak. Dan mahkota daunnya runtuh berhammerekaburan seperti sebuah tembok dinding tumbang berpuing.
Semua yang menyaksikan kejadian itu, kaget sambil berteriak kagum. Bagus Kemmerekapong saling berpandangan dengan Wirapati. Mereka heran berbareng girang.
"Darimanakah muridmu memperoleh ilmu itu?" Bagus Kempong minta ketegasan kepamerekada Wirapati dengan berbisik. Wirapati mengermerekaling kepada Titisari. Pendekar itu mengira, Titisari-lah yang mengajari ilmu itu.
Pringgasakti yang sudah dapat berdiri tegak menyerang Sangaji kembali. Iblis itu kini, tak berani lagi meremehkan ) lawannya. Dengan angin menderu-deru, ia menyambar dengan ganas. Hatinya gregetan dan penuh penasar-an. Namun Sangaji dapat menjaga diri dengan rapat. Dengan demikian kedua orang itu bertempur dengan mengeluarkan kepandaian-nya masing-masing. Pringgasakti mengelu-arkan ilmu ajaran Adipati Surengpati yang diandalkan. Sedangkan Sangaji bertempur dengan menggunakan ilmu Kumayan Jati, ajaran Gagak Seta. Secara tak resmi, masing-masing kini mewakili keharuman nama gurumerekanya masing-masing.
Sangaji sudah berhasil mempertahankan diri selama delapan belas jurus. Bahkan kini, dia bisa mencampur adukkan dengan sari-sari ilmu Jaga Saradenta, ilmu Wirapati dan ilmu petak Gagak Seta. Lima puluh jurus sudah lewat dengan cepatnya. Meskipun demikian, Pringgasakti belum berhasil mengalahkan. Bahkan untuk mendesak mundur saja, tak mampu.
Titisari menonton pertempuran itu sambil tersenyum-senyum bangga. Mukanya yang cantik bertambah molek. Sedangkan Wirapati dan Bagus Kempong berdiri terheran-heran. Di pihak lain Sanjaya nampak pucat lesi. Dalam hatinya timbullah suatu pengakuan, bahwa dia kini bukan lagi tandingannya Sangaji yang disebutnya sebagai pemuda tolol.
Manyarsewu dan Cocak Hijau yang meman-dang rendah kepandaian Sangaji, jadi kecelik. Mereka benar-benar kagum dan tergetarlah hatinya. Abdulrasim dan Sawungrana yang belum kenal akan kepandaian Sangaji, merasa bersyukur bahwa mereka belum sampai mengadu tenaga. Seumpama merekalah yang harus melawan pemuda itu, belum tentu bisa bertahan dalam tiga jurus belaka. Sebaliknya, Yuyu Rumpung yang tadi kena ditumbangkan seperti pohon keropos, jadi terhibur melihat Pringgasakti tak dapat berbuat sesuatu ter-hadap Sangaji. Dengan demikian ia tak usah merasa malu.
"Wirapati," bisik Bagus Kemong, "Muridmu bukan main hebatnya."
Wirapati membalas pujian itu, dengan mengangguk... Seluruh perhatiannya terpusat pada gerak-gerik mereka yang bertempur.
"Pringgasakti benar-benar hebat," pikirnya.
"Pantaslah, dia bisa bertahan menghadapi Guru selama 7 hari 7 malam... Tapi kini, Sangaji ternyata bisa mempertahankan diri."
Tiba-tiba terdengar Bagus Kempong berkata lagi, "Wirapati! Harus kuakui, bahwa aku belum tentu dapat melawan musuh guru kita dalam sepuluh jurus saja. Hm, tapi muridmu itu, bagaimana dia bisa begini hebat? Dengan cara bagaimanakah engkau bisa menyulapnya menjadi Dewa Surapati?"
Titisari yang mendengar bisik Bagus Kempong girang bukan main. Serentak ia berseru nyaring kepada Pringgasakti.
"Abu! Sekarang sudah enam puluh jurus lebih. Bukankah kamu harus menyerah kalah?"
Mendengar seman Titisari, Pringgasakti mendongkol hatinya. Pikirnya, celaka! Hampir seabad usiaku dalam dunia ini. Dan semenjak kanak-kanak aku belajar sesuatu ilmu. Tetapi aku tak sanggup mengalahkan bocah ini. Seumpama aku belum mengenal ilmu Adipati Surengpati, sudah semenjak tadi aku ditum-bangkan. Memperoleh pikiran demikian tekad-nya lantas menjadi bulat. Biar langit runtuh, tak mau dia mundur selangkah pun. Maka seruan Titisari tak didengarkan lagi. Ia memusatkan seluruh perhatiannya dan kemudian menyemerekarang Sangaji lebih dahsyat lagi. Sambaran tamerekangannya membawa angin berderu-deru. Tangannya berserabutan. Kakinya berputar-putar menendang ke seluruh penjuru. Bermerekatempur dengan penuh nafsu sebenarnya merumerekapakan pantangan utama bagi setiap pendekar. Karena itu akan kehilangan keseimbangan, keselarasan dan pengamatan. Sepak termerekajangnya lantas jadi ngawur.
Di pihak sana, Sangaji memperhebat kewas-padaannya. Pemuda itu kecuali memiliki getah sakti Dewadaru, sudah menelan ilmu petak Gagak Seta. Gerak-geriknya cekatan, lincah dan tangkas. Napasnya tetap teratur dan se-olah-olah tiada mengenal lelah.
Tak lama kemudian, seratus jurus telah lewat. Setelah itu, Pringgasakti mulai bisa berpikir, la menenangkan diri, dengan membe-sarkan hatinya sendiri.
Enam puluh tahun yang lalu, pernah aku bertempur tiada henti selama 7 hari 7 malam. Masakan aku kalah dengan bocah ingusan ini. Biarlah kuamat-amati dahulu corak ilmunya. Apabila tenaganya mulai habis, aku akan menyerang dengan sekali tumbang, katanya dalam hati.
Dengan berbekal pikiran ini, ia mulai mem-perhatikan gerak-gerik ilmu Sangaji yangberbahaya ternyata bermacam ragam. Pada saat-saat tertentu ia menjadi berbahaya, apamerekabila pukulan yang aneh mulai membidik sasaran. Dan tubuhnya senantiasa tergetar, jika kena hantaman. Memperoleh penglihatan ini, cepat-cepat ia meloncat mundur. Ia telah memperoleh warisan sepertiga bagian ilmu meninju udara dari Adipati Surengpati. Maka ia segera merubah tata berkelahinya dari jarak jauh. Maksudnya hendak membuat Sangaji letih.
Memang ilmu sakti Kumayan Jati membu-tuhkan jarak pendek, apabila hendak memper-lihatkan kedahsyatannya. Tetapi sebenarnya apabila Sangaji sudah bisa mewarisi enam jurus terakhir yang merupakan bombar-demen ), dia takkan menemui sesuatu kesulitmerekaan. Sasaran jauh atau dekat, tidak merupakan soal lagi. Gagak Seta pernah membuktikan bahwa dia bisa menumbangkan pohon dari jarak jauh. Hanya sayang, jurus terakhir belum diturunkan kepada pemuda itu.
Sepertii diketahui, jurus ilmu sakti Kumayan Jati berjumlah dua puluh empat. Sangaji baru mewarisi delapan belas jurus pukulan. Kecuali itu, latihannya belum masak pula. Kemerekadahsyatannya bagaimanapun juga, masih belum dapat menempati taraf yang dikehenmerekadaki. Itulah sebabnya, lambat-laun tenaganya kian surut. Kelincahannya mulai nampak berkurang.
Dalam pada itu, matahari mulai condong ke barat. Pantulan sinar angkasa agak melemah. Angin meniup berputaran dari utara ke barat. Mereka yang bertempur masih belum mau mengalah. Tapi Sangaji benar-benar mulai nampak kendor. Sedangkan Pringgasakti yang sudah berpengalaman, makin lama makin nampak menghimpun tenaga terakhir.
Titisari jadi gelisah, menyaksikan kekasih-nya makin kehilangan tenaga. Segera ia berseru nyaring lagi kepada Pringgasakti,
"Abu! Dua ratus jurus sudah lewat! Apakah kau tetap membandel tak kenal malu?"
Pringgasakti berlagak bisu-tuli. Ia me-nyerang Sangaji dengan jurus berantai yang tiada memberi kesempatan lawan untuk bernapas. Melihat kebandelannya, Titisari akhirnya jadi bingung juga. Mendadak timbul-lah pikirannya, la berteriak kepada Sangaji, "Aji! Lihat!"
Kemudian ia meloncat-loncat kecil sambil menghampiri pohon. Waktu itu Sangaji segera mengerling kepadanya. Melihat Titisari berlompat-lompatan kecil, tahulah dia mene-bak maksudnya. Maka segera ia merubah tata-berkelahinya. Kini dia menitik-beratkan perkelahiannya kepada tata-ilmu petak Gagak Seta sambil sekali-kali menghantam dengan ilmu sakti Kumayan Jati.
Pringgasakti jadi penasaran. Ternyata Sangaji kini tak mau lagi berusaha mendekati padanya dengan melontarkan serangan dari jauh. Dia bahkan makin menghindari dengan gerak-gerik menjauh. Karena itu, terpaksalah Pringgasakti yang berganti menghampiri. Tapi terus saja, Sangaji mundur berputaran. Yang menjengkelkan ialah, apabila Pringgasakti menubruk maju, pemuda itu terus menangkis dengan salah satu jurus ilmu saktinya.
Pringgasakti jadi mendongkol. Hatinya dengki benar kepada Titisari. Dengan meng-gerung ia menubruk lagi. Sangaji meloncat mundur dan berdiri tegak di bawah pohon. Begitu tubrukan Pringgasakti tiba, ia berpu-ra-pura menangkis. Mendadak saja, meloncat gesit dan hilang di balik pohon. Keruan saja, Pringgasakti menubruk batang pohon. Oleh hebatnya tenaga gempurannya, pohon itu sampai berderak patah. Dan pada saat itu, Sangaji membarengi dengan pukulan sakti Kumayan Jati, Pringgasakti kaget, namun sudah kasep. Pundaknya kena terhajar dan ia jatuh bergulungan di atas tanah.
Memperoleh pengalaman pahit itu, bukan main gusar hati iblis itu. Terus saja ia meng-himpun tenaganya. Rasa nyeri tak diindahkan lagi. Dengan sebat ia melompat bangun dan terus memburu. Waktu itu Sangaji belum memperbaiki tempat kedudukannya. Ia terpe-ranjat, karena tak mengira musuh begitu gesit. Dengan untung-untungan ia melompat ke samping. Tak urung lengan bajunya kena ter-cengkeram hingga sobek memanjang. Syukur, kulitnya tak tergarit. Bagaimanapun juga, pe-muda itu menjadi gentar. Meskipun demikian, ia tetap melawan. Dengan meliukkan tubuh ia menyerang. Setelah itu, dia berkisar dan lari berloncatan mendekati sebatang pohon lagi.
Tatkala itu, Pringgasakti sudah berputar bagaikan seekor harimau ganas yang luput menubruk mangsa. Ia menggerung tinggi dan siap menubruk kembali. Terdengar Sangaji berseru, "Aki Pringgasakti! Kepandaianku tak dapat menandingi kepandaianmu. Kasihanilah diriku."
Terang, anak muda itu memberi hati kepada Pringgasakti. Kecuali itu, memberi pamor pula. Sebenarnya, ia tak kalah menghadapi iblis itu. Dengan cara bertempur begini ia akan mem-peroleh kemenangan. Tapi keluhuran budinya mengajak dirinya lebih baik mengalah ter-hadap seseorang yang berusia tua.
Mendengar kerendahan hati Sangaji, mau tak mau Pringgasakti menyahut, "Jikalau kita mengadu kepandaian, mestinya aku harus menyatakan kalah setelah aku tak berhasil menumbangkan engkau dalam tiga jurus. Tapi sekarang, soalnya adalah lain. Aku bukan lagi mengadu ilmu kepandaian. Tetapi aku hendak menuntut balas. Karena itu salah seorang harus mampus."
Sehabis mengucapkan kalimat itu, ia terus menyerang saling menyusul. Tangannya kem-bali berserabutan dengan disertai tendangan kaki yang mengeluarkan deru angin. Tetapi Sangaji dapat juga mengelakkan dengan ilmu petaknya yang lincah. Ia melompat ke sana ke mari dengan selalu mendekati pohon.
Makin lama hati Pringgasakti makin gemas. Pada akhirnya, ia menyerang dengan dua ta-ngan berbareng. Hebat akibatnya. Waktu itu Sangaji berada di bawah sebatang pohon sebesar sepelukan tangan anak berumur sepu-luh tahun. Cepat ia bergeser sambil melon-tarkan pukulan. Maka dengan suara bege-meretak, pohon itu tumbang kena serangan Pringgasakti yang dahsyat.
Semua yang berada di situ adalah pendekar-pendekar terkenal. Meskipun demikian, mereka terkejut menyaksikan kedahsyatan serangan Pringgasakti. Berbareng mereka melompat ke samping menghindari tumbang-nya pohon itu. Celakalah nasib Yuyu Rumpung. Pendekar yang masih merem-me-lek menahan rasa nyerinya itu, tak dapat bermerekagerak dengan cepat. Kakinya segera kena himpitan, sehingga ia menjerit-jerit seperti seekor babi kena sembelih. Manyarsewu dan Cocak Hijau segera menolongnya.
Sanjaya yang berada tak jauh dari tempat itu, hendak mempergunakan kekacauan itu dengan melarikan diri. Ia sudah memutar tubuh. Tahu-tahu punggungnya menjadi kaku. Tubuhnya tak dapat digerakkan lagi, sehingga terpaksalah dia berdiri seperti tugu. Siapa yang menghukum dia demikian, tak tahulah kita.
Pringgasakti sendiri, kala itu lagi memper-hatikan Sangaji semata. Kakek itu benar-benar kagum dan dengan diam-diam memuji ilmu kepandaiannya. Pikirnya, hebat benar anak ini. Dahulu seusia dia, aku belum memiliki ilmu yang dimilikinya sekarang. Kelak, apabila dia sudah sebaya dengan aku ini, belum tentu dewa-dewa kayangan dapat mengalahkan. Ia akan malang-melintang tanpa tandingan. Ah, lebih baik kutumpasnya sekarang, agar kelak tidak menjadi penyakit berbahaya.
Ia terus menyambar dengan menyerang lebih gesit lagi. Kali ini Sangaji benar-benar termerekadesak. Tenaganya telah separuh terkuras. Meskipun masih gesit, namun menghadapi serangan Pringgasakti yang melanda saling menyusul, ia merasa kuwalahan juga. Kedua kaki iblis itu ternyata dapat bergerak saling berganti. Kadang-kadang di tengah jalan berhenti dengan tiba-tiba untuk digantinya dengan kibasan tangan dan cengkeraman jari.
"Awas!" seru Wirapati. Guru itu, benar-benar mulai merasa gelisah. Ia menyayangkan, apa-bila muridnya terpaksa memperoleh bahaya yang tak dapat dielakkan. Sedangkan dia sendiri merasa tak mampu menolong.
Dalam keadaan bahaya, Sangaji masih bisa bergerak dengan gesit. Dengan tangan kirinya ia membendung serangan. Kemudian tangan kanannya menyedot dengan jurus ilmu sakti Kumayan Jati ke tujuh belas. Hanya sayang, tenaganya sudah banyak berkurang. Begitu tenaganya terbentur, ia terpental mundur tiga langkah. Pringgasakti pun tak terkecuali. Ia termerekapaksa pula mundur terhuyung tiga langkah. Tetapi ia bergembira. Sebab, tahulah dia bahwa tenaga lawannya sudah berkurang.
Maka dengan berani, ia terus mengemmerekabangkan kelima jarinya. Cepat ia memutar jari kelingking dan menggurat telapak tangan Sangaji dengan kuku jari penunjuk. Kemudian melompat mundur dengan tertawa berdongak.
Sangaji terperanjat. Insaflah dia, bahwa baru saja ia mendapat bahaya. Gugup ia memerikmerekasa tangan. Darah hitam bersemu hijau meremmerekabes keluar dari telapak tangan. Seluruh tubuhmerekanya lantas menjadi panas. Itulah akibat luka guratan Pringgasakti yang beracun. Seketika itu juga, ia hanya terkejut. Ia mengeluh kepada Titisari,
"Titisari, aku kena racun..." Habis berkata demikian, terus saja ia melompat merangsak Pringgasakti.
Aku harus merebut obat pemunahnya, pikirnya.
Tetapi Pringgasakti adalah seorang iblis yang licin. Tak mau lagi ia melayani, la hanya mengelak dengan berloncatan dan lari berputaran.
Titisari dan Wirapati kaget sekali mendengar suara keluhan Sangaji. Dari kaget, mereka menjadi gusar. Ternyata Pringgasakti berhati palsu, keji dan biadab. Itulah sesuatu hal yang tak pernah mereka duga. Maklumlah, mereka adalah keturunan ksatria sejati. Meracun lawan
Pohon-pohon di sekitar pergulatan cukup besar, tetapi tak tahan menerima benturan mereka berdua.
tatkala sedang mengadu kepandaian adalah tabu.
"Abu!" teriak Titisari. "Kau sudah kalah, mengapa meracun? Benar-benar kau iblis seperti kata orang. Pantaslah kamu sampai hati mengkhianati ayahku. Hayo, keluarkan obat pemunahnya."
Pringgasakti berlagak tak mendengar ujar Titisari. Masih saja ia lari berputar-putaran demerekangan tertawa bergelak-gelak. Ia girang benar, melihat Sangaji terus mengubernya tanpa berhenti. Pikirnya dalam hati, makin mengelumerekaarkan tenaga makin dekatlah saat mampusmerekamu. Racunku akan bekerja dengan hebat. O, terima kasih kau janda Calon Arang yang sudi mewariskan ilmu racunmu kepada anak turunanmu. Siapa menyangka, bahwa dengan ilmu kepandaianmu aku berhasil membamerekalaskan dendam, adikku?
