BENDE MATARAM
JILID 12.
RADEN MAS SANJAYA
PANEMBAHAN TIRTOMOYO memperlambat larinya. Akhirnya berjalan wajar seperti seseorang yang lagi menikmati pemandangan. Ia menunggu kesan Sangaji. Tetapi ternyata kesan Sangaji dingin membeku seolah-olah enggan menaruh perhatian. Diam-diam ia heran atas tabiat pemuda itu yang tiada usilan. Pikirnya, hatinya beku sederhana. Kokoh dan utuh. Bagus bakatnya. Kalau saja ia menemukan seorang guru yang pandai mengenal pribadinya, kelak bakal jadi seorang kesatria-pendeta. Sebagai seorang pendeta, lantas saja hatinya kian tertambat pada pribadi Sangaji.
Sangaji sendiri waktu itu memang lagi berpikir lain. Dia hanya mendengar ujar Panembahan Tirtomoyo dengan setengah hati, karena pikirannya mendadak melayang kepada sahabatnya si pemuda kumal. Sesungguhnya dalam segala hal, hatinya lebih tertarik pada gerak-gerik pemuda kumal itu daripada yang lain. Ia sudah memperoleh kesan buruk terhadap si pemuda ningrat. Apa perlu hendak mengetahui keadaannya lebih jauh? Inilah ciri-ciri pribadinya yang jauh berlainan daripada kebanyakan manusia yang masih berdarah panas. Mungkin pula, usianya masih muda. Hatinya masih hijau pupus terhadap segala persoalan hidup yang bernapaskan lika-liku pelik.
Terhadap si pemuda kumal, ia mempunyai kesan aneh. Teringat akan kepandaiannya yang dapat mempermain-mainkan orang semacam Kartawirya, hatinya ikut bersyukur dan girang luar biasa. Ingin ia hendak lekas-lekas bertemu agar dapat menumpahkan semua perasaannya. Lalu ia teringat pula kepada lipatan kertas yang diberikan kepadanya semenjak di Cirebon. Dua kali ia melalaikan pesannya agar membuka lipatan kertas itu setelah dua hari dua malam. Tetapi oleh suatu kesibukan pesannya belum dapat dilaksanakan. Tatkala pagi tadi dia menerima warta tentang kedatangannya dari mulut pelayan losmen, ia lupa pula membuka lipatan kertas itu karena terdorong rasa girang. Kini ia mau melakukan tegoran sahabatnya itu.
Diam-diam ia merogoh kantungnya. Ternyata lipatan kertas itu masih mengeram baik-baik. Segera ia hendak merogoh, mendadak mendengar Panembahan Tirtomoyo berkata seolah-olah mendesak.
“Pernahkah kamu mendengar tentang seorang pendeta edan-edanan bernama Ki Hajar Karangpandan?”
Sangaji mengangguk. Memang ia pernah mendengar nama itu. Pertama-tama keluar dari mulut kedua gurunya. Kedua, dari mulut Ki Tunjungbiru tatkala mengisahkan riwayat pertemuannya sehingga orang tua itu terikat oleh suatu perjanjian tiada kawin selama hidupnya.
“Dia seorang guru besar,” ujarnya dingin. Ia teringat kepada pemuda Surapati yang mengabarkan dirinya sebagai murid Ki Hajar Karangpandan di samping sahabatnya semasa kanak-kanak Sanjaya.
“Dialah guru pemuda itu.”
“Sudah kuduga sebelumnya, karena gerak-geriknya mirip dengan seorang pemuda yang pernah berkelahi denganku di Jakarta.”
“Siapa pemuda itu?”
“Namanya Surapati. Dia adik seperguruan teman sepermainanku semasa kanak-kanak.” “Hm.” Panembahan Tirtomoyo berdengus
melalui hidungnya. “Akupun segera mengenal tata-ilmu berkelahinya. Itulah gaya adik kandungku Hajar edan.”
Mendengar keterangan Panembahan Tirtomoyo bahwa Ki Hajar Karangpandan adalah adik kandung, terperanjatlah Sangaji mengingat bahwa dia sampai berkelahi melawan murid-kemenakannya, hatinya merasa bersalah. Cepat-cepat dia berkata, “Aki! Kalau begitu aku bersalah terhadap Aki karena berkelahi melawan kemenakan murid Aki. Aku mohon maaf sebesar-besarnya. Alasan perkelahian itu sebenarnya hanya berkisar pada soal perjodohan. Dia hendak mengingkari janji dan menghina kehormatan seorang gadis dengan terang-terangan di muka umum. Sekiranya aku tahu dia adalah murid adik Aki, bagaimana aku berani berlaku lancang ...”
Panembahan Tirtomoyo tertawa perlahan.
“Tak perlu kamu minta maaf padaku. Bahkan aku periu menyatakan kekagumanku. Hatimu amat mulia, bocah. Aku senang padamu. Kau tahu, meski pun adikku seorang pendeta edan-edanan, tapi hatinya jujur bersih. Tak bakal ia membantu muridnya dengan membabi buta. Tak bakal pula dia membiarkan muridnya merusak namanya. Kautahu, karena demi nama, adikku bersedia berkelahi mengadu nyawa. Demi nama, dia berani menyiksa diri tidak kawin sepanjang hidupnya. Demi nama pula, dia terikat oleh suatu perjanjian dengan dua orang pendekar utama pada jaman ini.” la berhenti mengesankan. “Bocah! Siapakah sebenarnya nama kedua gurumu dan kamu berasal dari mana? Menilik tata bahasamu kamu bukan seorang anak yang hidup di tengah pergaulan daerah Jawa Tengah.”
Dua belas tahun lamanya Sangaji hidup di kota Jakarta. Meskipun dapat berbicara bahasa-daerah Jawa Tengah dengan lancar, tetapi bahasa sehari-sehari yang digunakan ialah bahasa Melayu Jakarta. Itulah sebabnya bagi pendengaran orang Jawa Tengah, tutur katanya terdengar kaku.
Sangaji menatap pandang Panembahan Tirtomoyo. Terhadap orang sesaleh dia, tak perlu ia menaruh keberatan menyebut nama kedua gurunya.
“Guruku dua orang. Yang berusia tua bernama Jaga Saradenta dan berusia pertengahan, Wirapati.”
“Ah!” seru Panembahan Tirtomoyo terkejut. “Masa kamu murid mereka? Kabarnya dua orang itu, sekarang berada di daerah barat.”
“Benar.” Sahut Sangaji dengan hati bangga. “Beliau berdua berada di Jakarta selama mengasuhku.”
“Eh ... jadi... jadi kaukah bocah pertaruhan itu?”
Sangaji menebak-nebak arti kata orang tua itu. Terus terang, dia belum bisa menanggapi.
“Pertaruhan?” tanya Sangaji minta penjelasan.
“Ya, bukankah kamu anak yang dijadikan pertaruhan antara kedua gurumu dan Hajar? Dua tahun yang lalu, aku berjumpa dengan Hajar di dekat Desa Bekonang. Dia menceritakan seperti itu demi kehormatan diri masing-masing.”
“Ah, itukah maksud Aki?” Sangaji baru mengerti. Lalu ia mengangguk.
“Kamu tahu, diapun anak yang dipertaruhkan.”
“Dia siapa?”
“Pemuda keagung-agungan tadi.”
Mendengar keterangan Panembahan Tirtomoyo tentang si pemuda ningrat yang senasib dengannya, rasa dengkinya turun. Ia malah tertawa perlahan karena geli.
“Ia dipertaruhkan untuk bertanding melawan siapa?”
“Melawanmu.”
“Aku?” Sangaji heran.
“Ya, karena dia itulah Sanjaya.”
Kalau orang kaget disambar petir, tidaklah sekaget Sangaji. Pandangnya lantas saja jadi kabur dan hatinya memukul keras. Kakinya terasa menjadi kejang. Dan dia berdiri tegak bagaikan sebatang tonggak. Bagaimana tidak? Nama Sanjaya tak pernah hilang dalam perbendaharaan benaknya, sebagai teman sepermainan masa kanak-kanak.
Ibunya selalu menderukan nama itu berulang kali, setiap kali membicarakan hal-hal yang terdapat di dalam daerah Jawa Tengah. Maksud ibunya hendak menanamkan bibit persahabatan sekuat-kuatnya dalam hatinya. Tatkala harus berguru pada Jaga Saradenta dan Wirapati, diapun sadar apa guna-faedah-nya. Juga kala dia harus berangkat ke Jawa Tengah. Perjalanan itu semata-mata untuk urusan pertemuannya dengan temannya sepermainan masa kanak-kanak, si Sanjaya. Karena itu, sepanjang perjalanan ia selalu mengharapkan suatu pertemuan selekas mungkin, sampai-sampai ia mengira si pemuda kumal adalah Sanjaya. Tak tahunya, kini dia malah bisa bertemu tanpa perantaraan kedua gurunya. Cuma saja terjadinya pertemuan itu, mengapa begitu rupa? Ingin dia membantah keterangan Panembahan Tirtomoyo. Alasannya kuat pula. Pertama-tama, Sanjaya bukanlah anak seorang ningrat. Dia anak almarhum sahabat ayahnya. Sama-sama anak kampung seperti dirinya. Kedua, barangkali dia adalah murid Ki Hajar Karangpandan yang lain seperti Surapati. Dan ketiga, seumpama si - pemuda ningrat itu benar-benar Sanjaya, masa tak mengenal dirinya? Masa dua belas tahun bisa berubah sehebat itu seperti membalik bumi. Tapi ia terperanjat sendiri, jika teringat kalau diapun tak mengenal siapakah si pemuda ningrat itu. Memperoleh pertimbangan demikian, seluruh tubuhnya lantas menjadi lemas.
Gap-gap ia menatap muka Panembahan Tirtomoyo untuk mencari keyakinan. Sesungguhnya alasan untuk tidak mempercayai orang tua itu, tidak ada sama sekali. Wajah itu, begitu alim dan saleh. Dia bukan termasuk golongan orang yang bisa bergurau. Memikir demikian hatinya kian memukul sampai terdengar berdegupan.
