BENDE MATARAM 9. ORANG BERKEPALA GEDE.
MALAM itu jadi Sangaji berpesta. Tak kuasa ia ingin membanggakan pengalamannya pergi berburu dengan keluarga Kapten de Hoop di hadapan gurunya yang sedang kecewa. Ketika pulang ke rumah, masakanpun belum siap. Baru keesokan harinya daging rusa telah tersulap menjadi beberapa macam masakan yang sedap menusuk hidung.
Namun Sangaji kehilangan nafsu makan. Ia duduk berjuntai di atas kursi. Pandangannya berkelana di kejauhan. Rukmini heran menyaksikan perangai anaknya. Sebagai seorang ibu tahulah ia kalau anaknya sedang berduka. Pikirannya menduga-duga, semalam ia kelihatan gembira kenapa sekarang berubah dengan tiba-tiba?”
Didekati anaknya dan ia berkata sayang, “Mana gurumu? Apakah mereka tak datang hari ini?”
Dengan pendek Sangaji menjawab, “Guru sedang sibuk benar.”
Sehabis berkata demikian, Sangaji meninggalkan rumah. Ia menuju ke tepi pantai dan mulai berlatih dengan sungguh-sungguh. Matahari yang merangkak-rangkak tak peduli dari timur ke barat tak diindahkan. Ia seperti kemasukan setan. Tenaganya penuh dan terus berputar-putar tiada mengenal hari sampai terde-ngar suara menegor, “Sejam lagi napasmu bisa putus.”
Sangaji mengenal suara siapa itu. Ia menoleh dan gurunya berdiri berseri-seri tak jauh dari tem-patnya. Segera ia menghampiri dan membungkuk memberi hormat.
“Eh, Sangaji! Mengapa semalam tak bilang, kalau kamu mau mengundang kami berpesta?” kata Jaga Saradenta dengan wajah berseri-seri. “Ibumu sampai memerlukan datang ke pondok sendiri.”
Sangaji heran bercampur girang mendengar kata-kata gurunya. Cepat ia menghaturkan maaf dan berkata kalau ia tak berani mengundang berpesta karena mereka sedang sibuk.
“Ayo pulang!” ajak Wirapati kemudian. Dan mereka bertiga lalu pulang bersama. Di rumah Rukmini menjemput mereka dengan gembira. Pesta daging rusa akhirnya dapat juga diselenggarakan dengan bernapas kegirangan dan keriangan.
“Mulai besok kamu akan benar-benar sibuk,” kata Jaga Saradenta. “Kami berdua telah menyusun rencana pelajaran. Barangkali terlalu berat untukmu.”
“Bagaimana beratnya aku akan mencoba,” sahut Sangaji girang.
Dan sesungguhnya apa yang dikatakan Jaga Sarandeta benar belaka. Pelajaran gerak badan dan ilmu-ilmu yang diturunkan semenjak itu bukan main sulitnya. Semuanya jauh berbeda dengan apa yang pernah dipelajari dua tahun yang lalu. Kali ini benar-benar meminta tenaga dan kesungguhan. Tubuhnya cepat letih dan bergemetaran. Namun ia tak berani mengeluh di depan kedua gurunya yang bersikap garang dan memaksa, la mencoba dan akhirnya hampir kehilangan napas. Mendadak terdengarlah suara riang menusuk telinganya,
“Sangaji! Kau disiksa guru-gurumu lagi?”
Sangaji terkejut dan cemas. Yang datang ialah si Sonny. Gadis itu tak tahu, kalau kedua gurunya kini bersikap garang. Karena cemas ia sampai menggigit bibirnya. Lalu menyahut setengah memohon, “Sonny! Biarkan aku di sini dulu. Nanti aku bertandang ke rumahmu.”
“Ayah memanggilmu,” sahut Sonny tak per-duli.
'Ya—bilanglah, aku lagi sibuk. Sebentar lagi aku datang.”
“Mengapa begitu? Tidak senang ya aku datang menjengukmu berlatih?”
“Sonny! Benar-benar aku sedang sibuk.”
Sonny mencibirkan bibirnya. Ia kemudian duduk di atas tanah.
“Aku akan menunggu kamu di sini sampai latihanmu selesai.”
Benar-benar hati Sangaji risau diperlakukan demikian oleh Sonny. Sonny seorang gadis Indo yang polos dan bebas. Sedang kedua gurunya memegang teguh tata-susila ketimuran. Ketika ia melihat hadirnya si gadis, mereka nampak kurang senang. Segera mereka memanggil Sangaji dan diajaknya pergi menjauhi. Di sana mereka mencoba memberi latihan-latihan baru.
Tetapi bagaimana mereka bisa memasukkan semua ajarannya dalam waktu singkat. Selain ajaran-ajarannya sangat sulit tenaga Sangaji kian lama kian menipis. Akhirnya mereka mengeluh dan meninggalkan lapangan latihan dengan mas-gul.
Menyaksikan perangai kedua guru Sangaji, Sonny nampak geli. la tertawa panjang dan matanya bersinar-sinar. Katanya, “Kamu disesali gurumu? Aku senang melihatmu kena dampratan.”
Sangaji sedih bukan kepalang. Dengan napas tersengal-sengal ia menyahut, “Sonny! Mengapa kamu menggangguku sedang berlatih. Waktuku tinggal sedikit.”
“Kamu mau ke mana, sih? Apa perlu kamu begitu tekun berlatih berkelahi? Apa mau jadi seorang jagoan?”
Dihujani pertanyaan demikian hati Sangaji jadi kalang-kabut. Ia berputar mengungkurkan sambil membentak, “Sonny! Mulai hari ini maukah kamu menjauhi diriku?”
Sonny terperanjat dibentak demikian. Belum pernah sekali juga Sangaji berbicara sekeras itu.
“Apakah aku mengganggumu? Aku datang ke mari semata-mata untuk kepentinganmu. Ayah memanggilmu. Apa aku salah menyampaikan kabar ini?”
Sangaji terhenyak mendengar ujar Sonny yang kekanak-kanakan. Terpaksa ia menyabarkan diri sambil menelan ludah. Tatkala hendak membuka mulut, Sonny mendahului, “Baiklah, kalau kamu tak suka berkawan denganku, mulai hari ini aku takkan menghampiri dirimu lagi.”
Sangaji terperanjat, la tahu watak Sonny polos. Apa yang dikatakan membersit dari hati nuraninya. Karena itu, buru-buru ia menghampiri sambil berkata menyanggah, “Sonny! Janganlah kamu salah paham. Dengarkan, aku berbicara.”
Ia kemudian membujuk agar Sonny mengerti masalahnya. Tetapi tentang masa pertandingan dua tahun yang akan datang tak diterangkan.
Sonny dengan cepat dapat menerima semua penjelasan Sangaji. Ia kemudian berjanji tidak akan datang mengganggu lagi. Tetapi hari itu Sangaji harus ikut menghadap ayahnya.
Di rumah Sonny ternyata banyak juga kawan-kawan Sonny yang datang. Hari itu hari ulang tahun Sonny yang ke-18. Ayahnya memberi hadiah bermacam-macam benda kesayangan. Sonny mengucapkan terima kasih.
“Ayah, pada hari ulang tahun ini bolehkah aku mengatakan suatu permohonan?”
“Tentu, tentu!” sahut ayahnya cepat.
“Pertama-tama, maukah Ayah membentuk regu pemburu. Kedua, aku minta hadiah sepucuk senapan berburu. Dan senapan itu akan kuhadiahkan kepada kawanku Sangaji. Ternyata dia pandai menembak dengan tidak ada celanya.”
Permohonan Sonny ini disambut dengan tepuk tangan riuh oleh kawan-kawannya. Ternyata ayahnya mengabulkan permintaannya dan mengangkat Sangaji menjadi salah seorang anggota regu pemburu. Sangaji merah padam karena segan dan malu. Tetapi Sonny sebaliknya bergembira. Ia datang menghampiri dan membawanya berdiri di depan kawan-kawannya. Kemudian dia mengajak kawan-kawannya bernyanyi sebagai lagu kehormatan pelantikan itu.
Mau tak mau Sangaji harus membagi waktunya. Latihan-latihan gurunya yang makin lama makin berat tak dapat ditekuni secara penuh, karena pada setiap hari Minggu wajib ia berangkat berburu bersama keluarga Kapten de Hoop.
Waktu itu bulan pertama tahun 1803. Satu tahun lagi hari pertandingan bakal tiba. Meskipun Sangaji lebih maju daripada tahun yang lampau, tetapi kemajuannya terasa lambat. Pada suatu hari ia berada lagi dalam hutan perburuan. Semalam dia baru menerima jurus ke-36 dari Wirapati. Jurus itu indah, tetapi sulit luar biasa. Gntuk dapat menirukan gayanya saja dia harus sanggup berlaku sebat dan gesit. Ia selalu merasa gagal, karena itu, hari-hari perburuan yang biasanya bisa membangkitkan suatu kegembiraan terasa menjadi tawar.
Ia kemudian menyisihkan diri dari mereka. Dengan membawa senapannya ia berdiri di tepi jurang. Kemudian mulailah dia berlatih jurus ke-
36. Ia gagal lagi dan gagal lagi. Sekonyong-konyong terdengarlah suara dingin di belakangnya.
“Seratus tahun lagi masa kamu tidak berhasil.”
Sangaji menoleh. Ia melihat seorang laki-laki bertubuh kekar. Kulitnya hitam legam. Rambutnya terurai panjang. Kepalanya gede. Matanya tajam dan mulutnya berbibir tebal.
“Apa katamu?” kata Sangaji heran.
Laki-laki itu tersenyum. Tak lagi ia mengulangi ujarnya. Sekonyong-konyong menubruk dengan suatu kehebatan mengagumkan. Tahu-tahu tubuh Sangaji menjadi kaku dan tak bergerak lagi.
Sangaji pernah melihat kegesitan Wirapati empat tahun yang lalu. Sebenarnya tak perlu ia kagum pada kegesitan laki-laki itu. Tetapi yang diherankan ialah, gerakan laki-laki itu adalah jurusnya ke-36. Jurus itu dapat dilakukan dengan gampang dan sempurna.
“Nah, lihat! Apa susahnya?” katanya sambil tersenyum. Kemudian ia bergerak lagi membebaskan rasa kaku Sangaji. Setelah itu menyambar batang pohon dan memanjat dengan cepat seperti seekor kera. Berpindah-pindah dari dahan ke dahan dan melompat-lompat tanpa menerbitkan suatu suara.
Ketika itu Sonny tiba-tiba muncul pula tak jauh daripadanya. Gadis itu ternganga-nganga me-nyaksikan kehebatan laki-laki itu. Dengan menahan napas tubuhnya tak bergerak. Mendadak saja laki-laki berkepala gede itu melayang mau menubruk si gadis.
Sangaji terperanjat. Cepat ia melompat menghadang di depan Sonny dan siap melontarkan serangan maut yang dipersiagakan Wirapati untuk menghadapi serangan Pringgasakti. Tetapi ternyata laki-laki berkepala gede itu tak meneruskan menubruk. Ia melesat dan melompati jurang pulang balik.
Sonny memejamkan mata. Tak tahan ia menyaksikan laki-laki itu melompati jurang. Sebab jika tak berhasil, tubuhnya pasti akan jatuh hancur luluh di bawah sana.
“Bagaimana? Apakah dia ...” tanyanya perlahan.
“Lihat! ia meloncat-loncat begitu gampang,” sahut Sangaji.
Mendengar keterangan Sangaji, Sonny membuka matanya. Justru pada waktu itu ia melihat tubuh laki-laki berkepala gede seolah-olah terpeleset dari tebing jurang dan tubuhnya terpelanting jatuh ke bawah.
Sonny memekik. Sekonyong-konyong terasalah kesiur angin. Tahu-tahu laki-laki berkepala gede itu telah berada di hadapannya, la tertawa lebar sambil berkata, “Kamu mestinya harus bisa bergerak begini wajar.”
Waktu itu di atasnya bergerak sepasang lutung kira-kira berumur satu tahun. Laki-laki gede itu lantas saja melesat menangkap kedua lutung tersebut. Dengan tertawa ia menyerahkan kedua lutung itu kepada Sonny dan Sangaji.
“Inilah buah tanganku. Masing-masing seekor. Peliharalah dengan baik-baik. Di kemudian hari akan banyak manfaatnya.”
Sonny kegirangan. Segera ia mau menerimanya, tapi laki-laki berkepala gede itu berkata lagi, “Kalian harus berjanji dulu. Kalian kularang mengabarkan kepada siapa pun juga tentang diriku. Kalian kularang juga menceritakan perwujudanku. Kalian berjanji?”
Sonny berwatak polos. Lantas saja dia me-manggut. Sedang Sangaji sibuk menebak-nebak siapakah laki-laki itu.
Sonny kemudian menerima kedua ekor lutung itu dan dibawa lari menjauh, la bermaksud hendak kembali dulu ke perkemahan. Sangaji mengawaskan dengan mulut ternganga-nganga, kemudian diam-diam memuji ketangkasan laki-laki berkepala gede.
Laki-laki berkepala gede mengawaskan dirinya, lalu bergerak hendak meninggalkan. Sangaji buru-buru menyanggah.
“Aki...! Janganlah pergi dahulu!”
Laki-laki itu memang pantas dipanggil aki, karena umurnya tak terpaut jauh dari Jaga Saradenta. Ia bergerak dan menghadap padanya.
“Mengapa?”
Sangaji menggaruk-garuk kepala. Sulit ia hendak mulai berbicara. Tapi hanya sejenak. Sekonyong-konyong ia membungkuk dan menangis terisak.
Laki-laki berkepala gede itu keheran-heranan. Tak dapat ia menebak maksud si bocah. Segera ia membangunkan.
“Kenapa kamu menangis?”
“Aki! Aku seorang anak bebal. Sudah kucoba jurus-jurus ini. Selalu saja aku gagal. Benar dugaan Aki, mungkin seratus tahun lagi aku belum berhasil.” Jawab Sangaji sambil berisak sedih.
“Ah! Itu yang kamu risaukan?” Sahut laki-laki berkepala gede. “Akupun akan mengalami nasib sepertimu juga kalau hanya berlatih secara wa-jan”
“Apakah gerakan-gerakan Aki yang begitu gesit tidak wajar?” Sangaji heran sambil membersihkan air matanya.
“Justru itulah gerak-gerakan wajar. Menurut perasaanku aku bergerak secara wajar sekali.
Napasku tak usah memburu. Tak perlu pula aku mengeluarkan tenaga.” Keterangan laki-laki berkepala gede itu mengherankan Sangaji sampai mulutmya ternganga. Katanya meninggi, “Bagaimana mungkin tak mengeluarkan tenaga?”
“Benar tak mengeluarkan tenaga. Aku tidak bohong.”
“Bukan aku tak percaya kepada keterangan Aki, tapi... aku sudah lama menyusahkan kedua guruku. Ingin aku menyenangkan hati beliau berdua. Siang dan malam aku berlatih., tapi selalu saja aku...”
“Apa kamu ingin saranku?” potong laki-laki berkepala gede.
“Benar,” sahut Sangaji bersemangat sambil memanggut-manggut.
Laki-laki berkepala gede itu tersenyum lebar. “Kulihat kamu jujur dan benar-benar berlatih, hanya saja belum menemukan suatu kemukji-jatan. Begini saja, tiga hari lagi aku ada di tepi pantai. Aku akan membawa sebuah sampan. Datanglah pada tengah malam. Aku akan membawamu pergi.”
“Aku mau dibawa ke mana?” Sangaji bertanya tinggi.
“Itupun kalau kamu berhasil melompat dari pantai ke dalam sampanku. Kalau tidak, jangan lagi berharap berjumpa denganku,” kata laki-laki berkepala gede mengesankan. Setelah itu ia melesat meloncati jurang dan lenyap di tebing sana.
Sangaji kebingungan diperlakukan demikian. Teringatlah dia akan perlakuan Wirapati empat tahun yang lalu setelah memperlihatkan kepandaiannya. Akhirnya ia merasa diri yang tolol. Katanya menyesali diri sendiri, Guru tak berada di sebelah bawah laki-laki itu. Diapun mengajarku dengan sungguh-sungguh. Ah, dasar aku yang tolol dan tak berguna...
Kemudian dia berlatih dengan bernafsu. Tapi jurus ke-36 tetap belum dapat dikuasai. Intisarinya belum tersentuh dan ia merasa gagal untuk kesekian kalinya. Dengan putus asa ia duduk berdiam diri di bawah pohon sampai Sonny datang menjenguknya.
Tiga hari kemudian Sangaji menerima ajaran jurus ke-14 dari Jaga Saradenta. Jurus itu kuat luar biasa dan sebentar saja menghabiskan tenaga. Baru saja berlatih empat lima kali napasnya sudah naik sampai ke leher, la makin sedih. Sekaligus ia merasa tak sanggup melakukan jurus ke-36 dan jurus ke-14 ajaran kedua gurunya.
“Sangaji! Jurus yang ingin kuwariskan kepadamu berjumlah 98,” kata Jaga Saradenta sungguh-sungguh. “Supaya dapat mengejar waktu kamu harus sudah dapat menguasai dua jurus untuk setiap minggunya.”
Mendengar keterangan Jaga Saradenta ia ter-longong-longong. Sembilan puluh delapan jurus! Banyak sekali! Baru jurus ke-14 napasnya sudah sesak dan merasa tak sanggup maju lagi. Belum lagi ditambah ilmu ajaran Wirapati yang berjumlah 165 jurus.