Janda Calon Arang seorang sakti aliran sesat pada zaman Erlangga. la beragama Durga dan malang melintang tiada lawannya. Dalam menekuni ilmunya, seringkali dia mengadakan percobaan-percobaan dengan meracuni penduduk sekitarnya. Bahkan lam-bat-laun menyerang ibukota dan berani memusuhi raja. Tapi ia dikalahkan oleh seorang sakti lainnya bernama Empu Baradah.
Dengan matinya janda yang kejam itu, lenyap pula ilmunya dari percaturan orang. Tak tahu-nya setelah melalui tujuh abad, muncullah P™ g-gasakti sebagai tokoh sakti yang mengemerekaja, T.j ahat itu. Siapa gurunya, sejarah tak 2=oat membuka tabirnya.
Sesungguhnya, setelah berputar-putar reoerapa saat lamanya, mata Sangaji mulai lerssa menjadi kabur. Kepalanya pusing, r*=r.a*ri> a seperti kena tusuk ribuan jarum. ~-D_r-.a lantas saja menjadi panas. Belum ag 5et_-.tasan sudah menggigil bagai sese-zrsrc —enderita sakit demam. Itulah suatu 2r:: sahwa racun Pringgasakti mulai be-
~ttsar cemas melihat keadaan kekasihnya. ~*r-i4,T32 wajah Sangaji berubah menjadi pucat ■fa. "«mgatnya merembes seperti air. ur!"
^te-oe^gar suara kekasihnya, tersadarlah Saccsp. Cepat ia menghentikan langkahnya, ■^acasnya tersengal-sengal. Semangatnya lensa terbang, la tahu, apabila kekasihnya mas -e Ihat suatu dasar alasan yang kuat,
MU encegah sepak terjangnya dengan
smggjr- sungguh. Tetapi hatinya masih 3ra*sar=.n terhadap kekejian dan kepalsuan , ia menggempur sekali mati, agar bisa bersama-sama memasuki liang kubur. Sayangnya, terasa lemas tak berdaya. Tetapi di luar dugaan, terjalinlah suatu keajaiban yang tak pernah terpikirkan.
Seperti diketahui, ilmu sakti Kumayan Jati terbagi menjadi dua. Yakni, pukulan keras dan lembek. Tanpa disadari Sangaji sendiri, ia telah melontarkan pukulan lembek.
Maklumlah, enam pokok pukulan yang merupakan jurus ilmu sakti Kumayan Jati belum diwariskan kepadanya.
Ternyata pukulan lembek itu berdasarkan suatu himpunan tenaga yang terpusat. Kemudian dilepaskan dengan perlahan, seperti seseorang yang menahan napas tatkala tersengal-sengal. Sangaji menaruh dendam besar kepada Pringgasakti. Semangatnya berkobar-kobar untuk menggempur mati. Tetapi kemudian untuk melontarkan pukulan penuh dendam itu dengan titik-balik tenaga, gagal karena tenaganya seolah-olah lenyap. Justru itulah letak rahasia pukulan lembek. Begitu pukulan itu dilepaskan dengan asal-asalan, mendadak saja Pringgasakti memekik kaget. Pundaknya tiba-tiba terhajar tanpa sepengetahuannya. Lantas saja ia jatuh terjungkal.
Titisari dan Wirapati melihat, tatkala Sangaji melepaskan suara pukulan. Di saat itu mereka hendak menyerang Pringgasakti. Mendadak saja, mereka merasa seperti disibakkan oleh suatu gumpalan awan bergulungan. Cepat mereka meloncat ke samping. Berbareng de-ngan itu, mereka melihat Pringgasakti kaget sampai berjingkrak. Inilah suatu kejadian di luar dugaan mereka.
Sebentar Titisari tercengang-cengang, men-dadak saja suatu ingatan menusuk benaknya. Cepat ia menghampiri Sangaji dan meme-luknya sewaktu akan roboh. Bisiknya setengah girang.
"Engkau kena racun, tetapi masih bisa memukul dari jauh. Pastilah itu jasa getah saktimu. Cepat, pusatkan seluruh perhatianmu untuk menghimpun tenaga getah sakti! Berusahalah mendesak racun iblis itu ke ujung jari. Kemudian lontarkan pukulan semacam tadi."
Saat itu, mata Sangaji sudah benar-benar menjadi kabur. Pendengarannya berubah lemah pula. Ia seperti kena obat bius yang segera meluluhkan semua tenaganya. Tapi ingatannya masih bisa bekerja. Begitu mendengar bisik Titisari, cepat-cepat ia menyedot napas ajaran tata napas Ki Tunjungbiru. Benar juga! Tiba-tiba suatu hawa hangat bergolak di dalam perutnya.
Kemudian bergulungan mengitari pusat. Itulah cara menghimpun tenaga ajaran Ki Tunjungbiru yang menurut Gagak Seta bernama ilmu Bayu Sejati. Setelah itu, per-lahan-lahan ia menyalurkan gumpalan hawa hangat ke dadanya. Dari sana terus menyalur ke lengannya. Hampir saja dia berhasil, tetapi tiba-tiba ia mendengar kesiur angin. Dan itulah kesiur angin tenaga pukulan Pringga-sakti.
Iblis itu gusar bukan kepalang kena pukulan yang luput dari pengamatannya. Selama hidupnya, belum pernah ia mengalami kejadi-an demikian. Waktu itu ia benar-benar ter-jungkal sampai mencium tanah. Seluruh tubuhnya menggigil, karena menahan rasa nyeri. Dengan menggerung keras, ia bangkit dan terus menyerang dengan menutup mata. Tetapi di tengah jalan, ia dirintangi Wirapati. Terpaksa ia menyibakkan penghalang itu. Dengan demikian, tenaga serangannya agak berkurang. Belum lagi ia bisa menyibakkan benar-benar terdengar pulalah suatu serangan dahsyat dari samping. Itulah serangan Bagus Kempong murid ketiga Kyai Kasan Kesambi. Kaget ia memiringkan tubuh dengan bergu-lingan. Dan benar-benar hebat iblis itu. Meskipun ia kena serang begitu cepat danganas, namun masih saja tangan bisa mencengkeram ke arah Sangaji. Hanya saja, ia menjadi kaget. Kelima jarinya menjadi panas dan pedih. Selain itu, gatal pula. Cepat ia menarik dan memeriksanya. Ternyata kelima jarinya kena duri tajam baju Titisari, yang melindungi dada dan punggung.
"Wuhaaaa!" jeritnya tinggi karena men-dongkol.
Pendekar-pendekar lainnya yang tadi mengkerubut Wirapati dan Bagus Kempong, ternyata tiada bergerak dari tempatnya. Meskipun Manyarsewu dan Cocak Hijau ber-adat berangasan, mereka termasuk tokoh-tokoh pendekar yang menjunjung tinggi sifat ksatria. Mereka benci melihat Pringgasakti berhati keji dan palsu dengan meracun lawan. Sawungrana dan Abdulrasim pun diam-diam ikut mengumpat kepalsuan itu pula. Dengan demikian, Wirapati dan Bagus Kempong bisa melawan Pringgasakti dengan perhatian penuh.
Oleh perlindungan Wirapati dan Bagus Kempong yang cukup tangguh, Sangaji jadi tak terganggu lagi. Pemuda itu terus memusatkan seluruh tenaga getah sakti. Beberapa saat kemudian, berhasillah dia mendesak racun jahat Pringgasakti sampai ke ujung jari. Kini ia melihat, ujung jarinya menguapkan asap tipis. Kiranya dengan cara demikianlah, mengapa tangan Pringgasakti nampak selalu berasap. Ternyata yang berasap itu adalah semacam asap tipis, tergolong salah satu ilmu karang ) yang sudah lama hilang dari percaturan manusia.
Titisari bergembira melihat kekasihnya berhasil mendesak racun yang merayap ke dalam tubuhnya. Wajahnya sudah kembali menjadi merah segar! Dengan luapan hati, ia bertanya.
"Bagaimana?"
"Aku berhasil," sahut Sangaji dengan ter-senyum bersyukur. "Rasa runyam dalam tu-buhku, begini lenyap dengan cepat. Rupanya racun ini bisa bekerja dengan cepat dan hilang pula dengan cepat."
"Tapi mengapa masih berasap?"
"Benar-benar aneh sifat racun ini. Serasa ada sebuah gelembung sebesar bongkah batu melekat di ujung jari."
Titisari diam sejenak. Tiba-tiba teringatlah dia kepada pengalaman sebulan yang lalu di dalam gua. Sangaji berhasil menggempur dinding gua dengan sekali gempuran. Maka ia berkata dengan penuh harapan.
"Aji! Kau berhasil mendesak racun itu sam-pai ke ujung jari. Hanya saja, engkau belum berhasil membebaskan dan melontarkan. Mengapa?"
Sangaji mencoba melontarkan gelembung asap yang melekat di ujung jari. Tetapi ia tak berhasil, mencoba lagi, dan tetap tak berhasil juga. Akhirnya, dia menggelengkan kepala, karena tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Bagaimana caramu mendesak racun berasap itu?" tanya Titisari cemas.
"Dengan ilmu tata napas Ki Tunjungbiru."
"Hai, bukankah menurut Paman Gagak Seta, bernama Bayu Sejati?"
Sangaji mengangguk.
"Kau dahulu pernah menggempur dinding gua dengan mengadukkan tata-napas Bayu Sejati dan Kumayan Jati. Mengapa sekarang tak kaucoba?"
Memang Sangaji sudah mempunyai pikiran demikian. Hanya saja, ia masih gentar mem-peroleh pengalamannya dahulu. Bukankah dia hampir tak dapat bernapas. Kini dalam tubuh-nya mengalir pula hawa beracun. Tanpa petunjuk Gagak Seta, ia bisa mengalami bahaya. Sedangkan dahulu saja, tubuhnya hampir pecah. Karena itu, ia menjawab, "Aku tak berani. Racun masih melekat pada jalan darah."
Titisari jadi kecewa. Harapan untuk dapat memukul roboh Pringgasakti dengan suatu pukulan ajaib, meredup. Mendadak ia berkata lagi, "Tapi kau tadi bisa melontarkan pukulan dari jauh. Mengapa?"
Diingatkan tentang pukulan yang baru saja dilontarkan tadi, terbangunlah semangat Sangaji. Terus saja ia menghimpun tenaga sambil menyahut, "Tadi aku menggunakan tata-napas Kumayan Jati tatkala memukul-kan, tenagaku terhalang."
"Tapi hasilnya bagus. Cobalah!" Titisari memberi semangat.
Betapa lemah seorang pemuda. Tapi apabila diberi semangat oleh kekasihnya, akan terba-ngun pula keberaniannya. Maka ia segera berdiri. Cepat ia menyalurkan gelombang tata-napas Gagak Seta. Seperti diketahui, sifatnya galak dan mendesak dengan sekuat tenaga. Alangkah girang hatinya, karena gelembung asap beracun itu terasa tersembul ke luar. Kini terasa tinggal sejalur benang belaka yang masih melekat pada ujung jari.
"Guru minggir!" teriaknya.
Berbareng dengan teriakannya, dilontarkan-lah gelembung asap beracun itu berbareng dengan pukulan lembek ilmu sakti Kumayan Jati.
Mendengar seruan Sangaji, Wirapati dan Bagus Kempong dengan berbareng melompat ke samping. Mereka ingat, Sangaji bisa memukul Pringgasakti dari jarak jauh. Maka berbareng dengan loncatannya, suatu gumpalan angin halus terlontar bergulungan. Pringgasakti sedang repot menghadapi serangan Wirapati dan Bagus Kempong yang cepat dan berbahaya. Dia pun tak mengira, Sangaji bisa pulih kembali begitu cepat. Tahu-tahu dadanya jadi sesak, la merendah dan terhajarlah pundaknya. Tanpa bersuara lagi, ia roboh terguling. Secepat kilat Wirapati menghampiri dan menyabetkan pedangnya.
"Guru! Ampuni dia!" teriak Sangaji, sambil menangkis pedang Wirapati dengan pukulan lembek pula. Wirapati segera meloncat mundur dan berdiri berdampingan dengan kakaknya seperguruan yang tangguh.
Waktu itu, Pringgasakti sudah tertatih-tatih bangun lagi. Ia nampak agak sempoyongan, tetapi masih mau melawan. Sangaji jadi perasa. Berkatalah anak muda itu, "Hari ini, baiklah kita akhiri saja permusuhan kita. Kami tak akan meghukum kau yang berlaku curang. Nah, pergilah dengan selamat!"
"Hm!" dengus Pringgasakti. "Kau hebat benar. Kau bisa membebaskan diri dari racunku, malahan dapat pula mengemba-likan."
Setelah berkata demikian, ia merogoh sebungkus ramuan obat dari sakunya. Lekas-lekas ia menelannya dan segera menyalurkan napas untuk mengusir asap racunnya sendiri.
Sekonyong-konyong, berkelebatlah sesosok bayangan. Dialah orang yang mengenakan jubah abu-abu dan bertopeng hantu. Tahu-tahu, punggung Pringgasakti kena ter-cengkeram dan terus diangkat tinggi-tinggi, berbareng dengan itu, terus melesat sambil menggondol Pringgasakti.
Peristiwa itu benar-benar mengagetkan dan mengagumkan semua yang melihat. Pringgasakti adalah seorang iblis sakti. Tetapi dengan mudah, hantu berjubah abu-abu itu dapat menerkamnya demikian rupa sehingga tak berdaya sama sekali. Tenaganya luar biasa kuat dan tangkas melebihi manusia wajar. Keruan saja, makin direnungkan makin menakjubkan hati, sampai-sampai pendekar Majarsewu dan Cocak Hijau yang biasanya mengagungkan kepandaiannya sendiri, berdiri terlongoh.
Wirapati, Bagus Kempong, Sangaji dan Titisari saling berpandang. Dalam hati mereka masing-masing timbulah suatu keinginan memperoleh keterangan tentang hantu itu. Sadar bahwa mereka benar-benar gelap me-ngenai hantu itu, maka sasaran mereka kini mengarah kepada para pendekar. Tetapi pendekar-pendekar ini pun setali tiga uang seperti keadaan mereka. Karena itu, akhirnya meng-alamatkan teka teki hatinya kepada Sanjaya. Maklumlah, mereka kenal Pringgasakti sebagai gurunya. Tetapi Pringgasakti tadi, tiada kenal pula dengan asal-usul hantu itu. Bahkan ia mencoba menangkapnya, namun selalu gagal.
Sebaliknya Titisari yang ingatannya tajam, berpikir lain melihat Sanjaya, teringatlah ia pada Nuraini. Antara pemuda itu dan Pringga-sakti tadi terjadilah suatu percakapan samar-samar mengenai Nuraini. Nampaknya dalam hal ini, Nuraini memegang peranan pula.
Sesungguhnya munculnya Pringgasakti de-ngan tiba-tiba itu adalah jasa Nuraini. Malam itu, setelah melompat ke luar jendela, terus saja ia hendak pulang ke pondok. Hatinya girang bukan main. Apabila teringat akan dekapan Sanjaya mukanya merah dan terasa panas. Tetapi mulutnya dengan tak di-sadarinya, selalu menyungging senyum meng-gigit. Ontunglah, waktu itu malam hari. Keadaan wajahnya terlindung kepekatan malam. Selain itu, dusun sangat sunyi. Se-umpama keadaan demikian terjadi pada siang hari, pastilah dia akan disangka orang gen-deng ).
Selagi ia merenung-renung, pundaknya ditepuk perlahan amat lembut. Terkejut ia melompat ke depan. Kemudian menoleh cepat sambil mempersiagakan tangan. Berbareng dengan itu terdengarlah suara lemah lembut,
"Nuraini! Malam ini kau tidur di mana?"
Hatinya lega luar biasa, melihat siapa yang berbicara. Karena dia adalah pujaan hatinya. Ternyata Sanjaya mengikuti dirinya dengan diam-diam tatkala meninggalkan rumah almarhum Wayan Suage dan Made Tantre.
Sesungguhnya, demikian halnya. Keda-tangan Sanjaya ke Dusun Karangtinalang, adalah atas perintah Pangeran Bumi Gede, untuk menyelidiki benda mustika warisan Pangeran Semono yang diimpi-impikan semenjak belasan tahun yang lalu. Teringat, bahwa benda mustika tersebut dahulu dibawa oleh Wayan Suage, maka Pangeran itu men-duga bahwa dengan munculnya Wayan Suage kembali, berarti munculnya wasiat Pangeran Semono juga. Dari keterangan sang Dewaresi, ia mendengar kabar bahwa Wayan Suage dahulu membawa benda mustika tersebut di sekitar kali Jali. Karena itu ia segera memang-gil Sanjaya agar mengikuti ke mana perginya kawan Wayan Suage yang membawa mayat-nya. Dia menaruh harapan besar pula, bahwa Sanjaya akan berhasil memperolehnya, mengingat anak itu adalah keturunan Wayan Suage. Siapa tahu, bahwa sebelum Wayan Suage menghembuskan napasnya yang peng-habisan sudah membisiki tentang beradanya benda mustika Pangeran Semono kepada salah seorang di antara mereka yang melindungi dirinya. Ontuk diwariskan kepada anaknya. Maka dengan sungguh-sungguh ia berkata kepada anak angkatnya.
"Tanpa benda wasiat Pangeran Semono, ayahmu ini takkan berhasil menaiki tahta kera-jaan. Sebaliknya apabila engkau berhasil membawa pulang benda mustika tersebut akan memudahkan ayahmu naik tahta. Dan itu berarti kebahagiaanmu pula. Engkau akan kuangkat menjadi patih. Dengan demikian, ayah dan anak tercatat oleh sejarah sebagai pembangun kerajaan baru."
Sanjaya tahu bahwa ayahnya sedang mere-but tahta kerajaan dengan diam-diam. Karena dengan giatnya mengumpulkan pendekar-pendekar pilihan dari seluruh wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur agar menjadi pembantunya yang setia. Maka dia mendengarkan tiap kata ayahnya dengan sungguh-sungguh.
"Benda wasiat Pangeran Semono dulu dibawa lari ke sekitar lembah Sungai Jali. Kurunglah lembah itu untuk satu pancingan. Apabila salah seorang dari mereka muncul di sekitar lembah, janganlah beragu lagi. Teruslah bertekun dan bertindaklah mengimbangi keadaan. Rebutlah kembali hak-milikmu. Kalau kau berhasil, dunia ini berada dalam genggamanmu," kata Pangeran Bumi Gede.
