Langsung ke konten utama

ep.14 bende mataram - Wayan Suage

BENDE MATARAM JILID14. WAYAN SUAGE MELIHAT SIKAP PANGERAN BUMI GEDE YANG sungguh-sungguh, semua yang hadir jadi tegang. Titisari yang berada di atas atap ikut tegang pula. Rahasia apakah yang hendak dibeberkan Pangeran Bumi Gede? “Hari ini tanggal 26 Juli tahun 1804 Masehi,” Pangeran Bumi Gede mulai, “Kami dan Tuan-tuan sekalian hidup dalam masa kerajaan yang terpecah menjadi dua. Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Tak usahlah kami berbicara panjang lebar, adanya dua kerajaan itu menjadi sumber pertengkaran terus-menerus tiada hentinya sampai akhir zaman. Tuan-tuan pun pasti mengetahui juga apa sebabnya. Karena di dunia ini tidak ada dua matahari muncul bersama di angkasa. Bila ada, yang satu harus lenyap. Bagaimana pendapat Tuan-tuan sekalian?” Mereka yang hadir adalah sebangsa jagoan tukang-tukang pukul. Tak bisa mereka berpikir yang bukan-bukan. Karena itu mereka membungkam seribu bahasa. Hanya sang Dewaresi seorang yang tak dapat menebak ke mana arah tujuan Pangeran Bumi Gede. Meskipun demikian, belum berani dia membuka suara karena persoalan belum jelas. “Sejarah zaman dahulu sudah memberi contoh berulang kali,” kata Pangeran Bumi Gede lagi. “Tatkala kerajaan Erlangga terpecah menjadi dua kerajaan, Jenggala dan Daha— maka dunia melahirkan seorang tokoh bernama Ken Arok. Dia mendirikan kerajaan tunggal bernama Singasari. Ketika timbul lagi suatu persaingan—Jayakatwang—datanglah sang Wijaya menumbangkan dan merombak apa yang sudah usang. Berdirilah kerajaan Majapahit yang aman sentosa. Dan tatkala Majapahit ditandingi oleh sebuah kerajaan Islam:—Bintara, muncullah Sultan Hadiwijaya yang membangun kerajaan baru bernama Pajang. Begitulah sejarah sudah berkata kepada Tuan-tuan sekalian—bahwasanya di dalam satu negara takkan mungkin diperintah oleh dua orang raja. Bahwasanya matahari yang tersembul di angkasa adalah tunggal tiada tandingannya. Inilah hukum alam.” Tiba-tiba Manyarsewu yang berangasan berteriak. “Apakah Pangeran Bumi Gede mengumpulkan kami semua agar kami membantu paduka menggempur dua kerajaan Surakarta dan Yogyakarta? Meskipun kami bukan sebangsa cecurut yang takut mati, tapi rasanya kami semua akan mengecewakan harapan paduka. Apakah arti kami ini bila dibandingkan dengan pahlawan-pahlawan dua kerajaan yang tak terhitung jumlahnya? Jangan lagi paduka berharap bisa membangun negara baru bersandarkan tenaga kami semua, mencoba menggempur salah sebuah kerajaan itu pun takkan becus. Sebab kami ini bukan golongan serdadu yang pandai mengatur siasat dan memimpin pasukan. Lainlah halnya, kalau paduka hanya mengharapkan tenaga kami untuk menggarong atau merampok.” Mendengar teriakan Manyarsewu yang berbicara tanpa pembungkus, mau tak mau mereka tertawa gelak, meskipun banyak di antaranya tidak menyetujui. Pangeran Bumi Gede bersikap tenang. Ia seolah-olah telah menduga akan mendapatkan teguran demikian. Dengan senyum ia berkata seraya membungkuk. “Ah! Mana berani kami me-mimpikan membangun sebuah kerajaan baru di siang hari bolong? Lagipula, apakah benar Tuan-tuan yang hadir ini bangsa perampok dan penggarong?” Sekali pun kata-kata Pangeran Bumi Gede diucapkan dengan nada halus, tajamnya tak kurang dari tajam sebilah belati. Seketika itu juga, rasa harga diri yang lain bangun serentak. Tak mau mereka digolongkan sebangsa perampok atau penggarong. Itulah sebabnya, pandang mereka lantas saja melototi si sembrono, Manyarsewu. Tetapi Pangeran Bumi Gede segera mengambil sikap bijaksana. Dengan meneguk cawan minuman keras, ia berkata, “Tuan-tuan! Marilah kita kuras habis minuman yang telah disediakan tuan rumah. Apabila Tuan-tuan setuju, kami akan meneruskan berbicara.” “Berbicaralah! Berbicaralah!” terdengar suara anjuran serentak. Mata Pangeran Bumi Gede berkilat-kilat. Yakinlah dia, bahwa semua yang hadir ada pada pihaknya. Asal saja dia bisa membawa diri tak usah diragukan hasilnya. Tenaga mereka bisa diharapkan sepenuh-penuhnya. Maka dengan hati-hati ia berkata, “Tuan-tuan, maafkan kami apabila ada kesan kata-kata kami seolah-olah kami hendak memimpikan membangun sebuah kerajaan baru. Sebenarnya bukan itu maksud kami.” “Berbicaralah sebebas-bebas Paduka!” teriak Cocak Hijau, “Tadi Paduka hendak membeberkan rahasia penting mengenai negara. Nah, kami belum mendengar.” Pangeran Bumi Gede tersenyum. Kemudian mulai, “Dua ratus lima puluh tahun yang lalu, lahirlah seorang perwira muda bernama Sutawijaya. Konon dikabarkan, dia adalah anak Lembu Peteng, Sultan Hadiwijaya yang dipungut sebagai anak-angkat Ki Ageng Pemanahan. Dia seorang manusia lumrah yang tak beda sekelumit pun dengan kita semua. Hanya saja, di kemudian hari dialah pendiri kerajaan Mataram. Lantas saja dia terkenal dengan gelar Panembahan Senopati. Seluruh dunia memuji kegagahannya. Sepak terjangnya mengagumkan. Apa yang dijangkau tak pernah gagal. Bintangnya terus menanjak dan menanjak amat cerah. Tuan-tuan, inilah soal yang hendak kami ke-mukakan.” “Apakah dia mempunyai rahasia besar yang patut kita bicarakan?” kata Manyarsewu memotong. “Tergantung kepada cara berpikir Tuan-tuan sekalian,” jawab Pangeran Bumi Gede cepat. “Baiklah kami kemukakan beberapa soal Seperti kata sejarah sendiri, dia mula-mula dikenal sebagai seorang pemuda tak guna. Penakut dan keperempuan-perempuan. Ketika dia dipilih menjadi jago kerajaan Pajang untuk memusnahkan Arya Penangsang, sekujur badannya gemetaran. Bahkan dikabarkan, dia sampai menangis. Tetapi karena anjuran Ki Ageng Pemanahan, tugas itu dilakukan juga. Demikianlah, maka dia memperoleh hadiah sebatang tombak sakti bernama Kyai Pleret. Dan dengan Kyai Pleret itulah, dia berhasil membunuh Arya Penangsang yang sakti dan tangguh. Tuan-tuan, itulah tataran mula-mula dia dikenal sejarah. Dia dilantik menjadi hamba kerajaan dengan gelar Raden Ngabehi Lor ing Pasar. Kemudian bersahabat dengan putera mahkota Pangeran Benowo. Berontak melawan Sultan Hadiwijaya dan akhirnya berhasil mendirikan kerajaan Mataram yang tak terkalahkan. Tuan-tuan, apakah Tuan-tuan tak merasakan sesuatu yang ganjil?” “Ganjil?” mereka mengulang sepatah kata itu hampir berbareng. Kemudian mereka saling memandang dengan kepala menebak-nebak. “Ya—ganjil! Benar-benar ganjil!” Pangeran Bumi Gede menguatkan. Kemudian memberi keterangan, “Marilah kita periksa lagi lebih cermat! Sutawijaya mula-mula dikenal sebagai seorang pemuda tiada guna. Menurut pantas, jangan lagi dia. Sekalipun Sultan Hadiwijaya sendiri takkan ungkulan bertanding melawan Arya Penangsang. Mengapa si bocah ingusan mendadak bisa menang perang?” “Menurut sejarah, Arya Penangsang mati berdiri kena tusuk tombak Kyai Pleret!” sahut Manyarsewu. “Benar. Tetapi apakah tumbangnya Arya Penangsang karena semata-mata oleh tuahnya tombak Kyai Pleret? Apabila tombak Kyai Pleret benar-benar dapat mengatasi ketangguhan Arya Penangsang, mengapa Sultan Hadiwijaya tidak turun tangan sendiri? Baiklah, andaikata Sultan Hadiwijaya emoh turun tangan sendiri berhubung dengan kedudukannya, pastilah orang-orang sakti di Pajang bisa diminta bantuannya meminjam tenaga.” Persoalan ini belum pernah terlintas dalam benak mereka, sehingga mereka jadi terhenyak. Lantas saja mereka sibuk menduga-duga hendak mengungkap teka-teki itu. Akhirnya Cocak Hijau berkata nyaring. “Barangkali Sutawijaya adalah satu-satunya orang sakti kala itu.” “Heh—Cocak Hijau! Bukankah tadi sudah dikatakan, kalau Sutawijaya adalah seorang pemuda yang mula-mula dikenal tidak memiliki suatu keistimewaan sedikit pun?” damprat Manyarsewu. “Dia seorang pemuda tak berguna, kaudengar?” Didamprat demikian, Cocak Hijau jadi kelabakan. Segera ia berpaling kepada Pangeran Bumi Gede. kemudian berkata, “Baiklah, mari kita akui, bahwa Sutawijaya seorang sakti. Tetapi apakah Sultan Hadi-wijaya yang terkenal dengan nama Jaka Tingkir di waktu mudanya, kurang sakti? Seperti Tuan-tuan ketahui, dia pernah ditusuk keris Setan Kobar. Tetapi baru saja, ujung keris Setan Kobar hendak menyentuh tubuhnya, mendadak saja si penusuk jatuh terkapar di tanah. Apakah Ki Ageng Pemanahan kurang sakti? Apakah Ki Jurumartani kurang sakti? Mereka adalah tokoh-tokoh sakti pada zaman itu. Sebaliknya kesaktian Arya Penangsang sesungguhnya tidak terlawan. Bahkan mertuanya, Sunan Kudus segan pula kepadanya,” ia berhenti mengesankan. “Tuan-tuan yang hadir di sini, bukan pula orang-orang sembarangan. Taruh kata, Tuan-tuan hidup pada zaman itu. Kemudian salah seorang di antara Tuan-tuan kami beri tombak Kyai Pleret, sebagai senjata pamungkas, melawan Arya Penangsang. Sudahkah Tuan-tuan akan bisa menang? Apakah tombak Kyai Pleret sudah bisa dibuat pegangan teguh? Tuan-tuan minta bantuan seratus ribu prajurit? Baiklah, kami berikan. Tetapi... andaikata hancurnya Arya Penangsang bisa ditentukan oleh jumlah prajurit, tentulah Sultan Hadiwijaya sudah pula mengambil tindakan demikian.” Orang-orang jadi tegang. Mereka dipaksa berpikir keras. Titisari yang berada di atas atap, ikut pula mencoba memecahkan teka-teki itu. Tentang permusuhan antara Sultan Hadiwijaya dan Arya Penangsang, sudah lama ia mengenal dari tutur-kata sejarah. Ayahnya sering memperbincangkan keperkasaan Arya Penangsang dengan kuda hitamnya bernama Gagakrimang. Kedua tokoh itu memiliki keis-timewaan-keistimewaannya sendiri. Kerapkali mereka bentrok dan saling berbenturan. Masing-masing memiliki pusaka sakti. Pusaka Arya Penangsang berwujud sebilah tombak bernama Kyai Pleret. Arya Penangsang pernah mencoba membunuh Sultan Hadiwijaya dengan keris Setan Kobar, tetapi gagal. Keris Setan Kobar yang pernah menghisap darah Sunan Prawoto, Pangeran Hadiri dan beberapa tokoh kerajaan Bintara, ternyata tak mampu membunuh Sultan Hadiwijaya. Sebaliknya, sudah semenjak lama Sultan Hadiwijaya berusaha menyingkirkan lawannya dari percaturan dunia. Osaha inipun sia-sia belaka. Andaikata tombak Kyai Pleret benar-benar merupakan senjata mutlak pemusnah kesaktian Arya Penangsang, mestinya Sultan Hadiwijaya sudah lama menyingkirkan lawannya. Mengapa mesti menunggu lahirnya seorang pemuda bernama Sutawijaya? Mengapa Sutawijaya akhirnya berhasil membunuh Arya Penangsang dengan tombak itu? Sesungguhnya, peristiwa tersebut merupakan teka-teki besar. Dengan diketengahkan persoalan itu oleh Pangeran Bumi Gede, lantas saja jadi menarik hati. “Tuan-tuan!” kata Pangeran Bumi Gede lagi. “Pernahkah Tuan-tuan mendengar dongeng pertemuan ajaib antara Sutawijaya dengan seorang aneh pada malam hari men-jelang pertempuran yang menentukan? Sudah tentu dongeng ini tidak pernah tertulis dalam sejarah. Sebab baik si penulis sejarah, maupun Sutawijaya sendiri merahasiakan peristiwa pertemuan itu sebagai sesuatu hal yang dirahasiakan demi keselamatan negara. Orang-orang menegakkan kepala dengan berdiam diri. Mereka menajamkan pendengaran dan berusaha duduk tenang-tenang, agar tidak mengganggu pengucapan Pangeran Bumi Gede. Itulah sebabnya ruang kadipaten jadi sunyi-tegang. Titisari yang berada di atas mengendapkan diri. Hati-hati ia menguasai pernapasannya agar bebas dari pengamatan pendengaran mereka. Maklum, sedikit ia berkutik pastilah mereka akan mengetahui kehadirannya ditengah kesunyian demikian. “Malam menjelang pertempuran yang menentukan itu, diam-diam Sutawijaya keluar dari perkemahan.” Pangeran Bumi Gede mulai bercerita. “Ia bermaksud hendak minggat. Ya—bagaimana dia mampu melawan kesaktian Arya Penangsang? Sedangkan para wali sendiri tidak ada yang berani menyanggupkan diri. Ketika itu, bulan tidak ada di langit. Malam jadi gelap-gulita. Mendadak saja, dia dihampiri oleh sesosok bayangan serba hitam. Perawakan bayangan itu, tinggi besar. Tegap perkasa dan tangguh. Ia memberikan tiga buah pusaka dengan berdiam diri. Kemudian membisiki sesuatu. Apakah yang dibisikkan, tidak ada seorang pun yang pernah hidup di dunia ini mengetahui bunyinya. Saat Sutawijaya bertanya siapakah dia—bayangan itu menjawab, “Aku adalah Semono.” Bayangan itu lantas melesat dan lenyap begitu saja seperti tertelan kabut.” “Semono?” Mereka berteriak hampir berbareng. “Ya—Semono.” “Siapakah Semono itu?” Manyarsewu mendesak dengan bernafsu. Pangeran Bumi Gede menaikkan pundak sambil menjawab, “Bagaimana aku harus meneruskan? Orang yang hidup sezaman dengan Sutawijaya, tak mampu pula mengabarkan. Di kemudian hari orang hanya mengenal nama Semono itu sebagai Pangeran Ganggeng atau Pangeran Semono, karena tahta kerajaannya berada di negara Mono. Tetapi Pangeran Semono hidup pada zaman ribuan tahun yang lalu. Meskipun demikian orang tidak menyangsikan.” “Kenapa?” “Karena ketiga pusaka yang diberikan kepada Sutawijaya itu cukup menjadi saksi.” “Pusaka apakah itu?” Manyarsewu kian bernafsu. “Yang sebuah berwujud jaring, bernama, Jaka Korowelang. Yang kedua sebuah bende. Kelak terkenal dengan nama Bende Mataram. Dan yang ketiga sebilah keris, bernama Tunggulmanik. Dengan bersenjata ketiga buah pusaka itulah, Sutawijaya bisa merajai seluruh kepulauan Nusantara. Kelak ketiga pusaka itu diberikan kepada cucunya—Sultan Agung. Tapi sayang, pada pertengahan usia Sultan Agung, mendadak saja ketiga pusaka itu musna tak keruan beradanya.” Orang-orang yang mendengar kisah itu jadi ikut kecewa dan menyesali. “Tentang asal mula ketiga pusaka itu dan nama Semono, pernah kudengar dongengnya.” Pangeran Bumi Gede meneruskan. “Begini, ribuan tahun yang lalu hiduplah seorang pangeran bernama Jayakusuma. Dia adalah adik kandung seorang raja yang memerintah negeri Jawa Timur. Sebagai seorang pangeran, dia berkewajiban meng-hadap raja sekali seminggu. Ini suatu tanda, bahwa dia tetap berbakti terhadap raja dan negara. Mula-mula kewajiban itu dipenuhi. Tetapi kemudian terjadilah suatu perubahan. Sudah hampir satu tahun lamanya, dia mangkir. Raja jadi keheran-heranan. Segera dikirimlah suatu utusan untuk menyelidiki. Ternyata Pangeran Jayakusuma sakit hati terhadap raja. “Apakah yang menyebabkan Paduka sakit hati?' utusan raja minta penjelasan. 