Karena hatinya tertekan-tekan, akhirnya teringatlah dia kepada pesan laki-laki berkepala gede. Ia menaruh harapan baru. Pada tengah malam berangkatlah dia seorang diri ke tepi pantai.
Waktu itu bulan gede. Laut sedang bergelombang besar. Di jauh sana nampaklah pelita perahu-perahu nelayan berkedipan. Di tepi pantai sunyi senyap. Hanya terdengar ombak berdebur tiada hentinya.
Sangaji terus mengawaskan tengah laut sambil berjalan menyusur pantai, la tak melihat sesuatu yang bergerak. Apakah dia tak datang, pikirnya. Di jauh sana dilihatnya segunduk batu karang. Sangaji mengira, laki-laki berkepala gede berada di balik batu karang. Maka bergegas ia menuju ke tempat itu. Tetapi sesampainya di atas gundukan karang suasananya sunyi sepi menyayat hati.
Ia berdiri tegak memutar penglihatan. Angin malam kian lama kian keras dan dingin menusuk tubuh. Mendadak dilihatnya suatu benda hitam mengambang di atas permukaan air. Benda itu laju sangat cepat dan melawan ayunan gelombang begitu angker. Kemudian terdengarlah suara nyaring luar biasa.
“Bocah! Itu kamu?”
Sangaji girang bukan kepalang sampai melompat-lompat kecil.
“Ya,” sahutnya. Tapi suaranya hilang ditelan deru ombak dan gelora angin. Sekarang ia baru merasa kagum dan tahluk kepada tenaga laki-laki berkepala gede yang suaranya saja dapat melawan deru ombak dan gelora angin.
Tapi laki-laki berkepala gede itu tajam pendengarannya. Meskipun suara Sangaji sangat lemah, pendengarannya dapat menangkap dengan jelas.
“Melompatlah!” Teriaknya dengan suara nyaring.
Sampannya ternyata berada dalam jarak dua puluh langkah dari gundukan batu karang. Sangaji berbimbang-bimbang. Pikirnya, bagaimana aku bisa mencapai sampan?
Tapi ia ingat pada pesan laki-laki berkepala gede itu. Jika tidak bisa mencapai sampannya, tidak ada harapan bisa berjumpa dengannya kembali. Padahal dia menaruh harapan kepadanya. Kalau kali ini gagal, semua ajaran kedua gurunya tidak ada gunanya lagi ditekuni. Walaupun ia mengerahkan tenaga akan sia-sia belaka.
Memikir demikian timbullah kenekatannya. Pikirnya, lebih baik mati daripada menanggung kegagalan. Ia seorang anak yang berhati kukuh. Dulu dia berani mengadu nyawa ketika memutuskan untuk melindungi Willem Erbefeld semata-mata karena telah terdesak. Kini ia menghadapi persoalan yang bernada sama pula. Maka segera ia mundur beberapa langkah. Kemudian menjejak tanah dan melompati laut yang sedang bergelombang besar sambil memejamkan mata.
Tetapi bagaimana dia sanggup melompat sejauh dua puluh langkah, apalagi harus melawan deru angin yang sedang laju menusuk pedalaman? Ternyata dia hanya dapat melompat kurang lebih sebelas langkah saja. Tubuhnya lantas saja melayang ke bawah. Sekonyong-konyong ia merasa disambar suatu tenaga dahsyat. Kemudian ditolak tinggi dan jatuh jungkir balik tepat di atas sampan. Sampan bergonyang-goyang. Tatkala ia membuka mata, laki-laki berkepala gede nampak berdiri bergoyangan di sampingnya.
“Terima kasih,” bisik Sangaji. Ia tahu, kalau laki-laki berkepala gede menolong dirinya.
“Bocah, kamu sungguh-sungguh bersemangat jantan,” kata laki-laki berkepala gede itu. “Mulai sekarang panggillah aku Ki Tunjungbiru.”
“Itulah nama Aki?”
“Sebenarnya itulah nama julukanku. Tapi biarlah kamu memanggilku begitu juga. Apa rugiku? Sekarang, ayo kita pergi.”
Perahu kemudian dikayuh melawan gelombang pasang. Tenaga Ki Tunjungbiru kuat luar biasa. Perahu seperti laju di atas permukaan telaga yang tiada gelombang.
“Kamu tahu ke mana kita mau pergi?” tanya Ki Tunjungbiru tiba-tiba.
Bagaimana Sangaji dapat menebak teka-teki itu. Selama hidupnya baru malam itu ia berpesiar di atas laut. Kalau saja tidak mabuk laut sudah untung baginya.
Ki Tunjungbiru tertawa dengan kepala mendongak. “Jauh di sana ada sebuah pulau yang berada di antara gugusan pulau-pulau. Pulau itu bernama Edam. Ha—kita ke sana. Kau nanti bakal melihat dan merasakan bagaimana mulai malam ini kamu akan menjadi manusia baru.”
Sangaji terlongong-longong keheranan. Benaknya mulai menduga-duga siapakah Ki Tunjungbiru sebenarnya. Ia hanya melihat perawakan tubuhnya yang menyolok dibandingkan dengan manusia-manusia yang pernah dijumpainya. Gerak-geriknya diliputi penuh rahasia. Apakah dia manusia buruk atau berbudi, tak dapat ia memperoleh pegangan. Hanya selama dia berkenalan, ia selalu menunjukkan sikap yang baik. Pertama-tama, dia ditunjukkan kelemahannya. Kedua, diberi hadiah seekor lutung. Ketiga, menolong dirinya di atas permukaan laut.
“Siapakah namamu?” tiba-tiba dia bertanya.
“Sangaji.”
“Bagus!” orang itu gembira. “Kulihat kamu memiliki dua macam kepandaian yang mempunyai sumber berbeda. Pastilah gurumu dua orang.”
Sangaji mengangguk.
“Kedua gurumu bukan orang-orang lemah. Aku tahu dengan pasti. Karena itu, aku tak sudi kau angkat menjadi gurumu. Lagi pula andaikata aku mengambilmu sebagai murid, pastilah akan menyinggung kehormatan gurumu.”
“Tetapi, bukankah Aki akan memberi ajaran kepadaku?”
'Tidak! Sama sekali tidak! Aku hanya memberi petunjuk-petunjuk belaka.”
Kembali lagi Sangaji menebak-nebak maksud Ki Tunjungbiru yang penuh teka-teki. Tetapi tetap ia merasa seperti diselubungi kabut tebal. Akhirnya ia menyerah. Pikirnya, baik kulihat apa yang akan dilakukan padaku.
“Pernahkah kamu mendengar penjelasan tentang suatu kemukjizatan?” ujar Ki Tunjungbiru.
“Kemukjizatan apa itu?” sahut Sangaji tak mengerti.
“Bahwa ada kecenderungan untuk menambah tenaga dan kegesitan tubuh dengan pertolongan khasiat sesuatu dari luar?”
Sangaji mengernyitkan dahi. Sibuk ia menebak teka-teki itu. Tetapi ia tak mengerti.
“Aki! Berkatalah yang jelas. Otakku terlalu bebal untuk dapat menebak-nebak hal-hal yang masih asing bagiku.” Jawab Sangaji tak mengerti.
“Otakmu tidak bebal. Hanya hatimu jujur dan bersih. Itulah yang menyebabkan kamu berpikir terlalu sederhana,” kata Ki Tunjungbiru. “Dengarkanlah! Di kolong langit ada suatu ajaran-ajaran ilmu yang dianggap sesat oleh mereka yang menekuni ilmu-ilmu sejati. Kamu seorang murid dari aliran sejati. Meskipun tak boleh kamu mempelajari ilmu sesat, setidaknya harus mengenal jenisnya. Umpamanya ada suatu ilmu sesat untuk menambah tenaga jasmani dengan menghisap darah seorang gadis atau memperkosanya sekali. Ada pula...”
Sangaji terperanjat mendengar ujar Ki Tunjungbiru. Sekelebatan teringatlah dia kepada tutur kata kedua gurunya, kalau mereka mempunyai seorang musuh sakti yang seringkali menghisap darah seorang gadis untuk menambah tenaga jasmaninya. Teringatlah kepada tutur kata kedua gurunya, meremanglah sekujur badannya. Dengan pandang curiga ia mengawaskan tubuh Ki Tunjungbiru. Apa dia Pringgasakti, pikirnya.
Ki Tunjungbiru rupanya dapat menduga gejolak hati Sangaji.
Dia tertawa berkakakkan sambil berkata, “Aha... aku tahu apa yang kaupikirkan. Pastilah kamu mengira aku mau mengajarimu menghisap darah seorang gadis. Dalam hal ini lapangkan dadamu. Tidak ada niatku untuk mengajarimu ilmu sesat. Maksudku tadi hanya ingin menceritakan kepadamu tentang salah satu macam ilmu sesat yang pernah didengar orang. Memang kamu mau kuajar menghisap sesuatu agar tubuhmu menjadi kuat perkasa tiada tara.”
“Menghisap apa?” Sangaji cemas.
Melihat Sangaji cemas, Ki Tunjungbiru senang bukan main. Ia tertawa riuh sampai tubuhnya ter-guncang-guncang.
“Kau nanti akan melihat. Dan aku akan memaksamu. Dan kamu takkan bisa melawan.”
Sangaji jadi ketakutan. Diam-diam ia menyelidiki alam sekitarnya. Seberang menyeberang adalah air belaka. Tak dapat ia membebaskan diri dengan menceburkan diri ke laut. Karena itu, mau tak mau ia harus menyabarkan diri.
“Aki! Apa aku harus menghisap... menghisap ...” katanya terbata-bata.
Ki Tunjungbiru memotong kata-katanya dengan tertawa meriuh lagi. Menyahut cepat, “Jangan kaucemas, bocah. Meskipun kamu harus menghisap sesuatu, tetapi perbuatan itu bukan sesat. Percayalah! Kedua gurumupun takkan tahu darimana kamu tiba-tiba mendapat kemajuan mulai besok.”
Beberapa saat kemudian perahu minggir ke pantai. Itulah pantai Pulau Edam yang gelap-guli-ta penuh pohon-pohon liar. Sangaji bergidik bulu kuduknya mengingat kata-kata Ki Tunjungbiru. Di pulau ini ia akan dipaksa menghisap sesuatu, dan ia takkan kuasa melawan.
la dibawa mendaki sebuah bukit batu yang penuh semak-belukar. Suasananya sunyi menyeramkan. Margasatwa terdengar bergemerisik di antara semak-semak belukar dan batu-batu yang mencongakkan diri dari tanah berpasir. Kadang-kadang terdengar suara berdesis penuh rahasia. Dalam gelap malam Sangaji dapat menduga, itulah binatang-binatang berbisa yang lari menyibak karena terkejut
“Bocah! Lihatlah di depanmu!” sekonyong-konyong Ki Tunjungbiru berkata.
Sangaji menajamkan pandangannya. Di depannya berdiri sebatang pohon raksasa yang berdaun sangat rimbun. Angin laut yang menusuk dari arah utara menggoyang-goyangkan mahkota daunnya. Suaranya bergemeresak dan berdesahan seperti dengkur seseorang yang tidur lelap.
“Kau tahu pohon apa itu?” tanya Ki Tunjungbiru.
Sangaji mencoba menebak. Tapi malam terlalu gelap, bagaimana ia dapat mengenal jenisnya. Meskipun demikian ia mencoba. “Kelihatannya seperti sebuah pohon beringin. Itu akar-akarnya yang panjang.”
Ki Tunjungbiru tertawa melalui hidungnya.
“Kamu hampir benar, tetapi sama sekali salah. Di siang hari bolongpun kamu takkan dapat me-jiebak. Memang batangnya mirip pohon beringin. Akarnya panjang dan bergantungan begitu penuh. Tetapi daunnya lebar seperti daun kam-boja. Dahan dan rantingnya penuh duri dan berwarna hijau mengilap.”
“Ah!” Sangaji heran.
“Namanya pohon Dewadaru. Pohon itu jarang ada di kolong dunia. Belum tentu kamu mene-mukan di seluruh Pulau Jawa. Pohon itu sakti. Di malam hari dia tidur dan berdengkur seperti manusia. Tapi pada siang hari dia sangat berbahaya.”
“Apa bahayanya?”
Ki Tunjungbiru tidak menjawab. Ia hanya tertawa perlahan seperti lagi mengendapkan ingatannya yang buruk.
“Kamu mengharapkan petunjukku, bukan?”
Sangaji mengangguk tak mengerti.
“Dengarkan, aku bercerita.” Ki Tunjungbiru mengesankan. “Dulu aku bertubuh lemah. Jauh lebih lemah daripadamu. Ayahku seorang nelayan, dan aku membantu mencari penghidupan. Pada suatu malam perahu kami terdampar di pulau ini. Waktu itu hari sangatlah panas. Kami berdua berada di atas bukit karang ini menunggu siang hari. Perutku sangat lapar dan rasa hausku bukan main. Pada waktu matahari sepenggalan tingginya, kami tertarik kepada pohon yang sangat indah itu. Dia menyebarkan bau harum dan berkesan rindang. Karena kami tak tahan terik matahari, kami hampiri pohon itu. Kami berte-duh. Untuk iseng, aku mencongkeli batangnya. Kuhisap getahnya untuk penawar haus. Kemudian... terjadilah suatu peristiwa yang...” Ki Tunjungbiru tiba-tiba diam tak meneruskan. Ia menghela napas dalam. Kepalanya menunduk. Kemudian terpekur sekian lamanya.
□mur Sangaji bani menginjak 17 tahun. Meskipun demikian sudah banyak ia mendapat pengalaman dari pergaulan. Tahulah dia, kalau Ki Tunjungbiru sedang berduka. Karena itu tak berani dia mendesak, takut menyinggung perasaannya.
Sejenak kemudian Ki Tunjungbiru mulai berkata lagi. Tetapi tak menyinggung tentang suatu peristiwa yang akan disampaikan. Katanya mengalihkan pembicaraan, “Di luar dugaanku tubuhku menjadi kuat. Semua binatang-binatang berbisa tak berani menyinggungku. Mereka tunduk dan tidak berani membantah kemauanku. Itulah sebabnya dulu aku dapat menangkap dua ekor lutung begitu mudah. Dan sekarang hai bocah, kalau kamu ingin memiliki tubuh seperkasa pohon itu, hisaplah getahnya. Aku akan menetak batangnya sebelah bawah dengan pedang dan cepat-cepatlah kau menghisap getahnya. Jangan lalai dan lengah!”
“Malam begini gelap, bagaimana aku bisa melihat getahnya?” tanya Sangaji.
“Rabalah bekas tetakanku,” sahut Ki Tunjungbiru cepat. Sekonyong-konyong suaranya menyeramkan. “Pohon itu akan terbangun. Akar-akarnya akan bergerak. Dia akan mengeluarkan suara bergelora dan berkerinyutan bagaikan kera raksasa. Tapi jangan pedulikan!
Terus hisap dan hisap! Dan jaga pulalah dirimu agar terus mendekam serendah tanah.” “Mengapa begitu?”
“Sekarang tidak ada waktu untuk menerangkan sebabnya. Kau ingin mendapatkan petunjukku atau tidak? Katakan sekarang!”
Sebenarnya Sangaji masih ragu. la belum mendapat suatu penjelasan yang cukup kuat. Kesan cerita Ki Tunjungbiru masih begitu diliputi kabut rahasia. Tetapi ia sudah berada di tengah pulau. Dan ia sadar pula, kalau satu-satunya harapan agar dapat menyenangkan kedua gurunya, dipertaruhkan belaka kepadanya. Berpikir demikian ia lantas mengangguk.
“Bagus! Karena kamu menghendaki petunjukku, ingat-ingatlah semua pesanku tadi. Kamu wajib mendengar semua perintahku. Kamu mengerti?”
“Mengerti,” jawab Sangaji dengan kepala kosong.
“Sementara kamu menghisap getahnya, aku akan berjaga di luar bayangan rimbun pohon. Jangan sekali-kali kamu berhenti menghisap sebelum aku membawamu pergi. Dan jaga jangan sampai tertidur!”
“Tertidur? Masakan sedang menghisap bisa tertidur?”
Ki Tunjungbiru tidak menjawab. Dia hanya tertawa lebar. Kemudian mencoba menerangkan, “Pohon itu mempunyai kesaktian ajaib. Barangsiapa berada dalam lindungan mahkota daunnya, akan kena terhisap tenaganya, la akan lumpuh dan tertidur dengan tak sadar.
Sehabis berkata demikian ia menyambar lengan Sangaji dan dibawanya lari menghampiri pohon. Begitu berada di bawah lindungan mahkota daun, hawa terasa amat sejuk dan nyaman luar biasa. Sekarang tahulah Sangaji, apa maksud Ki Tunjungbiru agar dia pandai menjaga diri. Seluruh tubuhnya mendadak merasa penat. Rasa kantuk mulai pula meraba matanya.
“Kamu telah merasakan khasiat pohon sakti ini?” tanya Ki Tunjungbiru.
Sangaji mengangguk.
“Karena itu kita harus bekerja cepat! Sehabis kutetak, kau lantas saja menubruk. Aku akan berada di luar sana. Seterusnya terserah padamu, apa kamu akan berhasil menghisap getahnya.”