Sanjaya girang mendengar ucapan ayahnya. Ia percaya ayahnya sangat cerdik dan pandai. Ia tahu pula, di belakang ayahnya berdiri Patih Danurejo II dan kompeni.
Demikianlah maka dia mulai membagi pekerjaan, ia mengikuti perjalanan ayahnya pulang ke Bumi Gede sampai di persimpangan Ambarawa. Sedang Yuyu Rumpung dengan Sawungrana diperintahkan untuk mengambil jalan pegunungan. Dia ditugaskan untuk men-jejak dan menyelidiki di mana mayat Wayan Suage dikebumikan.
Sanjaya sendiri, kemudian membawa empat orang pendekar dan empat puluh tentara berkuda, la mengambil jalan lewat Magelang atas petunjuk-petunjuk ayahnya. Kemudian mengurung Dusun Karangtinalang, setelah memperoleh laporan Yuyu Rumpung bahwa pendekar itu telah berjumpa dengan Sangaji dan Titisari. Tetapi, ternyata ia tak berhasil. Seluruh dusun sudah diaduknya. Sangaji dan Titisari tetap tak dapat diketemukan.
Beberapa hari kemudian, datang suatu laporan bahwa para pendekar melihat berkele-batnya sesosok bayangan yang mencurigakan. Sekaligus terbangunlah kecurigaannya. Ia menduga, tentang salah seorang kawan yang dulu melindungi Wayan Suage. Mendadak saja muncullah Nuraini di luar dugaannya. Betapa dia takkan girang. Dengan diketemukan Nuraini, akan terbukalah tabir yang menggelapkan penyelidikannya. Maka ia tak mau membiarkan burung itu terlepas dari intaiannya. Begitu Nuraini hilang meloncati jendela, terus saja ia menguntitnya.
"Kau mau apa?" Nuraini membalas per-tanyaannya dengan jantung berdegupan.
Sanjaya seperti menyesali diri, berkata de-ngan hati-hati.
"Satu minggu aku berada di sini, dan sama sekali tak kuketahui bahwa itu adalah rumah kita. Mestinya aku memberi kabar kepadamu. Tapi di mana engkau berada selama ini belum kuketahi pula. Ah, tentunya kamu tersiksa dalam satu minggu ini. Di mana kamu terpaksa menumpang tidur?"
"Bukankah sudah kukatakan, bahwa malam ini aku hendak menginap di rumah saha-batku?"
"Siapa sahabatmu itu?"
Nuraini tak lekas menjawab pertanyaan itu. Ia sibuk menimbang-nimbang. Dia tahu, kekasihnya bermusuhan dengan Sangaji, mengingat pertengkarannya dahulu di arena adu nasib di Pekalongan. Apabila mendengar Sangaji berada di sekitar dusun itu, pastilah akan terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Tetapi karena sudah terlanjur berbicara tentang seorang sahabat, mau tak mau ia harus menerangkan. Clntung dia cerdik. Maka cepat-cepat ia memberi keterangan.
"Semenjak kanak-kanak, aku tinggal di dusun ini. Seluruh dusun ini adalah sahabatku. Mengapa engkau mengurus siapakah sahabatku."
Sanjaya adalah pemuda yang licik dan licin. Meskipun menaruh curiga pada Nuraini, ia bisa berlagak tak menghiraukannya lagi. Dengan lembut, ia menarik lengan Nuraini dan diajaknya duduk di atas tanggul jalan.
"Nuraini, aku hendak berbicara kepadamu."
Nuraini menjatuhkan diri ke sampingnya. Hatinya berdetak-detak. Maklumlah, hatinya memang sudah runtuh terhadap pemuda itu.
"Tahukah kamu mengapa aku datang ke dusun ini?" Sanjaya berkata lagi.
"Hm, bukankah dusun ini adalah tempat kelahiranmu?" tukas Nuraini.
"Ah, ya." Sanjaya seperti tersadar. Kemudian berkata lagi. "Sebenarnya aku sedang bertaruh."
"Bertaruh?"
"Di dalam keluarga kami, bertaruh meru-pakan suatu kegembiraan yang tak ternilai harganya. Di dalam pertaruhan itu, seseorang akan diajar memiliki sifat-sifat kejantanan dan kecerdasan otak yang cemerlang."
"Eh, mengapa begitu?" Nuraini heran.
"Kelak, kamu bakal mengerti sendiri apabila telah memasuki keluarga kami."
Betapa girang gadis itu tatkala mendengar impian yang mendatang begitu empuk dan sedap, tak terperikan. Lantas saja ia berpikir, kiranya dia mencintai aku hanya saja ia terha-lang oleh peraturan-peraturan tertentu. Maka berkatalah dia dengan napas tersekat-sekat.
"Ayah-angkatku adalah ayahmu sejati. Apakah benar-benar kau menganggap dirimu seorang anak pangeran? Ah, sayang!"
"Mengapa?" Sanjaya terkejut seperti terse-ngat lebah. Memang, berkat kelicinannya ia sudah dapat menebak hati Nuraini. Apabila bisa membawa diri, pastilah dia berhasil me-ngorek keterangan dari mulut Nuraini di ma-nakah Sangaji kini berada. Dengan jalan mengemukakan keadaan keluarganya, dia bermaksud hendak menanamkan pengaruh kewibawaannya. Dipercaya, apabila Nuraini telah jatuh hatinya benar-benar pasti akan patuh pada setiap kehendaknya. Tak tahunya gadis itu mendadak berpaham jauh berlainan.
"Sampai saat ini, kukira kau seorang yang pandai dan gagah. Aku membohongi diriku sendiri, bahwasanya engkau ikut pangeran itu semata-mata dengan perhitungan tertentu. Pastilah sebentar lagi, engkau akan kembali ke dusun tempat kelahiranmu. Dugaanku ternya-ta dikuatkan oleh munculnya tiba-tiba di dusun tempat engkau dilahirkan dan ditimang-timang ayahmu sejati semasa kanak-kanak," kata Nuraini.
Sanjaya terdiam mendengar ujar Nuraini yang terucapkan dengan nada tertekan-tekan. Itulah suatu tanda bahwa dia lagi berbicara dengan hatinya. Dan betapa palsu hati San-jaya, ia jadi terharu juga.
"Rupanya kamu lebih mengetahui keadaan-ku semasa kanak-kanak, daripada aku sen-diri," ia mengalah.
"Ayahmu sendiri yang membicarakan dirimu," sahut Nuraini. Kemudian gadis itu mengungkapkan riwayat keluarga Sanjaya menurut tutur-kata almarhum Wayan Suage. la bercerita dengan penuh semangat dan tak terputuskan, sampai tahu-tahu fajar terasa menguak di timur.
Sebagai seorang yang cerdas, tahulah Sanjaya bahwa maksud gadis bercerita begitu bertele-tele adalah untuk menarik dirinya ke pihaknya. Ia dianjurkan pula, agar mening-galkan kehidupan bangsawannya dan kembali kekehidupan asal-usul. Dengan demikian tataran dirinya akan sama derajat dan sama martabat. Tapi betapa dia dapat dipengaruhi demikian gampang. Hati dan darah pemuda itu sudah tertanam dalam, di dataran keluarga bangsawan. Apalagi setelah menjenguk Dusun Karangtinalang. Keadaannya terlalu lengang dan sunyi mati. Bagaimana ia dapat hidup di dusun demikian. Apa pula mata-pencaharian-nya untuk hidupnya di kemudian hari. Kenang-kenangannya semasa kanak-kanak dahulu terlalu tipis, sehingga tak kuasa menanamkan bibit pembawaan. Tetapi ia dapat berlaku cerdik dan licin. Dengan sabar ia mendengarkan tutur kata gadis itu.
Nuraini sendiri tak menginsapi keadaan Sanjaya. Hatinya penuh nyanyian kasih yang murni, sehingga ia mengukur Sanjaya seperti mengukur bajunya sendiri.
"Sanjaya!" Katanya setengah berbisik. "Ayahmu dahulu terpaksa kubakar jenazahnya di tengah jalan. Tetapi abunya akan kutanam di sini."
"Ah!" Sanjaya terkejut. Hatinya tergetar juga. Tetapi maklumlah, sebenarnya tentang sepak terjang Wirapati, Jaga Saradenta, Ki Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru, Sangaji, Titisari dan Nuraini sewaktu membakar mayat Wayan Suage sudah diintip belaka oleh Yuyu Rumpung dan kemudian dilaporkan sewaktu dia tiba di Dusun Karangtinalang.
Nuraini mengira, Sanjaya belum menge-tahui peristiwa itu. Maka dia terus mengabar-kan. Kemudian dikabarkan pula bahwa para pendekar itu akan segera menyusul Wirapati dan dia yang berangkat dahulu ke Karang-tinalang.
"Kak Sangaji berada pula di sekitar dusun ini," kata Nuraini.
"Sangaji? Siapa dia?" Sanjaya berpura-pura tolol.
"Ah," tiba-tiba Nuraini terperanjat. Ia insyaf akan ketelanjurannya. Tetapi sadar bahwa tiada gunanya untuk menyesali diri, maka dia berkata dengan setengah berdoa.
"Dialah anak sahabat almarhum ayahmu. Itulah pemuda yang dahulu muncul di arena adu nasib. Kaupun pernah berhantam. Bukankah menggelikan? Sebenarnya engkau harus meneruskan tali persahabatan orangtua-mu."
Mendengar Sangaji berada di sekitar Dusun Karangtinalang, tergetarlah hati Sanjaya. Dengan kesabarannya, ternyata usahanya nampak berhasil. Cepat ia menyembunyikan gejolak hatinya, la berdiri tegak seolah-olah sedang terharu.
"Apakah dia berada di sini?" tanya Sanjaya minta keterangan.
"Ya. Mengapa?"
"Di mana dia kini berada?"
"Apa maksudmu?"
"Ah! Masa kamu tak tahu?" Sanjaya gugup. Kemudian berpikir, biarlah dia kubawa kembali ke Pesanggrahan. Di sana dia kukurungnya. Kemudian aku memerintahkan Paman Abdulrasim, Yuyu Rumpung, Manyarsewu dan
Cocak Hijau menangkap bocah itu. Masakan akan gagal?
Memperoleh pikiran demikian, segera ia meraih lengan Nuraini sambil berkata penuh sesal. "Lihat! Aku begini gopoh. Semenjak peristiwa di Pekalongan, hatiku luar biasa gelisah. Aku merasa bersalah. Karena itu, ingin aku menemui dia untuk membicarakan suatu hal yang penting. Lebih cepat lebih baik."
"Kamu hendak berbicara mengenai apa?" tiba-tiba suara Nuraini keras.
Sanjaya diam sejenak. Pikirannya bekerja keras.
"Ingatkah kau tadi, bahwa aku mem-bicarakan perkara pertaruhan? Sebenarnya aku lagi bertaruh demi ibuku."
"Bertaruh demi ibumu?" Nuraini terperanjat berbareng heran.
"Ya. Kau ingin mendengar? Dengarkan," sahut Sanjaya cepat sambil menggandeng Nuraini berjalan perlahan-lahan menuju ke pesanggrahan.
"Setelah peristiwa di Pekalongan dahulu ibuku terus jatuh sakit," katanya meng-ada-ada. "Semua tabib diundang untuk memeriksa penyakitnya. Tetapi semuanya gagal. Mereka meramalkan, bahwa ibuku takkan sembuh kembali. Tetapi aku berani bertaruh, bahwa ibuku akan dapat kusem-buhkan."
"Dengan cara bagaimana?" Nuraini tertarik.
"Karena aku tahu, Ibu terlalu memikirkan putera Paman Made Tantre. Ingin beliau mem-bawa anak paman itu hidup bersamaku di istana Bumi Gede, karena itu aku datang ke Karangtinalang. Niatku hendak mencarinya sampai ketemu. Aku percaya, bahwa dia ber-ada di dusun ini. Hanya saja, aku belum berhasil menemukan tempatnya berada. Ia berhenti mencari kesan. Meneruskan, "Nuraini! Apakah kau tak menginginkan Ibu sembuh kembali?"
"Tentu saja! Mengapa kau berkata demi-kian?" Nuraini menyahut cepat." Tapi yakin, bahwa kak Sangaji takkan sudi datang dan hidup bersama di rumah bukan keluarganya."
"Benarkah itu? Kau berani bertaruh?"
"Aku berani bertaruh." Nuraini yakin. Dan mendengar ucapannya, Sanjaya tertawa senang.
"Mengapa kau tertawa?" tegur Nuraini.
"Nah, apa kubilang tadi. Belum lagi kau memasuki keluargaku, kau sudah mulai mengerti arti kata bertaruh. Alangkah baha-gianya kelak, apabila kamu hidup di sam-pingku bersama anak Paman Made Tantre."
Nuraini terperanjat mendengar ujar Sanjaya. Ya, tanpa disadari sendiri dia mulai bertaruh pula. Inilah suatu kekalahan. Tetapi hatinya terhibur mendengar rencana hidup Sanjaya di kemudian hari. Sebagai seorang gadis yang sedang dimabukkan kasih, kata-kata demikian benar-benar seperti mimpi kejatuhan bulan.
"Itukah kehendakmu hendak berbicara de-ngan Kak Sangaji?" ia mencari keyakinan lagi.
"Ya. Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk membujuknya agar sudi mengunjungi ibuku. Syukur dia mau terus berdiam bersamaku. Tentu saja bantuanmu sangat kupinta."
Nuraini diam menimbang-nimbang. Lama dia berdiam diri. Dan sementara itu, mereka telah sampai di Pesanggrahan. Segera Sanjaya membawanya masuk ke dalam rumah. Seperti tadi, mereka duduk berhadap-hadapan bahkan agak berdekatan.
"Apakah dia berada di dekat rumah kita ini?" Sanjaya menegas yang dimaksudkan dia adalah Sangaji, karena ia enggan memanggil nama itu.
"Sebentar lagi matahari terbit. Kuantarkan nanti ke pondoknya," kata Nuraini.
Sanjaya merasa tak dapat memaksa lagi. Pikirnya, apakah dia mencurigai aku? Baiklah kusuruhnya seluruh tentara berkuda berangkat terlebih dahulu. Dengan kepergian mereka dia pasti mempercayai aku.
Memperoleh pikiran demikian, segera ia memberi perintah kepada seorang penjaga membangunkan pemimpin pasukan. Apabila sudah menghadap, ia memerintahkan agar tentara berkuda semua berangkat pulang ke Bumi Gede. Setelah itu, ia memanggil Yuyu Rumpung, Manyarsewu, Cocak Hijau, Sawungrana dan Abdulrasim. Mereka semua diberi perintah untuk berangkat pulang dengan mengedipkan mata.
"Antarkan paman-paman ini sampai ke per-simpangan jalan. Kemudian Paman menunggu kedatanganku," katanya kepada Abdulrasim.
Kelima pendekar itu segera berangkat bersama seluruh pasukan berkuda. Itulah sebabnya, tatkala Sangaji dan Titisari mening-galkan pondok, mereka tak melihat lagi tentara berkuda Sanjaya yang mendiami rumah ayahnya.
Dalam hal tata kecerdikan dan kelicinan, bagaimana dapat Nuraini melawan Sanjaya. Maka gadis itu benar-benar percaya, bahwa maksud Sanjaya adalah benar-benar member-sit dari ketulusan hatinya. Apabila tidak, me-ngapa memerintahkan semua tentara berkuda dan pengawalnya meninggalkan dusun. Sama sekali ia tak menduga arti kedipan mata itu yang banyak mengandung arti dalam. Bagi seorang pendekar, cukuplah sudah untuk menduga-duga. Sebaliknya bagi seorang gadis seperti Nuraini yang belum banyak makan garam, bagaimana bisa mengetahui maksud hati Sanjaya. Maka setelah membersihkan badan, dengan senang ia mengantarkan Sanjaya menjenguk pondok Sangaji yang berada di luar batas dusun, la tak mengetahui, bahwa pada waktu itu para pendekar meng-ikutinya dari jauh.
Waktu itu matahari telah agak tinggi di udara. Angin pegunungan mulai terasa mera-ba tubuh. Suasana di pedusunan riang gembi-ra. Penduduknya keluar halaman, berjuang memenuhi kebutuhannya masing-masing.
Nuraini terus saja memasuki pondok dengan memanggil nama Titisari. Betapa kagetnya, ia menjumpai pondok itu kosong melompong. Nampaknya, baru saja ditinggalkan. Seperti diketahui, Sangaji dan Titisari berangkat meninggalkan pondok hampir berbareng de-ngan terbitnya matahari. Mereka menjauhi jalan dusun. Dengan demikian perjalanan mereka tak kepergok Sanjaya dan Nuraini.
Menyaksikan peristiwa itu, hati Sanjaya mendongkol bukan main. Ingin ia memaki-maki gadis itu, apa sebab semalam tiada menunjukkan tempat beradanya buruannya dengan segera. Syukur, dia bisa menahan hati. Bukankah dia berkata kepada gadis itu untuk menemui Sangaji dengan maksud baik? Maka yang diperlihatkan kepada Nuraini adalah rasa kecewanya. Sambil memeriksa ruang pondok itu, ia berkata dengan mendongkol, "Mengapa dia pergi?"
Nuraini tak lekas menjawab. Ia heran juga, mengapa Sangaji dan Titisari tiba-tiba mening-galkan pondok. Sibuklah dia menebak-nebak. Tak disadari, terloncatlah perkataannya, "Barangkali gurunya yang mengajak pergi."
"Gurunya?" Sanjaya terkejut. "Siapa?"
Nuraini membungkam. Sadarlah dia, bahwa untuk yang kedua kalinya dia kelepasan berbicara. Maka ia keluar pintu dan berdiri tegak di depan pondok dengan berenung-renung.
"Adik!" mendadak Sanjaya memanggilnya dengan meng-adik.
"Apakah aku tak dapat menyembuhkan sakit ibuku?"
Nuraini berputar dengan pandang terharu. Menyahut, "mengapa?"
"Bagaimana aku bisa bertemu dengan dia?"
Nuraini mengerenyitkan dahi. Berkata, "Kutaksir, belum lama dia meninggalkan pon-dok ini. Sekiranya engkau kejar, pasti akan bertemu."