'Apakah Raja kurang menaruh perhatian terhadap Paduka?' Mula-mula Pangeran Jayakusuma enggan menceritakan. Tetapi setelah didesak berulang kali, akhirnya dia menerangkan sebab-musababnya. Sudah semenjak lama dia menaruh cinta kepada bibinya sendiri bernama Endang Retno Dyan Sulasniwati. Cintanya berbalas juga. Hanya sayang, puteri itu adalah bibinya sendiri. Baik dia jadi bersedih hati. Kesedihan hatinya memuncak, ketika bibinya itu dipinang oleh putera Bhatara Loano—Sang Anden Loano. Kakaknya meluluskan. Dan semenjak itu Endang Retno Dyan Sulasniwati dikawinkan dengan Anden Loano dan dibawa pulang ke negeri Loano. Karena sakit hati, Pangeran Jayakusuma mencari alasan untuk menyesali sikap kakaknya. Ia mencari kegemaran lain sebagai perintang hati. Pada suatu hari ia men-dapat seekor burung gemak dan semenjak itu, sibuklah dia memelihara burungnya. Itulah sebabnya, tak dapat lagi ia memenuhi kewajiban. Demikianlah!—ketika penjelasan Pangeran Jayakusuma dihadapkan kepada raja, segera ia dipanggil. Raja merasa diri terhina. Masa harga seorang raja jauh lebih rendah daripada seekor burung gemak. Pangeran Jayakusuma berkata, kalau burung gemaknya itu bukanlah sembarang burung. Pernah suatu kali diadu bertanding melawan seekor harimau. Harimau . itu mati dipatuknya. Raja kian marah. Dengan serta merta, ia menjatuhkan hukuman. Ketika mendengar penjelasan lagi tentang pekerti Pangeran Jayakusuma yang menaruh hati kepada bibinya, kemarahan raja tak terkendalikan lagi. Pangeran Jayakusuma diusir dari negeri. Dengan membawa burung gemaknya, Pangeran Jayakusuma meninggalkan negeri. Adiknya perempuan bernama Dewi Kusuma-ningsih yang amat kasih padanya, ikut menyertai ke mana perginya. Demikianlah, maka mereka berdua merantau tanpa tujuan. Sepanjang jalan mereka bertapa agar mendapat kesaktian-kesaktian ajaib. Mereka berhasil pula menciptakan berbagai ragam tata-berkelahi. Dan sebagai sendi pencaharian hidupnya, Pangeran Jayakusuma memper-sabungkan burung gemaknya yang tak terkalahkan. Pada suatu hari sampailah mereka di sebelah selatan Bukit Jambu. Hari sangatlah terik dan sudah beberapa hari mereka tak melihat dusun dan pedesaan. Makan dan minumnya jadi tak teratur. Bagi Pangeran Jayakusuma, penderitaan itu tidak mengusik hatinya. Maklumlah, dia sadar akan arti ke-pergiannya. Sebaliknya bagi Dewi Kusumaningsih, benar-benar merupakan siksaan lahir batin. Karena menanggung haus tak tertahankan lagi, Dewi Kusumaningsih jatuh tersimpuh di atas bumi, Pangeran Jayakusuma segera melesat hendak berusaha menemukan sebuah dusun. Tetapi usahanya sia-sia belaka. Dengan bersusah hati, kembalilah dia mendapatkan adiknya. Kemudian—untung-untungan—ia mencabut keris pusakanya bernama Panubiru dan ditancapkan ke tanah. Tatkala ditarik, sekonyong-konyong menyemburlah sebuah mata air menanjak tinggi ke udara. Oleh rasa terharu, ia meloncat-loncat gembira, sambil berseru “Dewi! Dewi! Hidup! Hidup!” Adiknya segera diteguki air, lantas dia sendiri. Alangkah segar dan nikmat. Karena besarnya rasa terima kasih, ia lantas berkata, “Adikku! Apabila dikemudian hari tempat ini menjadi sebuah dusun atau desa, aku mem: berinya nama, Banyu Urip.” Demikianlah—semenjak itu berdirilah sebuah desa bernama Banyu Grip. Pangeran Jayakusuma sendiri bermukim di bawah rindang lima batang pohon jati. Kelak diberi nama, Jati Pandowo. Pada suatu hari ia mendengar kabar, bahwa tempat beradanya bibinya—Endang Retno Dyan Sulasniwati—tak jauh dari padepokannya. Bibinya ternyata masih setia padanya. Meskipun ia telah dikawin sang perwira Anden Loano, tetap saja ia menolak untuk hidup sebagai suami-isteri. Berita itu sudah barang tentu menggembirakan dan mengharukan Pangeran Jayakusuma. Segera ia mau berangkat menjenguk ke Loano. Sayang, adiknya—Dewi Kusumaningsih—selalu saja ingin menyertai. Maka dicarilah akal untuk membebaskan diri. Ia menemui seorang sakti bernama Kyai Manguyu. Ditantangnya bersabung dengan pertaruhan adiknya perempuan. Kyai Manguyu menyanggupi, dengan kesaktiannya ia mencipta seekor burung gemak dari palu besi. Sebaliknya, Pangeran Jayakusuma tidak bersungguh-sungguh hendak mencari kemenangan. Dalam hati ia berdoa, mudah-mudahan burung gemaknya dapat dikalahkan. Dengan demikian ia akan menyerahkan adik perempuannya dengan terhormat. Harapannya terkabul. Burung gemaknya yang bernama Kebrok dapat dikalahkan. Dengan demikian, Dewi Kusumaningsih diserahkan kepada Kyai Manguyu sebagai isterinya. Setelah berhasil menyerahkan adiknya kepada seorang terhormat, berangkatlah dia ke Loano. la berhasil menemui kekasihnya dan bercumbu rayu layaknya sepasang suami-isteri. Permainan itu dilakukannya pada setiap malam. Ketika matahari mulai muncul di timur, cepat-cepat ia meninggalkan Loano dan berangkat pulang ke Jati Pandowo. Tetapi lambat-laun, sang perwira Anden Loano mengetahui permainan itu. Pada suatu malam Pangeran Jayakusuma dihadang. Dan timbullah suatu pertarungan seru. Anden Loano tak dapat menandingi kesaktiannya. Segera ia lari ke Gunung Gede mengadu kepada ayahnya. Ayahnya yang bernama Ki Buyut Singgela mencoba-coba mengadu kesaktian. Diapun tak dapat ungkulan. Karena sedih, ia menceburkan diri ke dalam sungai. Niatnya hendak mati, daripada menanggung malu dan hina. Tetapi arus sungai membawa dia tersangkut pada boro Kyai Bodo. Ketika telah diketahui soalnya. Kyai Bodo membawanya menghadap kepada Kyai Ganggeng. Dan Kyai Ganggeng membawanya pula menghadap seorang pangeran yang bertahta di Semono. Mereka minta pertolongan. Pangeran Semono berkenan menolongnya. Tetapi dia hanya mengirimkan salah seorang abdinya bernama Lawa Hijau yang diberinya sebilah keris bernama Caranggesing. Keris inilah yang kelak di sebut orang keris Kyai Tunggulmanik. Di samping itu masih ada pula dua pusaka lainnya. Yakni, Jala Korowelang dan Bende Mataram. Pertarungan antara Mapatih Lawa Hijau dan Pangeran Jayakusuma berlangsung sangat sengitnya. Kedua-duanya sakti dan tidak ada yang kalah atau menang. Mereka bertempur sampai tujuh hari tujuh malam lamanya. Pada hari kedelapan, Mapatih Lawa Hijau terpaksa mengeluarkan ketiga pusakanya. Ketika Pangeran Jayakusuma melihat ketiga pusaka itu, keluarlah keringat dinginnya. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha melarikan diri. la merubah diri menjadi seekor kelabang. Tetapi Lawa Hijau segera pula merubah diri menjadi seekor laba-laba raksasa. Sudah barang tentu Pangeran Jayakusuma heran dan terkejut. Sama sekali tak diduganya, kalau lawannya sangat sakti. Cepat ia merubah diri pula menjadi seekor tikus. Mapatih Lawa Hijau merubah diri menjadi seekor kucing. Melihat kesigapan lawan, gugup ia melarikan diri dan bersembunyi di dalam kendi pratala. Mapatih Lawa Hijau segera menutup kendi itu rapat-rapat. Setelah itu, ia membawa tawanannya pulang menemui Kyai Ganggeng, Kyai Buyut Singgela dan Kyai Bodo. Kyai Buyut sangat bergembira. Dengan menyatakan terima kasih, ia pulang ke Gunung Gede dan menyerahkan soal itu kepada Kyai Ganggeng. Kyai Ganggeng minta penjelasan kepada Mapatih Lawa Hijau cara dia menaklukkan Pangeran Jayakusuma. Mapatih Lawa Hijau memperlihatkan ketiga pusakanya. Kyai Ganggeng kemudian mengambil keris pusaka Caranggesing. Ia berniat hendak mencoba kesaktian Pangeran Jayakusuma. Syukur bisa membunuhnya. Dengan demikian ia akan memperoleh nama dan jasa.. Tetapi Mapatih Lawa Hijau memperingatkan, kalau Pangeran Semono tidak mengizinkan membunuh Pangeran Jayakusuma. Sayang, Kyai Ganggeng tidak mendengarkan. Dengan dada menyala-nyala, ia membanting kendi pratala. Seketika itu juga, Pangeran Jayakusuma berdiri seperti batu karang di hadapannya. Kedua ksatria itu lantas saja bertarung gesing. Dan Pangeran Jayakusuma bersenjata keris kerajaan Majapahit, Kyai Panubiru. Sekarang Kyai Ganggeng jadi terkejut. Sama sekali ia tak mengira, kalau Pangeran Jayakusuma benar-benar seorang ksatria sakti tak terlawan, la mencoba menusuk dan meni-kamkan keris pusaka Caranggesing. Tetapi -tidak ada selembar bulu roma Pangeran Jayakusuma yang bisa dirontokkan. “Ih! Pantas kamu berani maling seorang puteri. Kamu memang seorang jantan sejati. Tetapi, mengapa kamu bisa ditaklukkan Mapatih Lawa Hijau dengan keris Caranggesing? Padahal aku pun bersenjata keris Caranggesing juga.” Pangeran Jayakusuma tertawa sambil menungkas, “Apa kau bilang? Aku ditaklukkan Lawa Hijau? Sama sekali tidak! Aku ditawan, karena kena tipu-muslihat. Kalau kau tak percaya, boleh kalian berdua maju berbareng. Nah, tikamkan Caranggesing ke dadaku sampai kaujera.” Hm... benar-benar sombong ksatria ini, pikir Kyai Ganggeng. Kemudian berkata, “Yang sakti bukan hanya kamu seorang di dunia ini. Tikamkan keris pusakamu ke dadaku. Ingin aku merasakan tuahnya keris pusakamu yang kauagul-agulkan.” Pangeran Jayakusuma segera menikamkan keris Panubiru. Tetapi keris itupun tidak mempan. Dengan demikian mereka berdua terus bertempur tak berketentuan. Akhirnya, kedua-duanya mati kehabisan napas. Mapatih Lawa Hijau kemudian membawa Caranggesing kembali menghadap Pangeran Semono. Dengan takzim Pangeran Semono mendengarkan kisah pertarungan antara Pangeran Jayakusuma dengan Kyai Ganggeng. Akhirnya Pangeran Semono berkata, “Caranggesing dan Panubiru sebenarnya adalah jodohnya. Sudah barang tentu, mereka yang menggunakan kedua pusaka itu takkan dapat merebut kemenangan. Sekarang kedua pusaka itu telah menemukan jodohnya. Keduaduanya telah meninggal. Karena itu, ingat-ingatlah pesanku ini. Di kemudian hari, apabila aku telah mekrat12) aku akan mewariskan kedua pusaka itu kepada siapa saja yang berhak mewarisi. Barangsiapa dapat memiliki kedua pusaka itu akan kusyahkan sebagai ahli waris tanah Jawa. Karena tanah Jawa adalah milikku. Bende Mataram dan Jala Korowelang akan pula ikut mengirimkan. Karena itu, pemiliknya akan sakti. Suaranya bagaikan guntur, kegesitannya melebihi kilat, kekuatannya melebihi tenaga raksasa. Dia adalah laksana matahari yang bersinar tunggal di atas persada bumi....” Pada zaman dahulu banyak diceritakan tentang musnahnya tokoh-tokoh sakti. Diantaranya Kyai Gede Senggala. Sedangkan Lawa Hijau dikabarkan tetap hidup sepanjang zaman.” Sampai di sini, Pangeran Bumi Gede berhenti bercerita. Dengan mata berkilat-kilat ia mencari kesan. Orang-orang terdiam seperti tersekap. Sang Dewaresi yang bisa berpikir lantas saja dapat menebak maksud Pangeran Bumi Gede. Diam-diam ia memuji kecerdikannya. “Tanah Jawa adalah milikku, pesan Pangeran Semono kepada Mapatih Lawa Hijau,” kata Pangeran Bumi Gede mengesankan. “Orang tak berhak memperebutkan. Orang tak berhak pula saling berebut. Hanya kepada barangsiapa yang dapat mewarisi ketiga pusaka tanah Jawa, dialah yang berhak memiliki tanah Jawa sebagai ahli waris. Tahukah Tuan-tuan, di manakah ketiga pusaka kini berada?” Mendengar pertanyaan itu, orang-orang mulai sadar. Lapat-lapat mereka mulai bisa menebak maksud Pangeran Bumi Gede. Masing-masing berpikir dalam hati, ah, kiranya dia mengundang orang-orang tertentu untuk diajaknya mencari jejak ketiga pusaka yang telah diciumnya... Tetapi apakah ketiga pusaka itu benar- benar ada di dunia ini? Pangeran Bumi Gede berkata lagi, “Dengan ketiga pusaka itu, sejarah membuktikan kalau Sutawijaya bisa menumbangkan Arya Penangsang. Dengan ketiga pusaka itulah, mendadak saja Sutawijaya bisa mempunyai pribadi kuat, sehingga orang-orang rela bersujud dan mengabdi padanya. Dengan ketiga pusaka itulah, dia berhasil menjadi pendiri kerajaan Mataram yang tak terkalahkan. Sebagai orang yang berbakti kepada leluhur, kerajaannya yang baru dinamakan Mataram: mengambil alih nama kerajaan Jawa pada zaman dahulu14).” “Ketiga pusaka itu kemudian diwariskan kepada Sultan Agung yang kelak menjadi salah seorang raja yang angker dan keramat. Sayang—pada pertengahan usia—mendadak saja ketiga pusaka itu hilang dari istana. Orang mengabarkan, kalau ketiga pusaka itu dicuri bupati Madura. Ada pula yang mengatakan, ketiga pusaka itu jatuh ke tangan Belanda. Seorang bupati istana yang lagi bangkrut, berhasil mencurinya dan dijual kepada Gubernur Jendral Yan Pieters Zoon Coen. Benar tidaknya, siapakah yang dapat menerangkan. Tapi menilik gelagatnya, mirip juga. Bukankah Sultan Agung bisa dikalahkan oleh Gubernur Jendral itu di medan perang Jawa Barat?” 