“Aki!” katanya perlahan-lahan setengah berbisik. “Sekiranya dia benar teman sepermainanku Sanjaya, mengapa dia menghina diri seorang gadis di depan umum. Seumpama dia enggan mengawini Nona itu, apakah jadinya?”
Benar-benar Sangaji pemuda yang beku dan bersih hati. Tak gampang-gampang melupakan perkara perjodohan Nuraini. Rupanya sesuatu hal yang menusuk perasaan tetap saja melekat pada perbendaharaan kalbunya.
Panembahan tersenyum melihat tata-peng-ucapan hatinya. Ia menjawab seperti menggurui,
“Bocah, benar-benar kamu berhati mulia. Melihatmu, lantas saja timbul keheranan mengapa adikku bisa mendapat murid seperti Sanjaya. Apakah dia tak memperhatikan nilai-nilai budi pekerti? ... “ ia berhenti, merenung-renung. Kemudian meneruskan sambil menggeleng-gelengkan kepala, “Baiklah kupinta penjelasannya. Beberapa hari ini dia akan sampai juga di kota ini.”
“Siapa?”
“Adikku Hajar Karangpandan.”
Mendengar jawaban Panembahan Tirtomoyo, diam-diam Sangaji bergirang hati. Ia berharap, kedua gurunya sampai pula.
“Bocah, sebenarnya kamu harus memikirkan kepentinganmu sendiri. Kamu bakal di uji dan mendapat ujian berat. Sebab bagaimanapun juga, Sanjaya adalah murid adikku. Pastilah dia telah memiliki bermacam-macam ilmu jasmaniah dan mantran.” Kata
Panembahan Tirtomoyo mengesankan. “Pernahkah - kamu mendengar tentang ilmu mantran?” “Apakah itu?”
Panembahan Tirtomoyo tertawa dalam dada. Sambil membimbing Sangaji ia berkata, “Dengar! Di dalam pergaulan hidup ini, tidak selamanya berjalan di atas nilai-nilai tata-jas-maniah yang wajar. Sejarah manusia menemukan sesuatu pengucapan-pengucapan lain oleh pengalaman usia manusia itu sendiri. Penemuan itu disebut tata-gaib.”
“Apakah itu?” Sangaji heran.
“Suatu derun pengucapan manusia yang mulai meragukan kemampuan tenaga jasmaniah untuk mencapai sesuatu maksud. Mengapa, anakku? Inilah alasannya.” Kata Panembahan Tirtomoyo menggurui. “Manusia ini mempunyai perlengkapan jasmani yang cukup sempurna untuk menyatakan ungkapan hati. Manusia mempunyai dua buah mata, dua tangan, dua kaki dan tulang-belulang lengkap dengan otot-otot serta segalanya. Tetapi anakku, apakah benar perlengkapan jasmani itu mampu menguber tiap derun angan manusia? Tidak! Sama sekali tidak! Bahkan terasa dalam hati, bahwa perlengkapan tubuh alangkah kerdil. Mata umpamanya, selagi terhalang oleh dinding saja, sudah terasa kerdil. Karena mata tak kuasa menembus. Lengan dan tangan sekalipun cekatan dan perkasa, apakah mampu memeluk gunung atau menggempur bukit? Begitu juga kaki walaupun teguh sentosa bagaikan pohon besi, apakah sanggup pula melompati luasnya lautan?”
“Lantas?” Sangaji tertarik hatinya.
“Oleh kenyataan yang mengecewakan derun angan itu, manusia mulai menggali dan menggali. Akhirnya diketemukan suatu perlengkapan lain yang dapat mengatasi dan mampu menguber setiap angan.”
“Apakah itu?”
“Cipta.” Panembahan Tirtomoyo menyahut cepat. “Kalau mau disebutkan selengkap-lengkapnya ialah: Hidup, Gerak, Rasa, Cipta, dan Karsa. Inilah alat tata-rasa jasmaniah manusia. Karena tidak nampak, maka tata-rasa itu disebut golongan rohaniah. Nah, tata-rasa ini mempunyai pengucapan-pengucapan sendiri, kemampuan-kemampuan sendiri dan laku sendiri. Mengingat tata-rasa sebagai suatu alat manusia, harus juga mengalami suatu latihan tertentu. Bukan seperti tata-jasmani yang mengutamakan latihan raga, tetapi lebih mengutamakan pengendapan. Inilah yang di-sebut orang laku bertapa. Orang mengurangi! laku makan-minum dan tidur. Mengapa begitu? Karena manakala manusia tidak makan-minum dan tidur, terjadilah suatu pembakaran dalam tubuh. Itulah akibatnya pemberontakan dan kegiatan tata-rasa yang butuh nada pelepasan. Seperti sebuah roda berputar akan berbunyi bergeritan dan panas, ketika orang mencoba menekannya kuat-kuat. Apabila tekanan dilepaskan, dengan mendadak saja roda itu akan berputar kencang berdesingan karena endapan tenaga yang tertekan.”
Panembahan Tirtomoyo berhenti mencari kesan. Ketika melihat Sangaji benar-benar merasa tertarik, ia meneruskan seperti sedang menggurui,
“Seumpama sebuah bendungan air yang tergenang arus air terus-menerus, membutuhkan suatu pelepasan teratur. Air itu akan menggoncangkan segala dan menjebol mengikuti saluran di mana saja terjadi. Begitu juga luapan tata-rasa itu akan menurut kehendak angan manusia bagaikan suatu saluran tertentu. Maka karena pengalaman manusia pula, terjadilah suatu istilah-istilah penggolongan saluran tata-rasa yang disebut orang mantran. Pernahkah kamu mendengar istilah-1 istilah seperti Mantran kekebalan, Ismu petak, Ismu Aji Gajah Wulung, Ismu Gunting, Mantran Sapu Jagad, Aji Welut Putih, Aji Bragola, Aji Brajalamatan, Aji Jayengkaton dan bermacam mantran dan aji lainnya? Itulah seumpama saluran-saluran sebuah bendungan air yang sedang memberontak. Hebat tenaganya, dan memiliki tata-kerja yang tak dapat dilawan oleh tata-kerja jasmaniah. Itulah sebabnya, maka tata-kerja tenaga itu disebut tata-gaib. Barangsiapa yang lebih kuat maka dialah yang menang.”
Mendengar tutur-kata Panembahan Tirtomoyo, Sangaji merenung-renung. Akhirnya berkata, “Apakah Sanjaya memiliki tenaga ajaib itu?”
“Adikku memiliki bermacam mantran dan aji. Apakah Sanjaya diwarisi ilmu saktinya, kita lihat nanti. Tetapi kamu tak usah berkecil hati. Aku berada di sampingmu. Kalau adikku bermain ugal-ugalan, biarlah aku nanti yang meladeni.”
Sangaji mengernyitkan dahi. Panembahan Tirtomoyo mengira dia sedang dalam keragu-raguan. Mau dia membesarkan hatinya, mendadak Sangaji berkata di luar dugaan.
“Tapi ... bagaimana nasib gadis tadi? Apakah kita biarkan dia meradangi nasibnya yang buruk?”
“Ah!” Panembahan Tirtomoyo terperanjat. Kemudian ia tertawa geli sampai tubuhnya bergoncang-goncang. “Bocah! Benar-benar kamu tak mau memikirkan kepentingan dirimu sendiri. Alangkah mulianya hatimu. Baik, ayo kita jenguk keadaan gadis itu. Kulihat tadi, hatinya keras sampai mau bunuh diri di depan umum. Aku khawatir, kalau dia mau melakukan perbuatan terkutuk itu di dalam penginapannya ... Ayo!”
Habis berkata demikian dengan sebat pergelangan tangan Sangaji disambarnya. Kemudian dibawa lari secepat angin. Diam-diam Sangaji mengagumi ilmu larinya, dilihat dari tata mata, dia sudah berusia lanjut. Tak tahunya gerakannya gesit luar biasa sampai dia sendiri terasa dibawa terbang melintasi tanah.
Sebentar saja mereka telah tiba di tempat pemberhentian kuda. Dengan gampang mereka menemukan losmen miskin yang berdiri di dalam gang kecil. Tatkala mereka hendak memasuki pintu pagar, serombongan polisi daerah datang menyambut sambil memperlihatkan sepucuk surat lipatan.
“Tuan-tuan berdua mendapat undangan Raden Mas Sanjaya agar sudi berkunjung ke istana Kadipaten. Inilah surat undangan beliau.”
Panembahan Tirtomoyo diam menimbang-nimbang. “Baiklah. Sampaikan saja, kalau kami berdua akan segera datang.”
Setelah berkata demikian, dengan menggandeng tangan Sangaji ia memasuki losmen. Rombongan polisi daerah itu, lantas saja mengundurkan diri. Rupanya mereka telah agak lama menunggu kedatangan mereka berdua. Begitu selesai melakukan tugas, cepat-cepat meninggalkan serambi losmen.
“Sangaji! Baiklah kita datang saja. Di sana kamu bakal ketemu dengan Sanjaya. Mungkin pertemuan itu akan mendatangkan angin bagus.”
Sangaji mengangguk. Hatinya girang. Memang ia merasa menyesal, mengapa sampai bertengkar dengan temannya itu. Seumpama siang-siang dia mengetahui siapa pemuda ningrat itu sebenarnya, takkan terjadi peristiwa demikian.
Waktu memasuki kamar, mereka melihat Mustapa sedang merebahkan diri di atas pembaringan. Kedua pergelangan tangannya membengkak dan berwarna biru. Nuraini yang terluka dadanya, duduk di sampingnya dengan wajah kebingungan. Alangkah dia bergirang hati, tatkala melihat kedatangan mereka. Gugup ia mempersilakan duduk di atas kursi, sedang dia sendiri tetap berada di tepi pembaringan.