Sebenarnya Sanjaya tahu, bahwa Sangaji belum lama meninggalkan pondok. Tampak kaki dan pembaringan jelas menyatakan bahwa semalam masih dibuat berbaring seseorang. Hanya saja ia mempunyai rencana sendiri. Maka berpura-puralah dia dungu ter-hadap Nuraini. Bertanya minta pertimbangan.
"Ya, memang begitu. Tetapi ke mana dia pergi, inilah soalnya yang sulit. Guruku memi-liki ketajaman indera melebihi orang."
"Siapa? Apakah Ki Hajar Karangpandan?"
Sanjaya menggelengkan kepala.
"Apakah yang muncul dahulu di alun-alun Pekalongan?" Mendadak Nuraini teringat.
Sanjaya mengangguk. Dahinya berkerinyit. Dia lagi berpikir keras dengan menahan kedongkolan hatinya. "Pikirnya, anak tolol itu didampingi gurunya. Para pendekar sudah ter-lanjur meninggalkan dusun. Karena itu aku harus memanggil guru. Dengan guruku seorang, semuanya akan beres. Setelah berpikir demikian dia berkata memutuskan.
"Begini saja. Apa kau sudi menolongku?"
"Demi kebaikanmu, mengapa tidak?"
Nuraini percaya bahwa Sanjaya benar-benar bermaksud baik terhadap Sangaji.
"Guruku mempunyai adat yang aneh. Dia selalu berlatih pada saat luang. Kini dia berada di sekitar Secang. Pergilah engkau mencari padanya untuk menyampaikan wartaku."
Sanjaya kemudian menjelaskan di mana letak Secang. Ia mengeluarkan sebuah benda berbentuk tengkorak manusia. Setelah diang-surkan, berkatalah dia mengesankan, "Carilah sebuah simpang jalan yang mengarah ke sebuah gundukan. Di atas gundukan itu, engkau akan menemukan tumpukan batu. Itulah tanda, bahwa guruku berada di sana. Taruhlah benda itu di atasnya dan coretkan tanda mata angin di mana aku kini berada. Setelah itu cepat-cepatlah pergi, sebelum guruku muncul."
Kemudian ia mengalungkan sapu tangan hitam bersulam seekor kuda.
"Pakailah!" katanya' lagi. "Mungkin ada gunanya."
Nuraini segera berangkat mengikuti pertun-juk itu. Ia mengarah ke timur laut. Menjelang petang hari, sampailah dia di kota Magelang.
Magelang adalah kota kompeni Belanda pada masa itu.Tangsinya berada dekat bukit Tidar. Gardu pengintainya merupakan menara suar yang mempunyai penglihatan luas di seluruh penjuru. Kotanya ramai dan penuh rumah-makan Tionghoa. Pasaran terbuka ter-dapat di mana-mana. Penduduknya hilir-mudik tiada kunjung sepi, meskipun masih kalah dengan kota Yogyakarta atau Surakarta.
Nuraini tidak memperhatikan semua itu. Sesudah makan, cepat ia menuju ke utara. Di batas kotapraja, ia berhenti sebentar mengintip penjagaan. Memang pada dewasa itu, ada penjaga pintu bergiliran. Seseorang tak dapat dengan mudah keluar-masuk kota sesuka hatinya.
Setelah malam hari tiba, cepat Nuraini melintasi batas kota dan sebentar saja sam-pailah dia di pinggiran. Seberang-menye-berang jalan berdiri petak-petak hutan dan sawah. Jalan yang dirambahnya agak lumayan keadaannya apabila dibandingkan dengan jalan pedusunan. Kira-kira bulan hampir tersembul di udara, dia telah tiba di Secang. Di sana ia melihat persimpangan jalan menuju Temanggung.
Apakah simpang jalan inikah yang dikehen-daki Sanjaya? pikirnya. Sebentar ia menim-bang-nimbang, kemudian segera membelok ke barat. Ia segera melihat sebuah gundukan tanah yang berada agak jauh dari jalan raya.
Maka tanpa ragu-ragu lagi, ia terus mendekati.
Dua jam lamanya, ia mencari tumpukan batu. Masih saja dia belum menemukan, sehingga hampir putus asa. Pikirnya, biarlah aku mencari penginapan dahulu. Besok pagi, aku mencarinya lagi.
Tak jauh dari tempat itu, nampaklah sebuah gubuk reyot. Dengan kegirangannya larilah dia menghampiri. Mendadak saja, kakinya terantuk sebuah tumpukan batu. la kaget sampai mundur. Sebab tatkala diamat-amati, ternyata bukanlah bongkahan batu semata. Tetapi bercampur pula dengan beberapa kerat tulang-tulang manusia dan binatang.
"Ih!" hatinya tergetar. Ia hendak memutar tubuh untuk kabur. Hatinya ngeri luar biasa. Maklumlah, kala itu dia berada di atas gun-dukan tanah yang tinggi. Sekelilingnya remang. Keadaannya lengang dan senyap. Hanya terdengar sekali-sekali angin mendesir menghembus daun. Untunglah, dia bukan pula seorang gadis lemah hati. Dalam kengeriannya, masih bisa dia menenangkan diri. Sesaat kemudian terpikirlah bahwa tiada perlunya takut. Oleh pikiran itu, dengan memaksa diri ia bersenyum dan lantas saja menaruhkan benda Sanjaya di atas tumpukan batu.
Tak kukira, bahwa gurunya mempunyai adat
yang aneh. Mestinya seorang yang luar biasa. Pantas, guru-guru Kak Sangaji menyebutnya sebagai iblis. Apakah benar-benar dia iblis? pikirnya. Dan kembali bulu kuduknya menggelidik. Memang dia mengenal guru Sanjaya dengan selintasan saja, tatkala di Pekalongan. Waktu itu dia lagi bersimpuh sedih menghadapi mayat Wayan Suage. Dengan demikian, tak begitu memperhatikan. Ia pun tak mengetahui, bahwa guru Sanjaya mempunyai kebiasaan menghisap darah seorang gadis. Apabila hal itu sudah diketahui, belum tentu dia sudi melakukan perintah Sanjaya. Bukankah hal itu samalah halnya dengan mencari mati sendiri?
Sebentar ia bermenung-menung di dekat tumpukan batu. Mendadak teringatlah dia kepada pesan Sanjaya, agar meninggalkan tempat itu dengan segera. Percaya bahwa pesan Sanjaya pasti ada maksudnya, maka cepat-cepat ia menuruni gundukan tanah itu. Sebentar saja lenyaplah dia di kegelapan malam. Dengan demikianlah, ia membatalkan maksudnya hendak menginap di gubuk reyot. Inilah nasibnya yang baik. Sesungguhnya seseorang yang belum sampai pada batas per-jalanan hidupnya, seperti diselimuti dewa. Seumpama dia menginap di gubuk itu, belum tentu esok hari bisa melihat matahari lagi seperti kemarin.
Malam itu dia terus berjalan pulang ke Dusun Karangtinalang. Menjelang fajar sampai dia di halaman rumah. Ia berharap bisa bertemu dengan Sanjaya. Ternyata pemuda itu meninggalkan dusun dengan tiada kabarnya. Sebentar dia terlongong-longong karena heran men-siasati perangai kekasihnya. Tapi karena lelah, akhirnya dia tertidur tak setahunya sendiri.
Kira-kira matahari menjenguk udara sete-ngah penggalah tingginya, ia terbangun de-ngan geragapan. Teringat akan kekasihnya, ia segera membersihkan badan. Kemudian ber-usaha mencarinya, la yakin, bahwa kekasih-nya masih berada di sekitar dusun itu. Apabila tidak, mengapa memanggil gurunya. Demikianlah, menjelang tengah hari sampailah dia di sebelah barat daya Dusun Karangtinalang. Jejak kekasihnya, benar-benar lenyap tak keruan. Duduklah dia di pinggir jalan di bawah sebatang pohon. Mendadak ia mendengar sesuatu. Cepat ia menajamkan pendengaran. Tak usah lama ia menunggu. Odara sekonyong-konyong berubah menjadi hitam pekat, la menengadah. Dan nampaklah ratusan ribu tabuan terbang berdengungan menutupi cahaya surya yang hendak mendekati bumi.
Tengah dia sibuk menebak-nebak, pun-daknya diraba oleh suatu tangan yang empuk berdaging. Ia kaget bukan kepalang. Tanpa menoleh ia melesat ke depan, kemudian sam-bil melindungi dadanya, ia memutar tubuh. Di luar dugaannya, orang yang meraba pun-daknya sudah berada pula di belakangnya dan kembali meraba pundak. Keruan saja, ia kaget sekali dan cepat melesat ke depan. Tetapi kembali pula pundaknya teraba dari belakang. Enam kali berturut-turut dia dipermainkan demikian. Mau tak mau keringat dingin mulai berbicara.
"Kau siapa?" akhirnya dia menegur dengan jantung berdegupan. Sadarlah dia, bahwa orang yang meraba pundaknya itu pastilah bukan orang sembarangan.
"Benar-benar manis. Siapakah kamu Nona?" terdengar suatu suara.
Cepat Nuraini memutar tubuh dan di depannya berdirilah seorang laki-laki setengah umur yang mengenakan pakaian putih bersih dan hiasan dada yang mentereng. Dialah sang Dewaresi yang baru saja meninggalkan serambi rumah batu di Desa Gebang sehabis dipermainkan Gagak Seta dan Titisari.
Nuraini belum pernah mengenal sang Dewaresi. la hanya menduga, bahwa orang itu bukan manusia baik dan pasti seorang pendekar sakti. Maka ia memutar tubuh dan lari secepat-cepatnya. Tetapi sambil tertawa be-ning, sang Dewaresi dapat menyusulnya ke mana saja berlari. Bahkan tiba-tiba saja, sang Dewaresi sudah berada di depannya meng-hadang dengan tangan terbuka.
Nuraini merasa tak berdaya. Hampir saja dia terhenyak masuk ke dalam pelukannya. Untung dia gesit. Cepat ia menjejak tanah dan melesat ke samping. Tapi untuk kedua kalinya orang itu sudah berada pula di depannya. Setelah empat-lima kali mengalami kejadian yang sama, Nuraini jadi nekad. Tiba-tiba saja ia menghunus belati dan kemudian me-nyerang tiga kali berturut-turut. Tentu saja sang Dewaresi dapat menghindari dengan mudah.
"Ih begini galak kau manis," kata sang Dewaresi sambil tertawa.
la mengelak ke samping. Tangannya meng-ibas perlahan, tahu-tahu ia sudah berhasil memeluk pinggang Nuraini yang langsing padat.
Nuraini berontak sekuat-kuatnya, tetapi sia-sia belaka. Bahkan pelukan itu kian menjadi kencang sampai pinggangnya terasa nyeri. Belatinya pun, akhirnya terampas pula.
Merasa tercengkeram bahaya, ia berontak sekali lagi. Ternyata, ia malah kena peluk kian rapat. Tubuhnya terpilin-pilin pula, dan tiba-tiba saja urat nadinya tertekan seperti cara Titisari menguasai dirinya. Maka ia rebah terkulai tak dapat berkutik.
Perlahan-lahan sang Dewaresi tertawa, berkata, "Manis siapakah namamu? Jika kau berjanji mau mengikuti aku ke mana aku pergi, kamu akan segera kumerdekakan."
Setelah berkata demikian, sang Dewaresi memeluknya sambil meraba-raba lengan dan lehernya. Sekaligus menggeridiklah bulu roma Nuraini. Tahulah dia, bahwa orang itu adalah bangsa buaya darat yang berbahaya. Hatinya menjerit dan mendongkol sampai akhirnya hampir menyita napasnya. Maklumlah, dia tak kuasa berbuat sesuatu untuk mempertahankan diri, karena tubuhnya lemas kehilangan gerak. Lantas saja dia pingsan tak sadarkan diri.
Waktu menyenakkan mata, ia heran bukan kepalang. Ternyata ia berbaring di atas rerumputan. Di belakangnya berdiri enam orang berpakaian putih memegang golok. Sang Dewaresi berdiri tegak di depannya menghadapi seorang laki-laki yang berwajah luar biasa. Orang itu mengurai rambut.
Kepalanya gede, bibirnya tebal, kulitnya hitam mengkilat. Untuk girangnya teringatlah dia. Pikirnya dalam hati, bukankah dia yang dahulu di alun-alun Pekalongan. Mestinya dialah guru Sanjaya. Nampaknya dia begini tegang.... Ah!
la melihat Pringgasakti lagi menghadapi sang Dewaresi dan anak-buah siap untuk ber-kelahi. Masing-masing mempersiagakan sen-jata, hanya Pringgasakti seorang yang tetap bersenjatakan kedua belah tangan belaka.
"Saudara kamu keliru," kata sang Dewaresi.
Pringgasakti tertawa mendongak.
"Biarpun aku sudah tua bangka, dua mataku ini belum pernah mengkhianati aku," katanya.
"Hm, apa buktinya?"
Kembali lagi Pringgasakti tertawa. Sambil mengerling kepada kain bersulam yang melilit leher Nuraini, dia berkata.
"Di dunia ini di manakah terdapat kain leher yang mengembari pekerjaan tanganku sendiri?"
Sang Dewaresi menoleh ke arah Nuraini yang sudah menyenakkan mata. Ternyata ga-dis itu benar-benar mengenakan kain bersulam melilit leher, la seperti tersadar akan kesem-bronoannya. Kemudian berkata memutuskan.
"Baiklah. Kamu menghendaki gadis ini? Itu gampang. Aku pernah mendengar kabar dan tahu belaka, bahkan pada saat-saat tertentu kau membutuhkan darah seorang gadis untuk menambah tenaga. Bagaimana kalau kita saling tukar-menukar."
"Hm, apa kauhilang?" bentak Pringgasakti. "Kau berbicara seolah-olah dia milikmu. Bagaimana kamu berani berlagak demikian terhadapku?"
Hati Nuraini tergoncang mendengar per-cakapan mereka. Teringat akan pesan Sanjaya, bahwa ia harus cepat-cepat mening-galkan di mana gurunya berada, tahulah kini apa maksudnya.
Apakah benar apa yang dikatakan laki-laki berbaju putih ini, pikirnya. Mendengar guru Sanjaya tiada membantah, bulu kuduknya lantas saja berdiri tegak. Inilah namanya, keluar dari seorang singa tercebur ke mulut buaya.
Peristiwa selanjutnya terjadi dengan cepat. Mendadak saja sang Dewaresi telah melancar-kan suatu serangan maut. Rupanya dia memi-lih turun tangan dahulu daripada menunggu serangan lawan. Maka dengan menyabetkan pedang tipisnya, dia bersuit memberi aba-aba kepada hamba-hambanya. Hampir berbareng dengan itu, ratusan ribu tabuan yang beter-bangan di udara meniup berbareng laksana seekor naga.
Pringgasakti mendongak ke udara, la terke-jut melihat ratusan ribu tabuan berdengungan menyerang dari udara. Cepat ia melompat mundur beberapa langkah.
Tabuan kelingking binatang piaraan sang Dewaresi, bukanlah jenis tabuan lumrah. Binatang itu mempunyai sengat berbahaya dan diborehi racun pula. Barangsiapa kena sengatannya akan tewas dalam beberapa detik.
Kembali hati Nuraini jadi berdegupan. la melihat guru Sanjaya berubah parasnya, suatu tanda bahwa dia takut juga menghadapi serangan binatang berbisa itu. Meskipun terhadap mereka berdua tiada pilihannya, tetapi di luar kesadarannya sendiri ia mengharapkan guru Sanjaya menang dalam pertarungan itu. Inilah suatu gejala, betapa hatinya telah terenggut penuh oleh Sanjaya. Sampai-sampai seluruh kepentingannya sendiri diperuntukkan belaka untuk kekasihnya yang mengharapkan kedatangan gurunya yang berbahaya.
Hanya beberapa detik, Pringgasakti berdiri tegak kehilangan akal. Mendadak saja ia melolos ikat pinggangnya yang terbuat sebesar telunjuk. Takkala dikibaskan mendadak saja berubah menjadi cemeti yang panjang dan terus saja diputar berdengungan di udara.
"Ih!" kata sang Dewaresi. Pikirnya, bukankah ini cemeti pamuk pusaka sakti Adipati Surengpati? Bagaimana iblis itu bisa memiliki? Apakah di samping kitab pusaka sakti ia mencuri pula cemeti keramat itu?
Memang cemeti yang dikibaskan di udara itu adalah cemeti pamuk milik Adipati Surengpati yang disegani orang-orang sakti pada zaman itu. Cemeti pamuk memiliki kesaktian luar biasa. Sekali dikibaskan ke udara, terde-ngunglah dia. Seperti baling-baling raksasa, cemeti tersebut dapat mengumpulkan angin bergulungan. Kemudian dilontarkan merupakan suatu tenaga dorong yang dahsyat. Itulah sebabnya pula, maka tentara udara sang Dewaresi kena disibakkan dan banyak yang rontok di tanah.
"Hai, iblis Pringgasakti!" seru sang Dewaresi, setelah beberapa saat terhenyak. "Dengarkan! Sama sekali aku tidak menghendaki nyawamerekamu! Berikan kitab pusaka Karimun Jawa kepadaku dan kamu akan kubebaskan dan kuhadiahi pula gadis molek ini."
Pringgasakti tidak-mengacuhkan. Ia terus memutar cemetinya kian lama kian keras.
"Baik kau boleh memutar cemetimu satu hari satu malam. Dua hari, tiga hari, lima hari
... ya sepuluh hari. Apa kau sanggup? Aku ingin melihat kesanggupanmu."
Pringgasakti tetap tak menyahut. Ia seperti tak mendengarkan, namun hatinya sebe-narnya mulai gelisah. Dengan bertekun ia mulai pula mencari kesempatan untuk meloloskan diri dari libatan ratusan ribu binatang berbisa yang menyerang terus menerus tak mengenal berhenti. Ia sadar pula, bahwa sekali kena sengat nyawanya takkan tertolong. Sekiranya sang Dewaresi memberi obat pemusnah baginya, kesannya sangat hina.
Menyaksikan kebandelan Pringgasakti, sang Dewaresi kemudian duduk di atas tanah sam-bil menyarungkan pedang pusakanya. Kemudian ia mengeluarkan sepotong paha ayam seraya berkata nyaring.