14) Mentaok atau Mataram Kuno. Tahun dinastinya kurang terang. Orang menyebut-nyebut nama Raja Sanjaya yang mendirikan tugu di Desa Salaman—persimpangan tiga jalan Borobudur, Magelang dan Purworejo. Diduga Sanjaya adalah keturunan Prabu Sono atau Raja Korowelang. Welang Gelang akhirnya jadi nama kota Magelang “Bintang istana kerajaan Jawa lantas saja menjadi pudar. Terbitlah kekacauan di mana-mana. Mula-mula pemberontakan Trunojoyo. Lantas peristiwa Pangeran Puger. Dia mendirikan kerajaan baru, Kartasura namanya. Lantas pemberontakan Tionghoa. Belum genap tiga turunan, pecahlah suatu persaingan baru. Kerajaan Yogyakarta berdiri bagaikan matahari kembar. Kini—kedua kerajaan itu— menghadapi perpecahan Mangkunegoro. Dan di Yogyakarta... tahukah Tuan-tuan sepak-ter-jang Pangeran Notokusumo? Semuanya itu... ya semuanya itu, tidak akan terjadi, apabila salah seorang daripada raja-raja yang bertahta memiliki ketiga pusaka Pangeran Semono pemilik kerajaan Tanah Jawa.” Mendengar kata-kata Pangeran Bumi Gede, sang Dewaresi yang bisa berpikir benar-benar kagum akan kecerdikan dan kelicikannya. Titisari yang berada di atas atap diam-diam ikut pula memuji. Pikirnya, hebat Pangeran ini! Dengan menitikberatkan pembicaraan pada kekeramatan ketiga pusaka sakti Pangeran Semono, orang-orang sudah bisa diajak mengambil kesimpulan, bahwa raja-raja yang bertahta di Surakarta dan Yogyakarta adalah tidak syah. Tanpa menyinggung persoalannya, lantas saja dan bisa menganjurkan bahwa segala bentuk pemberontakan melawan raja adalah syah. Benar-benar mengagumkan! Jika kelak timbul pemberontakan-pemberontakan liar, bukankah dia bisa memboncengkan kepentingan diri?” “Tuan-tuan yang hadir di sini adalah golongan pejuang-pejuang keadilan. Semuanya akan bersedia mengorbankan kepentingan diri demi menuntut keadilan. Karena itu dengan tak segan-segan kami mengemukakan persoalan ini kepada Tuan-tuan sekalian,” kata Pangeran Bumi Gede dengan pandang berkilat-kilat. “Perkenankan kami bertanya kepada Tuan-tuan, apabila negara terus berada dalam kekacauan, siapakah yang akan menjadi korban utama? Bukankah rakyat jelata yang tak tahu apa arti negara dan pemerintahan?” Tak setahunya sendiri, orang-orang mengangguk. “Karena rakyat kini hidup miskin dan terombang-ambing oleh nafsu hati perseorangan, bukankah tidak ada jalan lain kecuali mengundang Tuan-tuan sekalian yang dilahirkan oleh alam sebagai tokoh-tokoh pejuang penegak keadilan?” “Kami bukan golongan yang memimpin tahta kerajaan di siang hari bolong. Jika ada kesan demikian, sebenarnya adalah jalaran dari suatu perjuangan mencari dasar-dasar landasan penegak keadilan. Tuan-tuan yang hadir bukan orang-orang sembarangan yang bisa diperkuda tanpa alasan tertentu. Tetapi Tuan-tuan adalah golongan warga-negara yang bisa diajak berbicara dan berpikir. Kini rakyat Tuan-tuan mengalami pancaroba. Kini negara dalam keadaan goyah. Karena soko-guru sejati tidak ada yang sedang berkuasa. Bila Tuan-tuan meragukan keterangan kami ini, nah pergilah menghadap raja. Tanyakan, mana ketiga pusaka tanah Jawa. Jika dia menjawab tidak ada, tanyakan juga, mengapa dia lantas saja duduk di atas tahta kerajaan seolah-olah ahli waris yang syah? Harus Tuan-tuan ketahui, bahwa Sultan Hamengku Buwono 11 pada waktu ini berusaha mengangkat diri menjadi penguasa tunggal. Semuanya yang tidak mendengar kata hatinya, disingkirkan. Anehnya, mengapa dia mendengarkan tiap-tiap kata isteri-isterinya? Kalau perempuan sudah mulai ikut berbicara dalam tata-pemerintahan, apakah yang dapat disumbangkan?” “Sultan Hamengku Buwono II sedang berusaha mengembalikan tata pemerintahan seperti pada zaman Panembahan Senopati atau Sultan Agung. Mana bisa dia berbuat begitu? Kita semua akan dibentuk menjadi kawula Jawa Sejati, sedangkan dia tidak memiliki pusaka Tanah Jawa...” “Pangeran Bumi Gede!” tiba-tiba Manyarsewu memotong. “Tak peduli siapa yang menjadi raja, tetapi apakah ketiga pusaka Tanah Jawa itu benar-benar pernah ada di dunia ini?” “Di sini hadir pula yang mulia sang Dewaresi dan Tuan Pendekar Yuyu Rumpung. Sepuluh— dua belas tahun yang lalu, kami pernah mendengar kabar, kalau sang Dewaresi pernah berhasil merampas ketiga pusaka Tanah Jawa itu dari Cirebon dan kemudian membawanya pulang. Tetapi, kami mendengar kabar kalau ketiga pusaka itu hilang di tengah jalan.” Mendengar keterangan Pangeran Bumi Gede, semua yang hadir mengarah kepada sang Dewaresi. Pandang mata mereka lantas saja menjadi tegang. Setengah dari mereka mulai berpikir, ini hebat! Kalau sang Dewaresi benar-benar mengangkangi ketiga pusaka Tanah Jawa itu, apakah Pangeran Bumi Gede bermaksud mengajak kita beramai-ramai mengkerubut? Belum lagi mereka mendapat ketegasan, sang Dewaresi nampak berdiri dengan sikap garang. Ia melemparkan pandang tajam kepada Pangeran Bumi Gede. Kemudian berkata, “Kata-kata Paduka sepatah pun tidak ada yang salah. Memang benar, pusaka Tanah Jawa itu pernah kami miliki... dan hilang dirampas orang. Kebetulan sekali selama dua hari di sini, kami pernah melihat ilmu tata-berkelahi putera paduka. Tata-berkelahi itu mengingatkan kami kepada ketiga pusaka Tanah Jawa. Perkenankan kami bertanya, di manakah itu pendeta gila Hajar Karang -pandan?” Semua orang yang mendengar ucapan sang Dewaresi jadi keheranan. Untuk kesekian kalinya, mereka dipaksa sibuk menduga-duga. Tatkala Pangeran Bumi Gede hendak menjawab, sekonyong-konyong masuklah seorang laki-laki berpakaian serba putih. Dialah salah seorang anggota Banyumas yang diperintah Yuyu Rumpung mengantarkan si pegawai Pangeran Bumi Gede mengambil ramuan obat. Orang itu pucat lesi! Pipinya bengkak biru. Dengan napas terengah-engah ia menghadap Yuyu Rumpung, “Ma... ma... ma... maling! Awas... maling!” SANGAJI yang mengikuti si pegawai Pangeran Bumi Gede dan si pemuda berpakaian putih untuk mengambil ramuan obat, kala itu telah meninggalkan gedung pertemuan. Jalan di halaman kadipaten ternyata berlika-liku. Penerangan tidak ada pula, sehingga ia harus mendekati si pegawai tak lebih dari selangkah. Ia meniru cara kerja Titisari. Dihunuslah belatinya dan diancamkan ke punggung si pegawai, karena khawatir dipermainkan. Si pemuda berpakaian putih yang berjalan di depan telah sampai di sebuah kamar tempat penyimpan obat-obatan. Ia mendorong pintu kamar, kemudian memasuki sambil menyalakan obor. Ternyata di dalam kamar itu penuh dengan obat-obatan yang nampak berserakan di atas meja. Sangaji segera menyarungkan belatinya. Kini ia melayangkan pandang ke seluruh ruang kamar. Botol dan guci-guci tempat penyimpan obat berdiri berleret-leret pula di sepanjang dinding. “Hm—pantas di Pekalongan tidak ada obat-obatan lagi. Jahanam-jahanam itu benar-benar telah menguras habis semua obat-obatan yang berada di dalam kota.” Si pemuda berpakaian putih rupanya mengerti perkara jenis ramuan obat. la me-nyontak lima macam ramuan obat-obatan dan kemudian diberikan kepada si pegawai istana setelah membungkusnya rapih. Tetapi Sangaji tidak dapat menahan sabar lagi. Begitu ia melihat si pegawai istana menerima ramuan obat, segera disambarnya dan dimasukkan ke dalam saku. Orang itu tak mampu berkutik. Meskipun demikian, ia cerdik. Pikirannya lantas saja bekerja. Dengan sedikit membungkuk ia mempersilakan Sangaji berjalan mendahului bersama si pemuda berpakaian putih. Dia sendiri memperlambat langkahnya. Tatkala si pemuda berpakaian putih dan Sangaji sudah berada di luar kamar, sekonyong-konyong ia meng-gabrukkan daun pintu sambil memadamkan obor. Pintu dengan cepat dikuncinya, lantas mulutnya bekerja. “Awas! Maling! Maling!” Si pemuda berpakaian putih, ternyata bukan seorang pemuda goblok. Memang dia murid Yuyu Rumpung. Begitu mendengar teriak si pegawai istana, ia terkejut dan heran. Secepat kilat ia berputar dan menubruk Sangaji. Sangaji sendiri kurang berwaspada. Ia terkejut dan mendongkol mendengar teriakan si pegawai istana. Dalam gusarnya ia menjadi terburu nafsu. Serentak ia berputar dan menubruk daun pintu. Dengan sepenuh tenaga ia menghajar pintu. Hebat akibatnya. Daun pintu tergempur sampai somplak. Penuh sengit ia menyerang si pegawai istana dan melampiaskan kegusarannya seperti banjir membobol bendungan. Si pegawai istana kena gempurannya dan roboh terpelanting tak berkutik lagi. Tetapi selagi ia mengumbar amarahnya, si pemuda berpakaian putih sudah berhasil merampas bungkusan ramuan obat dan dilemparkan asal terlempar saja. Rasa dongkol Sangaji kian memuncak. Dengan mata berkilat-kilat ia berputar menyambar si pemuda berpakaian putih. Tetapi si pemuda berpakaian putih, ternyata licin. Begitu berhasil merampas bungkusan ramuan obat, ia segera melarikan diri. Sudah barang tentu Sangaji tidak membiarkan dia bisa melarikan diri seenaknya. Tubuhnya lan-tas saja melesat mengejarnya. Si pemuda berpakaian putih mendengar ke siur angin. Gugup ia mengendapkan tubuhnya sambil memutar diri. Kemudian menyerang dengan sapuan kaki. Sangaji bertambah mendongkol, la menyerang lebih sengit. Dua kali ia berhasil menggaplok muka si pemuda. Tapi si pemuda ternyata bandel. Masih saja dia berusaha menghindarkan diri sambil memberondong pukulan. Terpaksalah Sangaji melepaskan jurus ajaran Jaga Saradenta. Si pemuda kena disampok dan dipukulnya sampai terpental berjumpalitan. Ternyata ia roboh pingsan tak ingat batang hidungnya. Segera Sangaji kembali memasuki kamar. Dengan meraba-raba ia mengumpulkan ramuan obat menurut ingatannya sewaktu si pemuda berpakaian putih mengambil beberapa jenis ramuan. Tatkala kakinya menyentuh tubuh si pegawai istana yang masih saja tak berkutik, darahnya meluap lagi. Dengan hati masih gregeten, ia mendupaknya keras hingga bergulingan. Hatinya jadi puas. Segera ia bekerja. Tapi kini, ia jadi kebingungan. “Eh... yang mana tadi?” ia mencoba mengingat-ingat. Karena sadar akan bahaya, ia segera mengambil keputusan cepat. Pikirnya, biar Aki sendiri nanti yang memilih jenis ramuannya. Sekarang kuambil semuanya saja... Memikir demikian, ia mengantongi semua ramuan obat yang tadi berada di depan si pemuda berpakaian putih. Setelah itu, cepat-cepat ia keluar kamar. Mendadak saja, selagi ia berada di luar sesosok bayangan berkelebat menubruk padanya. Belum lagi ia sadar apakah yang harus dilakukan, kepalanya kena gempur, la terpelanting ke belakang dan tengkuknya menghantam tiang dinding. Seketika itu juga, matanya berkunang-kunang. Napasnya sesak dan tubuhnya sekonyong-konyong menjadi lemas tak berdaya. Ia jatuh pingsan... Bayangan yang memukulnya tidak memperhatikannya. Dengan menggenggam perge-langan tangan seorang perempuan, bayangan itu terus melesat pergi. Ternyata bayangan itu—Mustapa yang sedang melarikan diri dari kurungan. Ia berhasil membohongi penjaga. Dengan dalih minta dibebaskan dari kurungan karena hendak berbicara dengan Sanjaya, ia dapat menghampiri penjaga dan memukulnya sampai pingsan. Kemudian dengan membimbing Nuraini, ia segera melarikan diri. Mendadak saja selagi melintasi gedung tempat penyimpan obat-obatan terpapaslah dia dengan Sangaji. Mengira, kalau Sangaji adalah pula salah seorang penjaga yang sedang beronda, tanpa berpikir lagi lantas saja mengayunkan bogem mentahnya. Sangaji yang sama sekali tidak menduga buruk, kena dipukulnya rebah. Setelah itu ia melompat dinding kadipaten dan lenyap di tengah malam. Dan pada saat itu, si pemuda berpakaian putih telah pulih kesadarannya. Sekeliling dirinya gelap pekat. Mengira, bahwa si maling sudah kabur segera ia menguatkan diri. Lantas larilah dia memasuki gedung pertemuan menghadap Yuyu Rumpung. Titisari terkejut mendengar kata-kata aduan si pemuda berpakaian putih. Tanpa berpikir panjang lagi, segera ia menjejak atap gedung