Ia mencabut sebatang pedang pendek. Kemudian meloncat garang seperti gerak-gerik seorang sedang bertempur. Batang pohon sebelah bawah dttetaknya dengan sekuat tenaga, lalu ia melesat pergi ke luar lingkaran bayangan mahkota daun.
“Cepat hisap!” teriaknya.
Sangaji menubruk bekas tetakan. Jari-jarinya menyentuh benda cair yang lumer. Ia mau membuka mulut, sekonyong-konyong terciumlah bau anyir menusuk hidung. Ia merasa muak dan nyaris berontak, karena baunya bagaikan darah manusia. Ketika sedang beitimbang-bimbang mendadak terdengarlah suara berdesahan. la kaget. Dilihatnya akar-akar pohon mulai bergerak dan bergoyang-goyang. Makin lama makin cepat dan seolah-olah mau mencengkeram dirinya.
Melihat keajaiban itu hatinya memukul keras. Apa ini perbuatan setan, pikirnya, la hampir ter-pengaruh. Tenaganya terasa surut habis. Gntung ia mendengar teriakan Ki Tunjungbiru.
“Bocah! Jangan terpengaruh! Jangan pedulikan!”
Mendengar teriakan itu tersentaklah kesadarannya. Cepat ia bertindak. Hidungnya ditekannya, lalu menghisap benda cair lumer itu. Benda cair itu mula-mula dikulumnya di dalam mulutnya. Lalu ia mencoba menelan sedikit. Begitu telah merasuk ke dalam kerongkongannya, ia jadi heran. Di luar dugaan benda cair itu sedap luar biasa seperti madu. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia menelannya sambil hatinya berbicara, malam ini aku mati atau hidup terserah pada takdir!
la terus menghisap, tapi hebat akibatnya. Tenaganya makin lama makin surut. Kedua kelopak matanya menebal. Seluruh tubuhnya meremang seperti kena kesiur angin lembut. Rasanya nyaman luar biasa.
“Terus hisap! Jangan pedulikan apa-apa! Jangan biarkan dirimu tertidur!” terdengar suara teriakan Ki Tunjungbiru. Diam-diam Sangaji heran mendengar nada suaranya. Kesannya seperti suara seorang yang menaruh dendam.
Dalam pada itu kesan pohon itu memang menyeramkan. Batangnya bergoyang-goyang seolah-olah ingin merenggutkan hisapan Sangaji. Akar-akarnya bergerak dan mengeluarkan suara bergelora dan berkerinyutan. Dalam gelap malam hari luar biasa menyeramkan.
Sekiranya Sangaji seorang diri tidak ada kawan, pastilah dia akan jatuh pingsan. Diam-diam ia merasa berterima kasih padanya.
Aneh benar pohon ini, pikirnya dalam hati. Apakah di dalamnya ada setannya? Ah, kalau kuceritakan kepada Guru, apa mereka mau percaya.
Makin lama gerak pohon makin seram. Kini menimbulkan kesiur angin luar biasa. Akar-akar pohon mulai merumun di atas kepala Sangaji dan menimbulkan suara pula. Cepat-cepat Sangaji mengendapkan tubuhnya serata tanah.
Tenaga hisapannya kian diperkeras. Kini bahkan ia mulai menyedot panjang-panjang. Entah berapa lama dia berjuang dengan gigih, ketika membuka matanya ternyata ia tertidur di atas bukit karang.
la heran. Dilayangkan matanya sekitar dirinya. Alam yang menyelimuti tenang tenteram tak berisik. Mendadak ia mendengar langkah menghampiri dirinya. Ternyata Ki Tunjungbiru.
“Mengapa aku ada di sini?”
Ki Tunjungbiru membungkuki sambil mengacungkan ibu jarinya. Berkata dengan nada girang, “Kau hebat, Bocah. Benar-benar hebat! Hampir saja aku mencelakakan dirimu. Kau tahu aku tak berani mendekati. Akar-akar pohon sudah merumuni kepalamu. Gugup aku merangkak maju—setapak demi setapak. Kutarik kakimu. Alangkah berat! Tubuhmu gemuk seperti babi.”
“Mengapa?” Sangaji heran.
“Kau benar-benar taat dan mendengarkan pesanku. Kau terlalu banyak menghisap sampai perutmu melembung. Kau tahu seluruh tubuhmu menjadi putih. Seputih gamping.”
“Ah!”
“Aku berusaha menarik kakimu. Ternyata kamu masih menggigit batang itu.” “Kapan? Kapan Aki menarik kakiku?”
“Seandainya aku tak berhasil menarik kakimu, masa kamu sekarang ada di atas bukit karang ini?”
Sangaji heran sampai terlongong-longong. “Tetapi aku tak tertidur, kan?” ujarnya. “Tak tertidur?”
“Seumpama tertidurpun hanya sebentar, kan?”
Ki Tunjungbiru tertawa berkakakkan. Dengan tubuh terguncang-guncang.
“Sebentaran katamu?”
“Bukankah hari masih malam?”
“Benari Tetapi kamu telah melampaui satu hari panjang.”
“Ah! Tidak mungkin!” Sangaji tak percaya.
Mendengar sanggahannya Ki Tunjungbiru tertawa kian meriuh. Katanya, “Baiklah kuterangkan. Saat kutarik kakimu, ternyata kamu tak bergeming. Jelas, kalau kamu kena pukau. Nyawamu tinggal tergantung pada sehelai rambut. Ingin aku menyeretmu cepat-cepat, tetapi tak berani aku berlaku sembrono. Seluruh akar pohon Dewadaru mengikuti tubuhmu.”
“Ih!” Sangaji meremang. “Apa pohon itu bernyawa atau kemasukan setan?”
“Bukan! Nah, aku sekarang mau bercerita semuanya. Dengarkan dan tak usah duduk. Berbaringlah dulu, sampai kau buang air besar.”
“Mengapa?”
“Dengarkan dulu!” sahut Ki Tunjungbiru cepat. “Bukankah kamu menghendaki petunjukku?”
Sangaji mengangguk dan mau tak mau ia harus menyabarkan diri. Kemudian Ki Tunjungbiru mulai bercerita.
“Kami bangsa nelayan kaya dengan cerita-cerita perantauan. Di tengah laut kami bertemu dengan nelayan-nelayan seluruh kepulauan Nusantara. Di sana kita saling menukar cerita- cerita pengalaman atau dongeng atau kisah untuk mengisi waktu luang. Cerita dan tutur-kata mereka penuh keajaiban dan aneh-aneh. Sekali kami pernah mendengar kabar tentang pelita Nyai Roro Kidul yang berjalan di atas permukaan laut. Pelita itu adalah tanda suatu malapetaka bagi nelayan. Barangsiapa melihat pelita Nyai Roro Kidul harus cepat-cepat mencari pantai. Sebab itu suatu tanda kalau laut akan mengamuk. Mereka pandai pula membumbu-bumbui cerita itu, sehingga seolah-olah telah terjadi di depan kita. Jika yang lain mau bercerita pula, cepat-cepat pokok ceritanya ditambahi dengan pengalaman-pengalaman dan dongeng-dongeng ajaib. Lambat-laun terasa, kalau tiap tukang cerita harus pandai memilih suatu bentuk cerita yang menarik. Sehingga kemudian merupakan suatu perlombaan tutur-kata. Nah, kami dengar juga tentang sebuah .pulau setan yang mata-penca-harian penduduknya menangkap ikan. Mata uangnya bukan emas bukan perak. Tetapi buah kunyit. Si pencerita pernah terdampar di pulau itu karena dilanda gelombang. Dia disambut meriah, karena waktu itu perahunya penuh dengan ikan. Setelah satu malam bermalam di pulau itu, keesokan harinya dia diantar ke laut dengan dibekali seonggok kunyit. Si pencerita mendongkol, karena ikannya hanya ditukar dengan kunyit. Tapi karena rasa takut dia berdiam diri. Di tengah laut onggok kunyit itu sebagian besar dibuangnya. Mendadak terjadilah suatu keajaiban. Sisa kunyit yang belum terbuang berubah menjadi benda kuning berkilauan. Ternyata berubah menjadi emas belaka. Sayang—hanya tinggal sedikit. Dia hampir gila, karena menyesal. Maka pada beberapa hari kemudian ia mencoba mencari pulau setan itu. Tapi pulau itu tak pernah dilihatnya lagi. Hilang begitu saja seperti ditenggelamkan gelombang.”
“Apakah emas itu laku juga dijualnya?” Sangaji menyela.
“Tak pernah kami minta penjelasan dan mendapat keterangan dari dia. Pokoknya, cerita itu dapat menggirangkan dan meringankan hati,
sudahlah cukup,” sahut Ki Tunjungbiru. Kemudian meneruskan, “Kami pernah bertemu juga dengan seorang nelayan dari Madagaskar. Nelayan itu-ternyata seorang keturunan suku Jawa pula. Dia pun pandai bercerita. Di sebelah barat pulau Madagaskar tergelarlah sebuah benua bernama Afrika. Di benua itu banyaklah tumbuh pohon-pohon ajaib. Diantaranya terdapat sebuah pohon pemangsa darah. Pohon itu perkasa, berbunga indah dan harum baunya. Barangsiapa berada di dekatnya, akan tertidur pulas. Maklum mahkota daunnya rimbun, sejuk dan membuat rasa nyaman luar biasa. Akar-akarnya panjang dan menyenangkan bagi kera-kera atau lutung yang tidak berpengalaman. Jika binatang atau manusia yang kena terkam akarnya yang panjang itu, takkan ada suatu kekuatan lain yang sanggup merenggutkan. Seekor gajahpun tak berdaya jika telah kena ringkus. Perlahan-lahan mangsanya ditarik ke atas dan dimasukkan ke dalam mulutnya untuk dihisap darahnya. Kerangkanya kemudian dilontarkan jauh-jauh seolah-olah mau menghilangkan jejak. Mendengar cerita itu, kami yang mendengar tak mau cepat percaya. Kami minta bukti-bukti, tetapi sudah barang tentu dia tak dapat membuktikan. Maklumlah, selain Benua Afrika sangat jauh letaknya, pohon itu jarang pula terdapat di kolong langit ini. Tetapi siapa menyangka, kalau aku akhirnya menjumpai pohon itu di sebelah utara Pulau Jawa ini.”
“Itu pohon Dewadaru yang Aki sebutkan?” sela Sangaji lagi.
“Begitulah kami menyebutnya,” ujar Ki Tunjungbiru. “Seperti kau dengar kemarin malam, kami... aku dan Ayah... terdampar di Pulau Edam. Keesokan harinya kami berteduh. Hawa mula-mula sangat panas, karena itu rimbun pohon Dewadaru sangat menyenangkan. Aku mencongkel batangnya dan kuhisap getahnya untuk penawar haus. Rasanya sedap bukan main.”
“Seperti madu?”
“Ya, seperti madu. Ayah tertidur di sampingku. Aku biarkan saja, karena aku tahu dia sangat letih. Mendadak udara yang terang benderang jadi gelap-gulita. Awan hitam datang bergulung- gulung, namun hujan tidak turun juga. Itulah sebabnya hawa kian terasa menjadi panas. Sekonyong-konyong aku mendengar suara bergelora dan berkerunyitan. Ternyata tubuh ayahku telah teringkus dengan akar-akarnya. Aku terperanjat. Ingin aku menolongnya, tetapi tenagaku seolah-olah lumpuh. Dengan hati tersayat- sayat aku melihat tubuh Ayah terangkat ke atas. Seketika itu juga teringatlah aku pada cerita nelayan dari Madagaskar. Teringat akan cerita itu seluruh tubuhku menggigil. Aku melihat Ayah masih saja tertidur lelap. Aku mencoba memekik-mekik tinggi. Namun dia tak terbangunkan. Mendadak akar-akar yang lain me-ringkus diriku pula. Aku tergulung-gulung bagai seekor ikan teringkus jala. Kucoba meronta, tetapi tenagaku benar-benar seperti terhisap hilang.”
“Lantas ?” Sangaji tak bersabar lagi.
“Perlahan-lahan aku terangkat naik. Seluruh tubuhku terasa seperti digerumuti binatang-binatang serangga. Aku memekik-mekik tinggi. Tetapi siapa yang akan mendengar suaraku ? Keadaan pulau sunyi lengang tak ada penghuninya. Aku sudah putus asa. Sekonyong-konyong terjadilah suatu peristiwa tak terduga. Kilap mengecap menusuk cakrawala dibarengi suara guntur berdentum. Dan pohon itu seperti terkejut. Aku dilontarkan dan terbuang di tanah. Gntung, aku belum terayun tinggi, sehingga meskipun jatuh jungkir balik tak mencelakakan diriku. Tetapi Ayah...”
Sangaji melongok.
“Tetapi Ayah...” Ki Tunjungbiru mengulangi. “Benar ia dicampakkan juga ke tanah, tetapi napasnya telah hilang. Mulutnya nampak bersenyum dan tubuhnya lemas seperti benda lumer.” “Ah!”
“Semenjak itu aku menaruh dendam kepadanya. Ingin aku menebasnya dan menumbangkan. Tapi aku sadar, kalau maksudku itu takkan tercapai. Batangnya terlalu kuat. Akhirnya aku berpikir, satu-satunya jalan untuk membalas dendam ialah, menghisap habis seluruh getahnya. Karena pikiran ini aku merantau mencari seorang pemuda yang kuat dan bersemangat. Banyak kujumpai pemuda-pemuda demikian, tetapi aku kecewa kepada kemampuan dan semangatnya. Lebih empat puluh pemuda sudah menjadi korban pohon itu. Kebanyakan mereka ketakutan atau terlalu sembrono. Mereka melarikan diri tatkala pohon bergerak-gerak dan melihat akar-akarnya berserabutan. Sudah barang tentu mereka kena sambar dan menjadi mangsanya. Sedangkan aku tak berdaya melepaskannya. Kemudian datanglah kau. Ah, hampir saja aku membuatmu celaka. Gntung nasibmu baik dan semangat tempurmu tinggi. Kulihat kamu berjuang dengan gigih menggigit batangnya. Kulihat juga kautahan menghadapi renggutan pohon itu. Hatimu tahan menentang pemandangan yang ngeri. Terus terang, keberani-anmu melebihi keberanianku sendiri. Kamu berhasil, sudah. Tetapi aku hampir lupa akan perhitungan karena besarnya dendamku pada pohon itu. Aku mengharapkan agar kamu bisa menghisap seluruh getahnya. Bukankah ini suatu radang hati yang gila? Ya—bagaimana tubuhmu sekecil ini bisa menghirup seluruh getah pohon raksasa begitu. Pada saat kamu terancam nyawamu, aku mendadak sadar. Hal itu terjadi tatkala kulihat seluruh tubuhmu memutih seperti gamping. Aku hampirimu dengan penuh pengakuan dosa. Kurenggutkan dan kusentakkan batangnya. Kemudian dengan merayap-rayap akuberhasil membebaskan dirimu dari bahaya maut...”
Mendengar keterangan Ki Tunjungbiru hati Sangaji terpukul. Bulu romanya meremang, terbayang saat-saat penuh ketegangan dan kengerian. Sebaliknya, ia menjadi terharu membayangkan perjuangan Ki Tunjungbiru menolong dirinya dari bahaya maut. Tak terasa matanya berkaca-kaca.
“Bocah! Janganlah terharu dan merasa berterima kasih kepadaku,” kata Ki Tunjungbiru seakan-akan dapat membaca gejolak hatinya. “Tapi sebaliknya, justru aku akan mencelakakan dirimu.”
Sangaji menghela napas panjang. Mendadak ia bangkit dan berkata gugup. “Aki! Darimana
Aki tahu, kalau pohon itu tidur di waktu malam?”
“Itulah mudahnya,” sahut Ki Tunjungbiru. “Seseorang yang hendak membalas dendam, bukankah menyelidiki dulu keadaan lawannya secermat mungkin?”
“Ya—itu yang kuketahui. Barangkali pula telah menghisap darah binatang-binatang berbisa. Dengan demikian tubuhmu kini penuh dengan bermacam-macam darah.”
Mendengar keterangan itu Sangaji menggigil. Mukanya pucat, mendadak saja ingin dia melon-tak dan perutnya sakit luar biasa. Ki Tunjungbiru heran bercampur kaget.
“Hai bocah! Mengapa? Apa salahnya?”
Sangaji menggigit bibir. Menyahut gap-gap, “Aki! Jadi aku... aku telah menghisap darah manusia?”
Ki Tunjungbiru terhenyak sampai terlongong-longong. Menyahut cepat, “Ah! Itu bukan! Bukan! Bukan!”
Sangaji terguling-guling di atas tanah. Ia mencoba melontakkan seluruh isi perutnya. Tangannya meraba-raba mencari batu.
“Aki tak pernah aku menjahatimu... mengapa Aki membuatku sengsara? Mengapa menjeru-muskanku ke dalam kesesatan ini?... Aki tadi membawa pedang pendek. Tolong, tikamlah aku! Aku manusia! Selama hidupku... selama hidupku... Mengapa aku mesti menghisap darah sesama manusia pula?”