"Pringgasakti, pikirlah semasak-masaknya sebelum nyawamu terenggut oleh ribuan tetabuanku. Kitab pusaka Karimun Jawa, bukankah kauperoleh dari mencuri? Selama kau minggat dari Karimun Jawa, pastilah kamu sudah berhasil meyakinkan isinya. Apa perlu kaupeluki kitab itu? Sebuah kitab adalah benda mati. Nyawamu jauh lebih berharga daripada benda mati. Sebaliknya, apabila kauserahkan kitab tersebut, kau akan bertambah dengan seorang sahabat yang senantiasa bersiaga memberi pertolongan. Bukankah suatu usul yang bagus?"
"Kalau begitu, nah bubarkanlah barisan tabuanmu!" sahut Pringgasakti.
Sang Dewaresi tertawa berkakakan.
"Serahkan kitab pusakamu dahulu!"
Kitab pusaka Adipati Surengpati yang dicuri Pringgasakti bernama Witaradya. Kitab Witaradya, sebenarnya adalah kitab penuntun mencapai kemukswan tak beda dengan syu-tra-syutra Weda. Hanya saja, di dalam kitab Witaradya tersembunyi mantram rahasia sar-wasakti yang berjumlah seribu lima ratus gurindam, sekaligus akan menjadi tokoh sakti setengah dewa. Itulah sebabnya, maka kitab itu bernama Witaradya. Artinya, setengah dewa. Pringgasakti telah berhasil mencuri kitab Witaradya, tetapi hanya seperempat bagian. Meskipun hanya seperempat bagian, kesaktiannya bertambah. Terbukti dalam usia setinggi itu, masih saja tubuhnya gagah perkasa tak kurang suatu apa pun juga. Itulah sebabnya, ia memandang kitab Witaradya, bagian jiwanya sendiri. Karena itu, betapa dia sudi menyerahkan kitab tersebut dengan gampang. Maka pikirnya di dalam hati, kalau terpaksa, biarlah kuserahkan. Tetapi begitu tangannya meraba kulit kitab, aku akan meremas semua halamannya agar hancur bersama melesatnya nyawaku.
Memperoleh putusan demikian, hatinya te-nang. Sebaliknya Nuraini yang menyaksikan keripuhannya menghadapi barisan tabuan, menjadi gelisah luar biasa. Tak sampai hati ia menyaksikan guru kekasihnya runtuh di ha-dapannya. Maka diam-diam berdoa kian gemuruh dalam hatinya.
Dalam pada itu barisan tabuan sang Dewaresi makin lama makin pepat dan berba-haya. Mau tak mau Pringgasakti jadi kebingungan.
Hm.. tak kukira, akhirnya aku mati demi-kian hina, keluhnya dalam hati. Lantas saja berteriak keras. "Baiklah! Aku menyerah kalah. Ambillah buku ini!"
Sambil berteriak demikian, tangan kanan-nya merogoh saku. Sang Dewaresi meng-amat-amati.
Sang Dewaresi sesungguhnya seorang tokoh yang cukup cerdik, licin dan berpengalaman. Sebagai seorang yang berpengalaman, tak gampang-gampang ia menaruh kepercayaan terhadap seseorang. Sebaliknya, Pringgasakti bukan seorang tokoh murahan. Dia pun seorang yang kenyang makan garam.
Maka begitu mendengar seruan sang Dewaresi cepat ia menarik tangan kanannya yang mero-goh saku, sambil berteriak nyaring. "Terimalah!"
Sebuah benda logam berkeredip di udara dan sang Dewaresi lantas saja roboh. Nuraini mendengar suara bersuling dan melihat pula berkeredepnya suatu benda. Seketika itu juga, tahulah dia bahwa Pringgasakti telah me-lepaskan senjata rahasianya yang beracun. Empat orang pengikut sang Dewaresi roboh pula berturut-turut tanpa berkutik.
"Iblis!" maki sang Dewaresi seraya bergu-lingan. Ternyata oleh kesehatannya, ia dapat mengelakkan sambaran senjata rahasia Pringgasakti. Karena terperanjat, cepat ia bergulingan di atas tanah. Begitu merasa ter-bebas, hatinya menjadi kecut. Tertatih-tatih ia bangkit berdiri. Hatinya meledak menyanyikan dendam. Dampratnya lagi, "Kau sudah kuberi kesempatan, tapi telingamu pekak! Bagus! Hari ini, akan kubuat kau setengah hidup setengah mati."
Pringgasakti heran menyaksikan sang Dewaresi dapat membebaskan diri dari sam-baran senjata rahasianya. Biasanya orang tak berdaya, karena sama sekali tak menduga. Maka diam-diam ia memuji kesehatan lawan.
Dan begitu mendengar ancamannya, mau tak mau hatinya jadi cemas.
Tak lama kemudian, sang Dewaresi lantas bersiul panjang memberi aba-aba kepada ten-tara tahuannya. Seketika itu juga, udara seperti pepat terpenuhi ribuan ekor tabuan yang terus saja turun menyambar dengan cepat dan berbondong-bondong. Pringgasakti kaget luar biasa. Gugup ia memutar cemeti Pamuknya. Puluhan dan bahkan ratusan ekor tabuan runtuh di atas tanah. Tetapi tentara udara sang Dewaresi berjumlah ribuan, puluhan ribu ya malahan ratusan ribu ekor.
Satu jam lamanya Pringgasakti berjuang mengatasi maut yang dapat menyerang pada saat-saat tertentu. Ratusan bahkan ribuan ekor tabuan telah dapat diruntuhkan. Namun tentara tabuan sang Dewaresi nampak seperti tiada habisnya. Berkelompok-kelompok mereka terus menyerang tanpa berhenti, dan sekali kena sengatnya pastilah nyawa Pringgasakti takkan tertolong lagi.
Sang Dewaresi sendiri, hatinya tegang luar biasa. Ia menyaksikan kegagahan Pringga-sakti. Ia menyaksikan bagaimana tentara tahuannya kena diruntuhkan ribuan ekor. Tetapi, sama sekali ia tak dapat bertindak untuk mendesak lawan. Cemeti Pamuk yang diputar tiada henti merupakan rintangan lingkaran bahaya. Karena itu, terpaksalah dia menunggu dengan mempersiapkan senjata rahasianya pula yang terbuat dari ramuan bisa ular, bisa kala dan buah ingas. Barangsiapa kena bidikannya akan mati terjengkang dengan darah hitam menghijau.
"Jangan mencoba bermimpi hendak meng-hancurkan kitab. Sekali kulihat tanganmu hendak menghancurkan, terpaksa aku menghujani dengan senjata beracunku. Masa kau terserang dari atas dan bawah, akan mampu mengelak dalam waktu satu jam?"
Pringgasakti berlagak tak menghiraukan, tetapi hatinya cemas. Maklumlah, apa yang dikatakan sang Dewaresi sedikitpun tidak salah. Tenaga saktinya memang luar biasa kuat. Tetapi apabila dipaksa bertahan terus menerus tiada henti, bagaimanapun juga takkan sanggup. Memperoleh pikiran demikian, wajahnya berubah pucat. Cepat ia meraba saku celananya. Mendadak ia melihat, sang Dewaresi mulai mengancamkan senjata rahasianya. Sebenarnya tiada perlu dia takut menghadapi senjata rahasia sang Dewaresi, dalam keadaan biasa. Tapi kali ini keadaannya begini mendesak dan terjepit. Tentara tabuan kian lama kian terasa menjadi galak. Mereka bahkan berani menghampiri dan terbang berlingkaran berlapis-lapis.
Tepat pada saat Pringgasakti tengah berpikir keras untuk mencari jalan keluar, terdengarlah suatu bunyi siul panjang menukik udara. Bunyi siul itu seperti suara burung kurcitak yang dapat melepaskan bunyi siul melengking tajam. Tak lama kemudian suara siulan itu disusul dengan nada tiupan seruling yang halus merdu dan mengalun berombak tiada hentinya.
Kedua orang yang sedang mengadu keulet-an itu menjadi terkejut. Sang Dewaresi melayangkan matanya. Tiba-tiba saja di atas sebatang pohon yang berada tak jauh dari gelanggang pertempuran nampaklah seorang yang mengenakan jubah abu-abu duduk bercokol di atas dahan. Orang itu mengenakan topeng tipis yang buruk bukan main. Sekali pandang orang akan mengira bertemu dengan hantu pemangsa manusia.
Sebagai seorang sakti ia kagum bukan main. Karena sama sekali tak mendengar ke-hadirannya. Diam-diam ia menyesali pende-ngarannya yang selamanya diagung-agung-kan. Pringgasakti pun diam-diam terkejut pula. Meskipun dalam keadaan sibuk, biasanya pendengarannya yang tajam masih bisa menangkap bunyi daun yang jatuh dari ranting.
Tapi kali ini sama sekali tidak. Dengan mengerlingkan mata, ia mengamat-amati orang berjubah abu-abu itu selintasan. Waktu itu angin meniup tajam sampai meng-goyangkan mahkota daunan. Tetapi orang itu dapat duduk bercokol dengan tenang dan sama sekali tak tergeser. Hal itu membuktikan, betapa hebat ilmu ringan tubuhnya.
Sementara itu orang berjubah abu-abu terus meniup serulingnya sambil sekali-kali bersiul panjang melengking. Tiba-tiba saja, barisan tabuan yang terbang berlingkaran tersibak bubar. Seperti tersapu hawa panas, barisan tabuan itu memanjat tinggi di udara dan bubar berderai tak keruan.
Sang Dewaresi terheran-heran. Selama hidupnya belum pernah ia mengalami kejadian seperti hari itu. Cepat ia mencoba menguasai, la bersiul panjang seperti biasanya. Tetapi bunyi siulnya seperti tertindas dan terlindas oleh siulan orang berjubah abu-abu. Akhirnya, bahkan dirinya merasa seperti terserang suatu aliran hawa yang panas bukan kepalang. Ia kaget dan cepat-cepat mempertahankan diri. Namun, ia kena tergeser oleh suatu dorongan halus tetapi kuat luar biasa.
Pringgasakti waktu itu terus saja duduk bersila di atas tanah. Dengan sungguh ia mencoba bertekun bersemadi. Darahnya terasa bergolak sangat cepat dan menusuk-nusuk kepala. Karena hebatnya pengaruh siulan orang berjubah abu-abu itu, tubuhnya sampai menggigil.
Nuraini yang terbaring di atas rerumputan, terkena pula serangan orang bejubah abu-abu itu. Ia mencoba bergerak dan bangun tertatih-tatih. Tetapi hawa udara seperti menindasnya di tanah. Maka terpaksa ia me-rangkak-rangkak mencoba menjauhi. Men-dadak saja, pinggangnya terasa kena sambar. Cepat ia menoleh. Ternyata dia sang Dewaresi yang dalam kegugupannya, terus saja melarikan diri sambil menggondol mangsanya. Syukurlah, pengaruh orang berjubah abu-abu itu menyiutkan hatinya. Andaikata tidak, Nuraini pasti akan menjadi korban kebiadap-annya. Karena itu, dia hanya berani menggondol pergi selintasan saja. Khawatir ia akan dikejar orang berjubah abu-abu, maka Nuraini dilemparkan ke tanah. Sedangkan dia sendiri lari Iintang-pukang tak tentu arah tujuannya.
"Bagus!" seru Titisari dengan tiba-tiba. "Memang selama hidupku tak pernah aku percaya pada hantu. Kini ternyata benar belaka.
Apakah kalian percaya ada hantu muncul di siang hari?"
Sangaji, Wirapati, Bagus Kempong, Sanjaya dan pendekar-pendekar lainnya diam tak menyahut. Masing-masing lagi terbenam dalam benaknya yang penuh dengan teka-teki. Mendadak saja terdengar Bagus Kempong berkata kepada Wirapati,
"Adikku Wirapati. Benar-benar hebat murid-mu. Dia sanggup mengalahkan iblis itu, sedangkan aku sendiri belum tentu bisa."
Wirapati sesungguhnya heran dan kagum kepada kemajuan Sangaji. Tahulah dia, bahwa muridnya menggunakan ilmu sakti bukan berasal dari perguruannya atau ajaran Jaga Saradenta. Maka sebagai orang jujur dia lantas saja berkata, "Janganlah Kakak memuji terlalu tinggi terhadapku. Sebagai guru betapa takkan girang menyaksikan kemajuan salah seorang muridnya. Hanya saja apabila mengira, bahwa kemajuannya adalah hasil ajaranku benar-benar salah. Aku sendiri kagum kepadanya."
Mendengar percakapan gurunya dengan Bagus Kempong, hati Sangaji tak tenteram. Meskipun gurunya tiada mencelanya, tetapi ia merasa bersalah menerima ajaran seseorang. Hal itu berarti bahwa ia mengangkat seseorang guru lain di luar pengetahuan gurunya. Memperoleh pertimbangan demikian, cepat ia men-bungkuk hormat kepada Wirapati.
"Guru! Sesungguhnya..." Tetapi baru meng-ucap demikian, mendadak saja Pringgasakti sudah berada di depannya kembali dengan bertolak pinggang.
"Hai bocah! Kau benar-benar sudah dapat memahami ilmu Kumayan Jati ajaran si jem-bel Gagak Seta. Bagus! Otakku tumpul, sampai aku tadi tak mengenal ilmu saktimu. Hm ... sekarang janganlah kau mengira, bahwa aku takkan sanggup melawan ilmumu. Ingat-ingat-lah, bahwa aku murid Adipati Surengpati. Murid Adipati Surengpati betapa takkan mampu melawan murid Gagak Seta. Cuh! Hayo kita bertempur kembali... Ingin aku melihat sampai di mana kehebatan ilmu sakti Kumayan Jati," damprat Pringgasakti.
Sangaji seorang pemuda yang sabar dan jujur. Mendengar tantangan Pringgasakti, ia membungkuk hormat sambil menyahut.
"Sebenarnya, aku bukan tandinganmu. Aku hanya dapat melawan kegagahanmu secara kebetulan belaka. Apabila kali ini engkau telah sadar akan kelalaianmu, pastilah aku bukanlah lawanmu lagi. Karena itu, mestinya aku harus menyatakan takluk kepadamu..."
"Ilmu sakti Kumayan Jati terbagi menjadi dua. Pukulan keras dan pukulan lembek. Semuanya berjumlah delapan belas jurus. Kemudian ditambah pula enam pukulan gun-tur. Kulihat, engkau belum menggunakan seluruhnya."
Pringgasakti tak menghiraukan.
"Ocapanmu benar belaka," sahut Sangaji, "Memang belum seluruhnya aku menggu-nakan semua pukulan ilmu sakti Kumayan Jati."
"Mengapa?"
Mendengar penegasan Pringgasakti, cepat-cepat Titisari mencegah agar merahasiakannya. Tetapi Sangaji yang jujur mendadak saja menjawab, "Sebab, aku belum menerima warisan ilmu Kumayan Jati dengan seluruhnya."
"Bagus!" sahut Pringgasakti dengan gembi-ra. Kedua kelopak matanya lantas saja bersi-nar terang. "Belum lagi engkau menerima ajaran ilmu sakti Gagak Seta, ternyata kau telah dapat menjatuhkan aku. Hm, apakah Gagak Seta benar-benar seorang mahasakti tak terlawan? Ah, terpaksalah aku menguji dirimu anak muda."
Mereka yang mendengar bunyi ucapan Pringgasakti jadi heran dan cemas. Ternyata alasan pertempuran tidak hanya berkisar soal mempertahankan harga diri dan pembalasan dendam tetapi mendadak saja menyangkut pula tentang adu ilmu sakti. Di sini terasa ter-jadinya bibit bentrokan antara Adipati Surengpati dan Gagak Seta.
Sangaji masih saja berlaku sabar. Katanya mengalah, "Titisari, kawanku ini yang masih begini muda tak dapat aku lawan. Apalagi melawan engkau. Ilmu Adipati Surengpati adalah salah satu ilmu di dunia ini, yang ku-kagumi dengan segenap hatiku..."
"Eh Abu!" Titisari menyambung, "Apakah maksudmu menantang kawanku dengan mengadu ilmu Karimun Jawa? Masakan ada seorang di kolong langit ini yang mampu melebihi ayahku?"
"Ehem agar hatiku yakin, apa buruknya aku menguji kawanmu...." Pringgasakti tetap bersikap tegang. Dengan tiba-tiba pula, kakinya terus menjejak dan menyerang cepat. Sangaji mengelak ke samping. Dan pudarlah benteng kesabarannya. Dengan mata berapi-api meledaklah suaranya,
"Aku sudah berusaha menghormati tataran angkatan tua. Tapi engkau tetap membandel. Bahkan menyerang aku dengan tiba-tiba. Silakan!" Habis berkata demikian, tinjunya lantas saja menyerang. Dan terdengarlah derum angin bergulungan. Pringgasakti melompat ke samping dan menyambut serangan Sangaji dengan cengkeramannya.
"Pukullah aku dengan jurusmu yang tanpa suara," seru Pringgasakti. "Dengan menggu-nakan pukulanmu yang bersuara, kau bukan tandinganku."
Mendengar ucapan Pringgasakti, Sangaji melompat mundur sambil berkata, "Pukulanku tanpa bersuara berjudul pukulan iblis. Dalam keadaan biasa, aku dilarang melepaskan. Karena hal itu bertentangan dengan peng-ucapan darah seorang ksatria. Andaikata pada suatu hari aku melihat seseorang menggunakan pukulan demikian terhadap seseorang yang belum patut dimusnahkan, akan kuku-tuki dan kubenci sampai tujuh turunan. Karena itu, betapa aku sudi menggunakan jurus itu terhadapmu? Kalau tadi aku melontarkan pukulan demikian, bukanlah dengan sengaja. Tapi semata-mata untuk mengusir hawa racunmu yang mulai merayapi tubuh. Jadi aku berdaya mempertahankan diri terhadap racun dan bukan terhadapmu. Dengan demikian, adalah benar-benar hina apabila kau memaksa dirimu agar bertempur melawan pukulan iblisku. Aku emoh."
Suara Sangaji meskipun menggelikan dalam pendengaran para pendekar, tetapi berkesan sungguh-sungguh. Sehingga mau tak mau hati nurani Pringgasakti tergerak juga.