dan meloncat turun ke tanah. Gerak-geriknya gesit dan cekatan. Meskipun ia melompat dari tempat tinggi, namun tidak menimbulkan suara. Tetapi mereka yang berada di dalam gedung pertemuan bukan orang-orang sem-barangan. Begitu ia nampak berkelebat, Cocak Hijau tiba-tiba saja telah menghadang di depannya. Segera menegor, “Siapa kau?” Titisari sadar akan bahaya. Ia tahu, di dalam kabupaten terdapat orang-orang sakti. Orang yang menghadang padanya bukan orang-orang sakti. Orang yang menghadang padanya bukan pula orang picisan. Karena itu ia harus mencari akal untuk dapat membebaskan diri. Sekonyong-konyong ia tersenyum, kemudian tertawa manis. “Sudah larut malam begini, masih saja pada berbicara. Apa yang mereka bicarakan?” sahutnya berlagak menjadi salah seorang anggota keluarga tetamu undangan. Akal ini ternyata mempan. Cocak Hijau berbimbang-bimbang. Tanpa berkedip ia merenungi si gadis. Kepalanya sibuk menebak-nebak dan menduga-duga. Lama ia berdiri terhenyak. Kemudian berkata agak lunak. “Mengapa kau berada di sini?” “Apakah ada yang aneh? Fajar hari bukankah hampir tiba? Kudengar tadi kentung subuh bertalu di kejauhan.” Karena perhatiannya tadi terpusat pada tutur-kata Pangeran Bumi Gede, tak dapat Cocak Hijau mengingat-ingat apakah kentung subuh benar-benar sudah berlalu. Tanpa disadari ia menengadah melihat udara, seakan-akan lagi bertanya kepada alam apakah benar-benar waktu fajar hampir tiba. Di ambang pintu orang-orang berkumpul berjubel mengawasi mereka berdua. Titisari mempergunakan kesempatan itu, untuk berlalu. Tenang-tenang ia berputar mengung-kurkan para tetamu dan berjalan dengan langkah pelahan. “Paduka Pangeran Bumi Gede!” Cocak Hijau berteriak, “Apakah Nona ini termasuk salah seorang anggota keluarga paduka?” “Bukan,” jawab Pangeran Bumi Gede sambil menggeleng kepala. “Hm,” geram Cocak Hijau. Kecurigaannya timbul sampai ke benak. Masih dia mencoba mencari keyakinan dengan melontarkan pertanyaan nyaring kepada tetamu-tetamu undangan lainnya. “Apakah Tuan-tuan yang “ hadir pernah mengenal Nona itu?” Serentak mereka menjawab, “Sama sekali tak kenal.” “Jadi bukan sanak keluarga Tuan-tuan sekalian?” Mereka tidak menjawab. Sikap ini sudah cukup jelas bagi Cocak Hijau untuk menentukan sikap. Maka dengan sekali menjejak tanah, tubuhnya lantas saja melesat terbang. Tahu-tahu ia sudah berada di depan Titisari. 'Tunggu Nona. Hari belum lagi terang tanah. Mari kita bersama-sama berjalan menghirup udara sejuk...,” kata Cocak Hijau. Terus ia mengulur tangan kanannya hendak menangkap pergelangan. Tiba-tiba—serba luar biasa— berubah gerakannya. Kini dengan kurangajar tangannya hendak menerkam dada Titisari. Titisari kaget bukan main. Sebenarnya, ia bermaksud berpura-pura tidak mengerti ilmu tata-berkelahi. Tetapi satu hal ia salah perhitungan. Cocak Hijau bukan anak kemarin sore. Dengan sekali pandang, tahulah dia kalau Titisari mengerti ilmu tata-berkelahi. Dengan sengaja pula, dia hendak membongkar kedok si gadis dengan satu kali gerak saja. Yakni hendak menerkam buah dada. Maka mau tak mau Titisari terpaksa membuka kedoknya. Cepat luar biasa, ia menyentil pergelangan tangan Cocak Hijau. Inilah ilmu khas milik si gadis yang mengejutkan Cocak Hijau pula. Pergelangan tangan jago tua itu, ternyata tergetar oleh suatu tenaga dorong yang sangat tajam. Gugup Cocak Hijau menarik tangannya. Dengan begitu loloslah dia dari bahaya. Sebab waktu itu, Titisari akan melancarkan suatu serangan aneh lagi. Diam-diam ia heran menyaksikan ilmu tata-berkelahi si gadis. Mereka yang menyaksikan gerakan kilat itu, terkejut dan heran pula. “Eh, Nona! Sebenarnya kau, siapa? Siapa pula gurumu?” Cocak Hijau mencoba mencari keterangan. Titisari berlagak bodoh. Ia seperti tak merasa melakukan pembelaan diri. Sambil tertawa manis ia menyahut, “Kita menghirup udara sejuk di mana? Di tepi laut atau di pinggir kota?” Kembali Cocak Hijau terhenyak heran. Ia mengira, si gadis tak mendengar kata-katanya. Tapi masa, kata-kata yang diucapkan keras pula tak mampu menembus pende-ngaran si gadis. Maka ia mengulang. “Sebenarnya kau siapa? Siapa pula gurumu? Kaudengar tidak pertanyaanku?” Tapi Titisari tetap tertawa manis. Sama sekali tidak ada kesan, ia telah melakukan sesuatu yang mengejutkan jago-jago tua yang berkumpul di ruang kadipaten. Manyarsewu yang berangasan tak sabar lagi. Lantas saja ia ikut menghampiri sambil mendamprat, “Eh Nona! Masa Nona secantik kamu, bertelinga tebal? Kaudengar tidak, kata-kata rekanku tadi?” “O... apa dia sedang berbicara?” sahut Titisari seraya menaikkan tertawanya. Manyarsewu menatap wajah si gadis. Mendadak saja ia seperti teringat sesuatu. Dengan pandang heran, ia menoleh kepada Cocak Hijau sambil berkata nyaring, “Cocak Hijau! Apa matamu yang sudah tua, kini mulai lamur?” Mendengar tegoran Manyarsewu, Cocak Hijau tercengang. Berseru minta penjelasan. “Apakah maksudmu?” “Ah, benar-benar kaulamur,” sahut Manyarsewu sambil tertawa berkakakkan. “Bukankah dia yang menyamar tadi pagi menjadi seorang pemuda berpakaian kumal?” Sekali lagi Cocak Hijau tercengang-cengang. Pandangannya tak berkedip meng-amat-amati si gadis mulai dari ujung rambut sampai ke mata kaki, kemudian dari mata kaki ke ujung rambut. Cepat sekali dia mengenal perawakan tubuh Titisari. Lantas saja, hawa amarahnya meluap. Sambil menuding Yuyu Rumpung, pandang matanya menentang lebar kepada Titisari. “Kranjingan! Yuyu Rumpung, dialah manusianya yang mempermain-mainkan bocah asuhanmu tadi pagi. Kauingat? Nah, biarlah kutolong membasuh coreng mukamu!” bentaknya. Mendengar seruan Cocak Hijau, mana bisa Yuyu Rumpung menerima budi orang. Benar-benar ia terhina terang-terangan di depan Pangeran Bumi Gede. Segera ia berdiri tegak dan hendak menyerbu ke halaman. Tetapi tubuhnya masih bergemetaran, sehingga geraknya Jadi sempoyongan. Insyaf akan keadaan tubuhnya yang belum sehat kembali dan khawatir pula luka dalamnya akan membayakan nyawanya, maka mau tak mau ia menahan diri. Meskipun demikian, nampak sekali betapa ia gusar hati, sampai mukanya pucat lesi. Dalam pada itu, Cocak Hijau sudah memperoleh pegangan. Ia tak ragu-ragu lagi. Dengan mementang kedua tangannya, ia menubruk. Titisari cukup berwaspada. Ia tahu, dirinya berada di dalam sarang harimau. Begitu melihat serangan Cocak Hijau, terpaksa menjejak kaki membebaskan diri. Tetapi di luar dugaan, Manyarsewu ikut pula menerjang. Rekan Cocak Hijau itu tak rela membiarkan si gadis bisa bergerak leluasa. Teringat akan kemampuannya mempermain-mainkan anakanak sang Dewaresi begitu mudah tadi pagi, ia mengkhawatirkan bisa pula mempermain-mainkan Cocak Hijau. Kalau sampai terjadi begitu, bukankah akan runtuh pamor rekannya. Maka ia segera merintangi dan sekali bergerak tangannya sudah menyambar pergelangan tangan sambil membentak. “Ha iblis! Kau mau ke mana?” Titisari kaget bukan kepalang. Sama sekali tak diduganya, kalau Manyarsewu bisa bergerak sehebat itu. Tahu-tahu pergelangan tangannya telah kena terkam. Namun ia tak kekurangan akal. Cepat sekali otaknya yang cerdik bekerja secara wajar. Dengan dua jari tangan kanan ia menotok gundu mata Manyarsewu. Heran! Hampir-hampir luput dari pengamatan bagaimana Manyarsewu menangkis, mendadak saja pergelangan tangan kanan Titisari telah tertangkap erat. “Ah begini macam,” teriak Titisari kaget. “Begini macam bagaimana?” Manyarsewu membalas bertanya. “Macam kampungan.” “Kampungan? Apa yang kampungan?” Manyarsewu heran. “Kamu berdua sudah begini tua bangka. Mengapa main keroyokan pada seorang gadis? Sudah pantas aku menjadi cucumu, tapi heran kau masih bisa berlaku kurang ajar. Apakah ini perlakuan seorang ksatria, menangkap pergelangan tangan seorang gadis di depan umum? Apakah ini bukan kampungan?” Manyarsewu benar-benar terperanjat. Memang, umurnya sudah bukan muda lagi. Kecuali itu, dia seorang sakti yang terkenal di seluruh daerah Jawa Timur. Kalau untuk menangkap seorang gadis sebelia Titisari dengan cara mengkerubut, rasanya memang kurang jantan. Mau tak mau ia melepaskan pergelangan tangan si gadis sambil membentak seram, “Masuk ke dalam...!” Tak dapat Titisari membantah perintah Manyarsewu. Terpaksa ia menurut dan masuk ke ruang kadipaten dengan langkah perlahan. “Manyarsewu!” kata Cocak Hijau. “Jangan berkecil hati. Aku salah seorang sahabatmu yang lahir di Makasar. Perkara sopan-santun tata pergaulan di Jawa, apa peduliku? Biar nanti kucacati tubuhnya. Dia mau apa?” Setelah berkata demikian, Cocak Hijau terus saja melangkah menghampiri Titisari hendak membuktikan ucapannya. Tetapi Manyarsewu menyanggah. “Jangan terburu-nafsu! Tanyakan dahulu, siapakah guru dan ayah-bundanya! Lantas siapa pula yang memberi perintah dia sampai berani mengintip pembicaraan kita.” Cocak Hijau tak mendengarkan saran dan sanggahan Manyarsewu. Hatinya masih mendongkol, karena tadi ia kena dipermain-mainkan Titisari. Dua kali berturut-turut serangannya kena dielakkan dengan mudah. Pikirnya, kalau dia sampai bisa lari, mana dapat aku mengejarnya. Gerak-geriknya benar-benar gesit.... Lantas saja tangannya menyambar hendak menggaplok. Tetapi Titisari mengelak cepat. Dengan begitu, tiga kali berturut-turut ia selalu membentur udara kosong. “Hm—kau mau mengadu kepandaian?” tantang Titisari setengah mengejek. “Kalau mau adu kepandaian, bilang dong!” “Apa kau bilang? Kau menantang aku?” bentak Cocak Hijau. Tapi Titisari tak mengindahkan. Pandangnya melayang kepada orang-orang, kemudian berkata seperti mengadu. 'Tuan-tuan, aku tak pernah bermusuhan dengan dia. Jika dia bersikap garang, bagaimana nanti jadinya kalau tanganku sampai kena melukai dia?” Bukan main gusar hati Cocak Hijau. Cepat ia melangkah maju sambil memiringkan kepala seolah-olah tak percaya pada pendengarannya sendiri. “Kau bilang apa? Kau bilang, aku akan bisa kaulukai?” dampratnya. Kembali Titisari bersikap dingin seakan-akan tak mengambil pusing. Ia berkata lagi kepada mereka yang hadir. “Ah—jika ia masih saja bersikap galak, terpaksa aku mengadu kepandaian di depan Tuan-tuan sekalian.” “Setan! Iblis!” maki Cocak Hijau. “Benar-benar kamu menantangku?” Titisari tak mempedulikan. Tadi ia telah mengenal gerakan-gerakan tubuh Cocak Hijau. Ia melihat orang itu kurang gesit. Karena itu ia mau mengadu kecerdikan dan mempergunakan kelemahan lawan untuk dapat membebaskan diri. “Tuan-tuan menjadi saksi, bagaimana dia memaksaku untuk mengadu kepandaian. Karena Tuan-tuan sudah menjadi saksi, maka sekali lagi aku minta bantuan Tuan-tuan agar menjadi saksi pula dalam tata mengadu kepandaian ini. Bila nanti aku salah tangan sehingga melukainya, bukan aku bermaksud jahat terhadapnya. Tetapi semata-mata karena terdesak belaka,” katanya dingin. Cocak Hijau adalah seorang pendekar dari Gresik yang dulu berasal dari Sulawesi. Selama hidupnya, dia berkelana mengadu kepandaian dan selalu menang. Namanya tenar dan disegani orang di seluruh Jawa Timur. Mendadak saja, pada hari itu ia kena direndahkan demikian rupa oleh si gadis di depan tetamu-tetamu undangan. Sudah barang tentu, darahnya meluap dan dadanya bergetar seperti mau meledak. Mukanya merah padam dan sebentar berubah menjadi pucat lesi, karena menahan deru amarah yang meluap-luap. Sebaliknya mata Titisari nampak berkilat-kilat. Sama sekali ia tak gentar menghadapi Cocak Hijau jago Jawa Timur yang sedang meluap, amarahnya. Sesungguhnya, itulah yang diharapkan. Jika seorang terlalu mengumbar amarahnya, ia akan kehilangan pengamatan diri. Tak jarang seorang jago jatuh di bawah perlawanan seorang musuh lemah yang bisa menggunakan kecerdikan. “Tuan-tuan! Aku mau bertanding mengadu kepandaian secara ksatria. Kalau dia minta berkelahi secara kampungan, sudahlah—aku menyerah kalah. Bagaimana menurut pendapat Tuan-tuan? Apakah dia kira-kira mau menerima perjanjian ini?” “Hai! Hai! Hai?” damprat Cocak Hijau tergegap-gegap. “Kamu bicara melantur tak keruan! Kauanggap apa aku ini? Perlihatkan kepandaianmu. Kalau aku seorang tua tak dapat membuatmu puas, biar kutumbukkan kepalaku ini ke dinding.” “Bagus!” sahut Titisari gembira. Kemudian tata-lagu nada suaranya beralih. “Begini, kalau berkelahi secara kampungan, setiap orang bisa berbuat begitu. Karena pokoknya asal menang. Tapi kemenangan begitu adalah murah. Sebaliknya aku mengharapkan kemenangan sejati.” “Cepat bilang!” Cocak Hijau tak sabar lagi. 