Ki Tunjungbiru menjadi gugup mendengar ucapan Sangaji. Cepat ia membungkuki sambil berkata membujuk, “Bocah! Percayalah, tidak ada niatku menjerumuskanmu ke jalan sesat. Aku memang tidak lurus juga. Tetapi percayalah, kalau aku tak berniat menjerumuskan. Dengar! Dengarkan kata-kataku. Kamu tidak menghisap darah manusia. Sama sekali tidak! Seseorang yang makan daging singa atau harimau, apakah juga sama halnya memakan daging manusia, andaikata singa dan harimau itu habis menerkam manusia? Tidak! Sama sekali tidak! Seseorang makan daging ikan paus yang sudah sering menelan tubuh nelayan-nelayan malang, apakah juga sama halnya memakan manusia? Tidak! Sama sekali tidak! Seseorang makan daging ayam, apakah sama halnya makan cacing dan kotoran manusia? Tidak! Ayam itu sudah kodratnya menjadi binatang pemangsa cacing dan pemakan kotoran manusia. Ikan paus itu sudah kodratnya menelan apa saja yang dijumpai. Singa dan harimau sudah kodratnya menjadi binatang pemangsa daging. Pohon Dewadaru sudah kodratnya pula menjadi pemangsa daging dan darah. Kalau berpikir tentang kemurnian, mana ada di dunia ini yang hidup di atas kakinya sendiri. Semuanya saling terjalin, berhubungan dan saling memberi. Walaupun itu tumbuhan, kalau dipikirkan tidak murni bersih. Katakanlah, daun lembayung, ba-yam, rumput, kacang, ketela ya semuanya ... apakah tidak menghisap sari-sari burni. Bukankah sari-sari bumi terjadi dari kumpulan benda-benda dari luar dan dalam? Kalau dipikir, bumi-pun menelan tubuh-tubuh manusia, binatang dan sekalian yang kotor-kotor ... yang pernah ada di kolong langit ini. Manakah yang suci mumi dan bersih dari segalanya? Semuanya pengaruh mempengaruhi, anakku. Meskipun kamu hidup di atas langit sana dan hanya melulu hidup dengan menghisap hawa, itupun tak bersih dari segala. Karena hawapun terjadi dari endapan campur-baur antara yang busuk dan bersih. Bocah, janganlah kamu berpikir yang bukan-bukan! Tenteramkan hatimu! Kamu sekarang dengan hatimu yang suci bersih memperoleh, karunia alam. Kamu akan tumbuh menjadi seorang manusia yang memiliki kekuatan mukjijat. Aku bersyukur kepada rejekimu yang maha besar.”
Hebat pengaruh kata-kata Ki Tunjungbiru kepada Sangaji. Seketika itu juga gejolak hatinya menurun. Tubuhnya tidak menggigil lagi. Selintas pintas ia melihat seleret sinar cerah dalam benaknya. Meskipun demikian, akibat gejolak dan pergerakan tadi, perutnya terasa sakit, la mengerang.
Ki Tunjungbiru memapahnya dan membawanya ke tepi pantai. Lalu ia menelanjangi dan diceburkan ke dalam laut.
“Buanglah semua kotoranmu. Yang ada dalam dirimu tinggal sari-sarinya yang bersih. Esok pagi aku akan mencarikan sebumbung tabuan ber-madu kepadamu. Dalam hal ini, aku bertanggung jawab penuh.”
Satu malam penuh Sangaji merendamkan diri dalam permukaan laut. Waktu fajar hari menyingsing tubuhnya menjadi lemas tak berdaya. Ki Tunjungbiru ternyata menekuni dengan sungguh-sungguh, la membersihkan tubuhnya dan dipapah dengan perasaan kasih sayang. Kemudian ditidurkan lempang di atas gunduk batu. Setelah itu ia melesat pergi entah ke mana.
Kira-kira hampir tengah hari dia datang kembali dengan wajah berseri-seri. la membawa sepotong balok keropos. Dan ke mana saja dia bergerak dirinya dirumuni gerombolan tabuan yang berwarna hijau biru kekuning-kuningan.
“Inilah tabuan Tunjungbiru namanya,” dia berkata riang. “Selama hidupku aku menghisap madunya. Itulah sebabnya aku di sebut orang Ki Tunjungbiru. Tabuan ini mempunyai khasiat sakti. Barangsiapa menghisap madunya akan berumur panjang. Darahnya akan mengalir bersih. Seluruh tubuhnya selalu terasa nyaman dan riang. Banyak orang ingin menghisapnya. Tetapi bagaimana mungkin? Sarangnya ada di pulau ini, jauh menjorok ke dalam gugusan. Tak gampang-gampang orang dapat mencapai sarangnya. Nah—nih! Hisaplah!”
Dengan berdiam diri Sangaji menghisap madu tabuan Tunjungbiru dengan hati tawar. Meskipun kata-kata Ki Tunjungbiru semalam berpengaruh besar di dalam dirinya, tetapi kesan menghisap darah manusia tidak juga lenyap dari perbendaharaan benaknya.
Kini mendadak ia memperoleh kesan lain. Setelah menghisap madu, hatinya merasa menjadi lapang. Darahnya yang tadi dirasakan mengental berubah menjadi encer dan ringan. Tubuhnya menjadi hangat pula. Rasanya nyaman, la lantas berdiri dengan perasaan segar bugar. Menyaksikan itu, Ki Tunjungbiru tertawa riang, “Nah, percaya tidak? Aku pandai menyulapmu menjadi seorang manusia baru. Benar-benar manusia baru!”
Sangaji belum mampu berbicara. Seperti terbungkam. Sebenarnya cukuplah jelas keterangan Ki Tunjungbiru. Orang tak gampang mendapatkan madu tabuan Tunjungbiru. Seandainya tidak secara kebetulan, bagaimana dia akan mengenal macam madu demikian. Gntuk ini sudah sepatutnya dia berterimakasih. Tetapi hati Sangaji seolah-olah minta pertanggungjawaban si orang tua. Semua kebajikan-kebajikan yang diberikan kepadanya dipandangnya sebagai semestinya. Tetapi tiga hari kemudian hatinya berbicara lain. Tubuhnya kini terasa ringan dan dapat bergerak dengan leluasa. Hanya di sudut-sudut tertentu masih ada rasa nyeri seakan-akan terjadi keruwetan pada urat-uratnya. Ia membutuhkan petunjuk-petunjuk lagi.
Pada malam hari keempat ia duduk berjuntai di atas bukit karang, la mengharap kedatangan Ki Tunjungbiru. Harapannya ternyata terkabul, la melihat perahu melaju melanda gelombang. Seperti dulu perahu itu berhenti kira-kira berjarak dua puluh langkah dari pantai.
“Sangaji! Itu kamu?”
Sangaji menyahut dengan nada girang.
“Bagus! Nah, melompatlah!”
Sangaji mundur selangkah dan melompat. Di luar dugaannya, tubuhnya dapat terbang gesit dan hinggap di atas perahu hingga bergoyangan.
“Bagus!” seru Ki Tunjungbiru. “Apa kataku, kamu sekarang menjadi manusia lain.” Sangaji girang bukan main. Inginnya ia mencoba lagi, karena hatinya tak mau percaya pada kesanggupannya.
“Ayolah berpesiar lagi,” kata Ki Tunjungbiru. “Malam ini sengaja aku mencarimu. Aku ingin kaupertemukan dengan guru-gurumu, agar mereka tak salah terima. Aku tahu dengan pasti, kalau kemajuanmu akan maju pesat di luar dugaan kedua gurumu. Hal itu akan menimbulkan kecurigaannya. Aku khawatir kedua gurumu akan menyusahkanmu. Karena itu buru-buru aku datang. Aih, tak kusangka kamu pun mengharap kedatanganku, Ini namanya pucuk dicinta ulam tiba.”
“Berpesiar ke mana?”
“Tidak lagi ke Pulau Edam. Ayo, kita berlatih di jauh sana. Kulihat kamu belum bisa wajar menya-lurkan keringanan dan kekuatan tubuhmu.”
Mereka mendarat di pantai sebelah timur. Sangaji kemudian dibawa masuk pedalaman. Apabila telah diketemukan sebuah bukit batu, Ki Tunjungbiru berkata memerintah. “Seumpama kamu sekarang telah menyimpan bendungan air, seharusnya kamu mengerti cara menyalurkan. Kalau tidak, dirimu bisa terusak dari dalam. Sekarang dengarkan! Mulai malam ini kamu harus menghapalkan dua belas patah kataku.”
“Apa itu?”
“Sebelum tidur hendaklah kau ingat-ingat dua belas kata mukjizat ini. Tenangkan pikiran— lupakan perasaan—kosongkan tubuhmu—salurkan hawa—matikan hati—hidupkan semangat! Nah, hapalkan!”
Gampang saja Sangaji menghapalkan dua belas kata-kata itu. Tetapi untuk dapat mengerti artinya tidaklah mudah. Maka ia dilatih bertidur-an, dan diberi petunjuk cara-cara mengatur napas dan menyalurkan hawa.
“Sekarang mulailah!”
Sangaji menurut, la mencoba dan mencoba. Mula-mula pikirannya masih saja tergoncang dan mudah dipengaruhi sesuatu yang gemerisik di luar. la mencoba melawan dan mengatasi gejolaknya. Lambat laun ia dapat menguasai, meskipun belum sepenuhnya. Ia terus berusaha sampai tidur lelap. Tanpa disadarinya fajar hari membangunkan dirinya. Dan Ki Tunjungbiru ternyata tidak lagi di dekatnya.
Semenjak malam itu ia terus berlatih. Sekarang seluruh tubuhnya terasa nyaman dan mantap. Pelajaran-pelajaran kedua gurunya dapat dilakukan tanpa mengalami kesulitan. Wirapati dan Jaga Saradenta gembira menyaksikan kemajuannya. Mereka mengira, kalau kemajuannya itu diperolehnya berkat kerajinan dan keuletannya.
Dan tahun 1804 hampir di ambang pintu. Kemajuan Sangaji bukan main hebatnya. Pernah Wirapati dan Jaga Saradenda melatihnya satu hari penuh dan berganti-ganti, namun ia nampak segar-bugar. Hal itu mengejutkan mereka berdua.
“Ini aneh,” kata Jaga Saradenta. “Dari mana ia mendapatkan keuletan dan kekuatan luar biasa itu? Napasnya tak nampak mengasur. Gerak-geriknya tak nampak berubah. Menurutmu bagaimana?”
“Terus terang aku tak bisa menduganya,” sahut Wirapati. “Baiklah besok akan kucoba. Jika benar-benar ia mendapatkan pelajaran di samping kita, sudahlah berarti gagal. Kita tak jujur lagi mempertandingkan dia dengan anak asuhan Ki Hajar Karangpandan.”
Keesokan harinya pada tengah hari, Wirapati dan Jaga Saradenta mengundang Sangaji datang ke pondokannya. Mereka nampak girang. Meja penuh dengan panganan dan masakan hangat.
“Apa guru sedang berpesta?” tanya Sangaji heran.
“Benar! inilah hari ulang tahunku ke-35,” sahut Wirapati membohong. “Hari ini aku ingin menilik kecakapanmu untuk menggirangkan hatiku. Kemarilah!”
“Di dalam rumah?” Sangaji menegas.
“Di mana saja jadilah. Sebab di mana saja orang bisa bertemu musuh yang menyerang dengan tiba-tiba. Bidang ciut atau lebar bukanlah soal lagi,” kata Wirapati.
Setelah itu dengan kesehatan mengagumkan Wirapati menyerang sungguh-sungguh.
Sangaji terperanjat. Cepat ia mundur sampai ke dinding. Hatinya terpukul, tatkala melihat tinju gurunya hampir mengenai dada. Buru-buru ia menangkis. Semua gerakan khas dari kedua gurunya. Karena itu Wirapati mengelak dan meneruskan serangan dengan jurus lain.
Kali ini Sangaji kalah cepat. Dadanya terpukul. Tetapi tenaga Wirapati mendadak hilang seperti terhisap. Karena peristiwa itu baik Sangaji maupun Wirapati tercengang sejenak. Sekonyong-konyong Jaga Saradenta datang menghampiri dan membentak. “Dengan diam-diam kamu berguru dengan orang lain. Mengapa kamu merendahkan kami berdua?”
Dituduh demikian Sangaji terperanjat. Dengan pucat lesi ia menjawab sambil bertekuk lutut. “Aku tak pernah menerima ajaran orang lain, kecuali guru dan kakak angkatku Willem Erbefeld. ltupun hanya ajaran menembak pistol, senapan dan naik kuda. Ajaran pedang yang sebenarnya hendak diajarkan terpaksa dibatalkan karena pesan guru.”
Sangaji berkata dengan jujur. Memang ia tak pernah mendapat ajaran ilmu dari Ki Tanjung-biru, kecuali menerima petunjuk-petunjuk cara bersemedi dan berkat mukjizat pohon sakti Dewadaru.
“Hai, masih saja kamu berdusta?” damprat Jaga Saradenta garang.
Sangaji menangis. Air matanya bercucuran keluar.
“Guru memperlakukan aku seperti anak sendiri, bagaimana aku berani berdusta.”
“Lalu? Darimana kamu mendapat kepandaian itu?” desak Jaga Saradenta. la benar-benar gusar sampai kumisnya bergetaran. “Kamu pandai menghisap tenaga pukulan!”
“Menghisap tenaga pukulan?” Sangaji heran bukan kepalang.
“Coba, terimalah pukulan ini!” Habis berkata demikian Jaga Saradenta kemudian memukul dengan sekuat tenaga. Sangaji tak berani menangkis, takut menyinggung perasaan gurunya. Tapi dagingnya bergerak tanpa disadari, berkat getah pohon Dewadaru yang memiliki kodrat alam menghisap darah. Begitu pukulan Jaga Saradenta tiba, lantas saja berkurang tenaganya. Sangaji merasakan sakit, tetapi ia heran juga melihat otot dan dagingnya bergerak menangkis sendiri.
“Nah! Apa ini bukan ilmu siluman?” bentak Jaga Saradenta garang. “Dari mana kau memperoleh ilmu ini?”
Sangaji mulai berpikir. Teringat akan sifat pohon asli Dewadaru, hatinya bergidik sendiri.
“Guru! Aku bersumpah, aku tak pernah berguru kepada siapapun juga. Hanya secara kebetulan aku menghisap getah sebatang pohon ajaib bernama Dewadaru.”
la lalu menceritakan pengalamannya beberapa bulan yang lampau ketika menghisap getah pohon Dewadaru di Pulau Edam. Mendengar keterangan Sangaji, Jaga Saradenta dan Wirapati saling memandang. Diam-diam mereka bergirang hati.
“Siapa yang menunjukkan kamu ke sana?” tanya Wirapati menegas.
“Seseorang yang memberi petunjuk kepadaku pula, cara menyalurkan hawa dan bernapas dengan teratur, la memberi petunjuk pula cara merebahkan badan. Aku disuruh menghapalkan dua belas patah kata. Tenangkan pikiran—lupakan perasaan—kosongkan tubuhmu—salurkan hawa—matikan hati—hidupkan semangat.”
Wirapati heran. Itulah cara ilmu bersemedi tingkat tinggi, pikirnya. Pastilah Sangaji pernah bertemu dengan seorang yang berilmu tinggi. Di kota Jakarta ini siapakah orangnya yang memiliki ilmu demikian? Mendapat pikiran demikian, Wirapati menegas lagi, “Siapa dia?”
“Dia bermaksud hendak menemui Guru pada suatu kail Tetapi ia melarang kepadaku meng-gambarkan siapa dirinya. Bahkan aku dilarang pula menggambarkan perawakan tubuhnya.”
Wirapati semakin heran, la menyiratkan pandang kepada Jaga Saradenta yang berdiri tergugu bagaikan patung.
“Di manakah kamu bertemu mula-mula dengan dia?”
“Sewaktu aku sedang berburu dengan keluarga Sonny. Sonnypun mengenal siapa dia.”
“Sonny mengenal dia?” Wirapati semakin terperanjat.
“Benar. Diapun dilarang menggambarkan siapa dirinya dan bagaimana perawakan tubuhnya. Untuk perjanjian itu aku dan Sonny mendapatkan dua ekor lutung.”
Wirapati terpekur kini merenungkan keterangan Sangaji. Setelah mengerling kepada Jaga Saradenta, Wirapati berkata:
“Baiklah. Kau tunggu di luar!”
Sangaji menurut Dengan kepala menebak-nebak ia keluar pintu dan duduk di tepi jalan memandang lalu-lintas.
“Bagaimana menurutmu?” Wirapati minta pertimbangan kepada Jaga Saradenta.
“Aneh,” sahut Jaga Saradenta. “Hatiku tergetar mendengar keterangannya. Teringat aku sifat kesaktian Sangaji, hatiku lantas saja menaruh curiga.”
“Apa kamu teringat Pringgasakti?”
“Benar,” sahut Jaga Saradenta cepat. “Masih teringat kata-katamu dulu, kalau dia pasti mempunyai cara sendiri untuk membalas dendam. Siapa tahu ia mencoba meracuni jiwa Sangaji agar kelak bisa dibuatnya alat membunuh kita berdua. Inilah celaka, kalau sampai kejadian guru dibunuh muridnya. Daripada terjadi demikian, lebih baik kita putuskan hubungan antara guru dan murid.”
Wirapati merenungkan kata-kata Jaga Saradenta. Alisnya meninggi. Suatu tanda, kalau hatinya sedang bergolak keras. Kemudian dia bangun.
“Kemungkinan itu ada. Pringgasakti seorang iblis yang licin. Dia sengaja mempermainkan kita agar selalu berada dalam teka-teki kita. Ini berbahaya. Baiklah, kita paksa Sangaji memberi keterangan yang lebih jelas. Kalau sudah jelas, apa boleh buat!”