Ih! anak muda ini berhati mulia, pikirnya. Tetapi ia membentak, "Aku minta kepadamu, agar engkau menggunakan pukulan iblismu. Jadi bukan kesalahanmu apabila engkau ter-paksa menggunakan. Dan tenang-tenangkan-lah hatimu, karena aku mempunyai cara untuk memecahkan. Apa perlu kamu berpura-pura berbicara kemanusiaan terhadap aku iblis tua bangka?"
Sangaji mengerling kepada seseorang berjubah abu-abu yang menggunakan topeng mayat. Pikirnya, mungkin dia telah mengajar-kan ilmu memecahkan pukulan sakti Paman Gagak Seta. Jika mampu siapakah dia?
Sangaji diam-diam menimbang-nimbang, la melihat Pringgasakti terus mendesak. Karena itu mau tak mau ia terpaksa berkata memu-tuskan, "Baiklah! Aku akan mencoba melayani kehendakmu."
Sangaji lantas saja mengingat-ingat semua jurus ilmu sakti Kumayan Jati dan pukulan rahasia hasil penemuannya dengan tiba-tiba tadi. Diam-diam ia menyalurkan tata napas Baju Sejati dan Kumayan Jati. Ternyata dia tak menemukan suatu kesulitan, meskipun belum terlalu lancar. Tetapi andaikata Pringgasakti mendadak bisa bergerak di luar dugaan, rasanya dia masih mampu untuk mempertahankan diri. Memperoleh pikiran demikian, majulah dia memasuki gelanggang pertempuran. Mendadak saja ia mendengar angin berdesir lewat di sampingnya, la kaget. Cepat ia menoleh dan menarik tinjunya ke dada. Kemudian merubahnya dengan suatu jurus lain. Tetapi kembali ia mendengar suara srr... lewat di sampingnya. Ia kaget bercampur heran. Karena begitu tinjunya hendak dikem-bangkan, Pringgasakti sudah dapat menebak dengan cepat dan tepat. Tahu-tahu ia kena suatu tangkisan hebat yang segera dapat mementalkan tinjunya.
Dengan hati penuh dengan teka-teki, ia berkisar dari tempatnya dan mempersiapkan gempuran lembek yang tadi dapat merun-tuhkan. Dan kembali ia mendengar suara berdesir.
Tatkala tinjunya dilontarkan, Pringgasakti dapat menangkis cepat, bahkan bisa pula mendahului menyerang. Dan untuk kedua kalinya, serangan Sangaji luput. Malahan lengan bajunya sobek selintasan.
Aneh! Dia tahu menebak jurus pukulan rahasia ilmu sakti Kumayan Jati, sudahlah aneh. Sekarang malahan dapat mendahului pukulan pula, pikir Sangaji dalam hati. la masih belum percaya. Ia mengira, itulah suatu kejadian secara kebetulan. Maka dengan sebat ia mengirimkan tiga pukulan lembek dari jurus tahap kedua. Inilah pukulan lembek yang paling membahayakan. Selama dia mewarisi ilmu sakti Kumayan Jati, baru pada saat itulah ia menggunakan.
Pringgasakti nampak gugup, la merasa seperti terdesak dan terhimpit suatu tenaga angin Tetapi tak dapat menebak dari mana arah datangnya. Mendadak saja ia mendengar suara... srrr-srrr... tiga kali berturut-turut. Mendengar suara angin itu, cepat ia men-cengkeramkan dan merabu maju.
Pengalaman adalah mahaguru, kata pepatah. Maka lambat-laun Sangaji jadi cerdik juga. Tak ragu-ragu lagi, ia menduga kepada orang berjubah abu-abu. Untuk meyakinkan dirinya segera ia melepaskan pukulan lembek tahap kedua jurus ke-empat, sambil menger-lingkan mata. Sekarang ia melihat orang berjubah abu-abu itu menyentil sebutir kerikil yang cepat melesat ke udara. Suaranya ter-dengar pula berdesir.
Ah, pantas iblis itu bisa mengelakkan pukulan rahasia ilmu sakti Kumayan Jati. Tetapi siapakah orang berjubah abu-abu itu yang bisa memberi petunjuk-petunjuk? Kenapa dia paham pula akan rahasia ilmu sakti Kumayan Jati yang tiada duanya dalam dunia ini? la terus bergulat dalam benaknya. Akhirnya memutuskan, "Baiklah! Setelah aku menghabiskan kesembilan jurus tahap kedua yang lembek, aku akan menyatakan takluk ... Masakan dia akan memaksa aku melakukan jurus yang keras?"
Pertempuran terus berlangsung dengan bertambah seru. Sangaji selalu menjadi pihak penyerang. Suatu tanda, bahwa Pringgasakti sebenarnya tiada paham dengan ilmu sakti Kumayan Jati. Hanya saja, suara berdesirnya kerikil yang melesat ke udara kian nyata. Bahkan kini, mau tak mau orang berjubah abu-abu terpaksa dengan terang-terangan membantu Pringgasakti.
Pringgasakti lantas saja bisa merubah diri menjadi pihak penyerang oleh petunjuk-petunjuk orang berjubah abu-abu. Dia kini jadi galak dan ganas. Angin serangan bergulungan hebat dan tiap kali gerak didahului dengan suara desirnya kerikil. Mereka yang berdiri di pinggir gelanggang, kini dapat menyaksikan dengan terang-terangan bagaimana Pringgasakti dibantu oleh orang berjubah abu-abu itu. Dua kali Pringgasakti kena terdesak ke pojok. Tetapi selalu dapat membebaskan diri, malahan bisa membalas menyerang tiga kali beruntun-runtun.
Titisari yang berotak cerdik, jadi berpikir keras. Ia mulai mencari akal. Diam-diam ia memungut beberapa butir kerikil. Kemudian meniru perbuatan orang berjubah abu-abu dengan menyentilkan kerikil itu ke arah Pringgasakti untuk mengacaukan pemusatan pikirannya. Kadang-kadang ia menyerang ke tempat kosong, ke udara bebas atau ke tanah. Bahkan berani pula menyerang kerikil orang berjubah abu-abu itu. Tetapi orang berjubah abu-abu itu benar-benar mengagumkan. Apabila kerikilnya terpukul, justru bisa mendengungkan suara lebih tajam dan arah-nya lantas saja bisa bergeser tempat. Kalau tadi dimaksudkan sebagai penunjuk perta-hanan diri, kini oleh pantulan kerikil Titisari berubah menjadi petunjuk dan menyerang.
Bagus Kempong, Wirapati, Abdulrasim, Cocak Hijau, Manyarsewu, Sawungrana, Yuyu Rumpung dan Sanjaya semua terheran-heran menyaksikan kehebatan ilmu menyentil orang berjubah abu-abu itu. Panah atau peluru pistol, tidaklah sehebat sentilannya. Barangsiapa kena tersentil, pasti takkan berkesempatan melepaskan sepatah katapun jua.
Titisari berdiri tertegun, la sampai ter-cengang-cengang karena heran bukan kepa-lang. Tanpa berkedip ia mengamat-amati orang berjubah abu-abu yang mengenakan topeng setan.
Dalam pada itu, keadaan Sangaji kena ter-desak Pringgasakti yang dapat bergerak de-ngan sebat oleh petunjuk sentilan kerikil tajam. Iblis itu tinggal mengikuti arah segi lintang desiran kerikil. Maka serangannya kian lama kian berbahaya.
Tiba-tiba terdengarlah suatu suara nyaring. Dan nampaklah dua butir kerikil saling berbenturan di udara. Kerikil yang pertama melesat agak kendor. Yang kedua pesat dan menyekat keblat. Tak urung kedua butir itu berbenturan dan meletikkan sinar api. Justru pada waktu itu Pringgasakti melompat menubruk dengan menggeram, sedangkan Sangaji cepat-cepat meloncat ke samping.
Kemudian terdengar suara Titisari memekik tinggi.
"Ayah!" Gadis itu lantas saja lari ke arah orang berjubah abu-abu dan terus meme-luknya, la menangis keras sambil berkata menyesali, "Ayah! Kenapa Ayah mengenakan topeng begini buruk?"
Peristiwa itu di luar dugaan, orang berjubah abu-abu itu sampai dia berdiri tertegun. De-ngan sendirinya keadaan di gelanggang per-tempuran jadi berubah. Pringgasakti yang sudah merangsak menubruk dengan meng-gerung mendadak saja berhenti di tengah jalan, karena kehilangan petunjuk. Inilah suatu kesempatan yang bagus bagi Sangaji. Segera ia melepaskan serangan lembek jurus kesembilan. Tanpa petunjuk orang berjubah abu-abu, Pringgasakti kehilangan daya-geraknya bagaikan seseorang yang kehilangan kedua belah matanya. Maka tak ampun lagi ia kena terpukul jurus kesembilan ilmu sakti Kumayan Jati dan jatuh terkapar di atas tanah. Seluruh tenaganya seperti terkikis, sehingga iblis yang terkenal sakti itu tak mampu berdiri tegak lagi.
Abdulrasim yang sudah memperoleh kisikan sang Dewaresi tentang siapakah Titisari sebe-narnya, kaget sewaktu gadis itu memanggil orang berjubah abu-abu sebagai ayahnya. Karena kagetnya kakinya sampai gemetaran. Betapa tidak? la kenal siapakah Ayah Titisari. la kenal pula siapakah Adipati Surengpati. Selain terkenal bengis dan kejam, ia seorang mahasakti setengah dewa.
"Ayah kenapa Ayah datang ke mari?" tegur Titisari.
"Kenapa aku datang ke mari? Bukankah karena engkau aku sampai keluyuran ke mari?"
Titisari girang bukan kepalang. Ia tahu dan semua orang tahu bahwa Adipati Surengpati adalah seorang tokoh mahasakti yang angkuh. Dahulu pernah bersumpah takkan mendarat di Pulau Jawa. Dan sumpahnya ditepati, mes-kipun oleh sumpah itu membuat dia tak bisa mengejar Pringgasakti. Apa sebab dia ber-sumpah tak sudi mendarat di pulau Jawa, adalah gara-gara keputusan Mangkubumi 1 yang mengesyahkan Pangeran Samber Nyawa menjadi Mangkunegoro 1 di Surakarta. Dia sendiri sebenarnya berangan-angan besar untuk menjadi salah seorang raja di Pulau Jawa. Karena ternyata angan-angannya tak tercapai, maka minggatlah dia dari Yogyakarta dan bermukim ke sebuah pulau di seberang utara Pulau Jawa. Di pulau itu ia mendirikan semacam kerajaan kecil, dan dialah yang menjadi rajanya.
"Ayah, maksud Ayah hendak mencari aku ternyata sudah tercapai. Bagus! Bagus!" kata Titisari manja.
"Hm... karena engkaulah aku terpaksa men-genakan topeng buruk ini."
Titisari jadi terharu. Tahulah dia, bahwa untuknya ayahnya bersedia mengorbankan segalanya. Ternyata nilainya jauh lebih tinggi daripada kitab pusaka Witaradya yang dipandangnya sebagai jiwanya sendiri. Tatkala dahulu ia kehilangan kitab pusaka Witaradya, tak sudi dia menyeberangi lautan. Karena mendongkol dan murka ia melampiaskan dendamnya kepada hamba-sahaja yang setia. Semuanya diputuskan urat dan tulang-belulangnya, sehingga menjadi orang-orang lumpuh. Tetapi begitu melihat anak daranya melarikan diri dari Pulau Karimun Jawa, ia batalkan sumpahnya dan terus mengejar sampai bertemu pada hari itu. Sekalipun mendongkol, Adipati Surengpati bersyukur menyaksikan anak-daranya tiada kurang suatu apa.
"Ayah!" bisik Titisari lagi yang tahu memba-ca gejolak hati ayahnya. "Mulai sekarang, aku berjanji akan menjadi seorang anak yang baik dan penurut. Aku akan selalu mendengarkan semua perkataanmu."
Mendengar janji Titisari, Adipati Surengpati terus memeluk anaknya.
"Pimpinlah bangun murid Ayah, si Abu Pringgasakti," ia berkata kepada Titisari.
Titisari segera menghampiri Pringgasakti dan menolong menegakkan.
Bagus Kempong, Wirapati dan pendekar-pendekar lainnya segera membungkuk memberi hormat kepada Adipati Surengpati. Terdengar Adipati Surengpati menghela napas dalam. Berkata setengah menyesali.
"Abu! Karena kamu, aku banyak menyiksa orang-orang tak berdosa. Karena engkau, aku kehilangan sebagian kitab pusaka keluargaku. Sehingga isteriku meninggal oleh duka cita."
Mendengar ucapan Adipati Surengpati, Pringgasakti menggigil ketakutan. Tapi begitu mendengar berita meninggalnya isteri Adipati Surengpati, mendadak saja dia menangis menggerung-gerung.
"Mengapa menangis?" bentak Adipati Surengpati bengis
Peringgasakti kenal baik tabiat gurunya yang benci kepada bunyi tangis. Maka seketi-ka itu juga, ia berhenti menangis. Sebaliknya Titisari nampak menjadi manja. Terus saja gadis itu menghampiri ayahnya sambil berka-ta, "Ayah! Nampaknya Ayah mendongkol benar kepada Pringgasakti. Apakah Ayah mendongkol pula terhadapku?"
"Kau pun termasuk salah satu anasir membuyarkan ketenteraman hatiku. Hm!" Adipati Surengpati menghela napas. Dan Titisari mundur setengah langkah sambil melilitkan lidahnya.
"Ayah! Mari kuperkenalkan dengan bebera-pa sahabatku," katanya mengalihkan pem-bicaraan. "Inilah Paman Bagus Kempong dan Paman Wirapati, murid Kyai Kasan Kesambi yang tersohor di seluruh jagat."
"Hm," dengus Adipati Surengpati.
"Dan ini sahabatku, Sangaji." Titisari tak peduli. Tapi Adipati Surengpati bersikap dingin dan membeku. Ia melemparkan pandang ke sana. Melihat sikapnya, Bagus Kempong dan Wirapati mendongkol hatinya. Mereka merasa seperti direndahkan. Diam-diam mereka membenarkan warta tentang watak dan perangai Adipati Surengpati yang aneh, kejam, bengis dan tak tahu aturan. Apabila dia menjadi guru seorang iblis seperti Pringgasakti, sudahlah selayaknya.
Waktu itu Adipati Surengpati menatap muka Titisari sambil berkata memerintah, "Kau mempunyai benda milik apalagi? Ambillah! Dan ayo berangkat pulang!"
"Apa yang kupunyai?" Titisari tertawa geli. "Tiada yang kumiliki kecuali diriku sendiri. Apakah Ayah hendak membawa Abu pulang pula ke Karimun Jawa?"
Dengan mata berkilatan, Adipati Surengpati mengawasi Pringgasakti. Mendadak saja, Sanjaya yang selama itu berdiam saja datang menghampiri. Memang pemuda itu adalah seorang anak yang licin dan pandai mengam-bil hati. Begitu ia melihat betapa gurunya-Pringgasakti ketakutan setengah mati terhadap Adipati Surengpati secara tak resmi menjadi kakek gurunya?
"Cucu-murid Sanjaya perkenankan meng-haturkan sembah," katanya takzim.
Adipati Surengpati menoleh kepada Pring-gasakti dengan meninggikan alisnya. Mene-gas, "Dia cucu muridku? Semenjak kapan dia menjadi muridmu? Dan kapan pula kamu berhak mengambil murid untuk menurunkan Ilmu Karimun Jawa tanpa sepengetahuanku?"
Gugup Pringgasakti hendak menjawab. Tetapi belum lagi mulutnya terbuka, Adipati telah menyambar lengan Sanjaya. Kemudian dilemparkan tinggi di udara. Begitu ia menangkap dengan tangan kiri, lantas saja tangan kanannya menghantam pundaknya.
Pringgasakti kaget bukan kepalang sampai dia memekik, "Guru!"
Hajaran Adipati Surengpati membuat Sanjaya jatuh berjungkir-balik di udara dan runtuh di atas tanah tanpa tenaga.
"Hm!" dengus Adipati Surengpati. "Bagai-mana kamu berani mewariskan Ilmu Karimun Jawa kepadanya? Karena itu, hari ini kureng-gut semua tenaganya. Selanjutnya, dia takkan dapat lagi berlatih ilmu Karimun Jawa. Me-ngerti?"
Pringgasakti mengangguk dengan mulut ter-bungkam. Sama sekali ia tak berdaya meng-hadapi gurunya yang bengis dan sakti. Tetapi masih dia mencoba, "Guru! Gntuk menghim-pun tenaga jasmaniah, seseorang membu-tuhkan waktu paling tidak empat tahun lamanya. Apa sebab guru lantas saja me-lenyapkan begitu saja? Apakah tidak me-nyayangkan bakat seorang muda sebagai tunas mekar di kemudian hari?"
"Kau tak perlu mengoceh seperti burung. Sedang nyawamu sendiri belum pasti selamat, mengapa kau berpura-pura menjadi pahlawan?"
Pringgasakti terkenal sebagai iblis kejam dan bengis. Puluhan bahkan ratusan orang sudah menjadi korban kebiadapannya.
Tanpa berkedip ia merenggut nyawa seseorang dengan begitu saja. Tetapi meskipun demikian, dalam hati nuraninya mengalirlah sebintik jiwa ksatria juga. Terbukti dengan peristiwa kali itu. Ternyata ia kasihan kepada Sanjaya sebagai guru dan murid. Maka begitu melihat muridnya tersiksa, lantas saja ia memberanikan diri untuk menuntut keadilan.
Nyawanya sendiri tak dihiraukan lagi. Berkata dengan suara bergetar, "Guru! Selama aku meninggalkan Karimun Jawa, tiada hasratku hendak mencari murid atau menurunkan warisan ilmu sakti Karimun Jawa tanpa sepengetahuan guru. Tetapi terhadap anak itu, mendadak saja hatiku tergerak. Karena pertama-tama, ia adalah seorang pemuda yang berbakat. Kedua, ia putera seorang pangeran yang pantas memiliki sepercik ilmu sakti guru. Dan ketiga, kuharapkan kelak bisa menjadi ahli waris kesaktian guru. Karena itu, alangkah pedih rasa hatiku melihat guru memusnahkan tenaga saktinya. Dengan demikian, ia akan menjadi seorang pemuda yang hina-dina. Menjadi seorang pemuda cacat jasmaniah selama hidupnya."