Panembahan Tirtomoyo membuka bebat yang melilit pergelangan, kemudian memeriksa dengan cermat. Tulang pergelangan kedua belah tangan patah. Itulah kejadian lumrah dalam suatu pertarungan. Hanya saja bengkak itu nampak tersembunyi bentong-bentong merah hitam seperti kena bisa ular.
Ih, aneh! pikir Panembahan Tirtomoyo. Biarpun Hajar memiliki ilmu mantran pelik-pelik, tetapi tak mungkin mengantongi suatu mantran jahat. Sanjaya terang anak murid Hajar. Dari manakah dia mempunyai ilmu pukulan begini berbisa?
Selagi Panembahan Tirtomoyo sibuk menebak-nebak, Sangaji mengawaskan Nuraini yang selalu menunduk dalam, la jadi perasa. Ingin ia membesarkan hatinya dan menyatakan pula bersedia membela kehormatannya betapa besar akibatnya.
Tak lama, Panembahan Tirtomoyo merogoh kantung sakunya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil terbuat dari kayu.
“Siapakah namamu?” katanya pada Nuraini.
Nuraini menegakkan kepala.
“Nuraini binti Maksum.”
“Dialah ayahmu?”
“Bukan. Dia ayah angkatku. Namanya Mustapa.”
Panembahan Tirtomoyo tak bertanya lebih jauh. Ia mengalihkan pembicaraan,
“Ayah angkatmu kena pukulan beracun. Kebetulan aku mengantongi sebuah kotak kecil berisi bubuk daun Sangkalputung. Daun ini sangat mustajab untuk memulihkan tulang patah. Nanti kutolong menyambungkan tulangnya yang patah. Hanya saja aku mengkhawatirkan bentong-bentong racun itu. Kamu perlu merawatnya hati-hati.”
Nuraini terperanjat. Sangajipun kagetnya pula.
“Kena racun? Kapan dia kena racun?”
“Dia bukan kena racun, tetapi kena. pukulan beracun. Rupanya Sanjaya mempunyai pukulan berbisa yang berbahaya. Darimana dia mendapat pukulan itu, sulit aku menebaknya. Jelas sekali pukulan demikian, bukan berasal dari Hajar. Pasti ada lika-likunya di belakang kejadian ini.”
Sangaji diam berpikir keras. Ia mencoba mengingat-ingat perkelahian antara Sanjaya dan Mustapa. Sanjaya tadi hanya mengembangkan ke lima jarinya seperti hendak mencakar. Lalu diterkamkan dan menyambar pergelangan. Serangan inilah yang mematahkan pergelangan tangan Mustapa.
“Tak mungkin! Tak mungkin!” dia komat-kamit.
Panembahan Tirtomoyo yang sedang menyambung tulang pergelangan, menoleh.
“Apanya yang tak mungkin?”
“Sebab-musabab patahnya tulang perge-langannya, masih teringat segar dalam benakku. Dia kena serangan aneh semacam jurus milik Pringgasakti.”
“Apa katamu?” Panembahan Tirtomoyo terperanjat, la nampak menguasai diri, karena tengah menyambung tulang. Setelah selesai, segera ia menyuruh Nuraini memborehkan bubuk Sangkalputung dan membebatnya rapi. Kemudian membawa Sangaji ke luar losmen.
“Kamu tadi mnegatakan apa?”
Sangaji mengisahkan riwayat pertemuannya dengan Pringgasakti di sebuah bukit daerah Cibinong. Karena pengalamannya itu, gerakan serangan Sanjaya mengingatkan dia kepada gaya Pringgasakti.
“Ah! Bukankah Pringgasakti si iblis itu? Masa dia masih hidup pada jaman ini?” potong Panembahan Tirtomoyo gugup. Ia mempercepat langkahnya seolah-olah hendak memburu sesuatu.
Sangaji mencoba membicarakan Pringgasakti menurut pendengarannya dari omongan kedua gurunya. Panembahan Tirtomoyo mendengarkan dengan berdiam diri. Diam-diam ia mulai curiga pada murid adik kandungnya.
“Kau bilang, gurumu Jaga Saradenta melihat Pringgasakti berjalan bersama Pangeran Bumi Gede di Jakarta?” dia menegas.
“Begitulah kata guruku Jaga Saradenta.”
Panembahan Tirtomoyo menaikkan alisnya, tetapi tidak mengucap sepatah kata lagi. Dengan berdiam diri ia menggandeng Sangaji memasuki halaman Kadipaten Pekalongan yang lebar dan luas. Pendapa Kadipaten bagaikan sebuah pendapa pangeran-pangeran pati di Surakarta atau Yogyakarta. Teguh, tegak dan mentereng. Di sana nampak segerombolan orang yang mengenakan pakaian daerah masing-masing.
“Sangaji, dengarkan!” bisik Panembahan Tirtomoyo. “Dalam hal kecerdikan dan pengalaman bergaul dalam dunia luas ini, kamu kalah dengan Sanjaya. Karena itu mulai sekarang kamu harus bersikap hati-hati dan waspada. Jangan biarkan hatimu dikisiki luapan perasaan belaka. Kuasailah dirimu sebaik mungkin! Bergaul dengan penguasa-penguasa negara tak boleh menyatakan perasaan hati dengan terang-terangan. Kau mengerti?” Sangaji mengangguk.
“Bagus!” Panembahan Tirtomoyo gembira-melihat Sangaji mendengarkan nasehatnya. Meneruskan, “Lebih baik kamu tak dikenal mereka daripada memperkenalkan diri dengan terang-terangan. Ada guna faedahnya. Karena itu, janganlah kamu menyapa Sanjaya dahulu. Lain kali masih ada kesempatan. Kini bersikaplah wajar seperti tadi. Selain dirimu aman, kamu mempunyai kesempatan mengamat-amati dia sebelum bertanding. Dengan begitu, kamu bisa menempatkan diri kelak dalam gelanggang pertandingan.”
Sangaji tak menyetujui nasehat yang terakhir ini. Hatinya yang jujur bersih emoh berbuat suatu laku curang. Tetapi tatkala hendak membuka mulut, tiba-tiba Panembahan Tirtomoyo seperti telah dapat membaca hatinya.
“Bukankah kamu tadi telah mendapat pengalaman, bagaimana licinnya lawanmu? Dalam suatu pertandingan, orang tak boleh hanya mengutamakan keuletan tenaga belaka. Sebelum kamu memasuki wilayah Jawa Tengah, bukankah kamu telah diselidiki terlebih dahulu? Kau tadi bilang perkara perkelahianmu melawan pemuda Surapati adik seperguruan Sanjaya.”
Teringat akan Surapati, Sangaji terkesiap. Barulah sekarang dia mengerti tentang arti kedatangan pemuda itu di Jakarta dan dengan sengaja menantang berkelahi tanpa sesuatu, alasan tertentu. Sebagai seorang pemuda yang masih jujur bersih dan tak pernah pula memikirkan tentang hal-hal yang tiada lurus biar selintaspun, lantas saja timbul rasa dengkinya pada pemuda Surapati. Mendapat perasaan demikian, ia kemudian mengangguk tanpa ragu-ragu lagi.
Sanjaya yang berada di pendapa, waktu itu datang menyambut kedatangan Panembahan Tirtomoyo. la tertawa berseri-seri seraya berkata merendahkan diri.
“Paman benar-benar sudi berkunjung di rumah pondokanku. Meskipun rumah ini bukan rumah sendiri, tetapi aku mendapat kebebasan luas untuk berlaku sebagai tuan rumah. Nah, selamat datang Paman. Selamat datang pula kuucapkan pada sahabat kecil ini.”
Sangaji mengangguk. Hatinya tiba-tiba menjadi pedih, melihat sepak-terjang dan perangai temannya sepermainan dahulu. Dengan pandang tajam ia mengamat-amati dan mencoba mencari-cari suatu ingatan dalam masa kanak-kanaknya. Lapat-lapat dikenalnya pula potongan tubuh dan raut-muka temannya itu. Justru ia memperoleh ciri-ciri ingatan, jantungnya memukul keras. Untung, ia tadi telah menerima nasehat Panembahan Tirtomoyo. Maka cepat-cepat ia menguasai luapan perasaannya, sampai mukanya merah padam.
Sanjaya tersenyum melihat perubahan air muka Sangaji. la mengira olok-oloknya dengan menggunakan istilah sahabat kecil, mengenai sasaran dan tetamunya tak dapat berkutik untuk membalas permainannya. Sebaliknya Panembahan Tirtomoyo kelihatan mendongkol. Lalu ia mendamprat, “Berapa tahun kamu menjadi murid gurumu sampai kau tak mengenal tata-istiadat?”
“Itulah celakanya, kalau seseorang menekuni pelajaran suatu ilmu acak-acakan,” sahut Sanjaya dengan tertawa lebar. Maksudnya hendak merendahkan diri, tapi justru menikam kehormatan gurunya sebagai adik kandung Panembahan Tirtomoyo. Maka orang tua itu membentak tajam.
“Meskipun gurumu orang edan-edanan, ilmunya bukan ilmu acak-acakan. Gurumu bakal tiba di sini, mengapa kamu berani merendahkan keharuman namanya?”
“Guruku telah berada di sini, malah. Apakah Paman ingin bertemu dengan beliau?”
Panembahan Tirtomoyo heran sampai terhenyak. Berkata menebak-nebak, “Di mana dia sekarang? Coba panggil! Aku mau bicara!”
“Silakan masuk. Segera akan kuundangnya kemari,” sahut Sanjaya. Ia kemudian memanggil salah seorang penjaga dan membisikkan suatu kalimat perintah.
Panembahan Tirtomoyo dan Sangaji kemudian memasuki pendapa kadipaten. Pendapa itu benar-benar mentereng dan penuh hiasan beraneka-warna.
Bukan sekali dua kali Sangaji pernah melihat gedung-gedung mentereng. Sudah sering dan sudah pula menjadi suatu penglihatan lumrah dalam sehari-harinya ketika masih berada di Jakarta. Tetapi pendapa Kadipaten Pekalongan ini, memang benar-benar istimewa. Kesannya lain daripada gedung-gedung mentereng milik bangsa Belanda atau Tionghoa.