'Tenang Tuan, aku takkan minta padamu agar mengikat kedua kaki dan tanganmu,” sahut Titisari cepat. “Aku hanya minta kamu membawa minuman keras. Lantas kejarlah aku! Tangkaplah aku! Seranglah aku semaumu! Kalau minuman itu sampai tumpah, kau kalah. Nah, cepat benturkan kepalamu ke dinding!” Cocak Hijau kena terbakar hatinya. Maklumlah, dia bukan orang sembarangan. Kini kena direndahkan demikian rupa. Demi menjaga kehormatan diri, maka tanpa pikir lagi ia menyambar dua cawan dan diisi minuman keras penuh-penuh. “Bagus!” puji Titisari, 'Itu namanya laki-laki sejati. Sekarang—marilah kita adu kepandaian...” Benar-benar Titisari seorang gadis cerdik. Dengan mengadu ketajaman lidah, akhirnya ia bisa memaksa lawan untuk tunduk pada peraturan-peraturan tata-berkelahi yang dikehendaki. Dengan demikian, kegarangan dan kebebasan gerak Cocak Hijau bisa dikurangi. Mereka yang hadir adalah golongan jago-jago dan pendekar-pendekar sakti. Melihat usia si gadis masih muda belia dan Cocak Hijau yang sudah terkenal sebagai seorang pendekar sakti, memang sudah sewajarnya apa bila si jago tua memberi keleluasaan padanya. Tetapi kini mereka terkejut menyaksikan kegesitan si gadis di luar dugaan orang. Waktu itu Cocak Hijau mulai menyerang. Ia menggunakan kedua kakinya berganti-ganti jika menyerang. Gerak-geriknya terbatas dan nampak sekali bagaimana kedua cawan yang tergenggam dalam tangannya sangat mengganggu. Langkahnya panjang dan bertenaga. Sebaliknya gerak-gerik Titisari ringan tak bersuara. Kakinya lincah dan cekatan. Apa yang mengejutkan mereka ialah cara dia bergerak menghindari serangan lawan. Tubuhnya tetap tegak. Kedua kakinya pun berdiri kencang. Tetapi dengan menekan-nekankan ibu jari kaki, ia melesat gesit seperti seekor ikan mengibaskan ekornya. Inilah suatu gerakan indah yang sukar dipelajari orang. Bila guru si gadis bukan orang sakti luar biasa, pastilah takkan bisa mewariskan kepandaian demikian hebat. Makin lama serangan Cocak Hijau makin mengguntur. Kedua kakinya bergerak cepat dan menerbitkan kesiur angin. Meskipun Titisari bebas mempergunakan kaki dan tangannya, ia tak dapat bergerak lebih banyak daripada menangkis dan menghindari. Bahkan daerah geraknya kian menjadi sempit. Titisari tak gugup. Kini ia melesat mencari ruang gerak lebih lebar sambil melepaskan serangan-serangan jari. Kadang-kadang ia nampak berusaha membentur siku lawan, agar minuman keras yang berada dalam cawan kena ditumpahkan. “Bocah ini benar-enar hebat!” pikir Manyarsewu di luar gelanggang. “Sebenarnya siapa gurunya? Melatih tata-gerak segesit itu, tidak gampang... Tetapi, tak usah lama dia bakal kena dijatuhkan Cocak Hijau...” Yuyu Rumpung yang menyaksikan perkelahian itu berpikir lain. la terganggu, karena luka dalamnya. Mengingat luka dalamnya, sekaligus teringatlah dia kepada Panembahan Tirtomoyo yang kena dilukai pula. Itulah sebabnya dengan cepat dia bisa mendugaduga mengapa si gadis datang memasuki kadipaten. “Ah! Pastilah dia datang bersama si pemuda tadi pagi mencuri obat untuk si tua...” Teringat akan laporan muridnya perkara si pencuri obat, ia jadi gelisah sendiri. Ingin ia keluar dari ruang kadipaten dengan diam-diam, tetapi kesempatan yang bagus belum nampak. Kalau ia meninggalkan gelanggang pertarungan sebelum Cocak Hijau menjatuhkan si gadis, bukankah berarti menghina kawan serikat? Maka mau tak mau ia menahan diri sebisa-bisanya... Sangaji kala itu telah sadar kembali. Yang mula-mula diingatnya ialah ramuan obat-obatan yang baru diambilnya. Ia menggapai sakunya. Bungkus ramuan obat masih utuh. Hatinya jadi lega. Sekarang ia mencoba mengingat-ingat siapa tadi yang membentur dirinya begitu tiba-tiba. Bayangkan tadi begitu cepat geraknya. Tidak juga berniat jahat. Sekiranya berniat jahat, mana bisa dia dibiarkan hidup. Bukankah tadi dia jatuh pingsan kena benturannya. Mendapat pertimbangan itu, Sangaji lantas sibuk menduga-duga. Pikirnya, kalau begitu, pasti dia bukan termasuk golongan orang-orang yang berkumpul di kadipaten. Lantas siapa dia?” Mendadak teringatlah dia, kalau bayangan tadi seperti membimbing seorang perempuan. Mau ia menduga,—itulah Mustapa dan Nuraini. Baikiah kutengok dia. Sekiranya benar-benar dia, syukurlah. Tetapi kalau bukan, bagaimana aku akan membiarkan mereka terkurung dan terhina, pikirnya. Memikir demikian lantas saja ia lari mengarah ke gedung tahanan. Ternyata gedung itu dalam keadaan gelap gulita. CIntung ia pernah memasuki gedung tersebut. Dengan demikian—sekalipun meraba-raba—sampailah dia ke tempat di mana dia dengan Titisari mengintip permainan Sanjaya sebentar tadi. Ruang itu lengang hening. Sangaji berjongkok sambil membelalakkan mata. Ia tak melihat sesuatu, sehingga timbullah kecurigaannya, mau ia menduga, kalau ia salah jalan. Maka cepat ia berdiri hendak berlalu. Sekonyong-konyong ia mendengar rintih orang. “Siapa? Paman Mustapa?” bisiknya. Orang yang merintih tidak mendengarkan tegur-sapanya. Rintihnya kian naik dan sebentar kemudian berubah menjadi nada erangan. Khawatir, kalau Sanjaya mungkin menganiaya Mustapa, maka ia menghampiri dengan hati-hati. Sewaktu berada selangkah di depan orang itu, mendadak terlihatlah sinar terang menembus gelap gedung. Terkejut ia mundur dan memipit dinding sejadi-jadinya. Sebentar saja, terdengarlah derap langkah mendekati pintu gedung. Kemudian masukiah tiga orang mengiringkan seorang perempuan setengah umur. Dialah ibu Sanjaya. Sangaji heran melihat kedatangan ibu Sanjaya. “Mau apa dia menjenguk kamar tahanan Mustapa?” la mencoba bertanya pada dirinya sendiri. Tetapi ia benar-benar tak dapat menebak maksud ibu Sanjaya. “Apakah mereka dikurung dalam gedung ini?” terdengar Ibu Sanjaya minta keterangan pada ketiga pengiringnya. “Ya,” jawab ketiga pengiringnya hampir berbareng dengan takzim. “Sekarang bebaskan mereka!” perintah Ibu Sanjaya. Ketiga opsir itu terkejut. Mereka saling pandang. Nampak sekali mereka berbimbang-bimbang. “Kalian takut pada nDoromas Sanjaya? Jika Sanjaya bertanya mengapa mereka kalian bebaskan, bilang kalau akulah yang memberi perintah,” kata Ibu Sanjaya dengan suara tetap. Mendengar bunyi ucapan Ibu Sanjaya, mereka bertiga tiada alasan lagi untuk beragu. Segera mereka masuk, mendadak nampaklah tiga orang penjaga menggeletak di lantai. Yang dua tidak berkutik. Yang seorang lagi mengerang-erang. Nampak sekali mukanya babak belur matang biru. Ibu Sanjaya agaknya melihat nasib ketiga penjaga itu. Segera ia menghampiri sambil meraba-raba urat nadi dan pernapasannya. “Mereka kena pukul dan roboh tak sadarkan diri,” katanya terharu. Kemudian menghampiri yang mengerang sambil bertanya, “Mana mereka yang dikurung?” Dua pengiring ibu Sanjaya lantas saja memeriksa kamar tahanan. Ternyata Mustapa dan Nuraini tidak ada lagi. Segera mereka mendepak penjaga yang mengerang-erang sambil membentak, “Bangun! Kaudengar pertanyaan Raden Ayu?” Penjaga yang mengerang kesakitan itu mendadak saja jadi sadar kena depakan mereka. Matanya terbelalak. Begitu pandangnya melihat mereka, berusahalah dia menguatkan diri. Tetapi nampaknya ia kesakitan benar-benar, sehingga usahanya gagal. Maka dia hanya mencoba berbicara gagap, “Lari...! Lari...!” Ketiga pengiring ibu Sanjaya rupanya ingin mengambil hati junjungannya. Mereka bergerak mau mendepak si penjaga lagi agar mendapat keterangan lebih jelas. Tetapi Ibu Sanjaya cepat-cepat menyanggah, “Dia sudah kesakitan. Mengapa kalian tak mencoba menolong?” Halus teguran Ibu Sanjaya, tetapi benar-benar mengenai telak perbendaharaan hati, sehingga ketiga pengiringnya buru-buru memperbaiki sikap. Sekarang mereka berebutan menolong si penjaga, meskipun hatinya enggan luar biasa. “Bawalah mereka ke kamarku,” perintah Ibu Sanjaya. Kemudian ia meninggalkan gedung dengan kepala menunduk. Hatinya penuh sesal menyaksikan peristiwa demikian. Tetapi ia tak berkata sepatah kata pun. Perlahan-lahan Sangaji keluar dari dinding persembunyiannya, la bertambah kagum kepada kemuliaan ibu Sanjaya. Karena rasa kagum, ia membayangkan bentuk tubuh dan wajahnya. Mendadak saja, teringatlah dia kepada ibunya. Rasa rindu setahunya membakar dirinya. Sudah berapa bulan dia meninggalkan Jakarta! Ibu! Ibu pun berhati mulia seperti ibu Sanjaya, bisiknya pada diri sendiri. Sebentar saja ia telah berada di pekarangan. Karena bulan bersinar kian terang, segera ia memipit dinding agar sedikit terlindung. Ia bermaksud hendak mencari Titisari. Ingin membujuk si gadis agar tidak mengintip pembicaraan orang berlarut-larut. Apa perlu? Bukankah ramuan obat telah diperolehnya? Menolong nyawa Panembahan Tirtomoyo adalah yang terpenting. Baru saja ia tiba di belakang gedung ibu Sanjaya, sekonyong-konyong terasalah kesiur angin menyambar padanya. Secepat kilat ia mengelakkan diri. Kini ia benar-benar bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Maka begitu melihat bayangan berkelebat menyerang padanya, segera dia memapaki dengan jurus Jaga Saradenta. Tangan bayangan itu kena disambarnya. “Auh!” rintih bayangan itu, lantas saja roboh di atas tanah. Sangaji terkesiap. Sama sekali tak diduganya, bahwa ia bisa merobohkan orang begitu gampang. Tatkala ia menajamkan mata, hatinya berdegupan. Ternyata bayangan itu adalah Mustapa. Tadi siang, kedua pergelangan tangannya kena dipatahkan Sanjaya dan belum pulih seperti sediakala. Itulah sebabnya, begitu kena bentrok lantas saja kehilangan daya tahan. “Paman Mustapa!” kata Sangaji setengah memekik. “Siapa kau?” “Aku Sangaji. Akulah pemuda yang melawan si pemuda ningrat tadi siang...” Mustapa berdiri tertegun. Tadi dia sudah berhasil melarikan diri bersama Nuraini. Begitu tiba di luar pekarangan, segera ia menghantarkan puterinya ke penginapan di mana mereka berdua menginap. Setelah itu ia balik kembali ke kadipaten dengan maksud ingin mengintip ibu si pemuda ningrat. Semenjak ia bertemu pandang dengan ibu Sanjaya, hatinya gelisah bukan main. la menduga sesuatu dan hatinya takkan lega sebelum mendapat keyakinan. Tiba di luar tembok kadipaten, cepat ia meloncati. Mendadak ia melihat berkelebatan Sangaji. Karena terlalu bersikap waspada dan selalu bersiaga, ia mengira Sangaji salah seorang penjaga. Dengan demikian, dua kali Sangaji disangkanya sebagai seorang penjaga keamanan kadipaten. Karena itu, segera ia melontarkan serangan sebelum kakinya menginjak tanah. Tapi kali ini, Sangaji bukan makanan empuk baginya. Pemuda itu telah mendapat pengalaman diserang orang dengan tiba-tiba. Secara wajar, ia kini selalu berwaspa-da dan bersiaga. “Mengapa kamu ada di sini?” tanya Mustapa tersekat-sekat. Terasa benar, betapa terperanjat pula dia. “Aku mencari obat. Panembahan Tirtomoyo dilukai orang di kadipaten. Secara kebetulan aku melihat Paman dikurung si pemuda ningrat di dalam gedung itu. Maka aku bermaksud menolong Paman.” Mustapa jadi terharu mendengar kata-kata Sangaji yang begitu sederhana. “Mengapa kamu menaruh perhatian begini besar terhadapku?” “Mengapa... Entahlah,” sahut Sangaji, “Tetapi Paman bukan orang salah... bukan pula pesakitan. Mengapa mesti dikurung?... Paman, dengan tak sengaja aku menyambar perge-langan tangan Paman yang terluka tadi siang. Biarlah kubebatkan.” Sangaji lantas saja meraih tangan Mustapa. Dan entah mengapa, Mustapa membiarkan si bocah berbuat sesuka hatinya. “Anak muda! Sebenarnya kau siapa? Siapa pula orang tuamu?” “Aku datang dari jauh,” jawab Sangaji. “Ayahku dulu bertempat tinggal di sebuah desa di Jawa Tengah. Aku sendiri hidup di Jakarta dengan Ibu.” “Siapa nama ayahmu?” kata Mustapa seperti mendesak. “Dia orang berasal dari Bali. Namanya Made Tantre.” “Siapa? Made Tantre?” ulang Mustapa. Dan tiba-tiba tubuhnya bergemetaran. “Di mana ayahmu dulu pernah bertempat tinggal?” “Di sebuah desa, Karangtinalang, namanya...” “Oh!” Mustapa terkejut. Mendadak saja, kepalanya mendongak ke angkasa. Kemudian seperti berbisik kepada dirinya sendiri, terdengar ia berbicara... “Dewa Agung... Dewa Agung... benarkah ini anakmu?” Lantas saja tangannya yang sebelah menerkam pergelangan tangan Sangaji erat-erat. Sangaji jadi keheran-heranan. la merasakan tangan Mustapa bergemetaran. Tiba-tiba Mustapa mengalirkan air mata dan menetesi lengan. Sangaji jadi menebak-nebak, “Hai... mengapa? Apakah aku mengingatkannya kepada salah seorang anaknya yang sudah lama meninggal dunia?” Mendapat pikiran demikian Sangaji kemudian berkata, “Paman masuk ke halaman kadipaten lagi. Apakah ada sesuatu yang harus Paman lakukan? Biar tenagaku masih ingusan, aku akan membantu Paman sebisa-bisaku...” “Ibumu bernama Rukmini, bukan?” Mustapa seperti tak mendengarkan ucapannya. “Dia masih berada di sampingmu atau... atau... sudah pulang ke asal?” Kembali Sangaji keheran-heranan, sehingga balik bertanya. '*'Apakah Paman kenal Ibu? Ibu kini berada di Jakarta. Jauh di barat sana...” Hati Mustapa tergoncang keras. Ia menerkam tangan si bocah kian erat, seolah-olah takut terlepas. “Paman, biarlah aku membebat tangan Paman dulu,” kata Sangaji. Tetapi