Dengan suara nyaring ia memanggil Sangaji agar menghadap padanya. Sangaji seorang yang jujur dan polos, la tak berprasangka buruk terhadap perubahan sikap gurunya. Dengan sikap tenang ia memasuki rumah. Dilihatnya kedua gurunya bersikap garang dan besungguh-sung-guh. Sangaji heran.
“Apakah aku bersalah? Hukumlah aku!”
Wirapati menyahut, “Sangaji, jawablah pertanyaanku. Kamu tak perlu menambahi keterangan. Cukup jawab ya atau tidak. Nah,—dengarkan! Apakah orang yang kaujumpai berkepala
gede dan berkulit hitam mengkilat?
* * *
SANGAJI diam menimbang-nimbang. Ki Tunjungbiru memang berkepala gede, tetapi kulitnya bukan hitam mengkilat. Hanya hitam lekam. Mungkin itulah yang dimaksudkan gurunya. Karena pertimbangan ini, ia mengangguk.
Melihat Sangaji mengangguk, Wirapati terkejut. Hatinya lantas saja jadi bergolak. Gugup ia mencari keyakinan lagi. Katanya tergegap, “Apa dia berambut panjang?”
Sangaji diam mengingat-ingat, la mengangguk lagi untuk yang kedua kalinya.
“Matanya tajam dan berbibir tebal?”
Sangaji mengangguk.
“Tubuhnya kekar dan berwibawa?”
Sangaji mengangguk. Dan melihat Sangaji mengangguk untuk ke sekian kalinya, tak kuasa lagi Wirapati mempertahankan gejolak hatinya. Tubuhnya nampak menggigil dan alisnya meninggi dan meninggi. Jelaslah, kalau orang yang memberi pengertian tentang ilmu bersemadi kepada Sangaji adalah Pringgasakti. Menghadapi kenyataan demikian, tak bisa dia tinggal diam. Mau tak mau ia harus mengambil tindakan yang bertentangan dengan wataknya yang we-las-asih. Ini semua demi memelihara hubungan antara murid dan guru. Tapi pada detik ia mau melaksanakan kata hatinya, timbullah suatu pertimbangan lain. Selama bergaul empat tahun dengan muridnya, terbersitlah kesan lain dalam hatinya terhadap si bocah. Ia menganggap si bocah seperti bagian dari tubuhnya sendiri, la yakin, kalau hati Sangaji bersih dari semua noda. Kalau toh sampai terjadi peristiwa yang menyedihkan itu, sebenarnya adalah di luar kekuasaannya sendiri. Terasalah dalam hatinya, dialah yang bernasib buruk. Jaga Saradenta juga. Tak terkecuali Sangaji. Berpikir demikian, hatinya serasa hampir meledak. Napasnya yang menye-sak dadanya di dorongnya ke pojok jantungnya. Kemudian ia memusatkan sisa keteguhan hati, untuk mengenyahkan keragu-raguannya.
Tiba-tiba tatkala ia sedang bergulat dengan dirinya sendiri, terdengarlah kesiur angin lewat disampingnya. la melihat Jaga Saradenta berkelebat dengan cempulingnya hendak menghabisi nyawa Sangaji. Tanpa berpikir lagi, ia ikut melesat dan membenturkan lengannya. Hebat akibatnya. Kedua-duanya terpental ke samping dan berdiri dengan bergoyang-goyang.
“Tahan!” seru Wirapati dengan napas memburu.
Jaga Saradenta menghela napas. Cempulingnya dibanting ke tanah dan tertancap tegak dengan mengaung-ngaung.
“Wirapati! Hatimu lemah seperti perempuan!” bentak Jaga Saradenta. “Sudah jelas, kalau muridmu seorang pengkhianat, kamu masih mau melindungi. Jelas sekali, kalau orang yang mengajar ilmu siluman itu Pringgasakti tapi kamu masih ragu. Alasan apalagi yang kau tunggu?”
Sekarang Sangaji menjadi bingung menyaksikan gurunya bertengkar mengenai dirinya, la ingin menjelaskan, kalau orang yang berkepala “gede, bertubuh kekar, bermata tajam, berbibir tebal, berambut panjang dan berkulit hitam itu bukanlah Pringgasakti. Dia Ki Tunjungbiru, seorang sakti yang penuh diliputi rahasia. Meskipun belum pernah sekali juga melihat Pringgasakti, tetapi ia yakin kalau Ki Tunjungbiru bukanlah Pringgasakti. Sayang, ia tak diperkenankan berbicara selain ya dan tidak atau mengangguk dan menggeleng. Kecuali itu, dia berjanji pula dengan Ki Tunjungbiru takkan mengabarkan dirinya. Bahkan membayangkan perawakan tubuhnya dengan kata-kata dilarangnya pula. Bagi dia, melanggar janji adalah tabu. Mengingat hal ini, ia jadi sibuk sendiri.
“Jaga Saradenta, sabarlah barang sebentar!” terdengar Wirapati menyabarkan. “Tuduhan kita baru separoh benar.”
“Apalagi yang masih meragukan?” Jaga Saradenta memotong.
“Kita baru menduga-duga.”
“Sangaji sudah membenarkan apa yang kaukatakan, bukankah sudah cukup jelas? Gntuk memaksa si bocah agar menceritakan tentang dia tidaklah mungkin. Karena dia sudah terikat suatu perjanjian, untuk merahasiakan si jahanam itu. Apa kita harus mencincang dulu si bocah agar mau buka mulut? Cih! Kalau sekiranya Sangaji akhirnya mau bicara, macam apa bocah itu? Tak lebih bocah picisan. Aku tak mau punya murid picisan.”
Wirapati terdiam. Ia berpikir keras. Memang kata-kata Jaga Saradenta tak dapat dibantah lagi. Tapi aneh, dalam hatinya ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang belum terang. Tapi apakah itu, tak dapat ia menebak dengan segera, la mendongakkan kepala mencoba menemukan kekurangan itu. Kemudian berkata hati-hati seperti kepada dirinya sendiri.
“Jaga Saradenta, memang sudah cukup jelas alasan kita untuk mengambil nyawanya—seandainya orang yang mengajar dia bersemadi itu benar-benar Pringgasakti.”
“Apa dia bukan Pringgasakti?” potong Jaga Saradenta dengan suara tinggi.
“Sampai sekarang—seperti kataku tadi—kita baru menduga-duga. Sangaji mengatakan kalau orang itu hanya memberi petunjuk cara orang bersemadi. Apakah benar seseorang yang hanya berlatih bersemadi dapat melawan orang semacam kita, sekiranya Pringgasakti benar-benar ingin meminjam tenaga pembalas dendam?”
“Orang itu tidak hanya memberi petunjuk cara bersemadi, tetapi membawa si bocah pula ke Pulau Edam agar menghisap getah pohon siluman. Kalau Sangaji berlatih diri selama lima tahun saja sambil menerima ajaran-ajaran ilmu kita, sudahlah cukup tenaga untuk menghabisi nyawa kita berdua. Seandainya itu terjadi, alangkah sejarah dunia ini akan terguncang. Bukan aku sayang kepada nyawaku yang sudah tua ini, tetapi peristiwa pembunuhan itu luar biasa biadab dan lucu. Bayangkan saja, kalau sampai guru dibunuh muridnya. Sebelum hal itu terlanjur, lebih baik kita hancurkan hubungan antara murid dan guru agar kita semua luput dari noda sejarah kemanusiaan. Bagi Sangaji sendiri, lebih baik begitu daripada bisa hidup berumur panjang tetapi tangannya penuh berlumuran darah kedua gurunya.”
Mendengar kata-kata Jaga Saradenta yang hebat itu, Sangaji terkejut bukan kepalang. Tak sadar, air matanya bercucuran keluar. Hatinya terlalu sedih, diramalkan akan bisa membunuh kedua gurunya dikemudian hari. Sesuatu hal yang tak pernah terlintas dalam angan-angannya. Lagi pula bagaimana mungkin! Meskipun demikian, ia tak berani membantah dan mengingkari. Semua kata-kata kedua gurunya pasti mempunyai dasar alasan yang kuat.
Karena pikiran ini, ia menjatuhkan diri ke tanah sambil menyembah. “Guru boleh memperlakukan aku sebebas-bebasnya. Tak usah guru ragu, kalau aku akan mati penasaran. Bunuhlah aku sekarang juga, sekiranya guru mempunyai alasan untuk mengambil nyawaku. Karena guru berhak menghukum tiap kesalahanku.”
Wirapati tergugu mendengar kata-kata Sangaji. Sedetik ia seperti terpaku di atas tanah, tapi pada saat itu juga terhentaklah darah jantannya. Tak sudi ia memperlihatkan kelemahan hatinya di depan muridnya. Itulah sebabnya, tiba-tiba ia menjadi garang berwibawa. Berkata membentak, “Sangaji! Mengambil nyawamu itu urusan gampang—segampang orang memutar leher ayam. Tapi aku ingin kamu mati sebagai seorang kesatria. Tak senang aku melihat muridku menyerah kepada nasib. Seekor cacing tanah pun akan berontak pula, kalau kena injak. Mengapa kamu tak mempertahankan diri?”
“Bagaimana mungkin aku berani mempertahankan diri terhadap hukuman guru? Semua ke: cakapan yang kumiliki ini adalah semata-mata hasil jerih payah guru berdua. Kini guru menghendaki agar aku mengembalikan semua, apakah hakku untuk mempertahankan diri?”
“Bukan aku menyuruhmu melawan aku, tapi pertahankan semua tuduhanku ini!” bentak Wirapati menggigit. “Kau kutuduh menerima ajaran-ajaran dari siluman Pringgasakti. Kau dituduh gurumu Jaga Saradenta akan mengkhianatinya di kemudian hari. Pertahankan dirimu dari semua tuduhan itu! Apa kamu tak pandai mempertahankan diri?”
Sangaji adalah seorang anak yang kukuh dalam tiap kata hatinya. Apa yang telah dilakukan, tak mau lagi ia menarik diri atau merubah-nya oleh pertimbangan-pertimbangan lain. Pada saat itu, ia telah memutuskan bersedia mati di depan kedua gurunya. Itulah sebabnya semua kata-kata Wirapati tak masuk lagi dalam pertimbangannya.
Waktu itu tiba-tiba terdengarlah suara orang terbatuk-batuk dan berkata, “Sekiranya aku mempunyai murid berjiwa seteguh itu, aku mau mati lebih muda lagi.”
Bukan main kagetnya Wirapati dan Jaga Saradenta. Mereka adalah tokoh-tokoh pendekar yang jarang ada pada masa itu, meskipun demikian pendengarannya masih belum dapat menangkap kehadiran orang pendatang itu. Suatu tanda kalau pendatang itu bukan orang sembarangan.
“Siapa dia?” mereka membentak berbareng.
“Itulah dia ...,” sahut Sangaji.
“Dia siapa?”
Tak berani lagi Sangaji memberi penjelasan, la membungkam, meskipun tahu dengan pasti orang itu adalah Ki Tunjungbiru. Wirapati adalah seorang yang cerdas. Begitu melihat Sangaji beragu, lantas saja dia dapat menebak. Serentak ia melesat keluar jendela sambil mempersiapkan senjatanya. Jaga Saradenta melesat pula keluar pintu dengan menggenggam cempuling.
Mereka melihat seorang laki-laki berperawakan kekar, berkulit hitam lekam, bermata tajam, berbibir tebal, berambut panjang dan berkepala gede. Ternyata dia bukan Pringgasakti.
“Maaf, aku mengganggu kalian berdua,” kata orang itu, “sudah agak lama aku mendengarkan percakapan kalian. Dan aku inilah orang yang kalian bicarakan. Orang memanggilku Ki Tunjungbiru. Bukan Pringgasakti seperti kalian tuduhkan.”
Ki Tunjungbiru kemudian membungkuk memberi hormat. Wirapati terdiam, lalu mengerling kepada Jaga Saradenta. Mereka saling memandang dengan mengunci mulut.
“Sudah lama aku mengenal kalian berdua. Dan aku mengagumi keperkasaan kalian. Beberapa bulan yang lalu sudah kuceritakan ke Sangaji, kalau pada suatu hari aku akan menemui kalian berdua. Nah, sekarang aku bertemu dengan kalian, sungguh aku bersyukur dalam hati,” kata Ki Tunjungbiru dengan takzim.
Jaga Saradenta nampak mengerenyitkan dahinya. Ia seperti mengingat-ingat sesuatu. Waktu itu Sangaji telah berada di antara mereka. Dengan membungkuk, ia mencoba menjelaskan, “Guru, karena dia telah menerangkan tentang dirinya, barangkali aku telah diperkenankan pula memberi-penjelasan. Dia dijuluki orang Ki Tunjungbiru. Menurut tutur-katanya sendiri, sebenarnya dia bukan bernama Ki Tunjungbiru. Hanya karena dia selalu membawa-bawa tumbuhan yang menghisap kembang Tunjungbiru ke mana dia pergi, maka ia diberi julukan demikian.”
Mendengar keterangan Sangaji tentang dirinya, Ki Tunjungbiru tertawa riang.
“Waktu kanak-kanak orang menyebut aku si Otong. Otong si kurus tipis seperti cancing.”
“Ah!” tiba-tiba Jaga Saradenta memotong. “Apa kamu bukan Otong Damarwijaya?”
“Hai! Bagaimana kamu mengenal namaku?” Ki Tunjungbiru terkejut.
“Wirapati!” kata Jaga Saradenta kepada rekannya seolah-olah tidak mempedulikan pertanyaan Ki Tunjungbiru. 'Tak mengherankan, kalau kamu belum mengenalnya. Otong Damarwijaya adalah seorang pahlawan dari Banten. Namanya termasyhur di seluruh Jawa Barat sebagai seorang tua pelindung rakyat kecil. Guruku—Kyai Haji Lukman Hakim—sering memperkenalkan namanya yang harum kepada murid-muridnya. Dialah yang meletuskan pemberontakan rakyat di seluruh Banten pada thun 1750, sehingga Kompeni Belanda terpaksa membagi kekuatannya. Dengan begitu, secara tak langsung ia membantu Pangeran Mangkubumi I dalam Perang Giyanti.”
“Ih, apa perlu perang Banten diungkit-ungkit? Perang itu memalukan sejarah bangsa, karena kami ternyata dikalahkan,” potong Ki Tunjungbiru.
“Menang dan kalah adalah kejadian lumrah dalam suatu perjuangan. Mengapa kita mesti malu? Meskipun perjuangan rakyat Banten bisa dikalahkan, tapi sekarang kulihat dan kusaksikan dengan mata kepala sendiri—kalau kekalahan itu bukan merupakan kekalahan menyeluruh. Otong Damarwijaya masih hidup. Semangat tempurnya masih tinggi, terbukti masih tetap bersedia menjadi orang buruan. Bukankah begitu?”
“Hai! Bagaimana kautahu?”
“Sikapmu berhati-hati. Gerak-geriknya penuh rahasia, sampai-sampai terhadap kitapun— kamu belum bersedia memperkenalkan diri dengan terang-terangan. Gntung kamu datang tepat pada waktunya, kalau tidak....” Jaga Saradenta menundukkan kepala. Dalam hatinya ia menyesali diri sendiri atas perbuatannya tadi yang sembrono.
“Maaf! Maafkan aku! Bukan maksudku, menyusahkan kalian. Satu tahun yang lalu, secara kebetulan aku berjumpa Sangaji di tengah hutan perburuan di daerah Tangerang. Aku tertarik pada hatinya yang jujur dan polos, la lagi bersedih hati menekuni ajaran-ajaran kalian yang terlalu sulit baginya. Dengan seluruh kemampuannya ia mencoba berlatih diri. Tapi mana bisa dia mampu memecahkan ajaran-ajaran ilmu kalian yang begitu tinggi. Kukatakan kepadanya, kalau seratus tahun lagi ia takkan mampu menyelami intisari jurus ajaran kalian.”
Wirapati terkejut. Sebagai seorang yang encer otaknya, tahulah dia maksud kata-kata Ki Tun-jungbiru. Secara tak langsung, orang tua itu menyesali dirinya—karena memberi ajaran-ajaran tertentu tanpa mengingat kemampuan si bocah. Cepat-cepat ia membungkuk hormat.
“Ini semua adalah gara-gara gejolak nafsu kami yang berlebihan. Kami bersedia menerima teguran Ki Tunjungbiru.”
“Eh—mana bisa aku berani menegur kalian!” seru Ki Tunjungbiru berjingkrak. “Apa yang kalian ajarkan sangat kukagumi. Sedikitpun tidak ada celanya. Cuma si bocah belum menemukan titik tolak sebagai dasar latihan. Dalam hal ini tak ada seorangpun di dunia yang dapat dipersalahkan. Sebab ini soal bakat. Soal karunia alam. Kalau kemudian, dia kubawa ke Pulau Edam dan kuberi petunjuk cara orang menya-lurkan semangat dan tenaga, bukanlah maksudku aku mau mengambil dia sebagai murid. Bagaimana mungkin aku berani berlaku begitu? Meskipun demikian, dengan setulus hati aku minta maaf kepada kalian atas kelancanganku ini.”
Wirapati menoleh kepada Sangaji dan berkata menyesali, “Sangaji, mengapa kamu merahasiakan hubunganmu dengan Ki Tunjungbiru Otong Damarwijaya? Kalau semenjak dulu kamu ceritakan hal itu, pasti tidak akan ada salah sangka terhadapmu.”