Hiasannya khas selera Jawa Tengah. Berwibawa, angker dan indah. Di sudut sana berdirilah seonggok tombak pusaka dengan didampingi payung emas. Kemudian gambarraja Susuhunan Surakarta lengkap dengan permaisuri dan keturunannya. Pada dinding lain tergantunglah bermacam-macam hiasan yang terbuat dari emas dan perak dengan diselang-seling hiasan terbuat dari beludru mahal dan kain batik pilihan. Di atas lantai tergelarlah dua perangkat gamelan Pelok dan Selendro yang terawat baik-baik. Nampak pula sebuah kotak wayang kulit yang berdiri di antara pot-pot tetanaman. Di hampir tiap sudut pendapa duduklah beberapa penjaga siap dengan senjatanya. Dan di dekat pintu masuk yang dihiasi gambar sepasang muda-mudi lagi berkasih-kasihan, nampak enam dayang-dayang duduk bersila dengan kepala menunduk.
Sanjaya segera memperkenalkan dengan tetamu-tetamu undangan lainnya yang terdiri dari dua puluh orang. Di antara mereka nampaklah Manyarsewu pendekar sakti dari Ponorogo, Yuyu Rumpung, Cocak Hijau dan dua orang opsir Belanda.
“Inilah Cak Abdulrasim dari Madura. Dan ini Putut Tunggulnaga dari Kediri,” kata Sanjaya lagi. Kemudian berturut-turut ia menyebut nama-nama, Sawungrana dari Surabaya, Glatikbiru dari Banyuwangi, Wiryadikun dan Somakarti dari Surakarta, Wongso Gdel dari Blora, Jokokrowak dari Kudus, Orang-aring dari Maospati, Trunaceleng dari Sragen. Keyong Growong dari Cirebon, Munding Kelana dari Indramayu, Banyak Codet dari Cilacap, Sintir Modar dari Bagelen dan Gajah Banci dari Semarang.
Panembahan Tirtomoyo tercengang-cengang hingga dia sibuk menduga-duga, “Aneh, mengapa benggolan-benggolan dari semua penjuru berkumpul di sini?”
Sebagai seorang bekas pendekar alam yang banyak mempunyai pengalaman, sudah barang tentu mengenal nama-nama dan gelar mereka semua. Karena itu dia kini bersikap hati-hati dan berwaspada.
“Ah,” katanya merendahkan diri. “Tak berani aku menerima kehormatan begini besar sampai pula diperkenalkan dengan para pendekar sakti.”
Sekonyong-konyong terdengarlah suara parau seperti burung betet pendekar sakti.
“Eh—semenjak kapan Panembahan Tirtomoyo bekerja sama dengan Jaka Saradenta Gelondong Segaloh?”
Panembahan Tirtomoyo terkejut. Suara itu luar biasa tajamnya dan mempunyai tenaga mantran. Cepat-cepat ia mengatur pernapasan dan menenteramkan diri sambil melayangkan pandangnya ke arah datangnya tegoran. Ternyata yang berbicara adalah Yuyu Rumpung si pendek buntet. Memang orang itu masih penasaran menyaksikan kemenakan muridnya kena dipermain-mainkan oleh si pemuda kumal sahabat Sangaji. Sebagai seorang yang luas pemandangannya, lantas saja dapat menebak perhubungan antara Sangaji dan si pemuda kumal. Diapun dapat menebak ilmu tata-berkelahi Sangaji. Maklumlah, dia berasal dari Banyumas dan menjadi penasehat sang Dewaresi. Dengan sendirinya mengenal juga siapa Jaga Saradenta. Bukankah dia paman Kodrat yang dahulu pernah menjadi salah seorang bawahan sang Dewaresi? Sehabis melepaskan tegoran untuk mempengaruhi keadaan, ia berjalan menghampiri Panembahan Tirtomoyo.
“Ih! Belum pernah aku bertemu denganmu seperti air kali dan air telaga, mengapa kamu tiba-tiba bersikap demikian garang?” kata Panembahan Tirtomoyo di dalam hati. Menimbang kalau orang itu bukan tokoh sem-barangan, maka dia bersikap sabar. Dengan sopan ia menyahut, “Nama dan gelar Tuan telah lama kukenal. Mengapa Tuan salah duga terhadapku?”
Yuyu Rumpung tertawa riuh sampai perutnya terguncang-guncang. Berkata nyaring,
“Bukankah Tuan yang terkenal dengan nama Panembahan Tirtomoyo?”
'Tak berani aku memperkenalkan diri dengan sebutan sementereng itu. Namaku sebenarnya Tunggulgeni. Gubukku berada di Tirtomoyo. Hanya orang yang salah dengar menyebut diriku sebagai Panembahan Tirtomoyo.”
Yuyu Rumpung tak mempedulikan sikap orang yang begitu sabar dan sopan-santun. Tabiatnya memang keras dan mau menang sendiri. Sepak terjangnya galak dan gampang marah. Itulah sebabnya, meskipun hampir semua bawahan sang Dewaresi dalam asuhannya, tidak ada seorangpun yang berhasil mewarisi ilmu kepandaiannya.
Dia lantas saja melototkan pandang kepada Sangaji. Tanpa sungkan-sungkan, tangannya mencengkeram hendak merenggutkan rambut Sangaji. Gntung Sangaji cukup berwaspada. Melihat gerakan orang, cepat ia mundur selangkah. Panembahan Tirtomoyo sendiri lalu maju melindungi.
“Bagus! Bagus! Kau melindungi kelinci cilik ini!” Yuyu Rumpung mengumbar amarahnya. Terus saja ia menyambar dada Panembahan Tirtomoyo.
Melihat orang demikian galak, Panembahan Tirtomoyo tak dapat bersikap mengalah lagi. Cepat ia mengangkat tangan bersiaga menangkis. Sekonyong-konyong, sewaktu kedua tangan perkasa akan saling berbenturan, berkelebatan sesosok bayangan. Bayangan itu menangkap tangan Panembahan Tirtomoyo dan tangan Yuyu Rumpung dengan berbareng dan dilontarkan. Hebat akibatnya. Kedua orang sakti itu dapat dipentalkan sampai mundur dua langkah. Mereka jadi tercengang-cengang, karena kalau bukan orang tangguh takkan mungkin mampu mementalkan tangan mereka.
Dengan tak setahunya sendiri, mereka mengawaskan pemisah itu. Dia adalah seorang laki-laki berumur kira-kira 36 tahun. Pakaiannya serba putih, bertubuh tegap perkasa dan bertampang ngganteng. Tatkala Yuyu Rumpung melihat siapa dia, lantas saja mengundurkan diri cepat-cepat. Sanjaya kemudian berkata memperkenalkan.
“Paman! Beliau bernama Yuyung Permana yang disebut orang dengan gelar sang Dewaresi. Beliau berasal dari Banyumas dan baru untuk pertama kali ini menginjak kota Pekalongan. Karena itu, beliau ingin berkenalan dengan Paman dan tetamu-tetamu undangan lainnya.”
Tidak semua yang hadir kenal siapa sang Dewaresi itu. Paling-paling mereka hanya mengenal namanya belaka sebagai dongengan. Tetapi melihat cara mundur Yuyu Rumpung, sebagian besar dari mereka kuncup hatinya. Panembahan Tirtomoyo dan Sangaji yang baru untuk pertama kali bertemu pandang dengan sang Dewaresi, diam-diam menyiasati dirinya.
Orang itu memang berpribadi besar. Alisnya yang tebal menolong kesan penglihatannya. Sangaji lantas saja teringat kepada tutur-kata gurunya Wirapati sewaktu berhenti di sebuah warung di sebelah barat kota Cirebon. Dialah yang disebut-sebut sebagai pemimpin rombongan pemuda-pemuda berpakaian putih. Dia pulalah yang disujuti Kartawirya dan rekan-rekannya yang dahulu mencoba merampas kuda dan kantong uang untuk diserahkan kepadanya.
Sementara itu, sang Dewaresi lantas saja merangkapkan tangannya seraya membungkuk merendahkan diri.
“Sebenarnya aku harus sudah berada di Pekalongan beberapa hari yang lalu. Sayang, di tengah jalan aku bertemu dengan suatu perkara yang tak dapat kuabaikan sehingga memperlambat perjalanan. Maafkan kelam-batanku ini.”
Melihat cara dia memisahkan Panembahan Tirtomoyo dan Yuyu Rumpung dan sekarang bisa bersikap merendah hati, orang-orang segera bersikap waspada. Seolah-olah sudah saling memberi isyarat, segera sadar bahwa orang itu amat berbahaya. Hanya Sangaji sendiri yang tak begitu menaruh perhatian berlebih-lebihan. Begitu ia mendengar keterangan sang Dewaresi bahwa dia terlambat di jalan oleh sesuatu perkara, lantas saja teringat kepada kedua gurunya. Apakah dia kena dihadang kedua gurunya, sehingga terpaksa mesti bertempur seru?
Panembahan Tirtomoyo pandai melihat gelagat. Tahu, bahwa mereka yang hadir bukan orang sembarangan, maka segera ia mengalihkan pandang kepada Sanjaya. la merasa diri tiada ungkulan jika meladeni mereka dengan sekaligus. Karena itu berusaha menguasai diri agar jangan terlibat oleh sesuatu persoalan hingga menerbitkan suatu pertengkaran. Katanya kepada Sanjaya mengalihkan kesan.
“Mana gurumu? Mengapa belum juga muncul?”
“Ah,” sahut Sanjaya berpura-pura terkejut. Lalu ia memanggil seorang penjaga dan memberi perintah: “Undang guruku!”
Mendengar bunyi perintah Sanjaya, hati Panembahan Tirtomoyo lega. Bila Ki Hajar Karangpandan muncul di sampingnya, tak usah dia cemas menghadapi mereka. Biarpun mereka menyerang dengan berbareng, rasanya sanggup melawan serta mengatasi.