Mustapa tetap memegang tangan Sangaji erat-erat. Ia seperti seorang yang tengah menemukan sesuatu yang berharga dan tidak ingin kehilangan lagi. Terdengar ia berbisik penuh haru. “Ah bocah! Kamu telah menjadi begini besar... begini besar...” Ia menarik napas panjang dan berkata lagi. “Sekarang... biar langit ambruk menimpa tubuh, apa yang kutakuti lagi. Bocah! Melihat dan meraba dirimu lantas saja teringatlah aku kepada almarhum ayahmu... Ya, begini ini... ya seumurmu ini, kami berdua mulai merantau meninggalkan Pulau Bali tanah leluhurmu...” Sangaji jadi semakin heran. “Paman kenal ayahku pula?” “Ayahmu adalah saudara-angkatku,” Mustapa memberi keterangan. “Kami berdua telah mengangkat saudara sewaktu hendak berangkat merantau meninggalkan kampung halaman. Semenjak itu ayahmu dan aku selalu bersama... runtang-runtung bagaikan saudara sekandung tunggal rahim...” Sehabis berkata demikian, ia lantas menangis sedih. Teringatlah dia kepada nasib buruk yang merenggutkan. Itulah pula sebabnya, tak sanggup ia meneruskan kata-katanya. Tak tahunya sendiri, Sangaji ikut mengalirkan air mata. Memang, dia seorang pemuda yang jujur sederhana. Hatinya polos dan penuh kemanusiaan. Sama sekali tak diketahuinya, kalau Mustapa sebenarnya adalah Wayan Suage sahabat almarhum ayahnya. Waktu itu, Wayan Suage terpaksa ditinggalkan Wirapati karena hutan tiba-tiba terbakar, la dalam keadaan pingsan. Tiba-tiba tubuhnya terasa sangat panas seperti terselomoti bara. Itu disebabkan karena tumbangnya pohon jati yang sedang terbakar hebat dan runtuh menimpa gerumbul belukar tempat persembunyiannya. Tetapi ia tak berdaya. Darah yang mengucur ke tanah sudah terlalu banyak. Meskipun Wirapati hampir berhasil menyumbat lukanya dengan bebat potongan baju, namun tenaganya sebagian besar telah hilang. Lagipula hatinya terlalu sedih memikirkan nasib keluarga dan sahabatnya. Tiba-tiba saja, ia seperti teringat sesuatu. Terasa kedua tangannya masih menggenggam erat-erat ketiga pusaka keramat hadiah Ki Hajar Karang-pandan. Kemudian entah kekuatan darimana asalnya, sekonyong-konyong pikirannya menjadi jernih. Suatu tenaga ajaib mendorong padanya, la berontak. Direnggutkan semua dahan dan ranting yang melibat dirinya. Dengan sekali renggut, bebaslah dia dan kemudian menggelinding bergulingan. Udara kala itu panas bukan kepalang. Asap tebal menutupi seluruh penglihatan dan api berjilatan sejadi-jadinya. la terus bergulingan tanpa tujuan dengan menggenggam ketiga pusaka keramat. Dalam hati, ia mendengar suara pelannya sendiri. “Biar bagaimanapun pusaka ini harus kusampaikan kepada Sanjaya dan Sangaji. Harus kusampaikan...! Harus kusampaikan...! Harus kusampaikan...!” Tiba-tiba ia terperosok ke dalam tebing curam. Ketiga pusaka keramat yang tergenggam erat-erat terbanting ke bawah. Dia sendiri lantas pula terbanting ke bawah. Kepalanya terbentur batu dan tubuhnya tercebur ke dalam sungai berlumpur. Itulah sungai berlumpur yang pernah diceburi Wirapati pula, tatkala menghindarkan diri dari ancaman pohon tumbang yang sedang terbakar menyala-nyala. Entah sudah berapa hari ia tak sadarkan diri. Tatkala membuka mata, dirinya sudah berada di atas dipan beralaskan tikar compang-camping. Seorang anak perempuan berumur kira-kira lima tahun duduk di dekatnya seperti sedang menjaganya. Tak lama kemudian datanglah seorang laki-laki setengah umur menghampiri. Laki-laki itu bersikap manis dan selanjutnya merawat dirinya dengan rajin dan penuh perhatian. Dua bulan lamanya ia terbaring di atas dipan. Selama itu ia telah mengetahui dari sang penolong tentang dirinya. Ternyata kebakaran makin lama makin meluas. Pemerintah segera mengerahkan pekerja-pekerja untuk bergotong-royong mencegah kebakaran. Mula-mula kurang mendapat perhatian. Tetapi setelah pemerintah menjanjikan bidang-bidang tanah hutan bekas kena bakar, lainlah halnya. Orang lantas saja datang dari segenap penjuru hendak menyumbangkan tenaga. Dengan demikian kebakaran bisa lekas terpadamkan. Laki-laki penolong Wayan Suage adalah pula termasuk salah seorang pekerja sukarela. Dia berasal dari Garut yang datang merantau ke Jawa Tengah hendak mengadu nasib. Sedang si bocah perempuan itu adalah anaknya bernama Nuraini. Satu tahun lagi ia merawat diri. la menyambung kakinya yang buntung dengan bambu. Setelah biasa berjalan dengan kaki buntung, barulah ia merasa diri telah sembuh benar. Kemudian ia mencoba mencari jejak isterinya dan keluarga sahabatnya. Sudah barang tentu, usahanya sia-sia belaka. Maklumlah, kala itu Rukmini dan Sangaji sudah berada di Jakarta. Sedang isteri dan anaknya sudah pula digondol seorang pangeran di perbatasan timur daerah kerajaan Yogyakarta. Ia balik kembali ke rumah penolongnya. Ia merasa berhutang budi, maka berjanjilah dia di dalam hati hendak membantu penghidupan sang penolong sekuasa-kuasanya. Tatkala penolong itu mati karena sakit, ia merawat Nuraini seperti anak kandungnya sendiri. Dan semenjak itu, ia mengajak Nuraini merantau dari daerah ke daerah sambil berusaha memperoleh kabar anak-isteri dan keluarga sahabatnya. Hampir empat belas tahun dia terenggut dari bumi keluarganya dan selama merantau usahanya untuk memperoleh titik-titik berita tentang keluarga sahabat dan anak-isterinya, sia-sia belaka. Sekali-sekali dalam perantauannya, ingin ia lekas mati atau membunuh diri. Untung, dia masih merasa bertanggung jawab terhadap kebahagiaan Nuraini puteri penolongnya. Lagi pula, hatinya takkan lega sebelum bertemu dengan anak-isteri serta keluarga Made Tantre. Mendadak saja—secara kebetulan—sekarang ia bertemu dengan putera sahabatnya. Bagaimana ia tak menjadi terharu? Karena itu ia terus menangis dan membiarkan diri menangis sepuas-puas hati. Selama itu, Sangaji masih saja berdiri tertegun. Tak tahu dia, apa yang harus dilakukan selain ikut menyumbangkan air mata. Tiba-tiba teringatlah dia kepada Titisari yang mungkin masih mengintip pembicaraan orang-orang dari atap rumah. Teringat akan Titisari, perlahan-lahan ia mencoba menarik tangannya. Tetapi genggaman Mustapa masih saja erat. “Sangaji! Kamu bernama Sangaji bukan?” bisik Mustapa tiba-tiba. Sangaji mengangguk kosong. “Mulai sekarang panggilah aku Paman Suage. Aku Wayan Suage sahabat almarhum ayahmu...” Kembali Sangaji mengangguk kosong. Maklumlah, ingatannya waktu itu melayang penuh-penuh kepada Titisari. “Kau tadi bilang hendak mencari obat. Apakah sudah kaudapatkan?” “Sudah,” jawab Sangaji. “Hanya saja... aku masih perlu menengok sahabatku.” “Siapakah sahabatmu? Sekarang di mana dia?” Sangaji hendak memberi keterangan. Mendadak teringatlah dia, kalau sahabatnya seorang gadis. Apa kata Wayan Suage terhadap dirinya, jika mendengar dia sedang ber jalan bersama dengan seorang gadis di larut malam menjelang fajar hari? Bila Wayan Suage menduga yang bukan-bukan, agaknya tidaklah terlalu salah. Karena itu ia tergugu. Untung Wayan Suage tiada mengurus lebih jauh, karena tiba-tiba pula ia teringat kepada urusannya sendiri hendak melihat Raden Ayu Bumi Gede. “Baiklah,” katanya, “Tengoklah sahabatmu dulu dan jaga dirimu baik-baik.” Sangaji kini malahan tercengang mendengar ucapan si orang tua. Tetapi ia girang. Dengan begitu, tak usahlah dia berkepanjangan memberi penjelasan tentang siapa sahabatnya itu. “Aku nanti akan mencari Paman.” Wayan Suage merenungi dirinya. Lama ia berdiam diri, kemudian berkata seperti memutuskan, “Tak usah. Belum tentu aku pulang ke penginapan.” Sangaji adalah seorang pemuda yang berotak sederhana. Mendengar jawaban Wayan Suage, tak ada keinginannya untuk mengetahui sebab-musabab orang tua itu berkata demikian, la tak mau pula menduga-duga, mengapa Wayan Suage yang sudah dapat membebaskan diri mendadak saja balik kembali ke kadipaten. Setelah berpisah, Sangaji terus mengarah ke halaman induk gedung. Mendadak saja sebelum kakinya menginjak batas halaman, ia melihat sesosok tubuh berkelebat menghampiri dirinya. “Siapa?” tegur orang itu. Belum lagi Sangaji menjawab orang itu terus menyerang. Sangaji cepat-cepat menggerakkan tangan dan segera menangkis. Berbareng dengan gerakan itu, ia terkejut. Di tengah cerah bulan, ia mengenali wajah Sanjaya si pangeran muda. Sanjaya terbangun dari tempat tidurnya, tatkala pintu kamarnya diketuk ketiga pengiring ibunya. Begitu menerima laporan, cepat ia mengenakan pakaian dan bergegas ke luar halaman, la memasuki kamar ibunya untuk mendapat penjelasan lebih lanjut. Setelah mendengar berita bagaimana Mustapa dan Nuraini membebaskan diri dari kamar tahanan bukan main terkejutnya. Hm... Ibu! Kau tak tahu urusan besar! Hatimu terlalu lemah! Sekiranya mereka masih terkurung, Ibu akan membebaskan juga. Tapi sekarang...? Jika guru mendengar perbuatanku ini, bagaimana aku harus membela diri? pikirnya. Cepat sekali ia melesat ke halaman. Niatnya ingin mengejar larinya Mustapa dan Nuraini. Di luar dugaan, ia bertemu dengan Sangaji. Sekarang, rasa sesalnya ditumpahkan kepada pemuda itu. la hendak minta ganti kerugian tambah bunganya. Maka ia menyerang dengan dahsyat dan berbahaya. Sangaji sebaliknya berusaha meloloskan diri. Ingin sekali ia cepat-cepat mengisiki Titisari. Kemudian kabur dari kadipaten. Itulah sebabnya, ia berkelahi dengan tata-menge-lakkan diri. Tetapi Sanjaya terus melibasnya, sehingga ia tak bisa mendapat kesempatan. Bahkan ruang geraknya makin lama jadi makin sempit. Mau tak mau, ia memaksa diri untuk mengadakan perlawanan sekuat tenaga. Dengan demikian, pertempuran antara kedua pemuda itu jauh lebih seru daripada tadi siang di tengah gelanggang. Dalam pada itu pertandingan adu kepandaian di ruang kadipaten antara Titisari dan Cocak Hijau mendekati puncak-puncak penyelesaian. Manyarsewu mengira, kalau Cocak Hijau akan bisa merebut kemenangan dengan mudah. Sekalipun si gadis cukup lincah dan gesit. Tak tahunya, tiba-tiba Titisari memperlihatkan tata ilmu berkelahi aneh yang mengejutkan. Gadis itu mengeluarkan sapu tangan pembungkus sisa daging goreng pemberian Sangaji. Sambil bergerak lincah mengelakkan diri, ia mengebutkan sapu tangan. Sisa daging yang dibungkusnya rapi, terpelanting dan melesat menyambar cawan arak. Yang lain mengarah mata lawan. Cocak Hijau jadi kelabakan. Ingin ia menghindari serangan Titisari yang mengarah cawannya. Tetapi segumpal daging lainnya akan mendarat ke matanya. Sebaliknya jika membiarkan matanya kena serang, cawannya kena gempur. Dalam kerepotannya, ternyata ia bisa mengatasi dengan suatu kehebatan mengagumkan. Dengan sekali gerak ia mengendapkan diri sambil menghindarkan cawan dari serangan gumpalan daging. Tetapi kemudian terjadilah, suatu serangan lain di luar dugaan. Sekonyong-konyong Titisari menyerang dengan mengembangkan sapu-tangannya seolah-olah hendak menangkap kepala. Dengan begitu, Cocak Hijau dihujani serangan berantai tiga macam berturut-turut. Dua macam serangan kena dielakkan. Kini menghadapi serangan ketiga. Benar-benar sapu tangan mengarah kepalanya. Cepat kakinya menyapu, mendadak saja serangan sapu-ta-ngan itu ternyata suatu tipuan belaka. Titisari membiarkan sapu-tangannya kabur tak ter-kendalikan. Berbareng dengan itu, serangannya yang sungguh-sungguh tiba. Kedua tangannya menyodok dan menggaplok dari arah bertentangan. Masih pula diiringi dengan tendangan mengarah dada. Karena serangan berantai itu dilakukan begitu cepat dan tanpa selang, Cocak Hijau meskipun gagah akhirnya gugup juga. Tak sempat lagi ia menangkis dengan kaki, maka terpaksa ia menangkis. Titisari tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Sengaja ia mengadu tenaga dan membenturkan tangannya. Walaupun tangannya merasa sakit kena getaran tenaga, tetapi arak dalam cawan kena ditumpahkan. Cepat ia melesat mundur sambil berseru,”Tolong, bersihkan lantai!” Merah padam muka Cocak Hijau mendengar ejekan Titisari. Lambat-laun berubah bermuram durja karena menahan rasa malu berbareng mendongkol. Walaupun tangannya merasa sakit kena getaran tenaga, tetapi arak dalam cawan kena ditumpahkan. Cepat-cepat ia melesat mundur sambil berseru. “Kau licin, Nona. Ayo, bertanding lagi,” ia menantang. Titisari tersenyum sambil mundur selangkah. “Eli—apakah seorang tua akan melanggar janji?” “Hm,” dengus Cocak Hijau. Tapi benar-benar ia merasa mati kutu. Sebaliknya Manyarsewu yang sudah bersahabat dengan Cocak Hijau menjadi penasaran. Dasar wataknya berangasan, lantas saja dia berteriak nyaring. “Bangsat cilik! Kau licin seperti belut. Siapa sebenarnya gurumu? Suruh dia keluar!” “Saat ini Beliau tidak ada di sini. Tenang-tenangkan hatimu, esok biarlah kukisiki. Tapi jangan kamu mencoba lari ngacir!” Titisari tertawa panjang. Sekonyong-konyong ia me-ngungkurkan semua yang