Gcapan Wirapati ini berarti memaklumi dan memaafkan semua yang terjadi. Karena itu, baik Sangaji maupun Ki Tunjungbiru bersyukur dalam hati.
“Aki Tunjungbiru melarangku mengabarkan tentang dirinya,” sahut Sangaji.
“Ya—ya—ya, dia benar. Akulah yang melarang,” sambung Ki Tunjungbiru. “Soalnya, karena aku seorang buruan. Sudah bertahun-tahun lamanya aku membiasakan diri berkelana seorang diri. Tak mau aku dikenal orang.”
Wirapati meraih Sangaji dan merangkulnya sambil mengusap-usap rambutnya dengan penuh sayang.
'Tentang salah paham ini, perkenankanlah aku mohon maaf sebesar-besarnya,” kata Ki Tunjungbiru lagi sambil membungkuk hormat.
Wirapati dan Jaga Saradenta membalas hormat. Hati mereka berdua tertarik akan sikap orang tua yang sopan-santun. Mereka kemudian mempersilakannya memasuki pondokan. Kebetulan di atas meja tersedia bermacam-macam panganan dan masakan seolah-olah sedang berpesta. Mereka lantas saja mengge-rumuti panganan dan masakan sambil membasahi kerongkongan sepuas-puasnya.
“Eh—perkenankan aku si orang tua minta penjelasan barang sedikit,” kata Ki Tunjungbiru. “Kulihat kalian bedaku luar biasa terhadap si bocah. Nampaknya semua murid kalian, kalian perlakukan demikian hebat! Inilah suatu kemajuan luar biasa. Sekiranya tiap perguruan bedaku begitu luar biasa terhadap murid-muridnya, pastilah dalam sepuluh tahun lagi aku akan bertemu dengan kesatria-kesatria perkasa untuk menggantikan angkatan tua yang sudah bangkotan seperti aku ini.”
“Kami berdua tak mempunyai murid lain, kecuali Sangaji,” sahut Wirapati.
Mendengar keterangan Wirapati, Ki Tunjungbiru ternganga-nganga keheranan. Tak mau ia percaya kepada keterangan itu. Pikirnya, kalau mereka tak mempunyai murid lain, mengapa membanting tulang berlebihan terhadap si bocah? Apa mereka berdua mendapat bayaran tinggi? Wirapati agaknya dapat menebak kata hatinya.
“Kami berdua datang dari Jawa Tengah. Aku Wirapati dan temanku itu Jaga Saradenta. Secara kebetulan kami bertemu dan berkenalan. Secara kebetulan kami hidup bersama dan merantau seperti orang gila di daerah barat. Secara kebetulan pula kami mempunyai seorang murid yang sama. Secara kebetulan pula, kami mempunyai panggilan hidup yang sama.”
Mendengar keterangan Wirapati, keheranan Ki Tunjungbiru kian menjadi-jadi sampai mulutnya terlongoh-longoh. Jaga Saradenta kemudian mengisahkan riwayat perjalanan ke daerah barat sambil mendekap kepala Sangaji. Teringat akan perjalanan itu, ia jadi menyesali wataknya yang terburu nafsu dan semberono. Hampir-hampir saja ia menewaskan nyawa si bocah yang suci bersih dan patuh-setia kepada guru. Sekarang rasa kasih-sayangnya kepada si bocah begitu besar, sampai-sampai ia merasa susah berbicara.
“Horah! Orang itu masih saja edan-edanan,” sela Ki Tunjungbiru.
“Apa kau kenal Ki Hajar Karangpandan?” Jaga Saradenta dan Wirapati berkata berbareng.
“Mengapa tidak? Aku kenal dia dalam Perang Giyanti. Dia utusan dari Raden Mas Said. Bukankah perawakannya agak pendek tapi kekar? Tampangnya seperti orang edan. la orang yang mau menang sendiri. Seringkali kami bertengkar, tetapi dia seorang kesatria yang jujur meskipun lagak-lagunya kasar. Apa yang telah dikatakan, tak mau ia mengingkari. Seumpama dia mempunyai piutang, celakalah orang yang berutang padanya. Dia bersedia menguber-uber orang itu meskipun bersembunyi di ujung langit, sampai tercapai keinginannya.”
Habis berkata begitu, Ki Tunjungbiru tertawa berkakakkan. Suara tertawanya menggelegar, sampai meja yang penuh panganan terguncang-guncang. Diam-diam, Wirapati dan Jaga Saradenta mengagumi tenaga gunturnya.
“Aku pernah bertempur melawan dia selama lima hari lima malam,” kata Ki Tunjungbiru lagi. “Perkaranya cuma sepele. Waktu itu kami masih sama-sama muda. Kehormatan diri merupakan suatu hal yang terpenting di atas segalanya. Pada suatu sore sehabis bertempur di sekitar Pekalongan, kami beromong-omong di tepi pantai membicarakan tetek bengek di luar perjuangan untuk melepas lelah. Pembicaraan tanpa dasar pegangan itu, seringkah melantur tak karuan juntrungnya. Nah—sampailah pembicaraan pada soal kecantikan perempuan. Se-. bagai seseorang yang dilahirkan di atas tanah Pasundan, sudah barang tentu aku membanggakan gadis-gadis Sunda. Tetapi dia mengatakan kalau gadis Sunda kurang cantik dan menarik. Karena perawakan tubuhnya terlalu kekar dan pantatnya terlalu besar. Aku mendengar celaannya, hatiku jadi panas. Serentak aku mempertahankan gadis-gadis kami. Aku jelaskan kalau tidak semua gadis Sunda berpantat besar dan berperawakan kekar. Ada juga yang lemah gemulai, menggairahkan hati. Tapi ia tak mau menerima keteranganku seperti adatnya yang mau menang sendiri. Aku jadi tambah penasaran. Lantas saja aku katakan kalau gadis Jawa Tengah-pun banyak juga yang bertubuh kekar dan berpantat yang terlalu besar. Karena celaanku itu, ia merasa sakit hati. Kami lantas bertengkar. Akhirnya kami bertempur lima hari lima malam. Di antara kami berdua tidak ada yang kalah atau menang. Pada hari ke-enam kami berhenti berkelahi karena kecapaian. Ke: mudian kami bersumpah tak akan kawin seumur hidup. Siapa yang kawin, dialah yang kalah. Begitulah, maka sampai sekarang aku tetap membujang. Aku percaya juga, jika dia tetap membujang. Nah, bukankah ini suatu pertengkaran edan-edanan? Coba bayangkan bertempur lima hari lima malam dan menyiksa diri seumur hidup, semata-mata karena perkara pantat.”
Mendengar perkataan Ki Tunjuangbiru, mau tak mau mereka tertawa berkakakkan. Sangaji tak terkecuali. Ia mendapat kesan luar biasa terhadap pribadi Ki Tunjungbiru dan kedua gurunya. Mereka semua adalah laki-laki sejati yang mengutamakan kebajikan dan budi pekerti luhur di atas segala-galanya. Meskipun pembicaraan mereka kedengarannya ugal-ugalan, tetapi mengandung sari-sari kejantanan yang pantas dikagumi.
Mendadak di Liar terdengar derap kuda ber-derapan. Aba-aba dan gemerincing pedang berkesan sangat sibuk. Ki Tunjungbiru menegakkan kepala. Dahinya berkerenyit, alisnya meninggi dan wajahnya nampak angker. Kemudian berkata tegang, “Sangaji, sebenarnya aku datang ke mari untuk memberi kabar padamu. Semalam secara kebetulan aku mendengar ge-rombolan kompeni sedang berunding. Nampaknya mereka akan berontak. Pemimpinnya seo-rang mayor yang buntung lengannya. Karena aku mendengar mereka menyebut-nyebut nama Willem Erbefeld teringatlah aku kepadamu tentang kakak angkatmu yang sering kauceritakan. Mereka merencanakan akan menyerbu tangsi dan mau menangkap kakakmu hidup atau mati. Agaknya telah lama terjadi suatu persaingan dan rasa dendam antara kakak angkatmu dan mayor yang buntung lengannya itu.”
Mendengar berita itu, Sangaji terkejut bukan kepalang. Opsir yang buntung lengannya itu, siapa lagi kalau bukan Mayor De Groote. Mayor De Groote memang bermusuhan dengan Willem Erbefeld. Ia berdendam besar, karena jabatannya kena geser.
Willem Erbefeld berada di bawah komando Kapten De Hoop, ayah Sonny. Jika Mayor De Groote hendak memusuhi Willem Erbefeld, dengan sendirinya akan berlawanan pula dengan Kapten De Hoop. Teringat akan hal itu, serentak ia hendak bangkit. Tetapi Jaga Saradenta mendekapnya.
“Guru, perkenankan aku pergi sebentar,” kata Sangaji memohon.
“Jangan! Tak usah kamu pergi. Biarkan me-' reka menyelesaikan urusannya sendiri,” sahut Jaga Saradenta. “Kau tetap berada di sampingku.”
Jaga Saradenta merasa menyesal atas perbuatannya yang sembrono. Tak mau ia berpisah dengan muridnya lagi, sebagai penebus kesem-bronoannya. la ingin agar Sangaji tetap berada di sampingnya. Karena itu, Sangaji menjadi bingung. Ingin dia menjelaskan, betapa penting berita itu bagi Willem Erbefeld dan Kapten De Hoop yang sama sekali tak berprasangka buruk pada Mayor De Groote. Tapi pada waktu itu kedua gurunya telah sibuk mendengarkan keterangan Ki Tunjungbiru tentang diri mereka.
“Semenjak aku kenal Sangaji, kuikuti dia dari jauh. Diam-diam aku menyelidiki keadaan dirinya dan kalian berdua. Maafkan perbuatanku itu. Maklumlah, aku seorang buruan. Aku harus tahu dengan pasti, kalau di belakang kejadian ini terjadi suatu permainan yang bersih jujur.”
“Apa kamu berprasangka buruk padaku?” potong Jaga Saradenta yang mudah tersing-gung.
Ki Tunjungbiru tertawa melalui hidung. “Tiap orang berhak menjaga keselamatan diri. Bukankah kalian mencurigaiku pula seolah-olah aku ini Pringgasakti? Karena penyelidikanku itu, tahulah aku kalau kalian adalah guru-guru yang kukagumi. Kalian sangat jujur menurunkan semua ilmu kepada si bocah. Aku tahu pula tentang kakak-angkat si bocah, rumahnya—ibunya dan rumah kalian. Aku tahu juga, kalau kalian sedang berjaga-jaga diri terhadap balas dendam si siluman Pringgasakti.”
Menyinggung tentang balas-dendam Pringgasakti, Wirapati dan Jaga Saradenta terkejut sampai berjingkrak. Serentak mereka bertanya, “Bagaimana kamu tahu tentang permusuhan ini?”
Belum lagi Ki Tunjungbiru menjawab pertanyaan mereka berdua, terdengarlah sebuah kereta berhenti di tepi jalan. Sebentar kemudian, muncullah si Sonny di pekarangan rumah. Ia memanggil Sangaji dan tatkala melihat dia, segera ia melambaikan tangannya.
Sangaji segan kepada gurunya. Tak berani ia menghampiri. Ia hanya melambaikan tangannya dan memberi isyarat agar gadis Indo itu datang memasuki rumah.
Sonny lantas saja memasuki rumah. Kedua matanya nampak merah, rupanya dia habis menangis panjang.
“Sangaji... ayahku... ayahku menghendaki, agar aku kawin dengan Yan De Groote...” Sehabis berkata begitu, air matanya meleleh bercucuran.
Sangaji tidak mendengarkan ucapan si Sonny. Ia berkata keras, “Sonny! Cepatlah kamu pulang! Laporkan kepada ayahmu, kalau Mayor De Groote akan berontak. Seandainya kamu bertemu dengan kakakku Willem sampaikan kepadanya, kalau dia harus berhati-hati dan waspada jika berangkat beronda. Kemungkinan besar, Mayor De Groote akan menyerang pasukannya dan pasukan ayahmu di luar kota.”
Sonny De Hoop kaget. Bertanya gap-gap, “Benarkah itu?”
'Tentu saja benar!” sahut Sangaji meyakinkan. “Kami mengetahui persekutuan Mayor De Groote. Cepat, ceritakan hal itu kepada ayahmu!”
Sonny tegak seperti tugu. Hatinya tegang, tetapi ia tertawa. Matanya berseri-seri. “Baik! Akan kusampaikan hal itu kepada Ayah.” Setelah berkata begitu, dengan langkah ringan ia kembali ke jalan. Tak lama kemudian terdengarlah kereta berkuda mulai bergerak dan lari de-ngan cepat.
Sangaji heran. Pikirnya—ayahnya mungkin dalam bahaya, mengapa dia begitu girang? Ia mencoba menebak lubuk hati Sonny. Akhirnya ia terkejut, “Ah! Jika ayahnya sampai bentrok dengan Mayor De Groote, bukankah dia tak bakal kawin dengan Yan De Groote?” Mendapat pikiran demikian, dia pun ikut bersyukur. Ia sayang kepada Sonny dan kepada Yan De Groote kesannya bermusuhan semenjak masih menjadi anak tanggung.
Kedua gurunya dan Ki Tunjungbiru tak begitu memperhatikan kesibukan hatinya. Mereka bertiga lagi tegang. Terdengar Ki Tunjungbiru berkata, “Banten, Tangerang, Serang, Rangkas-bitung dan Pandeglang adalah daerah pengembaraanku. Sudah barang tentu, aku tahu peristiwa pertempuran itu. Ateng, Memet, Kosim dan Acep bisa diselamatkan, meskipun dua di antara mereka menjadi cacat seumur hidup. Sayang, Hasan bisa ditewaskan iblis itu. Mereka bercerita tentang kalian. Walaupun mereka tak dapat menerangkan tentang dirimu, tapi mereka cukup mengagumi. Dengan begitu mereka berusaha dengan sekuat tenaga menggambarkan gerak-gerik kalian.”
“Ah, si sembrono!” Jaga Saradenta meledak sambil menggempur meja. “Kalau bualnya sampai kedengaran Pringgasakti...”
“Memang iblis itu telah mengetahui belaka tentang diri kalian berdua,” potong Ki Tunjungbiru. “Hanya saja dia belum bertindak.”
“Bagaimana kamu tahu, kalau dia telah mengetahui keadaan kami?” Jaga Saradenta terkejut.
“Suatu kali, di dekat Gunung Puteri kulihat sebelas panji-panji segitiga tertancap teratur di atas tanah. Panji-panji itu bergambar tengkorak dengan tulang bersilang. Siapa lagi, kalau bukan panji-panji iblis Abu.”
“Setiap laki-laki di seluruh Jawa Barat yang biasa berkelana mendaki gunung dan menuruni jurang, kenal akan panji-panji itu. Kalian pasti belum tahu dengan pasti, kalau mereka berdua berasal dari Sulawesi dan berdiam semenjak menjadi pemuda tanggung di sebuah Dusun Cibesi. Mula-mula mereka berdua adalah anak murid Kyai Hasan Bafagih. Mereka melanggar tata-tertib perguruan dan menghilang tak keruan rimbanya. Semenjak itu, mereka terkenal sebagai dua iblis yang amat liar. Mereka mengembara dari daerah ke daerah dan membuat kekacauan dan hura-hara di mana saja mereka berada.”
“Dan panji-panji itu, apa artinya?” sela Wirapati.
“Suatu tanda, kalau mereka sedang berlatih diri untuk melampiaskan dendam tertentu. Bila mereka sedang berlatih, mereka menjauhi pergaulan. Dicarilah tempat yang sunyi. Kemu-dian membuat garis arena sesuka hatinya dengan tanda panji-panji. Barang siapa berani menghampiri apalagi memasuki daerah arena latihannya, tak usah mengharapkan hidupnya lagi. Orang itu akan ditangkap dan dijadikan boneka latihannya. Kalian pasti tahu tingkah-lakunya.”
“Ya, tak usahlah itu diceritakan lagi. Iblis itu akan menghisap darahnya atau menjadikan si korban itu sasaran latihannya.”
“Benar,” sahut Ki Tunjungbiru. Ia mendongak ke atap, kemudian meneruskan. “Tertarik akan gerak-geriknya, berhari-hari aku mencoba mengintipnya. Kulihat dia berdiri tegak di atas gundukan tanah mengarah ke kota Jakarta. Tahulah aku dengan segera, kalau dia mau me-lampiaskan dendamnya ke Jakarta. Hanya saja, dia nampak berbincang-bincang.”
“Bagaimana kamu tahu?” Jaga Saradenta tak sabar lagi.
“Dia menggeram dan menggerung-gerung sepanjang malam dan sekali-kali dia berteriak seakan-akan berbicara dengan roh si Abas. Katanya, Jxalau musuh yang membunuh dirinya pasti bukan orang sembarangan. 'Beritahukan siapa dia', katanya, berulang kali.”
Mendengar kata-kata Ki Tunjungbiru, Jaga Saradenta dan Wirapati menggeridik bulu kuduknya. Sangaji nampak menjadi gelisah, karena dialah yang terutama merasa menjadi si pembunuh Pringga Aguna. Meskipun tidak disengaja, tapi mana bisa si Iblis Abu diberi penjelasan.
“Sejak itu aku sering melihat dia berkasak-kusuk mengaduk kota Jakarta. Pernah juga dia mengintip kalian berdua ketika sedang melatih Sangaji.”