Tidak lama kemudian, terdengarlah suara langkah berat. Lalu muncullah seorang laki-laki gede, berperut gede, berkulit hitam lekam dan mengenakan pakaian potongan bangsa Belanda. Pada dewasa itu adalah janggal sekali, seorang bumi putra mengenakan pakaian potongan barat. Laki-laki yang masih mempunyai kehormatan diri, tak sudi mengenakan pakaian demikian. Sebab orang-orang lantas menuduhnya sebagai begundal-begun-dal Belanda.
Orang itu, berjanggut lebat dan berkumis lebat pula. Roman mukanya angker, tetapi kocak matanya. Dengan demikian lebih patut disangka seorang bangsat daripada seorang pembesar negeri.
“Guru!” Sanjaya tiba-tiba menyambut dengan gembira. “Paman itu hendak bertemu dengan guru ...”
Melihat tampangnya orang gede itu dan mendengar lagu suara Sanjaya, hati Panembahan Tirtomoyo panas seperti terbakar.
Tahulah dia, bahwa pemuda ningrat itu hendak mempermain-mainkan dirinya. Maka dia berpikir dalam hati, benar-benar berhati busuk bocah ini. Bagaimana adikku bisa mempunyai murid begini rendah budi-pakartinya... Tetapi fneskipun hatinya panas, nampak sekali dia bisa mengendalikan diri.
Orang bertubuh gede itu, lalu menghampiri Panembahan Tirtomoyo serta menegur seperti seorang pembesar negeri.
“Apa perlu kau hendak bertemu dengan aku? Bilang! Aku paling benci melihat pendeta —cuh—manusia sok suci. Bih! Enek memuakkan!”
Bukan main sombong manusia gede itu. Memang dia seorang pegawai tinggi dalam pemerintahan Kepatihan Yogyakarta. Orang-orang menyebutkan sebagai bupati anom, entah bagian apa. Mungkin bagian perhubungan, karena di mana saja ada seorang pembesar berpesiar ke luar daerah, selalu nampak batang hidungnya.
Dengan memaksakan diri Panembahan Tirtomoyo bersikap merendah. Berkatalah dia menusuk, “Memang kami ini golongan manusia yang sok kesuci-sucian. Pantas tak disukai cecongor-cecongor pembesar negeri seperti Tuan. Nah—kebetulan hari ini, aku yang rendah bertemu dengan moncong Tuan. Boleh-kan aku yang rendah mengharapkan derma?”
Terang sekali, Panembahan Tirtomoyo membalas kesombongan pembesar itu de-ngan kata-kata yang tak kurang pedasnya. Dan pembesar gendut yang sebenarnya bernama Danuwinoto itu, terhenyak sampai tercengang-cengang. Maklumlah, biasanya orang kuncup hatinya apabila kena gertak. Apalagi berada di hadapan para pembesar negeri lainnya. Tetapi kali ini dia tertumbuk batu. Belum pernah selama hidupnya, ia kena semprot seseorang yang tiada mempunyai kedudukan, di depan hidung majikannya, la tak tahu, kalau orang yang dihadapi itu pernah menjadi tangan kanannya Sri Mangkunegoro 1 kala masih berjuang menuntut keadilan. Dengan kepala berteka-teki ia menoleh kepada Sanjaya, anak majikannya, la ingin memperoleh penerangan lagi mengenai jalannya permainan ini.
Memang dia bukan guru Sanjaya. Cuma, sewaktu Sanjaya masih kanak- kanak pernah mengajari satu dua jurus belaka. Kalau disebut sebagai seorang guru, sebenarnya masih kurang jauh syarat-syaratnya. Tetapi tadi dia dikisiki oleh Sanjaya, bagaimana dia harus bersikap di depan Panembahan Tirtomoyo.
Maksudnya untuk membuat malu sang Pendeta. Sebagai seorang hamba yang mengharapkan kebagian rejeki sebanyak-banyaknya manakala bisa meladeni kehendak majikan, maka tanpa pikir lagi lantas saja dia bekerja.
Sanjaya tersenyum panjang.
“Guru! Bukankah cukup jelas maksud Paman menemui Guru? Dia minta derma.”
Danuwinoto berdiri melongoh. Sama sekali tak diduganya, bahwa persoalan itu akan dikembalikan kepadanya. Hatinya lantas saja jadi kelabakan hingga matanya terkocak.
Sanjaya rupanya bisa menebak gejolak hatinya. Ia ingin menolong bawahannya. Lalu memanggil seorang dayang dan disuruhnya mengambil uang sebanyak 50 ringgit. Ini adalah suatu jumlah luar biasa besar untuk suatu derma. Dan sekali lagi, Danuwinoto yang mata duiten jadi terlongoh-longoh.
“Mari kita duduk,” terdengar Sanjaya mempersilakan tetamu-tetamu undangannya. “Paman Panembahan Tirtomoyo baru sekali ini berkunjung kemari. Berilah tempat yang luas, Tuan-tuan sekalian!”
Dengan hati mendongkol Panembahan Tirtomoyo terpaksa menerima tata cara penyambutan, la duduk bersama Sangaji. Dan di depannya tetamu-tetamu lainnya duduk i seolah-olah sedang merubung dan siap mengkerubut bila perlu. Dua orang opsir Belanda yang hadir pula pada jamuan itu, ikut pula duduk. Tetapi mereka berdua lalu 'berbicara sendiri. Akhirnya berjalan mengelilingi pendapa mengamat-amati perhiasan dinding dan dua perangkat gamelan yang menarik perhatiannya.
Dayang-dayang yang tadi duduk bersimpuh di dekat pintu masuk, segera bekerja dengan cekatan. Mereka mulai mengeluarkan minuman dan penganan. Begitulah, lantas saja terjadilah suatu perjamuan yang disertai gelak tawa sebebas-bebasnya.
Sangaji yang semenjak tadi berdiam diri, diam-diam memperhatikan air muka Panem-fbahan Tirtomoyo. Orang tua itu seakan-akan sedang berpikir keras memecahkan sesuatu persoalan. Mendadak saja ia mendongakkan kepala dan berkata nyaring kepada Sanjaya.
“Eh, anak muda! Kebetulan sekali di sini hadir para pendekar yang sudah mempunyai , pengalaman luas dalam pergaulan hidup dalam dunia ini. Aku akan minta pendapat, pertimbangan dan pengadilan mereka.”
“Silakan berbicara Paman!” sahut Sanjaya dengan kepala berteka-teki.
“Perkara anak gadis Mustapa. Bukankah urusannya belum selesai? Sebagai seorang kesatria bagaimana bisa membiarkan orang lain menderita demikian hebat. Selagi kita bersenang-senang dijamu orang, apakah tidak baik Mustapa dan gadisnya dipanggil kemari? Sekalian membicarakan perjodohanmu ...”
Perkataan tadi ditujukan kepada yang hadir agar mendapat pertimbangan. Tetapi belum lagi mereka membuka mulut, Sanjaya telah mendahului dengan tertawa gelak.
“O, perkara si dia? Itu sih, perkara mudah. Aku setuju dengan pendapat Paman, agar mereka ikut hadir pula. Selanjutnya, aku akan tunduk pada tiap keputusan Paman dan Tuan-tuan sekalian.”
Heran Panembahan Tirtomoyo mendengar kata-kata Sanjaya. Selagi ia hendak menebak-nebak ke arah mana tujuan si pemuda itu, mendadak dia berkata kepada Sangaji,
“Sebaliknya saudara kecil ini saja yang memanggil mereka. Bukankah mereka percaya kepada sahabat kita ini?”
Panembahan Tirtomoyo mengernyitkan dahi. Sejurus kemudian ia mengangguk menyetujui. Dan Sangaji segera berangkat. Sepanjang jalan pikiran Sangaji pepat dan kusut memikirkan teman sepermainannya itu.
Alangkah buruk kesannya. Sanjaya sekarang bukan lagi Sanjaya dua belas tahun yang lalu. Mengapa segala-galanya berubah? Pemuda yang jujur bersih itu tak pernah berpikir, bahwa masa dua belas tahun bisa berbicara banyak. Seorang yang sehat walalfiat umpamanya, bisa dirubah menjadi orang gila dalam masa itu. Seorang wanita cantik jelita apabila dirundung kemalangan secara terus-menerus selama dua belas tahun, betapa takkan bisa menjadi seorang manusia kempong-perot? Hutan belukar pun bisa menjadi suatu ladang yang terang-berderang dalam jangka waktu itu pula.
Tatkala tiba di losmen, segera ia memasuki kamar Mustapa. Alangkah terkejutnya! Mustapa dan gadisnya tiada lagi berada di dalam kamarnya. Cepat-cepat ia mencari pen-jelasan kepada pelayan losmen. Pelayan itu berkata kalau Mustapa dan gadisnya dijemput oleh sebuah kereta.
Menurut pendengarannya ada seorang kenalannya yang mengundang mereka berdua mengunjungi rumahnya.
“Siapa yang mengundang mereka?” Sangaji menegas.
Pelayan tak dapat menerangkan. Karena itu Sangaji bergegas kembali ke kadipaten. Dan belum lagi dia melaporkan apa yang telah ter
jadi di losmen, terdengarlah Sanjaya tertawa melalui dadanya.
“Sahabat kecil! Mana mereka? ...”
Tanpa curiga, Sangji menjawab, “Mereka tidak ada dalam kamarnya. Ada seseorang mengundang mereka ke rumahnya. Entah ke mana.”
Sanjaya nampak menghela napas. Katanya seakan-akan menyesal, “Eh ... ke mana mereka pergi ...?” Kemudian berpaling kepada salah seorang penjaga dan terus memberi perintah.
“Cari mereka sampai ketemu. Lalu ajakiah ke mari.”
Penjaga itu membungkuk dan bersembah, kemudian mengundurkan diri. Panembahan Tiritomoyo menjadi sibuk sendiri. Kecurigaannya lantas saja membersit hebat. Akhirnya dia berkata dalam hati, hm ... biarpun kamu main sandiwara di depanku, sebentar atau lama akan terbongkar kedokmu.