hadir dan hendak berlalu. “Selamat tinggal. Sekarang, biarlah aku pergi menemui guru.” Tetapi mana bisa Manyarsewu diperlakukan demikian. Entah bagaimana gaya gerakannya, tiba-tiba saja tubuhnya telah melesat dan menghadang di ambang pintu seperti malaikat pencabut nyawa. Titisari terperanjat menyaksikan kehebatan Manyarsewu. Sama sekali tak diduganya, kalau orang seumur dia bisa bergerak secepat itu. Sadar akan bahaya, cepat-cepat ia menguasai diri. Pikirannya disuruhnya bekerja lagi, sampai dahinya mengkerut. “Mau apa kau menghadangku?” ia minta penjelasan dengan tenang. Terang—ia berlagak menguasai suatu ketenangan luar biasa. “Bukankah aku tadi ingin minta penjelasan, siapa sebenarnya gurumu? Kamu belum memberi tahu, karena itu mana bisa berlalu seenakmu sendiri?” sahut Manyarsewu garang. “Mengapa kau ingin mengetahui guruku?” Titisari membalas bertanya. “Ingin aku tahu, mengapa gurumu mengirimkan kamu kemari mengintip kami.” Sepasang alis Titisari yang bagus menegak. Tak berkedip ia mengawasi Manyarsewu. Kemudian menjawab, “Hm, jadi kau mengira aku dikirim guru ke mari?” “Anak kecil pun segera dapat menduga. Siapa mau percaya seorang gadis ingusan berani keluyuran memasuki kadipaten di tengah malam begini?” “Jika aku tak sudi menerangkan siapa guruku, kau mau apa?” “Kau harus memberi keterangan, Nona. Lebih cepat lebih baik.” “Hm—apakah kau cukup berharga untuk mendengar nama guruku?” dengus Titisari. Manyarsewu gusar bukan main direndahkan demikian. Sekaligus darahnya meluap, sampai tubuhnya bergemetaran. Sebaliknya Titisari tak mempedulikan. Cepat ia menyapukan pandangannya. Dibelakangnya berdiri para tetamu undangan yang mengawasi dirinya dengan pandang tak berkedip. Di sebelah kanan adalah dinding panjang dengan pintu keluar. Sedang sebelah kirinya sama sekali tidak ada pintu atau jendela. Diam-diam ia mengeluh dalam hati, karena tidak ada harapan untuk mencoba menerobos keluar dengan mengandalkan kegesitan tubuh. “Nona! Apakah aku harus memaksa dirimu agar mau mendengarkan tiap patah pertanyaan orang tua?” ancam Manyarsewu garang. “Kamu bertanya dan aku tak sudi menjawab, apa salahnya? Minggirlah sedikit. Nanti aku terpaksa pergi pula dengan paksa. Bukankah akan merusak perkenalan ini?” “Hm,” dengus Manyarsewu, “Kaumau pergi, pergilah asal mampu.” “Baik. Tapi kau jangan serang aku,” sahut Titisari cepat. Terang sekali, ia mau menggunakan kecerdikannya. Manyarsewu kena dibakar hatinya. Cepat menyahut, “Hanya untuk mencegatmu— bocah cilik—apa perlu menurunkan tangan?” “Bagus!” seru Titisari gembira. “Seorang laki-laki sejati takkan menarik kata-kata yang sudah diucapkan. Kau tadi mau mengenal guruku, bukan? Sekarang lihat, siapa yang berdiri di pojok itu.” Manyarsewu kaget. Cepat ia menoleh. Titisari lantas saja melesat menerobos pintu. Memang ia sengaja hendak menggunakan saat Manyarsewu mengalihkan perhatian. Tetapi Manyarsewu bukanlah seorang jago murahan. Baru saja Titisari berkelebat, tahu-tahu kepalanya sudah menghadang tepat di depan dada si gadis. Syukur Titisari cukup berwaspada lagi lincah. Cepat ia mundur sehingga dadanya tak usah kena sentuh. Dan Manyarsewu melototi sambil tersenyum lebar. Sekarang si gadis benar-benar merasa mati kutu. Tiga kali berturut-turut ia mencoba mengadu kegesitan dan akal. Semuanya dapat digagalkan oleh Manyarsewu dengan mudah. Cocak Hijau yang menyaksikan keripuhan si gadis, jadi tertawa berkakakkan. “Hai belut cilik! Kau tahu siapa Manyarsewu? Dia seorang besar berasal dari Ponorogo. Karena itu jangan kauharap kau bisa mengakali. Hayo, cepat mengaku kalah saja.” Setelah berkata demikian, ia berlalu meninggalkan ruang kadipaten. Yuyu Rumpung yang sudah lama mencari kesempatan segera pula meninggalkan ruang pertempuran. Ia mengarah halaman besar sebelah timur. Kemudian ia menengok kamar tempat penyimpan obat. Mendadak saja hidungnya mencium asap ramuan obat bercampur baur. Buru-buru ia menyalakan pelita. Alangkah kaget, ramuan obat-obatan yang berada dalam kamar nampak berhamburan. Dan di sana menggeletak si pegawai Pangeran Bumi Gede di atas lantai tanpa berkutik sedikit pun. Terbangkitlah hawa amarahnya. Pandangnya berkisar ke taman kadipaten. Dengan sekali pandang, terlihatlah dua bayangan sedang bertempur seru. Itulah Sanjaya dan Sangaji yang sedang berkutat mengadu kepandaian. Dalam hal ilmu tata-berkelahi, Sangaji kalah daripada Sanjaya. Berkali-kali ia kena gempur. Sebentar saja ia kena diundurkan dan dihajar habis-habisan. Tetapi Sangaji memiliki tenaga alam berkat getah pohon sakti Dewadaru. Makin ia dipaksa mengerahkan tenaga, makin jadi segar-bugar. Itulah sebabnya, ia masih saja bisa bertahan dengan tak kurang gesit. Yuyu Rumpung heran menyaksikan tenaga jasmani si pemuda. “Jelas-jelas ia kena gempur habis-habisan, namun tenaganya masih tetap utuh. Apa dia memiliki ilmu siluman? Ah, masa bocah sebelia itu mempunyai ilmu mantran begitu, pikirnya. Teringat akan ramuan obatnya yang kena dihambur-hamburkan si pemuda, lantas saja meledaklah dendamnya. Meskipun luka dalamnya belum sembuh benar, tapi saking mendongkolnya ia tak mempedulikan akibatnya. Segera ia menjejak tanah dan tiba di gelanggang pertarungan. Yuyu Rumpung adalah salah seorang penasehat sang Dewaresi dan menjadi guru-besar anak-buah sang Dewaresi pula. Ia seorang sakti dan perkasa. Kalau tidak, masa dia kuasa melukai Panembahan Tirtomoyo. “Hai, bangsat anjing!” makinya. “Siapa yang suruh kamu menghambur-hamburkan ramuan obat-obatanku? Cepat bilang!” Sangaji tengah bertempur mati-matian melawan Sanjaya. Karena itu ia tak memperduli-kan siapa yang datang. Tetapi begitu mendengar suara Yuyu Rumpung lantas saja ia mengenal siapa dia. Teringat akan luka dalamnya Panembahan Tirtomoyo yang sangat parah, sekaligus meluaplah darahnya. Memang ia menaruh dendam dan benci kepada Yuyu Rumpung yang telah melukai penolongnya dengan cara curang. Lantas saja ia melompat meninggalkan Sanjaya dan langsung menyerang si jago tua dari Banyumas itu. “Bagus! Kiranya kamu si ular tua mencari gebug,” dampratnya. Yuyu Rumpung sudah bersedia bertempur. Maka begitu ia melihat serangan, sebat luar biasa ia menanggapi. Tangannya berkelebat hendak membekuk lengan. Di luar dugaan, tenaga alam si bocah yang benar-benar sakti, bisa membebaskan diri. Bahkan terus menjulur hendak mengemplang kepala. Cepat-cepat ia mengelakkan kepala sambil mengibaskan tangan. Jago tua dari Banyumas ini meskipun luka dalamnya belum sembuh benar, kepandaiannya berlipat sekian kali dari pada Sangaji. Sudah barang tentu bisa berbuat sekehendak hatinya pada si bocah yang kalah pandai, kalah pengalaman, kalah cerdik dan kalah dalam segalanya, la membiarkan si bocah berbesar hati untuk sementara. Tetapi begitu serangan si bocah tiba untuk yang kedua kalinya, ia berpura-pura gagal menangkis. Tiba-tiba kakinya menggaet dan ditarik sekuat tenaga. Keruan saja Sangaji roboh sekaligus. Kepalanya terbentur tanah. Dan sebelum bisa berkutik, tahu-tahu punggungnya telah kena tindih. Titisari yang menghadapi Manyarsewu tengah keripuhan pula. Sekian lamanya ia mengadu kegesitan, namun usahanya senantiasa gagal. Sebaliknya Manjarsewu kalau menghendaki dengan mudah dapat menangkap pergelangan tangannya. Namun di ha-dapan Pangeran Bumi Gede, Jago Ponorogo itu ingin memperlihatkan sedikit kepandaian-nya. Ia Sengaja mempermain-mainkan si gadis. Titisari akhirnya jadi putus asa. Namun ia masih mencoba. “Manyarsewu!” katanya lembut, “Asal aku dapat menerobos keluar, kau-takkan mengganggu diriku bukan?” “Boleh coba.” “Berjanjilah!” “Asal kau dapat menerobos bebas, aku akan menyerah kalah,” Manyarsewu berjanji. Titisari menarik napas panjang seakan-akan sedang bersedih. : “Sayang... sungguh sayang?” “Apa yang kausayangkan?” Manyarsewu heran. “Ayahku hanya mengajari aku jurus-jurus menyerang memasuki goa. Coba aku diajari jurus-jurus menyerang keluar, pasti kamu tak berdaya seperti kelinci tengkurap dalam gua harimau.” “Eh... kamu terlalu berbangga kepada kepandaian ayahmu. Jangan kausangka aku berada di bawah ayahmu. Kau bilang, ajaran jurus ayahmu bakal bisa menerobos kepunganku?” “Ya, mengapa tidak? Jurus menerjang gua itu akan tepat sekali buat merobohkanmu. Meskipun kuakui gerak-gerikmu gesit, tetapi jika dibandingkan dengan keahlian ayahku takkan nempil.” Manyarsewu beradat berangasan. Begitu ia mendengar kata-kata merendahkan dirinya, sekaligus meluapkan kegusarannya, la percaya pada kemampuan diri, mana bisa namanya ditaruh di bawah nama seseorang. Keruan saja ia membentak garang, “Hm— tutup mulutmu! Kau bilang ayahmu sudah mengajarimu ilmu menerjang masuk gua? Bagus! Nah, kau berada di luar pintu. Jika kamu bisa menerobos masuk, kamu bisa membakar kumis dan jengkolku.” Orang-orang yang ikut mendengar percakapan itu, diam-diam ikut menebak. Ilmu menyerang memasuki gua dan ilmu menyerang keluar gua, apa bedanya. Bukankah setali tiga uang? Tapi tadi mereka melihat si gadis bisa memperlihatkan ilmu tata-berkelahi yang aneh-aneh. Kini mereka pun percaya, si gadis memang benar-benar memiliki ilmu aneh yang khas. Itulah sebabnya, mereka jadi menaruh perhatian. Manyarsewu kemudian menggeser tempat. Ia sekarang berada di ruang kadipaten, sedang Titisari lantas saja berada di luar. “Manyarsewu!” kata Titisari nyaring. “Kamu seorang tua benar-benar tolol. Mengapa tak takut bakal jatuh pamormu, menghadapi seranganku kali ini.” “Jangan perang mulut. Biarpun kau memiliki ilmu aneh-aneh, apa yang kutakuti? Hayo cepat serang!” tantang Manyarsewu penasaran. “Kau minta kuserang? Baik, tapi tadi kau berjanji takkan mengusik diriku, apa bila aku bisa membebaskan diri.” “Boleh coba, tapi jangan melamun dan mimpi dulu. Hayo mulai!” teriak Manyarsewu. “Bagus! Awas!” ancam Titisari. Si gadis lantas saja berputaran seakan-akan mau melancarkan serangan dahsyat. Manyarsewu yang mengira si gadis bakal mengeluarkan serangan mendadak yang aneh, benar-benar memusatkan seluruh perhatiannya. Tiba-tiba saja di luar dugaan, si gadis bukannya menyerang. Tapi lantas saja melesat pergi. Maklumlah, dia sudah berada di pintu apa perlu menyusahkan diri untuk menerobos ke dalam. Bukankah maksudnya mau membebaskan diri dari pencegatan Manyarsewu? Karuan saja Manyarsewu mendongkol sekali sampai ia melongo. “Selamat tinggal,” seru si gadis girang. Manyarsewu tak dapat berkutik. Ia kalah janji, takkan mengusik si gadis lagi jika bisa membebaskan diri dari pengawasannya. Tak peduli si gadis menggunakan akal bulus, tapi ia benar-benar bisa terbebas. Sang Dewaresi yang hadir di situ tak senang menyaksikan tata berkelahi si gadis yang menggunakan akal bulus. Ia seorang yang berpengaruh di Banyumas. Sebagai seseorang yang berpengaruh, biasa ia menyaksikan undangan untuk menyaksikan suatu pertandingan pilihan yang pantas disuguhkan padanya. Itu pun kadang-kadang masih dikajinya pula. Maka itu, mana bisa kini ia disuguhi permainan macam begitu. Kedudukan dan kehormatan dirinya tersinggung sekaligus. Itulah sebabnya, lantas saja ia tampil ke muka mengulur tangan: Dengan meraup segenggam kacang goreng, ia menghujani Titisari dengan sentilannya. Segenggam kacang goreng itu lantas saja terbang mengaung-ngaung memburu si gadis. - Waktu itu Titisari telah merasa senang. Ia sudah pula mengira, bisa berlalu dengan bebas. Mendadak ia mendengar suara aungan. Cepat ia menoleh. Tahu-tahu barisan kacang telah menyerang kepala dan kakinya. Cepat ia mengendapkan diri berbareng meloncat tinggi, la heran dan kaget. Justru pada saat ia heran dan kaget, barisan kacang goreng datang menyerang bertubi-tubi bagaikan rombongan lebah. Barisan kacang goreng yang ada menyambar lewat di depannya, tapi lantas berbalik cepat mengancam dada. Keruan saja, si gadis mundur cepat seraya meloncat tinggi. Tapi kacang goreng yang lain menyambar pula punggung. Maka terpaksalah ia berloncatan mundur dan mengelak ke samping berturut-turut. Sewaktu serangan kacang goreng habis, tahu-tahu ia sudah berada kembali di tengah ruang kadipaten. Ternyata ia kena giring dengan tanpa sadar. “Mengapa kamu kembali Nona?” terdengar sang Dewaresi bertanya. Titisari menatap orang itu. Segera ia kenal siapa dia. Pikirnya, orang inilah yang tadi melontarkan pertanyaan dahsyat kepada Pangeran Bumi Gede tentang si Pendeta Ki Hajar Karangpandan. Ia nampak gagah dan garang. Ternyata ia benar-benar gagah. Tetapi ia tak sudi memperlihatkan rasa kagumnya. Dengan pandang garang ia berkata mengejek. “Kepandaianmu menyentil kacang goreng benar-benar hebat. Sayang hanya dipergunakan untuk menggiring seorang perempuan.” “Aku hanya menyentil sambil lalu. Tidak ada niatku ingin menggiring Nona. Adalah