"Andaikata benar begitu, apa pedulimerekaku?" potong Adipati Surengpati tanpa perasaan.
Mendengar ucapan Adipati Surengpati, tak terasa sekalian para pendekar menoleh kepa-da Sanjaya.
Pemuda itu benar-benar tertumbuk batu. Tadinya dia mengira akan mudah mengambil hati Adipati Surengpati. Tak tahunya, Adipati Surengpati bukanlah seperti manusia lumrah. Wataknya aneh. Tabiatnya susah ditebak.
Karena itu ia terkenal sebagai si iblis dari Karimun Jawa. Sekarang, tenaga saktinya ter-punah sudah oleh hajaran Adipati Surengpati. Tak mengherankan, bahwa wajahnya sekali-gus menjadi kuyu. Tenaga jasmaniahnya lumpuh. Dengan pandang suram ia menyi-ratkan pandang kepada sekalian yang hadir seolah-olah minta bantuan. Tetapi bagaimana mereka berani berkutik di depan Adipati Surengpati yang terkenal sebagai seorang mahasakti setengah dewa?
"Hai, siapa namamu anak muda?" men-dadak saja Adipati Surengpati berkata kepada Sanjaya.
Sanjaya hendak menjawab, tetapi Pringga-sakti mendahului, "Dia bernama Sanjaya, pu-tera Pangeran Bumi Gede."
"Ih! Siapa kesudian berbicara dengan hamba Belanda?" Adipati Surengpati meludah ke tanah. "Untunglah, aku tidak memusnahkan seluruh tenaga jasmaninya. Aku hanya mengambil milikku belaka, agar dia tak bisa menekuni ilmu sakti Karimun Jawa. Berbahagialah!"
Mendengar ujar Adipati Surengpati, Pringgasakti girang bukan kepalang sampai air matanya bercucuran.
Tatkala itu Titisari menoleh kepada Sangaji sambil berkata, "Aji! Hebat tidak ayahku? Dilihat sepintas lalu, pakarti ayahku adalah kejam. Siapa mengira, kalau Ayah hanya mengambil haknya kembali sebagai hukuman terhadap seorang pengkhianat yang berani mencuri wewenang seseorang. Inilah namanya maling kepergok di siang hari bolong."
"Ayahmu hebat sekali, Titisari," sahut Sangaji dengan jujur. "Kalau kau nanti sudah pulang kembali ke kampung halaman, jangan-lah kau mensia-siakan ajaran ayahmu. Pasti kamu kelak akan menjadi pendekar sakti tak terlawan."
"Kau ikut juga kan ke Karimun Jawa?" sahut Titisari cepat. Mukanya berubah, suatu tanda hatinya cemas.
"Aku hendak mengikuti guru mendaki Gunung Damar. Kelak aku akan menjenguk-mu."
Titisari jadi gelisah seperti cacing tercebur di atas penggorengan. Katanya setengah menjerit, "Tidak! Tidak! Tak mau aku berpisah denganmu."
Sangaji menarik napas. Sebenarnya, dia pun agak berkeberatan berpisah dengan Titisari, Sewaktu hendak menyatakan isi hatinya, mendadak saja ia melihat Adipati Surengpati berkelebat menyambar Sanjaya. Anak muda itu dilemparkan ke udara dan ditendang jungkir-balik. Tak ampun lagi. Sanjaya menggelinding di atas tanah. Tetapi yang aneh adalah sikap Pringgasakti. Begitu melihat muridnya jatuh bergulingan, dia bahkan berjingkrak sambil berteriak nyaring.
"Sanjaya! Lekaslah engkau menghaturkan sembah kepada Kakek-guru. Beliau telah menghadiahi semacam tenaga sakti kepada-mu."
Dengan tertatih-tatih, Sanjaya merayap ba-ngun. Mula-mula matanya berkunang-kunang. Sekonyong-konyong dalam tubuhnya terasa mengalir semacam hawa hangat. Lantas saja ia merasa segar-bugar. Oleh teriakan Pringgasakti tahulah dia bahwa Adipati Surengpati sedang menganugrahi semacam ilmu sakti dengan diam-diam. Cepat ia maju dan hendak menghaturkan sembah. Tetapi Adipati Surengpati membentak, "Sudah kukatakan tadi, bahwa aku telah memusnahkan semua tenaga sakti ilmu Karimun Jawa. Kalau saja kini kamu merasa memperoleh tenaga baru, sebenarnya adalah untuk bekal menekuni ilmu tata-berkelahi lumrah. Sebaliknya untuk menekuni ilmu sakti janganlah mengharap yang bukan-bukan." Baik Pringgasakti maupun Sanjaya kecewa mendengar keterangan Adipati Surengpati, tetapi mereka tak dapat berbuat lain, kecuali hanya membungkam mulut.
"Abu!" Tiba-tiba suara Adipati Surengpati berubah menjadi garang. Sebenarnya engkau manusia terlalu jahat. Tetapi aku tahu, kau telah menderita batin pula. Tadi kulihat, sewaktu kau terdesak oleh anak muda itu, teringatlah kamu pada nama perguruanmu. Sehingga dengan berbekal petunjukku, kamu berani melabrak anak muda itu demi mempertahankan nama perguruan. Bagus! Karena jasamu itu, aku akan membiarkan engkau hidup untuk beberapa bulan."
Mendengar ujar gurunya, hati Pringgasakti terperanjat bercampur heran. Tak pernah diduganya, bahwa gurunya akan mengampuni kesalahannya dengan mudah, mengingat pegawai-pegawainya disiksa sepanjang hidup-nya tanpa berdosa karena perbuatannya semata. Itulah sebabnya oleh rasa syukur, ia duduk bersimpuh untuk menyatakan terima-kasih tak terhingga.
"Bagus!" Adipati Surengpati menyahut sem-bah muridnya. Kemudian menepuk pundak Pringgasakti sambil berkata, "Kau murid me-ngenal budi."
Pringgasakti terkejut. Pundaknya tiba-tiba terasa menjadi nyeri. Matanya berkunang-kunang dan dunia seolah-olah berputar di depannya. Tahulah dia, bahwa gurunya sedang menjatuhkan suatu siksaan yang mengerikan. Siksaan itu bernama, Tepukan Cakrabirawa. Barangsiapa kena tepukan tersebut, seluruh tubuhnya akan terasa seperti ditusuki ribuan jarum. Makin dia bergerak, makin sakit. Setelah lewat satu bulan, tenaganya mulai surut. Grat-uratnya mulai lemah dan darahnya mulai membeku. Apabila sudah berkembang demikian, tiada seorang pun di kolong langit ini yang mampu mengobati, meskipun dewa sendiri tidak. Teringat akan siksaan itu, air mata Pringgasakti mengalir deras. Dengan tersekat-sekat ia berkata, "Guru, muridmu memang berdosa tak teram-punkan. Pantaslah guru menghukum aku mati. Karena aku dahulu terbelenggu oleh nafsu ingin menjadi seorang pendekar tersakti di dunia ini, sampai aku mencuri sebagian kitab pusaka guru. Sama sekali tidak terduga, bah-wa oleh perbuatan itu, ibu Titisari wafat karena berduka. Tetapi, perkenankanlah aku memohon hukuman mati yang lain. Bebaskan aku dari siksaan Tepukan Cakrabirawa."
Adipati Surengpati tidak tergerak hatinya. Dengan wajah membeku dan menatap murid-nya. Mulutnya menyungging suatu senyum yang sukar untuk terbaca. Karena itu, Pringgasakti jadi putus asa. Cepat luar biasa ia mencabut cemeti pamuk dan segera hendak menghajar tubuhnya sendiri sehingga mampus dengan seketika itu juga. Tetapi Adipati Surengpati bukanlah seseorang yang mudah dikelabui. Belum lagi Pringgasakti bisa bergerak, tahu-tahu cemeti pamuk telah berpindah ke tangan pemiliknya semula.
"Eh, mengapa kamu ingin cepat-cepat mati di hadapan gurumu?" tegur Adipati Surengpati tak berperasaan. "Mati di hadapanku bukankah tidak mudah?"
Mendengar ujar gurunya, tahulah Pringga-sakti bahwa gurunya akan menurunkan sik-saan lain yang jauh lebih mengerikan. Kemudian ia mengerling kepada Sangaji dan kemudian berkata, "Terimalah rasa terima-kasihku atas jasamu membunuh adikku. Andaikata dia masih hidup, pastilah matinya hari ini akan tersiksa seperti aku."
Adipati Surengpati tak memedulikan ujar muridnya. Dengan suara dingin dia berkata, "Tepukan Cakrabirawa ini akan bekerja setelah lewat satu tahun. Dalam satu tahun ini engkau akan kuberi tugas menyelesaikan pekerjaan suci. Setelah selesai, kau boleh datang ke
Karimun Jawa. Aku akan membebaskan sik-saan ini dari tubuhmu."
Girang hati Pringgasakti mendengar ujar gurunya. Dengan terharu ia bersembah lagi seraya berkata takzim.
"Katakanlah, tugas apa yang harus kula-kukan? Meskipun harus menyeberang lautan api dan telaga golok tajam, takkan muridmu mundur selangkah pun juga. Bersabdalah!"
Adipati Surengpati tersenyum. Berkata, "Eh, kamu seolah-olah mampu melakukan tugas-mu yang belum lagi kuterangkan. Tahukah kau tugas apa yang akan kaupikul, sampai begini gagah lantas saja bisa menerima?"
Hati Pringgasakti kecut. Tak berani ia men-jawab. Kepalanya hanya menunduk lebih dalam.
Melihat muridnya tak berani berkutik, berkatalah Adipati Surengpati.
"Dengarkan! Yang pertama, bagian Wirata-dya yang kau curi, harus kaukembalikan selengkap-lengkapnya. Dan ingatlah siapa pula yang pernah melihat atau membaca isinya, harus kau bunuh. Dua orang pernah melihat, dua orang itu pulalah yang harus kamu bunuh. Gmpama kata seratus orang pernah membaca, bunuh pulalah seratus orang itu. Kemudian kedua matamu yang pernah menekuninya, harus kau cungkil dari kelopaknya. Dengan demikian, kedua matamu yang biadab itu telah memperoleh hukumannya yang adil. Sebaliknya, apabila engkau melalaikan salah seorang saja, janganlah engkau berharap bisa kembali kepadaku. Aku akan mencarimu dan akan menghukumu dengan suatu hukuman yang setimpal. Tidak hanya hukuman Tepukan Cakrabirawa saja yang akan menyiksamu, tetapi aku masih mempunyai cara lain yang belum pernah kau dengar, yakni Tepukan Lebur-saketi. Sekali kau kena kuraba, maka kamu tak merasa beranggota tubuhmu. Dengan begitu kamu akan mati penasaran. Karena orang mengira, kau mati bunuh diri karena terganggunya kewarasan otakmu. Bukankah mati demikian jauh lebih mengenaskan?"
Mereka yang mendengar ujar Adipati Surengpati, bergidik seluruh bulu romanya. Pikir mereka, benar-benar dia merupakan iblis samudra Karimun Jawa. Pantas orang gagah tak senang dengan sepak-terjangnya yang sesat dan bengis.
"Sekarang yang kedua!" kata Adipati Surengpati lagi, "Karena pengkhianatanmu, ibu Titisari meninggal dunia oleh duka-cita. Bagian kitab pusaka Witaradya yang tiga bagian, dibawanya hilang ke liang kubur.
Entah dibuang ke mana. Hanya setan dan iblis yang tahu. Karena itu, menjadi kewajibanmu pula untuk mencari sampai ketemu. Kau-sanggup?"
Pringgasakti mengangguk, meskipun dalam hatinya ia mengeluh. Sebaliknya Titisari ber-pikir, Ibu wafat semenjak aku masih kanak-kanak. Selama itu Ayah tak pernah membicarakan perkara bagian kitab pusaka Witaradya yang hilang.
"Ini suatu tanda, bahwa Ayah tak berdaya untuk menemukan kembali. Hal itu berarti, angan-angannya untuk menjadi seorang pendekar tersakti pada zaman ini tak tercapai. Sekarang Abu diperintahkan mencari bagian kitab itu dalam tempo satu tahun. Masakan dia mampu?"
Sebaliknya Adipati Surengpati tidak menghiraukan. Nampaknya sama sekali tiada pertimbangan demikian. Hatinya dingin mem-beku bagaikan batu karang berlumut. Dengan mendongakkan kepala ia berkata tanpa perasaan.
"Kitab pusaka Witaradya engkaulah yang mengambil dan menjamahnya sendiri. Sama sekali aku tak mewariskan, menganjurkan atau mengajarkan. Sebaliknya kamu menekuni sendiri. Apakah yang harus kau-lakukan sebagai seorang murid yang ber-bakti?"
Pringgasakti segera dapat menebak kehen-dak Adipati Surengpati. Dahinya berkerinyit. Keringatnya mengucur deras. Akhirnya, de-ngan bergetar ia berkata hormat. "Guru! Tak usahlah guru kecewa mempunyai murid seperti aku. Umurku sudah cukup tua. Jauh lebih tua daripada usia guru sendiri. Apa perlu masih bersitegang dengan mempertahankan kesenangan hidup. Baik! Setelah aku selesai melakukan tugas guru, aku tahu apa yang harus dilakukan oleh seorang murid yang berbakti. Dengan kedua tanganku sendiri, aku akan merenggutkan semua ajaran kitab suci Witaradya dari tubuhku."
Mendengar ujar Pringgasakti, otak Sangaji yang tumpul belum bisa menangkap maksud-nya. Segera ia mengerling kepada Titisari. Gadis itu mengunci mulut. Ia enggan memberi keterangan. Karena itu ia menoleh kepada gurunya, Wirapati. Dengan tangan kanan membaca kutung kedua belah tangannya. Wirapati memberi isyarat apa arti merenggutkan ilmu sakti kitab pusaka Wataradya.
Memperoleh keterangan isyarat itu, barulah Sangaji mengerti arti merenggutkan semua ajaran ilmu kitab suci Witaradya. Katanya ter-heran-heran dalam hati, ah, kiranya dia hen-dak mengutungi kedua belah tangannya sendiri. Pringgasakti menurut kabar adalah seorang iblis yang luar biasa jahat. Tapi nam-paknya pada hari ini, ia insyaf akan kejahatannya. Mengapa masih harus menjalankan hukuman begini berat? Biarlah Titisari kudesak agar memohon ampun kepada ayahnya."
Tengah Sangaji sibuk berpikir, mendadak Adipati Surengpati berpaling kepadanya sam-bil berkata, "Kau yang bernama Sangaji?"
Sangaji segera membungkuk hormat sambil bersembah. Berkata, "Aku bernama Sangaji. Asal dari Jakarta..."
"Muridku kedua bernama Abas, kaulah yang menewaskan. Bagus! Pastilah engkau lebih hebat dari padanya." Sangaji terperanjat. Nada Adipati Surengpati berkesan kurang menyedapkan hati. Tetapi cepat-cepat ia menyahut, "Waktu itu, aku lagi berumur empat belas tahun. Aku kena tangkap dia. Tanpa kusenga-ja, pistol yang kugenggam meletus. Karena dia menyentil pelatuknya..."
"Begitu?" Adipati Surengpati mendengus. Suaranya luar biasa dingin. "Abas adalah muridku kedua yang murtad. Meskipun demikian orang di luar kalangan kami, tak kuperkenankan menghukum semena-mena. Apakah kaukira, murid dari Karimun Jawa bisa dibinasakan seseorang dengan seenaknya saja?"
Sangaji memang tak pandai berdebat. Maka dia diam tak tahu apa yang harus dikatakan. Melihat Sangaji diam seperti tersumbat mulut-nya, Titisari terus saja berkata mewakili.
"Ayah kematian Abas disebabkan suatu kecelakaan. Bukan suatu pembunuhan de-ngan sengaja."
Adipati memejamkan mata seolah-olah tiada sudi mendengarkan tiap patah kata anaknya. Berbareng dengan menyenakkan mata, ia menentang Sangaji dengan pandang berapi-api.
"Si bule Gagak Seta, biasanya tak senang mempunyai murid. Tetapi kini, ternyata dia telah mengajari kamu ilmu rahasianya hampir tamat. Pastilah kamu mempunyai sifat-sifat baik dan bakat bagus yang melebihi semuanya yang pernah diketemukan. Apabila tidak demikian, pastilah kamu sudah berhasil mem-bujuk atau menjebaknya sehingga mau tak mau dia harus menurunkan ilmu saktinya kepadamu. Ternyata dengan berbekal ilmu sakti si bule yang belum sempurna, kau telah berhasil merobohkan murid Karimun Jawa.
E-hm... di kemudian hari, apabila aku bertemu dengan gurumu, pastilah dia bakal mengoceh tak keruan."
"Ayah!" kembali Titisari memotong. "Memang benar Paman Gagak Seta mengajari dia, bukan karena Sangaji adalah muridnya tetapi semata-mata oleh suatu bujukan. Juga bukan dialah yang mengakali. Tetapi aku! Ayah, Sangaji adalah seorang pemuda polos hati. Janganlah Ayah berlaku begini bengis sampai dia jadi ketakutan!"
Kali ini Adipati Surengpati benar-benar tidak mendengarkan perkataan anaknya. Sebenarnya, semenjak isterinya meninggal dunia karena duka-cita, seluruh cinta-kasihnya dialihkan kepada gadisnya. Itulah sebabnya, ia memanjakan Titisari sampai melampaui batas, la tak memedulikan tingkah-laku Titisari yang agak liar dan terlalu berani menentang semua lakunya yang tidak disetujui. Suatu kali, Titisari merasa tersinggung, tatkala dia mencoba mengajari tata-susila pergaulan. Terus saja gadis itu minggat, peristiwa itu membuat dia terkejut. Cepat-cepat ia mengejar. Sepanjang perjalanan, dia mengira bahwa gadisnya akan sangat menderita. Tak tahunya, Titisari tetap sehat wal-afiat. Bahkan nampak kian segar-bugar dan bercahaya seri seorang gadis remaja yang telah menemukan suatu keputus-an hati. Dengan pandang penuh selidik ia mengamat-amati pergaulan gadisnya dan Sangaji. Ternyata hati anaknya lebih ber-cenderung kepada pemuda itu. Oleh kesan ini, hatinya kurang senang. Maka terus saja dia berkata kepada Sangaji.