Mendadak Sanjaya berkata minta pertimbangan, “Paman! Mereka tidak ada. Lalu bagaimana baiknya?”
“Hm.” Dengus Panembahan Tirtomoyo. “Kamu licin seperti belut, anak muda. Kukhawatirkan kau akan menumbuk batu.”
Sanjaya tertawa gelak. Dan Danuwinoto hamba berperut gede yang berdiri di sam-pingya, tak senang hati mendengar kata-kata Panembahan Tirtomoyo. Memang semenjak majikannya memberi perintah mengambil derma sebanyak 50 ringgit itu bukan jumlah yang sedikit. Dia sendiri hanya bergaji 20 ringgit setiap bulannya sebagai bupati anom.
Eh ... tak karuan-karuan jadinya. Mengapa Raden Mas Sanjaya sudi bersikap merendah terhadap pendeta brandalan ini, pikirnya. Lalu ia maju lagi sambil membentak.
“Hai pendeta bau, siapa sih kamu sebenarnya? Dari mana pula asalmu, sampai berani main gila di sini? Apakah pendapa kadipaten ini kau anggap sebagai surau kampungan?”
Panembahan Tirtomoyo tak meladeni, hanya membalas bertanya,
“Tolong terangkan kepadaku kamu orang Jawa atau Belanda? Atau memang orang blesteran?”
Dikatakan orang blasteran bukan main gusar si Danuwinoto. Tanpa berbicara lagi, ia lalu melompat. Tinjunya terayun hendak mendorong muka Panembahan Tirtomoyo. tetapi ia ketumbuk batu. Panembahan Tirtomoyo ternyata tiada berkisar dari tempat duduknya. Dia hanya melempar putungan panganan sambil berkata, “Eh, kau begini galak. Kalau kau mau menerangkan terus-terang, sudahlah tak usah berbicara.”
Danuwinoto kaget bukan main. Tiba-tiba saja ia tertahan dan dadanya menjadi sesak seperti kena tindih suatu benda seberat seratus kati. Meledak dia berseru, “Bangsat! Kau menggunakan ilmu siluman macam apa?
“Sabar! Sabar, Tuan bupati...” tiba-tiba terdengar suara parau, itulah suara Yuyu Rumpung.
Mendengar suara itu, Danuwinoto mau melompat mundur, tapi tubuhnya benar-benar seperti tertancap di lantai. Yuyu Rumpung segera menolong. Dengan menggunakan separoh tenaga, ia menghentakkan. Tetapi sebenarnya, separo tenaganya lebih dari cukup. Danuwinoto kena terenggutkan, hanya terlalu kuat sehingga pembesar berperut gede terpental dan jatuh terjengkang ke lantai. Karuan saja para hadirin lainnya, tertawa ber-kakakan.
Danuwinoto segera bangun dengan tertatih-tatih. Hebat rasa mendongkolnya, tetapi ia tak berdaya menghadapi Panembahan Tirtomoyo. Karena merasa diri tak ungkulan, dengan memaksa diri menelan malu, ia ngoyor pergi seperti seorang yang habis kencing.
“Ilmu wilayah Gunung Lawu memang tiada tandingnya. Pantas tak memandang sebelah mata dengan ilmu-ilmu lainnya. Sampai berani membantu anak waris ilmu Jaga Saradenta segaluh si keparat,” teriak Yuyu Rumpung.
“Bagaimana berani aku menerima pujian-mu.” Sahut Panembahan Tirtomoyo dengan sabar.
“Dengan pendekar-pendekar Gunung Lawu, pihak kami tidak ada suatu perkara. Sekarang perkenankan kami memohon keterangan, mengapa Tuan membantu musuh kami bebuyutan? Meski si keparat Jaga Saradenta berada di sini pula, kami yang bodoh ini tidak bakal mundur selangkah pun juga.”
“Barangkali Tuan hanya salah mengerti,” kata Panembahan Tirtomoyo. “Aku kenal siapa Jaga Saradenta. Tetapi hanya kenal namanya, bukan orangnya. Antara dia dan aku belum pernah saling berhubungan. Karena itu bagaimana bisa Tuan menuduh aku membantu dia? Dalam hal apa?”
“Bagus! Bagus!” teriak Yuyu Rumpung sambil berdiri tegak. “Kalau begitu serahkan bocah itu kepadaku!” habis berkata begitu, dengan sebat ia meloncat menerkam dada Sangaji.
Panembahan Titomoyo terperanjat. Cepat luar biasa ia mendorong Sangaji dari tempat duduknya sehingga terpental jauh, sedang lengannya sediri menyambut serangan orang.
Yuyu Rumpung tak sempat lagi menarik serangannya. Ia menubruk kursi kosong sehingga hancur berantakan. Sedang sikunya cepat-cepat menangkis lengan Panembahan Tirtomoyo.
“Bagus! Benar-benar kamu melidungi dia!” teriaknya marah.
“Sabar Tuan,” kata Panembahan Tirtomoyo. “Bocah ini aku yang membawa kemari. Karena itu sedikit banyak aku yang harus memikul tanggung jawab. Sekiranya Tuan masih saja berdendam kepadanya, tak dapatkah Tuan mencari kesempatan pada lain kali, saat aku tidak ada di sampingnya?”
Sang Dewaresi yang semenjak tadi berdiam diri, kemudian campur bicara.
“Yuyu Rumpung! Dalam hal apa kau berdendam kepada bocah itu?”
Mendengar suara sang Dewaresi, redalah amarah Yuyu Rumpung. Perlahan-lahan ia kembali duduk ke kursinya sambil menjawab, “Sampai hari ini, Kartawirya, Setan Kobar, Cekatik, Maling dan rombongan yang lain belum bisa bekerja semestinya, semata-mata karena dipermainkan bocah itu. Masa kita biarkan dia mencoreng muka anak-anak kita?”
Mendengar keterangan Yuyu Rumpung, sang Dewaresi menegakkan kepala. Juga tetamu undangan lainnya sekaligus mengarahkan pandangannya kepada Sangaji. Mereka semua akan pula membantu Yuyu Rumpung bilamana perlu untuk menangkap si anak muda. Diam-diam Panembahan Tirtomoyo cemas juga. Musuh yang berada di depannya, berjumlah banyak dan bukan orang-orang sem-barangan. Apa daya, jika mereka bertindak berbareng? Cepat-cepat ia mencari akal untuk membebaskan Sangaji. Pikirnya, empat puluh tahun lamanya, aku berkelana dan bertempur di sembarang tempat dan waktu. Tapi kali ini, memang sulit. Dapatkah aku melawan mereka sambil melindungi dia? Rasanya tak mungkin! Malahan menolong diri sendiripun bukan gam-pang. Agaknya satu-satunya jalan untuk melawan mereka harus mengulur waktu sambil menerka-nerka apa maksud tujuan mereka berada di sini. Barangkali di kemudian hari ada gunanya.
Memikir demikian, lalu ia menggapai Sangaji agar duduk di kursi lain. Kemudian berkata, “Tuan-tuan sekalian. Bukanlah mudah bisa bertemu dengan Tuan-tuan sekalian sekaligus pada sembarang waktu, sekiranya orang tak mempunyai rejeki besar. Karena itu, patutlah hari ini aku bersujud kepada Tuhan untuk menyatakan terima kasihku. Sebab Tuan-tuan sekalian bukanlah manusia lumrah. Tuan-tuan adalah sekumpulan manusia-manusia yang mempunyai gelar dan nama besar.” Ia berhenti sebentar mengesankan. Kemudian meneruskan sambil menuding Sangaji. “Bocah ini bukan sanak bukan ka-dangku. Tapi dia seorang anak muda yang berhati mulia, jujur dan berhati bersih. Hanya sayang, dia belum mengenal betapa tingginya udara dan betapa besarnya gunung dan betapa luasnya persada bumi. Karena umur dan pengalamannya yang masih hijau itulah, sampai dia berani menyusahkan rekan-rekan Tuan dan dengan sendirinya menyusahkan kepentingan Tuan-tuan pula. Jika Tuan-tuan kini bermaksud hendak menahan dia, akupun tak dapat mempertahankan dan membelanya. Memang bocah ini patut mendapat ganjaran setimpal dengan perbuatannya. Hanya saja demi kepentingan Tuan-tuan sendiri, aku dan bocah ini pula, aku memberanikan diri untuk memohon satu hal. Yakni, perlihatkan kepandaian Tuan-tuan di hadapannya.
Dengan demikian, akan bisa membuka matanya agar di kemudian hari tidak lagi membuat susah kita sekalian. Kedua kalinya dengan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri betapa tingginya kepandaian Tuan-tuan, dia takkan menyesali aku mengapa tak mampu smembela dirinya ...”
Maksud Panembahan Tirtomoyo cukup jelas. Dia hendak mengulur waktu agar mendapat kesempatan mencari kesempatan jalan keluar sebaik-baiknya. Tapi Cocak Hijau yang sejak tadi berdiam diri, merasa ditantang. Memang dialah orang yang pertama kali merasakan benturannya, tatkala berada di dalam gelanggang pertarungan hendak menghajar Sangaji.
“Biarlah aku belajar mengenal dengan Tuan. Akan kubikin dia percaya dengan menjungkir balikkan Tuan di depan hidungnya,” serunya keras.
“Eh, Saudara ...” potong Panembahan Tirtomoyo. “Bukan maksudku mengadu Saudara di depan si bocah, tetapi sebaliknya perlihatkan kepandaian saudara di depannya. Dengan sejurus dua jurus ilmu kepandaian Saudara, aku percaya dia bakal terbuka matanya. Dia bakal mendapat pengertian, bahwa di luar gunung ada gunung lainnya. Di luar pulau ada persada bumi yang lebih luas lagi. Kelak dia pasti jera dan tak berani mengumbar tingkah-laku ...”