“Ah!”Jaga Saradenta dan Wirapati berteriak berbareng.
'Tapi percayalah kalau dia belum mendapat keyakinan tentang kesanggupan kalian membunuh adiknya,” kata Ki Tunjungbiru seakan-akan menghibur. Mendadak ia menyambar per-gelangan Sangaji sambil berkata meneruskan, “ Ya, siapa mengira kalau iblis Abas yang sakti mati ditangan si bocah begini lemah. Sekiranya aku tak mendapat keterangan dari Ateng, Me-med, Kosim dan Acep mana bisa aku percaya.
Mereka semua jadi tegang sendiri. Jaga Saradenta mengelus-elus jenggotnya yang sudah menjadi putih susu. Pandangannya gelisah merenungi atap. Kemudian berkata perlahan-lahan, menahan diri.
“Semuanya ini, akulah yang menyebabkan timbulnya gara-gara. Seandainya aku tidak mencari perkara, tak bakal Wirapati dan Sangaji terperosok ke dalam persoalan yang rumit.”
“Janganlah berkata begitu. Dalam hal ini tidak ada seorangpun yang bisa disalahkan. Iblis itu memang pantas dibasmi. Selama dia masih bebas berkeliaran di dunia ini, mana bisa orang-orang semacam kamu tidur nyenyak. Hanya saja, hendaknya dendam kesumat yang ber-lebih-lebihan dirubah dan diperlunak menjadi semacam kebajikan dan tugas utama bagi tiap laki-laki sejati seperti dirimu,” tungkas Ki Tunjungbiru. Kemudian meneruskan, “Aku pun tak akan tinggal diam. Hanya saja aku harus berhati-hati. Aku percaya, kalau si iblis itu takkan membiarkan dirinya tersiksa dalam suatu teka-teki. Suatu kali dia akan mencari suatu kepastian untuk melampiaskan dendam. Beberapa hari yang lalu. Kulihat panji-panji telah berada di seki-tar kota Jakarta. Ini suatu tanda, kalau dia bakal bertindak.”
Jaga Saradenta dan Wirapati terkejut sampai berjingkrak. Tapi belum lagi mereka membuka mulut, Ki Tunjungbiru telah berkata lagi, “Baiklah, kukatakan dengan terus terang. Bukan maksudku mau merendahkan kemampuan diri sendiri atau kemampuan kalian berdua, tetapi dengan sebenarnya kukabarkan kepada kalian berdua, kalau menilik latihannya—Pringgasakti maju dengan pesat. Empat puluh tahun yang lalu, dia tidak sehebat ini. Gerak geriknya sangat aneh dan sebat luar biasa. Rupanya dia hampir berhasil mewarisi kepandaian gurunya yang kedua.”
“Siapa gurunya?” Jaga Saradenta dan Wirapati berseru berbareng.
“Sehabis Perang Giyanti, ia memperdalam ilmunya kepada Adipati Karimun Jawa Sureng-pati, gelarnya Jangkrik Bongol. Surengpati adalah orang yang luar biasa. Umurnya sekarang belum melebihi 45 tahun. Tetapi mempunyai ilmu malaikat yang tak terkalahkan. Dia adalah guru Pringgasakti dan Pringga Aguna. Mungkin juga Patih Pringgalaya adalah muridnya juga. la termasuk salah seorang tujuh tokoh pendekar sakti pada saat ini. Pertama, Kyai Kasan Kesambi. Kedua, Pangeran Mangkubumi 1. Ketiga, Surengpati. Keempat, Kyai Haji Lukman Hakim. Kelima, Gagak Seta. Keenam, Kebo Bongah dan ketujuh, Raden Mas Said. Diantara ketujuh pendekar sakti itu, tiga orang telah meninggal dunia. Kini tinggal empat orang. Yakni, Kyai Kasan Kesambi, Surengpati, Gagak Seta dan Kebo Bongah. Kalau Pringgosakti benar-benar telah dapat mewarisi kepandaian Adipati Surengpati, bisa dibayangkan kehebatannya. Ia seperti harimau bersayap.”
Jaga Saradenta dan Wirapati terhenyak. Mereka mengakui kebenarannya pertimbangan Ki Tunjungbiru.
“Bagaimana mula-mula si iblis itu bisa berguru pada Adipati Surengpati.” Wirapati minta penjelasan.
“Menurut kisah yang kudengar begini,” sahut Ki Tunjungbiru. “Suatu kali Pringga Aguna dan Pringgasakti pernah bertempur dengan Surengpati. Mereka berdua bisa dikalahkan. Dasar mereka licin dan pandai mengambil hati, mendadak saja mereka bisa berguru kepada Adipati yang sakti itu. Mereka berdua dibawa ke Karimun Jawa. Di kepulauan itu, mereka diasuh dan dididik. Tak lama kemudian terdengarlah berita, kalau mereka minggat dari Karimun Jawa dengan mencuri kitab pusaka Adipati Surengpati.”
“Jika demikian, Adipati Surengpati takkan membiarkan dia hidup tanpa membayar utangnya.”
“Itu pasti. Tapi bagaimanapun juga, dia adalah muridnya. Grusan muridnya adalah urusan dalam rumah tangga. Apabila kita yang menyingkirkan dia, mana bisa Adipati Surengpati tinggal diam. Dan jika Adipati Surengpati sampai memasuki persoalan ini, mana bisa kita tidur dengan aman tenteram. Grusan bisa jadi runyam dan berbahaya....”
Wirapati dan Jaga Saradenta terdiam kembali untuk kesekian kalinya. Mereka pernah mendengar kepandaian Adipati Surengpati yang mendapat gelar Jangkrik Bongol karena keangkeran-nya. Tapi mereka belum mau percaya. Bahkan mereka menuduh dalam hati, kalau Ki Tunjungbiru berbicara terlalu berlebihan dengan maksud untuk meredakan nyala dendam kesumat. Tetapi aneh, nampaknya Ki Tunjungbiru takut kepada majikan kepulauan Karimun Jawa itu.
“Habisnya, apa kita menyerah tanpa perlawanan?” dengus Jaga Saradenta.
“Semenjak aku kesompok gerak-gerik iblis itu, aku telah mencari jalan keluar sebaik-baiknya. Itupun, sekiranya kalian berdua setuju.”
“Silakan berbicara,” kata Jaga Saradenta.
“Harap kalian tidak mentertawakan. Ini adalah ucapan seorang pengecut.”
“Janganlah berkata begitu. Otong Damarwi-jaya bukan seorang yang licik.”
“Terima kasih, kalau nama Otong Damarwija-ya termasuk pula deretan orang yang sedikit mempunyai nama,” kata Ki Tunjungbiru merendahkan diri. “Cuma saja, kali ini bunyinya tidaklah setegar orang sangka.”
“Bicaralah!”
“Urusan pertama yang harus kita kikis habis ialah, agar si iblis tidak lagi menaruh curiga. Kedua, mencari akal muslihat supaya dia kabur dari Jakarta,” setelah itu Ki Tunjungbiru menguraikan tipu-muslihatnya. Dia akan bermain sandiwara sebagai Gagak Seta, seorang pendekar sakti yang hidup mengembara di seluruh pelosok tanah air. Mereka berdua tetap bermain sebagai Wirapati dan Jaga Saradenta. Hanya saja mereka wajib bedaku hormat kepadanya sebagai seorang tokoh yang jauh lebih tinggi tingkatannya.
Sebenarnya Wirapati dan Jaga Saradenta tak sudi mengalah terhadap Pringgasakti maupun Ki Tunjungbiru, tetapi mereka terpaksa menurut agar tak menyinggung kehormatan tetamunya.
Demikianlah—pada malam hari itu setelah bersantap, mereka berangkat menuju ke jurusan Cibinong. Ki Tunjungbiru dan Sangaji berjalan di depan. Wirapati dan Jaga Saradenta berjalan di belakang. Pada masa itu, dusun sekitar Cibinong masih merupakan tanah pegunungan berdinding tegak tinggi. Jurang yang berada di seberang jalan sangat curam dan penuh dengan batu-batu padas.
Wirapati dan Jaga Saradenta menyaksikan, cara Ki Tunjungbiru dan Sangaji mendaki bukit. Diam-diam mereka gembira menyaksikan kemampuan muridnya. Dengan tangkas Sangaji melompat dari batu ke batu. Kadang-kadang dengan sebat menyambar akar pohon liar untuk dibuatnya tangga merangkaki tebing. Ki Tunjungbiru dapat bergerak dengan sebat dan mudah. Maka tahulah mereka, kalau tenaganya tidak bisa menyamai kesanggupan Ki Hajar Karangpandan. Pantas dia dapat melawan Ki Hajar Karangpandan selama lima hari lima ma-lam.
Wirapati dapat merangkaki tebing itu dengan mudah. Hanya Jaga Saradenta yang sudah berusia lanjut nampak mengangsur napasnya. Ki Tunjungbiru dan Sangaji segera mengulurkan tangannya hendak membantu mengangkat tubuhnya. Tetapi Jaga Saradenta seorang laki-laki yang bertabiat angkuh. Tak sudi ia menerima bantuan itu. Meskipun tenaganya jauh berkurang daripada dulu, ia memaksa diri juga. Akhirnya berhasil juga. Tetapi keringatnya nampak membasahi seluruh punggungnya, meskipun demikian ia bersikap tak pedulian.
Tiba di atas bukit, mereka melihat suatu lapangan agak luas dengan tanda panji-panji tengkorak tertancap seperti garis. Sekarang mereka percaya benar, kalau Ki Tunjungbiru bicara jujur. Jika dia bersikap agak segan pada Pringgasakti, pasti juga ada alasannya.
Mereka berempat kemudian duduk di atas batu dan merundingkan jalannya tipu muslihat semasak-masaknya.
Mereka memikirkan pula, andaikata tipu-mus-lihat itu ternyata nanti gagal. Setelah mendapat persetujuan, mereka segera mempersiapkan diri. Tetapi sampai hampir tengah malam, yang ditunggu tak kunjung datang.
“Eh, mengapa dia belum juga datang?” dengus Jaga Saradenta uring-uringan. “Apa dia sudah mampus di tengah jalan?” “Sst... lihat di jauh sana!” bisik Wirapati. Waktu itu langit cerah. Sekalipun bukan waktu bulan purnama, tapi kecerahan langit cukup menerangi sekitar lapangan. Jaga Saradenta mengarahkan pandang ke dataran tanah di seberang bukit. Ia melihat setitik gumpalan hitam. Itulah tubuh Pringgasakti yang bergerak sangat cepat dan gesit. Di bawah sinarnya bulan yang remang-remang, iblis itu melesat seperti anak panah. Dalam waktu beberapa detik, ia telah tiba di kaki bukit. Lantas saja dia mendaki dengan tangkas dan ringan. Ia tak mempergunakan tenaga kaki, tapi cukup dengan mengayunkan kedua lengannya bagai seekor burung mengibaskan sayapnya.
Jaga Saradenta tercengang-cengang menyaksikan ketangkasannya. Diam-diam ia me-noleh ke Wirapati dan Ki Tunjungbiru yang nampak tegang. Mestinya wajahnyapun tegang pula.
Setibanya di atas lapangan, Pringgasakti berdiri tegak sambil mendongakkan kepala. Di punggungnya ternyata ada sesosok tubuh yang diikat erat pada pinggangnya. Orang itu entah sudah menjadi mayat atau masih hidup.
Tiba-tiba saja, Sangaji hampir memekik. Dengan cepat ia mengenal siapakah orang yang berada di punggung Pringgasakti. Pakaian orang itu berkibaran di udara. Dia seorang perempuan. Itulah Sonny De Hoop. Cepat Ki Tunjungbiru mendekap mulutnya, kemudian berkata nyaring.
“Eh bocah! Aku si tua Gagak Seta biasa berkelana menuruti kata hatiku sendiri, kali ini terpaksa aku mendengarkan ocehanmu. Benar-benar iblis Abu masih saja berkeliaran di sini. Kalau malam ini aku bisa beruntung bertemu dengan tampangnya, biarlah kusuruhnya menyusul adiknya ke neraka. Apa dia belum sadar, kalau akulah yang menyodok perut Abas sampai kecoblos?”
Pringgasakti kaget mendengar suara Ki Tunjungbiru dan suara bocah. Ia memasang kuping. Ketika mendengar kata-kata Ki Tunjungbiru, ia semakin kaget. Cepat ia meloncat ke samping dan bersembunyi di belakang batu.
Wirapati dan Jaga Saradenta melihat gerak-gerik Pringgasakti yang bersikap jeri tatkala mendengar disebutnya nama Gagak Seta. Dalam hati, mereka tertawa. Hanya Sangaji seorang yang hatinya goncang tak karuan. Maklumlah, ia memikirkan keadaan Sonny temannya yang disayangi.
“Bocah! Kapan kamu melihat panji-panji iblis ini?” kata Ki Tanjungbiru yang bermain sandiwara sebagai Gagak Seta.
Sangaji lantas saja teringat akan peranannya. Dengan mengatasi hatinya yang berkebat-kebit dia menjawab, “Tiga empat hari yang lalu, sewaktu aku berburu dengan keluarga Kapten DeHoop.”
“Cuh!” Ki Tanjungbiru meludah ke tanah. “Mari kita tunggu sampai dia datang. Mana kedua gurumu? Kalau aku nanti menghajar iblis itu jangan ikut campur seperti dulu.”
Pringgasakti diam tak berani berkutik. Sebagai murid Adipati Surengpati, ia kenal akan nama itu. Gurunya sering mengatakan, kalau pada jaman itu Gagak Seta termasuk seorang tokoh sakti yang kelima. Orang itu berkelana seperti angin. Dalam masa lima tahun, belum tentu dapat diketemukan di mana dia berada. Dia adalah musuh penjahat-penjahat dan pembasmi musuh-musuh rakyat. Tangannya ampuh seperti guntur dan gerakan tubuhnya gesit secepat kilat.
“Paman!” sahut Wirapati. “Apa dulu aku mengganggu Paman? Aku hanya melihat Paman dalam jarak sepuluh langkah, ketika Paman membekuk iblis Pringga Aguna.”
“Ha. Justru kamu melihat perkelahian itu, aku berkhawatir pada keselamatanmu. Kalau Abu menaruh curiga padamu, kau bisa celaka.”
Wirapati tertawa panjang. “Paman! Pringgasakti kabarnya memang seorang penjahat. Tapi dengan aku, tidak ada utang-piutang. Dengan kehilangan adik seperguruannya, cukuplah sudah menindih gelora hatinya. Dia pasti berduka. Apa itu bukan suatu hukuman?”
Ki Tunjungbiru tertawa riuh sambil melepaskan ilmu gunturnya. Pringgasakti terkejut. Pikirnya, benar-benar Gagak Seta bukan nama kosong. Suaranya begini bergemuruh seolah-olah guntur menyibakkan mega hitam. Hatinya kian ciut.
“Wirapati!” kata Ki Tunjungbiru dengan suara berwibawa. “Pantes gurumu Kyai Kasan Kesambi memuji kesabaranmu. Bagaimana keadaan gurumu?”
“Dia baik-baik saja, Paman. Aku justru dikirimkan ke Jakarta untuk mengurus pendidikan si bocah. Inilah gara-gara Hajar Karangpandan yang mengajak mempertandingkan anak didiknya dengan kepandaian si bocah.”
Demikian mereka bermain sandiwara. Hanya Jaga Saradenta yang masih membungkam, takut dikenal suaranya. Maklumlah, pada masa mudanya, dia pernah bertempur melawan iblis itu memperebutkan Jumirah anak gadis almarhum Kyai Haji Lukman Hakim.
Permainan sandiwara itu menggetarkan hati Pringgasakti, sampai dia sibuk menduga-duga, Gagak Seta ada di sini. Celaka. Terang-terangan dialah yang mengaku membunuh Abas, bagaimana aku bisa menuntut balas. Kalau aku sampai terlihat, mana bisa aku hidup lebih lama lagi?
“Paman!” Tiba-tiba ia mendengar Wirapati berbicara. “Keadaan begini sunyi senyap. Tanda-tanda dia tidak akan datang. Apa Paman yakin, kalau dia bakal datang?”
Ki Tunjungbiru sengaja tidak meladeni. Ia berdiam diri menunggu kesan. Benar juga, mendengar kata-kata Wirapati, Pringgasakti bergembira. Katanya dalam hati, Syukur, mereka tak melihatku. Mudah-mudahan bulan itu melindungi selembar nyawaku.
Sangaji sendiri kala itu sedang memusatkan perhatiannya kepada Sonny dan perawakan si iblis. Perawakan Pringgasakti memang hampir tak berbeda dengan perawakan tubuh Ki Tunjungbiru. Kepalanya gede, tubuhnya kekar, rambutnya panjang dan gerak-geriknya gesit luar biasa.
Mendadak ia melihat si Sonny menggerakkan kepalanya, la bersyukur dalam hati. Gerakan itu membuktikan, kalau dia masih hidup. Ia lantas memberi isyarat dengan gerakan tangan, agar jangan bicara atau menunjukkan tanda-tanda telah melihat padanya. Tetapi Sonny yang berhati polos tidak mengerti isyarat itu. Begitu ia melihat isyarat Sangaji, lantas saja berteriak : “Sangaji! Tolong aku!”