"Setelah kamu bisa memiliki ilmu sakti Gagak Seta, pastilah kau tak menghargai pen-duduk Karimun Jawa."
Titisari kenal watak ayahnya yang angkuh dan mau menang sendiri. Pikirnya dalam hati, Ayah tak senang menyaksikan Sangaji bisa merobohkan Abu dengan ilmu sakti Paman Gagak Seta. Hal ini bisa membahayakan Sangaji.
Memperoleh pikiran demikian, segera dia berkata nyaring, "Ayah! Bagaimana Aji berani menghina murid-murid Karimun Jawa? Dia bisa merobohkan Abu karena secara kebetul-an belaka. Ayah tak percaya? Lihat!"
Setelah berkata demikian, gadis itu terus saja melompat menyerang Sangaji dengan ilmu ajaran ayahnya sambil berkata meng-gertak.
"Mari! Kita bertanding! Keluarkan ilmu sakti Paman Gagak Seta! Aku akan merobohkan kamu dengan ilmu sakti Karimun Jawa!"
Dengan sengaja Titisari menantang Sangaji. Ia tahu bahwa ilmu Sangaji telah maju berlipat ganda dengan sewaktu baru berkenalan dahulu di Cirebon. Tetapi ia percaya, masih bisa melayani dalam dua puluh gebrakan. Ia berharap, mudah-mudahan ayahnya puas.
Sangaji mengerti maksud Titisari. Melihat Adipati Surengpati diam mengamat-amati, maka segera ia membalas tantangan itu.
"Biasanya aku selalu kalah melawan kamu. Tetapi kalau kamu mengira, aku jera kepada gebukanmu kau berpikir berlebih-lebihan. Kali ini, kalau kau mampu menggebuk lagi, aku menyatakan takluk."
Setelah berkata demikian, terus ia meng-ayunkan tangan dan membalas serangan de-ngan suatu jurus ilmu sakti Kumayan Jati.
"Bagus!" Titisari tertawa merendahkan. Cepat ia berkisar dengan ilmu langkah Ka-rimun Jawa dan terus menyabetkan ta-ngannya. Itulah suatu jurus ajaran Adipati Surengpati yang terkenal dengan nama Angin Laut Menumbuk Karang.
Sangaji melawan ilmu sakti Karimun Jawa dengan ilmu sakti Kumayan Jati. Tetapi ia sayang kepada keselamatan Titisari. Itulah sebabnya, ia berkelahi dengan setengah hati. Sebaliknya Titisari berkelahi dengan sungguh-sungguh. Maklumlah, dia harus membuktikan keunggulan ilmu sakti Karimun Jawa yang se-sungguhnya bukanlah ilmu murahan. Kege-sitan dan tenaga dorongnya luar biasa. Siku jurusnya tajam dan bidang geraknya menem-pati kedudukan mata angin yang selalu ber-putar bagaikan gelombang laut. Maka bebera-pa kali, Sangaji kena terhajar. Celakanya, Titi-sari menghajar dengan sungguh-sungguh. Bahkan gadis itu menggunakan seluruh tena-ganya karena dia tahu tubuh Sangaji kuat.
"Kau masih tak menyerah kalah?" gertaknya sambil terus merangsak.
Sangaji tak menyahut. Dia bertahan sebisa-bisanya dengan jurus-jurus ilmu sakti Kumayan Jati. Mendadak saja, Adipati Surengpati yang tadi menonton dengan berdiam diri, melesat ke tengah gelanggang. Cara dia melesat begitu cepat, sampai luput dari pengamatan sekalian yang berada di sekitar gelanggang. Tahu-tahu kedua tangan Adipati Surengpati telah mencengkeram tengkuk Sangaji dan Titisari dengan berbareng. Titisari terus dilemparkan dengan tangan kiri asal terlempar saja. Sebaliknya dengan tangan kanan, Adipati Surengpati mengerahkan suatu himpunan tenaga tertentu. Kemudian menghentakkan pemuda itu ke udara melewati kepalanya. Ia bermaksud hendak merobohkan Sangaji dengan sekali hentakan. Dengan berjungkir-balik melewati kepalanya, masakan takkan roboh babak-belur?
Tetapi aneh! Sangaji yang telah mengan-tongi ilmu sakti Kumayan Jati bukanlah lagi merupakan seorang pemuda yang masih belum pandai beringus. Begitu ia kena dijungkir-balikkan di udara, terus saja kakinya turun terlebih dahulu. Dan menancap kokoh bagaikan batu karang.
Sebenarnya, apabila dia bisa bermain sandiwara, mestinya harus berpura-pura jatuh bergulingan serta membiarkan mukanya babak-belur. Tetapi memang dia seorang pemuda yang jujur dan tiada pandai berpura-pura. Dengan demikian Adipati Surengpati sekaligus bisa menilai ketang-guhannya. Lantas saja Adipati Surengpati jadi panas hati.
"Hai! Kau kira siapa aku, sampai kau berani mengelabui aku dengan permainan sandi-wara? Aku tak mempunyai murid lagi. Karena itu, kau hendak mencoba-coba ketangguhan ilmu ajaran Gagak Seta? Mari!" bentaknya bengis.
Sangaji terperanjat. Cepat-cepat ia mem-bungkuk sambil berkata takzim, "Meskipun aku seumpama berhati sebesar gunung, takkan berani mencoba-coba melawan kesak-tian Tuan."
"Hm... layanilah aku!" sahut Adipati Surengpati dengan tertawa dingin. "Seranglah aku dengan ilmu sakti Gagak Seta. Aku akan tetap berdiri di tempatku tanpa bergerak. Asal aku mengelak atau menangkis, hitunglah aku kalah melawan engkau..."
"Aku tak berani," kata Sangaji dengan sung-guh-sungguh.
"Meskipun tak berani, kau tetap wajib melayani aku."
SANGAJI jadi serba salah. Pikirnya, ayah Titisari ini begini keras hatinya. Wataknya mau menang sendiri. Nampaknya dia takkan melepaskan aku, sebelum aku melayani kehendaknya. Biarlah kulawannya. Rupanya dia hendak menghisap tenagaku, kemudian dilontarkan kembali. Dengan demikian aku akan roboh oleh tenaga lontaran kembali. Biarlah aku roboh beberapa kali. Apa artinya demi Titisari?"
"Mengapa melamun?" bentak Adipati Surengpati. "Seranglah aku! Kalau kau meno-lak, aku akan menghajarmu! Mengerti?"
Sebentar Sangaji terhenyak. Kemudian tim-bullah watak jantannya. Lantas menyahut, "Baiklah! Karena Tuan memberi perintah padaku agar melawan, terpaksa aku tak berani membantah. Setelah berkata demikian, cepat ia melingkarkan tangan. Itulah suatu jurus gempuran ilmu sakti Kumayan Jati yang pertama. Tetapi ia hanya menggunakan tenaga himpun enam bagian, karena khawatir akan melukai ayah Titisari. Kecuali itu andaikata tenaga lontarannya dikembalikan, robohnya takkan begitu keras, la menyerang ke arah dada Adipati Surengpati seperti batu berlumut. Gempuran itu lewat begitu saja seperti tergelincir.
"Hai, anak muda! Kau kira, aku ini siapa sampai engkau berani merendahkan diriku?" tegur Adipati Surengpati dengan mata berapi. "Apa engkau menggempur dengan tenaga setengah-setengah? Apakah kau kira aku takkan tahan menerima gempuranmu?"
Sangaji terkejut. Gugup ia menjawab, "Tak berani aku menggunakan semua tenagaku terhadap Tuan."
"Hm, dengan Adipati Surengpati, jangan engkau membiasakan diri bermain-main de-ngan seorang dari tingkatan tua."
Mendengar teguran itu, Sangaji jadi serba salah. Maka tanpa ragu-ragu kini dia menghimpun seluruh tenaga dengan tata-napas ilmu sakti Kumayan Jati. la berputar lantas melepaskan serangan. Tangan kirinya mengancam dengan dibarengi tangan kanannya menyerang perut.
"Bagus! Inilah baru pukulan yang berarti," puji Adipati Surengpati tersenyum.
Sangaji kaget bukan main. Serangan hebat tak kepalang. Meskipun belum sehebat Gagak Seta, tetapi rasanya bisa mematahkan dahan pohon gundul bayi. Tapi begitu serangannya tiba, mendadak saja ia kena sedot. Sedotan itu keras bukan main, sehingga lengannya terasa hampir terlepas dari pundak, la kesakitan, sampai tak terasa terloncatlah perkataannya, "Ampun atas kekurangajaranku ini..."
Tetapi tangannya tetap teringkus, sedang tenaganya lenyap entah ke mana perginya.
Wirapati dan Bagus Kempong heran menyaksikan peristiwa itu. Mereka kaget tatkala Sangaji melepaskan gempuran dah-syat. Kemudian heran dan berkhawatir menyaksikan lengan Sangaji tiba-tiba terkulai. Sedetik mereka berpikir, benar-benar hebat Adipati Surengpati. Tanpa berkelit atau menangkis, ia sanggup membuat lengan Sangaji mati kutu...
Terdengar Adipati Surengpati membentak, "Kau pun harus merasakan tanganku, agar kau lebih bisa menilai tinggi rendahnya ilmu Karimun Jawa. Nah, bagaimana menurut hematmu. Manakah yang lebih tinggi nilainya antara ilmu sakti Gagak Seta dan ilmu Karimun Jawa?"
Belum lagi Sangaji membuka mulut, sekonyong-konyong berdesirlah angin tajam. Sangaji memejamkan mata menahan sakit. Cepat-cepat ia menjejak tanah hendak menge-lak. Di luar dugaan, tinju Adipati Surengpati telah tiba dengan didahului mengait kaki. Tanpa ampun lagi, Sangaji roboh terguling. Titisari terperanjat, lantas memekik seru. "Ayah! Jangan sakiti dia!" Setelah berkata demikian, gadis itu langsung menubruk ke arah tubuh Sangaji dan mendekap di atasnya. Maksudnya hendak menghalang-halangi serangan balasan ayahnya.
Tetapi Adipati Surengpati menyerang. Melihat anaknya melindungi tubuh Sangaji, tinjunya diubah menjadi satu cengkeraman. Sebat luar biasa, ia mencengkeram kemeja Sangaji. Kemudian pemuda itu diangkat tinggi. Tangan kirinya terus membuat suatu lingkaran kecil hendak menusuk tulang rusuk. Melihat gerakan lingkaran tangan kiri itu,
Wirapati dan Bagus Kempong terkejut. Mereka tahu, bahwa gerakan itu adalah suatu serangan maut. Maka mereka maju dengan berbareng hendak menolong Sangaji. Wirapati berada di depan. Dengan sebat ia menyabetkan pedang dibarengi dengan pegasan pedang Bagus Kempong yang menyerang pula dari samping.
Adipati Surengpati ternyata tiada memedu-likan serangan pedang mereka berdua. Dengan tenang ia menyibakkan gadisnya. Tangan kirinya terus bergerak melingkar kalung. Tatkala kedua pedang murid Kyai Kasan Kesambi tiba mendadak saja patah menjadi empat potong. Peristiwa ini membuk-tikan, bahwa Adipati Surengpati sesungguh-nya kebal dari senjata tajam.
Titisari lantas saja menangis. Teriaknya, "Ayah, bunuhlah dia! Tetapi untuk selamanya, tak mau aku bertemu denganmu..." Setelah berkata demikian, tanpa menoleh lagi, ia terus melesat melarikan diri.
Melihat laku anaknya, Adipati Surengsari terkejut berbareng gusar, la kenal akan ke-kerasan hati anaknya yang tak beda dengan kekerasan hatinya. Sekali berkata dia melakukan tanpa pertimbangan lagi. Cepat ia mengurungkan niatnya hendak mendaratkan serangan maut terhadap Sangaji. Kemudian melesat hendak mengejar puterinya. Ternyata Titisari tiada lagi nampak batang hidungnya. Maka ia berdiri terhenyak di tepi lapangan de-ngan pandang terlongoh-longoh. Sejenak kemudian, barulah dia menoleh. Waktu itu, ia melihat Wirapati dan Bagus Kempong lagi menolong Sangaji berdiri. Ternyata lengan Sangaji nyaris patah, maka dengan gugup mereka berdua memijat-mijat melancarkan jalan darahnya dan lintang urat-uratnya. Melihat kesibukan mereka, mendadak saja timbulah amarah Adipati Surengpati. Ke-pergian Titisari lantas saja ditumpahkan kepada kedua murid Kyai Kasan Kesambi itu. Dengan sekali melesat ia menghampiri mereka berdua sambil berkata nyaring.
"Kamu berdua, lekaslah bunuh diri! Dengan begitu tak usah aku membinasakan kamu dengan tanganku sendiri. Kalau kamu meno-lak, aku bakal menyakitimu..."
Wirapati dan Bagus Kempong adalah murid Kyai Kasan Kesambi. Selama menjadi murid, mereka dididik memiliki budi-pekerti luhur. Keselamatan diri, diabaikan demi cita-cita membela keluhuran. Kalau tidak, masakan Wirapati sampai berani mengorbankan diri selama dua belas tahun semata-mata mem-bela nama perguruannya. Maka oleh ancaman
Adipati Surengpati, serentak timbulah watak kejantanan dan ksatriaannya. Mereka terus saja berdiri sejajar dengan pandang mata tak berkedip.
"Seorang laki-laki, berapa takut akan deri-ta," bentak Wirapati. "Cobalah!" Dan Bagus Kempong menyambung pula. "Kau bersakit hati, karena harga dirimu kena terhina bocah kemarin sore. Kini, engkau hendak meren-dahkan nama perguruan dan guru kami Kyai Kasan Kesambi, apakah itu suatu laku bijak-sana?"
Sangaji jadi tegang. Ia sadar bahwa mereka berdua takkan mampu melawan Adipati Surengpati. Sama sekali tak diinginkan, bahwa mereka berdua akan membuang nyawa dengan sia-sia semata-mata karena perkaranya. Maka lantas saja ia melompat menyanggah dan berdiri dengan gagah di depan mereka sambil berkata tegas kepada Adipati Surengpati.
"Abas Pringga Aguna, aku seorang diri yang membinasakan. Kesetiaannya tiada sangkut pautnya dengan guruku dan pamanku. Aku sendiri yang akan mengganti nyawanya." Ia tahu kalau watak gurunya adalah penuh keperwiraan. Maka ia menambah lagi, "Teta-pi... perkenankan aku memohon waktu. Aku datang ke mari hendak menuntut balas almarhum ayahku yang dibunuh orang dengan semena-mena. Berilah aku tempo satu bulan! Setelah itu, aku berjanji hendak menemui Tuan ke Karimun Jawa. Di sana aku menerima titah Tuan."
Kusut gelombang pikiran Adipati Sureng-pati. Karena terganggu ketentraman hatinya oleh kepergian gadisnya, ia terus saja mengumbar amarahnya. Teringat pula, bahwa gadisnya minggat lagi karena membela pemu-da itu, maka tanpa disadari gelombang marah-nya lantas jadi mereda. Tanpa melepaskan sepatah kata pun ia memutar tubuhnya dan terus menghilang mengejar gadisnya.
Wirapati dan Bagus Kempong heran, me-ngapa kata-kata Sangaji bisa menaklukkan pendekar sakti yang terkenal beradat kukuh dan keras hati itu. Mereka bercuriga. Pandangnya lantas saja ditebarkan. Siapa tahu, Adipati Surengpati lagi melakukan suatu jebakan. Tetapi ternyata pendekar sakti itu benar-benar meninggalkan gelanggang.
Mendadak saja, terdengarlah Pringgasakti tertawa mendongak ke angkasa. Semua ber-putar mengarah kepadanya. Iblis itu menjejak tanah dan kemudian terus berjumpalitan di udara. Setelah mendarat, ia lenyap pula di balik belukar. Kini tinggal para pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Sanjaya terus berteriak keras, "Guru! Bawalah aku!" Tetapi iblis Pringgasakti tiada menghiraukan muridnya itu lagi. Sekitar lapangan seolah-olah jadi hening tiada suara. Teranglah sudah, bahwa iblis yang pernah menggemparkan sejarah lebih dari setengah abad lamanya itu, kini benar-benar jadi bangkrut. Setengah abad yang lalu, dia pernah bertanding melawan Kyai Kasan Kesambi selama tujuh hari tujuh malam. Taraf kesaktian Kyai Kasan Kesambi belum mencapai tingkatan sekarang, tetapi peristiwa itu benar-benar menggemparkan sejarah. Mendadak pada hari itu dia rontok berantakan oleh cucu murid Kyai Kasan Kesambi. Inilah suatu peristiwa aib yang men-coreng mukanya sangat mendalam. Karena itu, bagaimana dia bisa menanggung malu demikian besar. Maka dia menghilang dengan begitu saja, tanpa memedulikan seruan muridnya.
Bende Mataram - JILID 7. SUATU PERTEMPURAN TAK TERDUGA WIRAPATI girang bukan main. Sangaji telah cfiketemukan. Kini tinggal menunggu Jaga Saradenta pulang dari penyelidikan ke luar kota. Seminggu sekali Jaga Saradenta datang ke pondokan dan membawa berita. Adakalanya sampai satu bulan. Dia pasti girang, kata Wirapati dalam hati, nanti malam biar kuajaknya mulai bekerja. Mudah-mudahan dia datang. Sekiranya tidak, biarlah kumulai dahulu. Waktu berarti pedang. Satu hari lengah berarti terkikisnya waktu yang dijanjikan. Hm—tinggal empat tahun. Kalau Sangaji mempunyai bakat, agaknya masih ada waktu. Mendadak saja timbullah suatu pikiran lain. Eh, sekiranya Sangaji nanti malam tak datang apa yang akan kulakukan? Bukankah hati kanak-kanak seringkali berubah? Celaka—aku belum tahu rumahnya. Memikir demikian, cepat ia kembali ke lapangan. Sangaji baru saja melangkahkan kaki meninggalkan lapangan. Ia girang. Mau dia percaya, kalau selama itu Sangaji masih tertegun-tegun memikirkan kehebatannya y...
Komentar