Cocak Hijau mendongkol. Sebagai seorang yang sudah lanjut usia, ia sadar sedang diejek orang. Tetapi kata-kata Panembahan Tirtomoyo cukup terang dan jelas, sehingga susah untuk ditentang.
Mayarsewu pendekar sakti dari Ponorogo bisa berpikir lebih terang. Pikirnya dalam hati, mustahil pendeta ini tidak mempunyai saudara-saudara seperguruan. Dia bukan orang sembarangan, saudara-saudara seperguruannya pasti juga sehebat dia. Bila Cocak Hijau sampai melukai atau membuat malu dia, tidak mustahil akan berekor panjang. Mana bisa saudara-saudara seperguruannya tinggal berdekap tangan. Sekarang kita berkumpul bersama. Bila datang waktunya kita berpisah, inilah celakanya.
Memperoleh pikiran demikian, lantas saja ia berseru kepada Cocak Hijau.
“Cocak Hijau! Kata-kata Tuan Pendeta patut kau dengar. Itulah jalan sebaik-baiknya. Nah, perlihatkan sedikit kepandaianmu!”
Mayarsewu adalah sahabat Cocak Hijau. Pernah dia bertempur melawan dia dan tak ada yang kalah atau menang. Dengan begitu, tentang kepandaiannya dan mulutnya dia kenal benar. Tidaklah memalukan bila dipamerkan, malahan bisa sedikit menguncupkan orang-orang gagah di antara mereka.
Cocak Hijau lantas saja bersiaga. Dengan berseru, “Lihat!” Lalu ia meloncat tinggi dan melesat dari tiang ke tiang, bagaikan burung Cocak hinggap di dahan-dahan. Yang hebat lagi, gerakannya membawa kesiur angin yang bergulungan. Penjaga-penjaga Sanjaya yang terdiri dari kaum buruh lumrah, pada jatuh bergelimpangan kena samber angin. Cocak Hijau tidak hanya memamerkan kegesitannya semata, tetapi tiba-tiba terjun ke lantai dan menggempur batu-batu sehingga separo tubuhnya tertumblas seperti tonggak tanggul.
Mereka yang melihat kagum sambil memuji keperkasaannya dengan terus terang. Sangaji yang berhati polos, lantas saja bertepuk tangan seperti laku anak-anak Jakarta yang menyatakan kekagumannya secara langsung. Pada dewasa itu, orang jarang bertepuk tangan. Karena itu di antara mereka hanya dia seorang yang bertepuk tangan. Semua menoleh kepadanya. Juga Cocak Hijau tak urung melirikkan mata.
“Kasar kepandaian Saudara itu,” ujar Mayarsewu. “Maklumlah, dia orang berasal dari Bugis ...”
Sehabis berkata begitu, ia menepuk tepi meja dan piring-piring yang berada di atasnya, kabur sekaligus dan berputaran di udara. Kemudian dia mengibaskan tangan dan piring-piring seolah-olah bisa dikuasai, mendarat berturut-turut di atas lantai tanpa bersuara.
Orang-orang yang melihat permainan itu, benar-benar kagum seperti kanak-kanak melihat sulapan. Belum lagi habis kekaguman mereka, datang pulalah pertunjukan yang lain. Dua orang penjaga diperintahkan membawa pergi piring-piring itu. Tapi tatkala diangkat, mendadak saja piring-piring itu rontok berentakan.
Panembaha Tirtomoyo terperanjat. Pikirnya, hebat ilmunya. Kalau orang ini tidak sakti, mana bisa menghancurkan sesuatu benda dari kejauhan.
Dan selanjutnya, berturut-turut mereka menunjukkan kepandaiannya masing-masing. Yang kebal, memperlihatkan kekebalannya. Yang perkasa memperlihatkan keperkasaannya. Yang bertenaga, segera mengeluarkan tenaganya dan memperkenalkan ilmunya yang disebut; Bayu Sejati. Dalam pada itu, Sangaji sempat memperhatikan gerak-gerik
Sanjaya. Pemuda itu makin lama makin bersedih hati kesannya. Maklumlah, selama pertunjukan itu Sanjaya bersikap seakan-akan menjadi majikannya. Pandangnya angkuh dan selalu melepaskan senyuman mengejek kepada Panembahan Tirtomoyo. Karena kesan itu, Sangaji terus teringat kepada si pemuda kumal yang menjadi sahabat barunya. Dibandingkan dengan si pemuda kumal kesannya alangkah jauh berlainan.
Teringat akan si pemuda kumal, ia teringat pula akan kata-katanya tadi pagi. Katanya, dia hendak mencari dirinya. Maka diam-diam, ia mengantongi empat bongkah daging goreng. Bukankah kawannya itu senang menikmati makanan?
“Sekarang sang Dewaresi!” tiba-tiba terdengar Sanjaya berseru. “Bolehkah kami melihat dan menyaksikan kepandaian Tuan?”
Sang Dewaresi tersenyum. Ia melirik kepada dua opsir Belanda yang semenjak tadi berdiri ternganga-nganga. Di depan mereka nampak setumpuk batang sendok dan garpu perak. Segera dia berdiri meminjam perlengkapan makan itu. Kemudian dengan gerakan acuh tak acuh melemparkan semua sendok dan garpu ke udara. Mendadak saja dia mengibaskan tangan dan sendok-sendok serta garpu-garpu itu, tertancap rapi di atas lantai.
Sang Dewaresi pandai menebak hati mereka. Seketika itu juga, dia berdiri tegak. Kemudian dengan depakan perlahan, dia mementalkan meja panjang yang penuh minuman dan makanan...
Mayarsewu dan Panembahan Tirtomoyo terperanjat. Pikir mereka berbareng, pantas, orang kagum dan segan kepadanya. Kecakapan menguasai benda yang sedang terbang untuk dibuatnya senjata, bukanlah suatu kepandaian main-main. Dalam suatu pertempuran, banyak guna-faedahnya. Musuh yang bersenjatakan panah, bisa mati ter-cengkang oleh senjatanya sendiri.
Tapi mereka yang belum mengerti arti kepandaian itu, tetap berdiam diri. Memang dibandingkan dengan pertunjukan-pertunjukan yang serba kasar, kurang meriahkan hati.
Sang Dewaresi pandai menebak hati mereka. Seketika itu juga, dia berdiri tegak. Kemudian dengan depakan perlahan, dia mementalkan meja panjang yang penuh mi-numan dan makanan. Anehnya, semua minuman dan makanan tidak ada yang berkisar dari tempatnya. Terus dia menangkap pantat meja itu dan dibawanya melompat ke atas sendok-sendok dan garpu-garpu yang tertancap di atas lantai. Lalu dia bersilat dengan lincah sampai sembilan jurus. Setelah selesai, kembali dia melontarkan meja panjang penuh hidangan itu ke udara. Tangannya mengibas dan meja itu mendarat perlahan di tempatnya semula. Berbareng dengan itu, ia melesat dari atas sendok-sendok dan garpu-garpu yang tertancap di lantai dan kemudian duduk dengan tenang di atas kursinya. Sama sekali, tak nampak dia letih atau mengangsur napasnya. Inilah hebatnya!
“Ih!” Panembahan Tirtomoyo heran seraya mengerling kepada Sanjaya. Macam apa Pangeran Bumi Gede ini, sampai bisa mengumpulkan orang-orang gagah sebanyak itu? Untuk berjumpa dengan salah seorang saja di antara mereka biasanya bukan gam-pang. Mengapa mereka sudi berkumpul di sini? Apa kepentingan mereka? Dan apa pula maksud Pangeran Bumi Gede? pikirnya.
Dia sendiri, sebenarnya bermaksud hendak mengunjungi makam almarhum Kyai Lukman Hakim di Cirebon. Tak tahunya sesampainya di Pekalongan, ia melihat gelanggang pertarungan dan tertarik pada kemuliaan hati Sangaji. Lantas saja dia terlibat dalam suatu persoalan. Kini secara kebetulan pula menyaksikan berkumpulnya orang-orang gagah dari semua penjuru.
Sangaji kagum bukan main. Mulutnya tak ada henti-hentinya memuji kepandaian sang Dewaresi. Bagaimana tidak? Sendok-sendok dan garpu-garpu yang tertancap di lantai tidak ada yang melesat atau miring. Sedang tadi, Sang Dewaresi terang-terang bersilat di atasnya sambil membawa beban sebuah meja panjang lagi besar. Bagaimana cara dia mengurangi berat benda dan berat badannya?
Sampai di sini pertunjukan nampaknya hampir selesai. Tinggal Yuyu Rumpung sendiri yang belum memperlihatkan kepandaiannya. Diam-diam Panembahan Tirtomoyo sadar akan bahaya. Sehabis orang itu memperlihatkan kepandaiannya, pasti mereka bakal bertindak menangkap Sangaji. Kalau sampai kena tangkap, bagaimana si anak muda bisa lolos dari suatu siksaan tak terlukiskan lagi. Memikirkan demikian, ia lantas bertindak cepat. Dengan tak terduga-duga, ia menangkap Sanjaya dengan suatu kesehatan luar biasa dan kemudian menjengkelit pemuda itu di depan hidungnya.
Sanjaya terperanjat. Ingin dia meronta, tetapi mendadak saja tubuhnya serasa seperti lumpuh sampai tak dapat berkutik. Para tetamu lainnya tak kurang-kurang terkejutnya. Salah seorang dari mereka akan maju, tetapi sang Dewaresi segera berkata,
“Tuan-tuan, harap tenang. Jangan ada seorang pun yang mengulurkan tangan.”
Sang Dewaresi ternyata orang yang dapat berpikir cepat. Ia pandai pula melihat gelagat. Menimbang, bahwa Panembahan Tirtomoyo bukan orang yang sembarangan pula, maka ia tak berani bertindak sembrono. Sedikit menimbulkan kecurigaan, sang pendeta bisa membunuh mampus anak Pangeran Bumi Gede. Kalau terjadi demikian, akan besar akibatnya.