Mendengar teriakan Sonny, Sangaji jadi bingung. Gugup ia ingin mencegah, “Ssst! Diam!” Tapi tanpa disadari sendiri, ia telah berbicara.
Terkejutnya Pringgasakti tak kalah dengan si bocah. Cepat ia menotok urat nadi si gadis sampai jatuh pingsan. Kemudian ia bersiaga menghadapi kemungkinan.
“Sangaji! Kamu bicara dengan siapa?” tegur Wirapati.
Sangaji agak gugup. Cepat ia berpikir. Kemudian menjawab mengada-ada, “Aku mendengar pekik seorang perempuan. Paman Jaga Saradenta mau meloncat dan aku mencegahnya.”
Mendengar jawaban Sangaji, mau tak mau Jaga Saradenta terpaksa menyahut.
“Aku si orang tua memang sangat benci kepada iblis itu. Mendengar pekik perempuan, teringatlah aku pada Jumirah.”
“Ah, mengapa soal lama diungkat-ungkit kembali. Berilah kesempatan kepada si iblis. Pabila dia mau memperbaiki kelakuannya, biarkanlah dia bisa menikmati sisa hidupnya pada hari tua,” kata Wirapati yang bermain sebagai seseorang yang berwatak brahmana. Kemudian dengan suara memohon dia berkata kepada Ki Tunjungbiru: “Paman Gagak Seta, apakah Pa-man mau mengampuni si jahanam itu?”
Pringgasakti bukanlah seorang yang goblok. Begitu ia mendengar percakapan itu, segera ia sadar. Pikirnya, Gagak Seta bukan orang sem-barangan. Jangan lagi sudah mendengar suara orang—baru mendengar geser gerakan, sudahi-ah cukup baginya untuk mengambil keputusan. Mengapa dia diam? Apa ini bukan suatu permainan belaka untuk menghina diriku?
Mendapat pikiran demikian, segera ia menggerakkan tubuhnya mau menyerang. Ki Tunjungbiru melihat gerakan itu. Sadariah dia, kalau Pringgasakti telah menaruh curiga. Ia menjadi cemas. Bukan mengkhawatirkan keselamatan pihaknya, tapi nyawa si gadis mungkin takkan tertolong.
Wirapati yang bermata tajam, segera mem-persiagakan diri. Ia masih berusaha berkata mengada-ada, “Jaga Saradenta, apa benar kamu telah mewarisi seluruh kepandaian almarhum Kyai Haji Lukman Hakim?”
Maksud Wirapati mau menggerakkan Pringgasakti. Tak tahunya, kata-kata itu justru menyinggung kehormatan si penaik darah Jaga Saradenta. Dengan menggeram, Jaga Saradenta menyahut, “Ilmu guruku kalau diukur setinggi langit. Mana bisa aku mewarisi seluruhnya. Ba-rangkali aku hanya kebagian sepersepuluh-nya ...”
Sampai di situ mendadak ia ingat sesuatu. Mau ia percaya, kalau Wirapati tidak bermaksud menghina dirinya. Dia hanya ingin menyarankan padanya agar memperlihatkan kepandaiannya. Mendapat bintik cahaya terang ini, pikirannya jadi jernih kembali. Kemudian ia menghampiri sebuah bengkahan batu sebesar perut kerbau. Batu itu telah dipecah menjadi enam bagian oleh Ki Tunjungbiru dalam melakukan perang tipu-muslihat sebaik-baiknya. Dasar ia seorang penaik darah yang susah menghapuskan kesan kata-kata yang menusuk. Segera ia mendepak batu itu berhamburan dengan uring-uringan. Tapi gerakan itu justru kebetulan sekali.
Pringgasakti yang mulai curiga, kaget menyaksikan gerakan Jaga Saradenta yang ber-sungguh-sungguh. Batu sebesar perut kerbau kena dihamburkan dan pecah menjadi enam potong. Inilah suatu tenaga gempuran yang luar biasa, pikirnya. Mau tak mau hatinya gentar juga. Perlahan-lahan ia surut kembali dan bersembunyi di belakang bongkahan batu.
“Paman!” kata Wirapati kepada Ki Tunjungbiru. “Paman telah mengenali ilmu macam apa yang dimiliki almarhum Kyai Haji Lukman Hakim. Apakah gempuran Jaga Saradenta tadi sudah mirip dengan gempuran gurunya?”
Ki Tunjungbiru tertawa riuh.
“Iblis yang kamu cari sudah berada di sekitar sini, mengapa kalian masih bergurau?”
Ah! Pringgasakti terkejut bukan kepalang. Terang-terangan dia telah melihatku, tapi bersikap berpura-pura. Inilah bahaya! Jangan-jangan dia benar-benar Gagak Seta yang hendak memberi kesempatan hidup padaku. Kalau kesempatan ini tidak kupergunakan, kapan lagi aku bisa lolos dari pengejarannya. Berpikir demikian, lantas saja ia muncul dari balik batu dan berkata dengan tenang, “Terima kasih atas kemurahan hati pendekar sakti Gagak Seta. Akulah si jahanam Pringgasakti. Apakah Tuan yang membunuh adik seperguruanku empat tahun yang lalu, biarlah perkara itu kuhabisi sampai di sini saja ...”
Semua yang mendengar ucapan Pringgasakti terperanjat saking herannya. Sama sekali mereka tak mengira, kalau Pringgasakti berani muncul dengan terang-terangan. Tadinya mereka menduga, kalau dia akan kabur dengan diam-diam.
Pringgasakti berkata lagi, “Aku adalah seorang yang tidak ada gunanya, karena tak memiliki kepandaian sedikitpun. Cuma melihat kemajuan anak murid Haji Lukman Hakim, hatiku jadi tertarik. Benar-benar dia telah mewarisi ilmu Haji Lukman Hakim yang dahsyat. Karena antara kami ada suatu ganjelan, biarlah malam ini kucoba-coba menebus kesalahanku dahulu. Tuan pendekar Gagak Seta, izinkanlah aku mencoba-coba mengadu tenaga dengan bakal suami anak gadis Haji Lukman Hakirn.”
Diingatkan kepada peristiwa yang menggarit hati, Jaga Saradenta menggeram. Tak tahan lagi ia mempertahankan kesabarannya. Pada saat itu ia sudah mengambil keputusan hendak mengadu nyawa. Tiba-tiba terjadilah suatu peristiwa di luar dugaan mereka semua.
Sangaji melihat Sonny rebah di atas tanah. Tubuhnya tak berkutik. Menyaksikan keadaan si gadis, ia menjadi khawatir. Sesungguhnya tali perhubungan persahabatannya dengan Sonny sudah menjadi erat semenjak bergaul kurang lebih empat tahun lamanya. Terasa dalam dirinya, kalau Sonny merupakan bagian dari tubuhnya sendiri. Melihat Sonny sengsara, hatinya memukul. Maka tanpa mempedulikan keperkasaan Pringgasakti, ia melompat maju menyambar lawannya itu. Sudah barang tentu Pringgasakti tak tinggal diam. Dengan cepat se-kali, ia menangkap pergelangan tangan si bocah.
Sangaji pernah minum getah pohon sakti Dewadaru. Tanpa disadari sendiri, daging yang kena sentuh lantas saja bekerja. Tangkapan tangan Pringgasakti kena dihisap, sehingga pada saat itu juga lenyaplah tenaga cengkeramannya. Pringgasakti terkejut bukan kepalang, la mau mengulangi lagi, mendadak saja Sangaji telah berhasil melemparkan Sonny ke arah gurunya, la penasaran. Segera ia menambah tenaga dan meloncat menerkam. Kali ini dia tak menangkap pergelangan tetapi tulang sikunya. Dan Sangaji jadi mati kutu.
“Siapa kau?” bentaknya.
Ki Tunjungbiru segera memberi tanda isyarat sambil menunjuk ke arah Jaga Saradenta dan Wirapati. Karena isyarat itu, Sangaji segera menjawab, “Aku Sangaji, murid Wirapati dan Jaga Saradenta.”
Pringgasaksi berpikir bolak-balik, muridnya begini masih muda sudah dapat meloloskan diri dari tangkapanku. Dagingnya bisa menghisap tenaga. Macam ilmu apa ini? Baiklah aku menyingkir dari mereka ... Setelah itu ia mendengus: “Hm! Terima kasih atas kemurahan hati kalian.” Ia melepaskan cengkeramannya dan kabur menuruni bukit.
Sangaji lantas lari menjauhkan diri. Ia memeriksa tangan dan sikunya. Dibawah cahaya bulan, ia melihat bekas lima jari menyayat kulitnya. Andaikata Pringgasakti tidak segan terhadap kesahnya sendiri, pastilah dagingnya bisa dicengkera-man melesak ke dalam. Berpikir demikian bulu romanya menggeridik. Mereka semua jadi berlega hati setelah melihat si iblis kabur tanpa mengadakan periawanan. Ki Tunjungbiru segera menolong menyadarkan si gadis. Kemudian dipapah dan ditidurkan di atas batu.
“Iblis itu bukan main hebatnya,” Wirapati memuji, “la bisa bergerak dengan gesit. Tang-kapannya lengket dan berbahaya. Seumpama sampai bertempur, belum tentu di antara kita bisa selamat tanpa menderita luka parah. Pantas, guruku memuji kesaktiannya. Ha... untung Ki Tunjungbiru mendapat akal bagus.”
“Janganlah berkata begitu,” tegur Ki Tunjungbiru. Ia nampak berduka.
Wirapati heran melihat Ki Tunjungbiru berduka.
“Apakah iblis itu melukaimu dengan diam-diam?” Tanya Wirapati minta penjelasan.
“Tidak. Tapi ada lagi yang kupikirkan,” jawab Ki Tunjungbiru. “Aku melupakan dua hal. Yang pertama, tanpa kupikir akibatnya, aku memalsukan nama pendekar sakti Gagak Seta. Inilah bahaya. Kedua, dia terang-terangan muncul di antara kita. Sudah barang tentu dia mengenal kita semua dengan penciumannya yang tajam. Di kemudian hari, apabila dia mendapat keyakinan kalau Gagak Seta tidak tahu menahu perkara ini, pasti akan kembali membalas dendam. Sekiranya kita secara kebetulan bisa berkumpul, itulah untung. Apabila tidak, dia bisa melampiaskan dendamnya seorang demi seorang. Bagi kita yang tua-tua, nggak jadi soal. Selain nyawa kita yang sudah tua tidak berharga, setidaknya kita mampu berjaga-jaga diri. Tapi bagi Sangaji akan lain halnya. Mulai malam ini, ia justru akan mendapat ancaman langsung. Ah, siapa mengira kalau akal tipu-musli-hat untuk mengikis habis kecurigaannya, justru jatuh sebaliknya.”
Mendengar keterangan Ki Tunjungbiru, semuanya jadi terdiam. Tiba-tiba Jaga Saradenta yang masih uring-uringan, berkata nyaring, “Otong Damarwijaya, apa kerjamu di sini? Mengapa tidak mempersatukan diri dengan kami? Wirapati dan aku dulu belum saling mengenal. Kami masing-masing berasal dari suatu perguruan yang berbeda. Tapi karena suatu panggilan yang sama, akhirnya kami berdua bisa bersatu. Sekarang kita bertiga mempunyai pula kebajikan yang sama, apa celanya mulai malam ini kita mempersatukan diri?”
Wirapati tercengang-cengang mendengar ucapan Jaga Saradenta. Sekalipun terdengar kasar, tapi mengandung kejujuran dan bersih. Dengan begitu tak pernah diduganya, kalau kadang-kadang si penaik darah itu bisa mempunyai pikiran yang patut dipuji. Lantas saja dia ikut menyetujui. Sangaji yang mendengar pembicaraan itu ikut-ikut memuji dalam hati, mudah-mudahan Ki Tunjungbiru menyetujui. Sebagai seorang anak yang tingkatannya lebih rendah, tak berani dia mencampuri urusan mereka.
Ki Tunjungbiru nampak berbimbang-bimbang sebentar. Ia menyiratkan pandang kepada Jaga Saradenta, Wirapati dan Sangaji kemudian mendongakkan kepalanya ke udara. Lama ia terpekur.
* “Saran itu adalah buah pikiran yang bagus. Tapi Otong Damarwijaya sudah empat puluh tahun lebih mengembara ke seluruh Jawa Barat. Otong Damarwijaya bukan lagi kepunyaan Ki Tunjungbiru. Dia sudah menjadi bagian dari milik rakyat Jawa Barat. Selama daerah Jawa Barat masih ada manusia jahat yang hidup, Otong
Damarwijaya takkan pergi meninggalkan. Karena itu maafkan. Terpaksa aku menolak tawaran yang bagus dan jujur itu.”
Semua yang mendengar jadi kecewa, tetapi tak dapat membantah. Apa yang dikatakan Ki Tunjungbiru memang benar belaka. Suatu pang-ucapan yang membersit dari hati nurani yang suci.
Wirapati dan Jaga Saradenta tak berani memaksa lagi. Sebagai tokoh-tokoh pejuang, mereka memaklumi arti pengucapan Ki Tunjungbiru.
“Jika begitu, maafkan kelancanganku tadi,” kata Jaga Saradenta merendahkan diri. “Aku lupa, kalau Otong Damarwijaya adalah seorang pejuang yang bersedia mati untuk rakyat dan tanah air. Kalau tidak memiliki hati jantan, masakan perkara pantat besar bersedia tidak kawin untuk seumur hidup.”
Mendengar ujar si penaik darah, semua jadi tertawa berkakakkan. Ingatlah mereka kisah perkelahian antara Otong Damarwijaya dan Hajar Karangpandan pada masa mudanya selama lima hari lima malam. Itu adalah kisah ugal-ugalan, tapi penuh kejantanan.
“Baiklah sekarang begini saja,” kata Ki Tunjungbiru sejurus kemudian. “Perkara perhubungan kita bisa diatur. Berilah tanda-tanda tertentu sebagai suatu berita, apabila pada suatu hari kalian pergi dari Jakarta. Aku akan berusaha mengikuti kalian. Siapa tahu selama itu aku bisa mendapat jalan lain untuk menghabisi si iblis.”
“Sebenarnya apa kita bakal kalah melawan jahanam itu?” potong Jaga Saradenta.
'Tenis terang kuakui, melihat gerak-gerik Pringgasakti yang luar biasa itu, tingkatan ke-pandaiannya berada di atas kita. Sekiranya tadi terpaksa bertempur, belum tentu kita bertiga dapat memenangkannya. Agaknya Kitab Pusaka Adipati Surengpati yang dibawanya lari itu cukup berharga untuk dibeli dengan nyawa. Hanya saja aku yakin, kalau dia belum mencapai tingkatan yang sempurna. Andaikata dia merasa diri sudah sempurna, masakan dia begitu ragu ketika mendengar gertakan kita. Tapi sebentar atau lama, tingkatan itu pasti akan dapat dicapainya. Ini bahaya! Si iblis pasti tak gampang ditaklukan...”
“Hm... mudah-mudahan dia mampus sebelum mencapai tingkatan itu,” Jaga Saradenta mengutuk.
“Kalian pergi dari Jakarta. Aku akan berusaha mengikuti kalian. Siapa tahu selama itu aku bisa mendapat jalan lain untuk menghabisi si iblis.”
“Sebenarnya apa kita bakal kalah melawan jahanam itu?” potong Jaga Saradenta.
'Terus terang kuakui, melihat gerak-gerik Pringgasakti yang luar biasa itu, tingkatan ke-pandaiannya berada di atas kita. Sekiranya tadi terpaksa bertempur, belum tentu kita bertiga dapat memenangkannya. Agaknya Kitab Pusaka Adipati Surengpati yang dibawanya lari itu cukup berharga untuk dibeli dengan nyawa. Hanya saja aku yakin, kalau dia belum mencapai tingkatan yang sempurna. Andaikata dia merasa diri sudah sempurna, masakan dia begitu ragu ketika mendengar gertakan kita. Tapi sebentar atau lama, tingkatan itu pasti akan dapat dicapainya. Ini bahaya! Si iblis pasti tak gampang ditaklukan...”
“Hm... mudah-mudahan dia mampus sebelum mencapai tingkatan itu,” Jaga Saradenta mengutuk.
***
Bende Mataram - JILID 7. SUATU PERTEMPURAN TAK TERDUGA WIRAPATI girang bukan main. Sangaji telah cfiketemukan. Kini tinggal menunggu Jaga Saradenta pulang dari penyelidikan ke luar kota. Seminggu sekali Jaga Saradenta datang ke pondokan dan membawa berita. Adakalanya sampai satu bulan. Dia pasti girang, kata Wirapati dalam hati, nanti malam biar kuajaknya mulai bekerja. Mudah-mudahan dia datang. Sekiranya tidak, biarlah kumulai dahulu. Waktu berarti pedang. Satu hari lengah berarti terkikisnya waktu yang dijanjikan. Hm—tinggal empat tahun. Kalau Sangaji mempunyai bakat, agaknya masih ada waktu. Mendadak saja timbullah suatu pikiran lain. Eh, sekiranya Sangaji nanti malam tak datang apa yang akan kulakukan? Bukankah hati kanak-kanak seringkali berubah? Celaka—aku belum tahu rumahnya. Memikir demikian, cepat ia kembali ke lapangan. Sangaji baru saja melangkahkan kaki meninggalkan lapangan. Ia girang. Mau dia percaya, kalau selama itu Sangaji masih tertegun-tegun memikirkan kehebatannya y...
Komentar