Panembahan Tirtomoyo kemudian berkata sambil menarik Sangaji di sampingnya,
“Kami tak berselisih atau bertengkar dengan Tuan-tuan. Kami juga bukan sanak kadang bocah ini seperti yang kami terangkan tadi. Sekarang, Tuan-tuan telah memenuhi permohonan kami untuk memberi kesan sedikit kepadanya. Cukuplah hal itu untuk menjadi buah pengalamannya. Kami tanggung, dia takkan berani berlaku kurang ajar lagi terhadap Tuan-tuan sekalian. Dengan kesadaran ini, perkenankanlah kami mohon belas kasih dan kemurahan Tuan-tuan. Bebaskanlah bocah ini.”
Semua yang mendengar diam membungkam. Mereka mengarahkan pandang kepada Sanjaya yang terbekuk tak mampu berkutik lagi. Diam-diam mereka mengeluh dalam hati.
“Apabila Tuan-tuan bersedia meluluskan permohonan kami ini, anak muda ini pun akan kami lepaskan pula,” kata Panembahan Tirtomoyo meneruskan. “Seumpama sebuah benda, putra Pangeran Bumi Gede jauh lebih berharga dari pada bocah ini. Sebab dia adalah anak dari seseorang yang tak mempunyai kelas. Anak rakyat jelata yang hidup menempel di bawah perlindungan tuan-tuan penguasa negara. Jika kita pertukarkan, bukankah pihak Tuan yang lebih beruntung? Nah—bagaimana pendapat Tuan-tuan sekalian?”
Yuyu Rumpung yang masih penasaran tak dapat lagi mengendalikan diri. Tetapi ia mengenal bahaya berkat usianya yang cukup makam garam. Maka ia meledak.
“Tuan Pendeta agaknya bukan seorang manusia yang pandai mengaji dan bersujud pada Penguasa jagad. Di luar dugaanku, pandai juga menjenguk persoalan dunia.”
“E-hem!” Sang Dewaresi mendehem. Dehem itu disertai suatu tenaga mantran, sehingga terasa pengaruhnya. Kemudian berkata tegas, “Jangan banyak cingcong! Tawaran sang Pendeta cukup adil.”
Kata-kata Sang Dewaresi merupakan kepu-tusan mereka. Maka Panembahan Tirtomoyo membebaskan Sanjaya. Sadar bahwa yang hadir bukanlah orang yang tolol dan kelicikan serta kelicinan mungkin di luar perhitungan dan dugaan, maka cepat-cepat Panembahan Tirtomoyo mengundurkan diri sambil menggandeng tangan Sangaji.
“Ijinkanlah kami mengundurkan diri sampai bertemu lain kali,” katanya takzim.
Semua orang tertegun, seperti rombongan penonton sandiwara menyaksikan pembunuhan di atas panggung.
Sanjaya lalu datang menghampiri seraya menyahut dengan senyuman,
“Berkenalan dengan Paman, tiada ruginya. Sudilah sekali-kali Paman berkunjung ke pondokku di wilayah Bumi Gede Yogyakarta? Sayang, di sini tidak ada waktu untuk membicarakan lebih leluasa ...”
“Hm!” dengus Panembahan Tirtomoyo melalui hidungnya. “Urusan kita telah selesai. Apa perlu berhubungan lagi denganmu?”
Sanjaya tersenyum panjang. Air mukanya tidak berubah seperti berhati batu gunung, la malahan membungkuk hormat dan mengantarkan Panembahan Tirtomoyo sampai ke luar halaman.
Terang-terangan Yuyu Rumpung melancarkan serangan kilat Daripada membiarkan diri diserang, Panembahan Tirtomoyo membalas serangan pula. Kesudahannya hebat luar biasa...
Yuyu Rumpung yang semenjak tadi mengawasi dengan muka guram, segera ikut serta mendampingi Sanjaya sambil berjaga-jaga. Hatinya menaruh curiga kepada orang tua itu, karena menganggap lagak-lagunya tak beda dengan dirinya sendiri.
Sampai pintu pagar, Panembahan Tirtomoyo sambil membungkuk dengan hormat untuk perpisahan. Sanjaya pun buru-buru membalas hormatnya. Mendadak Yuyu Rum-pung lari menubruk sambil berseru, “Sang Pendeta! Ini ada sesuatu yang ketinggalan.”
Terang-terangan Yuyu Rumpung melancarkan serangan kilat yang tak terduga-duga. Panembahan Tirtomoyo tak sempat lagi menangkis, karena gerakan Yuyu Rumpung sangat cepat. Dalam kegugupannya ia memperoleh pikiran cepat. Daripada membiarkan dirinya diserang lebih baik membalas serangan pula. Memikir demikian, lantas saja dia maju menubruk. Masing-masing terhantam dadanya dan terpental mundur satu langkah. Tubuhnya bergoyangan seperti tonggak tipis terayun angin.
“Sungguh mati, aku merasa takluk.” Kata Yuyu Rumpung. Air mukanya berubah dan mundur satu perlahan-lahan.
Panembahan Tirtomoyo tersenyum. Bertanya, “Barang apa yang masih ketinggalan? Eh, sampai aku gugup menyambut kelalaian itu.”
Yuyu Rumpung gusar diejek demikian. Segera ia mendamprat.
“Si budak kecil juga berada di sampingmu. Mana lagi yang ketinggalan. Aku cuma menuntut ganti kerugian dengan menahanmu...” Belum habis dia berkata, ia lontak darah. Terang sekali, kalau bentrokan adu tenaga itu bukan main-main akibatnya. Jantungnya kena dilukai Panembahan Tirtomoyo. Tapi kalau sampai lontak darah di depan hidung lawannya sendiri adalah kesalahannya sendiri. Coba dia dapat mengenda-likan gejolak hatinya, pasti bisa mempertahankan harga dirinya.
Panembahan segera mengundurkan diri cepat-cepat dari kadipaten. Ia seolah-olah tak menghiraukan lagi keadaan Yuyu Rumpung. Tangan Sangaji digandengnya kuat-kuat. Di tengah jalan dia menoleh. Ternyata tidak ada yang mengejar. Orang-orang yang hadir di kadipaten agaknya mendapat kesimpulan, bahwa dirinya bukan orang sembarangan. Ternyata Yuyu Rumpung yang perkasa kena lontakan darahnya. Tetapi tiba-tiba dia berkata mengejutkan hati Sangaji,
“Sangaji! Di manakah kita bisa menemukan sebuah losmen?”
Sebentar Sangaji tergagap.
“Aku mempunyai kamar penginapan. Kemarin malam ...”
“Gendonglah aku cepat ke kamarmu ...” Panembahan Tirtomoyo memotong. Air mukanya berubah hebat. Ia nampak pucat lesu dan ada seleret darah yang menggumpal di antara bibirnya.
Sangaji terkejut bukan main. Cepat ia bertanya, “Aki terluka juga?”
Panembahan Tirtomoyo mengangguk. Setelah itu, tubuhnya terhuyung hampir roboh. Sebat Sangaji menahannya, kemudian digendong dan dibawanya lari ke penginapan, la tak berani melalui jalan besar, takut mendapat perhatian. Gntung, waktu itu sudah pukul tiga siang. Jarang orang ke luar di jalanan, karena matahari bersinar terik di kota Pekalongan. Meskipun demikian, Sangaji memilih jalan sempit dan lari cepat-cepat seperti maling. Setelah melintasi pagar dan jalan-jalan sempit, sampailah dia di dekat penginapan. Ia bernapas lega. Karena sebenarnya, dia belum kenal lika-liku jalan Kota Pekalongan. Tadi dia hanya lari dengan memilih keblat tertentu belaka.
Setibanya di dalam kamar, Panembahan Tirtomoyo segera minta disediakan sebuah jambangan besar berisi air bersih. Maka dengan cepat Sangaji memanggil pelayan. Dengan berbekal uang, ia dapat memperoleh pelayanan yang seluas-luasnya. Bahkan teman-teman si pelayan tadi pada datang berebut untuk memenuhi kehendak Sangaji. Ini semua demi gerincing uang.
“Aki tidak luka. Apa perlu membutuhkan air?” Sangaji minta keterangan.
Panembahan Tirtomoyo tidak menjawab. Tapi begitu jembangan besar itu berisi air, lantas saja ia merendam diri dengan mengatur napas. Seketika itu juga, segumpalan darah hitam terlontak dari mulutnya. Maka setiap kali lontak darah, Sangaji harus mengganti air sampai tujuh kali berturut-turut.
Sekarang, air muka Panembahan Tirtomoyo nampak pulih kembali segar bugar. Tapi tubuhnya masih lemah. Dengan suara lemah dia berkata, “Sungguh berbahaya! Orang itu bukan sembarangan. Dia memiliki ilmu pukulan raksasa dengan disertai Aji Ismu Gunting.”
* * *
Bende Mataram - JILID 7. SUATU PERTEMPURAN TAK TERDUGA WIRAPATI girang bukan main. Sangaji telah cfiketemukan. Kini tinggal menunggu Jaga Saradenta pulang dari penyelidikan ke luar kota. Seminggu sekali Jaga Saradenta datang ke pondokan dan membawa berita. Adakalanya sampai satu bulan. Dia pasti girang, kata Wirapati dalam hati, nanti malam biar kuajaknya mulai bekerja. Mudah-mudahan dia datang. Sekiranya tidak, biarlah kumulai dahulu. Waktu berarti pedang. Satu hari lengah berarti terkikisnya waktu yang dijanjikan. Hm—tinggal empat tahun. Kalau Sangaji mempunyai bakat, agaknya masih ada waktu. Mendadak saja timbullah suatu pikiran lain. Eh, sekiranya Sangaji nanti malam tak datang apa yang akan kulakukan? Bukankah hati kanak-kanak seringkali berubah? Celaka—aku belum tahu rumahnya. Memikir demikian, cepat ia kembali ke lapangan. Sangaji baru saja melangkahkan kaki meninggalkan lapangan. Ia girang. Mau dia percaya, kalau selama itu Sangaji masih tertegun-tegun memikirkan kehebatannya y...
Komentar