kesalahan Nona sendiri, mengapa Nona justru bisa tergiring memasuki ruang dalam. Bukankah Nona tadi sudah bebas merdeka? Mengapa tak cepat-cepat melesat pergi?” “Kalau begitu, biarkan aku pergi,” sahut Titisari cepat. “Aku takkan merintangi. Cuma, terangkan dulu siapa nama ayahmu. Kau tadi begitu membanggakan ayahmu.” “Hm,” dengus si gadis. Lantas saja ia tersenyum nakal. Menjawab, “Aku khawatir jika menyebutkan nama ayahku. Semangat jantanmu lantas terbang tak keruan.” Sang Dewaresi bukanlah seperti sikap Manyarsewu atau Cocak Hijau. Sikapnya kening-rat-ningratan, agung dan berwibawa, la pandai menguasai diri. Itulah sebabnya, ia tetap berdiri tenang diejek si gadis. Sama sekali ia tak menghiraukan, sehingga tak mudah kena jebak akal licin. Ia menoleh kepada hadirin seraya berkata, “Siapakah yang sudi mewakili aku menyerang Nona ini dalam sepuluh jurus? Aku akan bisa menebak siapa ayah atau gurunya yang mangajari ilmu berkelahi kepadanya.” Pendekar Madura—Abdulrasim—lantas saja meloncat memasuki gelanggang. Ia seorang laki-laki berperawakan langsing. Gerak-geriknya cekatan dan gesit. Pandang matanya tajam. Sikapnya tak pernah beragu. “Biarlah aku yang mewakili Tuan. Dalam sepuluh jurus pasti aku akan bisa menolong Tuan membongkar rahasianya,” katanya dengan suara ditekan-tekan. Sehabis berkata demikian, dengan sekali gerak ia telah menyerang si gadis. Tetapi Titisari tetap berada di tempatnya, la tak mau menangkis, karena merasa takkan ungkulan. Lagi pula ia andaikata menangkis serangan orang, bukanlah tata ilmu berkelahinya akan kelihatan? Abdulrasim terkejut melihat si gadis tak bergerak. Cepat-cepat ia menarik serangannya yang hampir mengenai sasaran yang dikehendaki. “Tangkislah dan jaga diri! Jangan persalahkan jika tanganku sampai mengenai dirimu. Aku sudah memberi peringatan,” bentaknya. Benar-benar ia seorang laki-laki yang tetap pada keputusannya. Tadi ia mau menyerang lambung. Tapi si gadis tetap tak mau meladeni. Cepat ia berpikir, biar kuserang buah dadanya. Masa dia akan membiarkan buah dadanya kuremas pencet. Memikir demikian, serangannya yang kedua segera ditujukan ke arah buah dada. Titisari terkejut. Cepat-cepat ia melesat mundur sambil berteriak terpaksa. “Baiklah. Aku akan melayani kamu bertempur selama sepuluh jurus. Tapi apa janjimu, bila kau tak dapat menebak siapa guruku?” “Kauboleh pergi dengan bebas. Aku yang menanggung.” “Hm—mana bisa aku percaya pada mulut kalian. Dua kali berturut-turut aku direcoki. Kalian bukan laki-laki sejati.” “Nona,” sang Dewaresi menyahut. “Aku adalah Dewaresi. Dengan namaku, aku akan memegang janji. Jika aku tak dapat menebak siapa guru atau ayah yang mengajarimu ilmu tata berkelahi, aku akan menjamin kebebasan-mu. Jika Dewaresi sudah berjanji dia akan menepati biar pun akan berakibat runyam.” Titisari mau mempercayai orang itu. “Baik kamu boleh mulai.” “Bagus! Awas! Sepuluh jurusku itu buka main-main, Nona. Untuk kedua kalinya aku memberi peringatan kepadamu,” sahut Abdulrasim. Jago Madura itu lantas saja menyerang. Ia menyapukan kakinya, kemudian dengan beruntun ia menghujani tinju. Itulah pukulan khas Madura yang berbahaya. Titisari terkesiap juga melihat macam serangan jago Madura itu. Akan tetapi ia tak gugup. Cepat ia berkisar dari tempat dan segera memapaki serangan itu dengan serangan pula. Hebat akibatnya, la kena dipentalkan, namun dirinya bebas dari tangkapan atau pukulan telak. “Bagus!” puji sang Dewaresi. “Itulah gaya pertahanan Kyai Haji Lukman Hakim dari Cirebon.” Kembali Abdulrasim melancarkan serangan berbahaya. Kali ini si gadis telah mendapat pengalaman. Tak mau ia mengadu tenaga. Tadi ia kena dipentalkan. Kini ia melesat gesit dan menerobos rantai serangan bertubi. Ia berhasil membebaskan diri. Dan Abdulrasim mendongkol menyaksikan macam serangannya kena dielakkan. Sang Dewaresi mulai heran. Gumamnya, “Hai! Bukankah itu gaya serangan Pangeran Samber Nyawa?” Orang-orang yang mendengar ulasaan sang Dewaresi turut pula menebak-nebak. Lantas saja mereka berkasak-kusuk saling membicarakan. Abdulrasim lantas berpikir, aneh gadis ini. Dia bisa lolos dari seranganku. Biarlah agak kudesaknya dengan keras. Memutuskan hendak menggunakan tenaga keras, maka Abdulrasim menggenang bagaikan harimau. Kemudian meloncat mengarah dada, lambung, tengkuk, kaki dan lengan sekaligus. Orang-orang yang menyaksikan berseru kaget mengkhawatirkan si gadis. Titisari sendiri terkesiap. Hatinya ciut. Mendadak saja ia menjejak bumi dan melesat berputaran seperti terbang. Kemudian mundur berjumpalitan sambil mengibaskan tangan. Ontuk ketiga kalinya ia luput dari ancaman maut. Tetapi jantungnya memukul keras. Sang Dewaresi jadi sibuk menduga-duga menyaksikan gaya pertahanan Titisari. Pikirnya, sungguh mengherankan. Gadis ini memiliki bermacam ragam tata berkelahi. Bukankah ini tadi gaya pertahanan Pangeran Blitar? Eh, bagaimana bisa campur aduk tak keruan? Apakah dia sengaja berbuat begitu untuk menyembunyikan ilmu berkelahinya yang sejati? Dalam pada itu Abdulrasim menjadi penasaran. Tiga serangannya kena dielakkan. Kini tinggal tujuh jurus serangan. Kalau sampai gagal, mau tak mau ia akan kehilangan pamor di hadapan Pangeran Bumi Gede. Sekarang ia bertambah garang. Tak mau lagi ia bersikap berbelas-kasih. Seperti badai melanda pantai ia terus menyerang empat jurus sekaligus. Dan Titisari—meskipun keripuhan—dapat mengelakkan diri dengan bermacam ragam ilmu menangkis. Sebentar ia menggunakan jurus gaya Pangeran Purboyo, jurus gaya Ronggo Prawirodirjo, kemudian berubah cepat dengan jurus gaya pertahanan Untung Surapati dan Mangku Bumi I. Mau tak mau Abdulrasim terpaksa berkerut-kerut. Pikirnya, celaka! Tinggal tiga jurus. Biarlah kudesaknya bercampur aduk. Masa aku gagal membongkar rahasianya. Abdulrasim benar-benar mendongkol dan gusar. Teringat akan harga diri, mendadak saja timbullah watak mau menang sendiri. Pandangnya lantas saja menjadi bengis kejam. Tadi ia masih menyayangkan si gadis, karena usianya yang muda dan kejelitaannya yang menawan. Kini soalnya berkisar tentang nama. Mana ia mau mengalah? Maka ketiga jurus penghabisan terus saja dilakukan dengari kejam dan bengis. Sudah barang tentu, orang-orang yang mengenal bahaya tak terasa nyaris memejamkan mata. Titisari benar-benar gugup, la tak dapat berpikir lama atau berkesempatan berpikir. Sebat luar biasa, ia berjumpalitan dan melesat kian kemari. Kemudian berputar hendak menghindarkan diri. Tetapi jurus yang penghabisan tiba-tiba menghadang tiap gerakannya. Ia mengeluh. Hatinya lantas mencelos. “Tak kuduga, kalau aku akan mati di sini,” keluhnya. Saat itu cengkeram Abdulrasim sudah hampir mendarat di botak kepalanya. Titisari benar-benar sudah tak mampu menghindar dan mengelak. Mendadak saja, di luar kemauannya sendiri, meletuslah ilmu berkelahinya yang sejati. Itulah suatu kejadian di luar pemeriksaannya yang tadi bisa disembunyikan baik-baik. Maklumlah, ia dalam keadaan terjepit. Siapa saja yang berada dalam saat demikian akan berlaku seperti dia. Cepat ia mengendapkan diri. Kepalanya agak ditarik ke belakang. Kemudian mema-paki dada orang dengan sikunya. Dengan demikian ia bertahan sambil menyerang. Ternyata Abdulrasim hanya menggertak belaka. Sebat luar biasa ia menahan serangan telaknya. Mendadak saja gerakan tangannya berubah. Dengan suatu tenaga dahsyat ia menyambar lambung si gadis. Masih saja si gadis bisa menjejak mundur, tetapi Abdulrasim kemudian berhenti di tengah jalan, sambil berkata menuding. “Sang Dewaresi, apa sudah cukup jelas?” “Terang benderang. Nah—tolong ucapkan!” Dengan tubuh tegak seperti tonggak mati, Abdulrasim berkata, “Nona... gurumu adalah Pringgasakti.” Waktu itu Titisari itu nyaris kehilangan tenaga. Ia terhuyung beberapa langkah. Karena itu tak sempat ia mendengarkan atau meladeni ucapan Abdulrasim. Sebaliknya orang-orang yang mendengar ucapan Abdulrasim, mereka terperanjat bukan main. “Pringgasakti!” mereka mengulang. Nama Pringgasakti sudah lama dikenal orang. Dia seorang iblis yang pernah merajalela di zaman Perang Giyanti dan pemberontakan Tionghoa di Pekalongan. Tetapi banyak di antara mereka yang belum pernah melihat orangnya. Karena itu mereka jadi ragu-ragu. Serentak mereka saling pandang. Kemudian menyiratkan pandang kepada Abdulrasim dan sang Dewaresi. “Pringgasakti?” mereka bertanya bersera-butan. “Ya,” sahut Abdulrasim. “Bukankah begitu, sang Dewaresi?” “Nona itu memang murid Pringgasakti. Apakah Pringgasakti ayahnya pula?” dengus Dewaresi was-was. Titisari sedang mengatur napas, berbareng mengumpulkan tenaga. Karena itu, tak berani ia bersuara atau bergerak, la tahu orang-orang sedang menaksir-naksir dirinya. Agar pemusatan pikirannya tak terganggu, ia memejamkan mata. Mendadak saja, ia mendengar pekik panjang. Tubuhnya menggigil, karena ia mengenali suara itu. “Aji!” ia kaget. “Mengapa?” Suara pekik itu, memang jerit Sangaji yang kena disakiti Yuyu Rumpung. Mula-mula ia hanya ditindih dan dikangkangi. Mana bisa dia menyerah begitu saja tanpa melawan. Biar pun merasa diri tak unggul, namun ia berontak juga. Tetapi Yuyu Rumpung memang gagah, apalagi dia sedang gusar. Dengan gregetan ia menghajar Sangaji kalang kabut, kemudian menerkam tengkuk. Tangannya lantas dikembangkan dan ditumblaskan sekuat tenaga. Panembahan Tirtomoyo yang sakti kena dilukai dengan gempurannya, apa lagi Sangaji si bocah kemarin sore. Bagi dia adalah makanan empuk bagaikan kelinci yang bisa dipilin-pilinnya sesuka hati. Gntung, luka dalamnya masih belum sembuh benar. Karena itu, tenaganya belum pulih seperti sediakala. Meskipun demikian sisa tenaganya yang bergolak di dalam tubuh jauh berlipat ganda hebatnya daripada tenaga Sangaji. Keruan saja Sangaji kesakitan kena terkam jari-jari Yuyu Rumpung. Entah dari mana datangnya, mendadak saja ia mendapat tenaga luar biasa kuatnya. Serentak ia berontak sekuat-kuatnya, sehingga dapat terlepas dari cengkeraman Yuyu Rumpung. Kemudian ia menggelinding bergulungan. Tatkala Yuyu Rumpung memburu dengan menendangkan kaki, mati-matian ia menangkapnya. Karena hebatnya tenaga lawan, tubuhnya terus terpelanting berputaran. Tapi rangkulannya tetap melengket tak terenggangkan. Dalam seribu kesulitannya, teringatlah dia pada pengalamannya lima enam tahun yang lalu tatkala dihajar kalang kabut oleh Mayor de Groote. Karena terjepit dan tak sudi menyerah, ia merangkul betis dan menggigit sekuat tenaga. Kali ini pun tanpa berpikir ia terus menggigit. Hebat, akibatnya. Yuyu Rumpung kesakitan sampai menjerit tinggi sambil berputaran. Kemudian melemparkan tubuh Sangaji dengan sisa seluruh tenaganya. Sangaji terlempar sejauh sepuluh langkah. Ia jatuh bergulungan. Seluruh tubuhnya sakit dan nyeri bukan main. Takut akan diuber lawan, cepat-cepat ia mengumpulkan tenaga dan lari sejadi-jadinya. Dalam hal.lari, ia menang gesit daripada Yuyu Rumpung. Apalagi waktu itu, Yuyu Rumpung dalam keadaan kurang sehat dan nyaris kehabisan tenaga. Itulah sebabnya, ia tak tersusul. Malahan, Yuyu Rumpung nampak duduk numprah di atas tanah dengan napas tersengal-sengal. Sangaji tak perduli. Ia terus lari dan lari. Mendadak teringatlah dia, ... Ibu Sanjaya seorang yang berhati mulia, mungkin dia mau melindungi. Mendapat ingatan demikian, terus saja ia menuju ke gedung agung. Ternyata kamar Raden Ayu Bumi Gede dalam keadaan terang benderang oleh sinar pelita. Dengan merangkak-rangkak Sangaji masuk dan bersembunyi di belakang almari besar. Ia terus mendekam, kemudian menjelajah matanya. Mendadak ia melihat suatu pemandangan aneh. Jendela besar yang berada di sebelah timur terpentang lebar. Di dekat tempat tidur, ibu Sanjaya rebah tak berkutik menelungkupi kursi. Seorang laki-laki mencoba membangunkan. Dengan hati-hati, laki-laki itu memapahnya dan didudukkan baik-baik di atas kursi besar. Jantung Sangaji berdebar-debar, karena laki-laki itu ternyata Wayan Suage. Mengapa dia berada pula di sini? pikir si bocah menduga-duga. “Apakah dia menyakiti ibu Sanjaya karena hendak membalas dendam perlakuan Sanjaya terhadapnya? Tak lama kemudian, ibu Sanjaya nampak tersadar. Tiba-tiba merangkul Wayan Suage sambil berkata, “Sekarang jangan tinggalkan aku lagi. Aku tak takut. Cepat bawalah aku pergi! Aku akan mengikutimu, biarpun sampai di ujung dunia. Kalau kau mati, aku pun akan mati. Biarlah kita jadi setan atau iblis, asal kita tak berpisah lagi.” Wayan Suage terus mendekap ibu Sanjaya dan dibawa ke dadanya. Sangaji bertambah heran. Hatinya lantas goncang tak tahu mengapa. Sesungguhnya setelah berpisah dengan Sangaji, Wayan Suage terus mencari gedung ibu Sanjaya. Sebentar ia mengintip dari luar jendela. Ia mendengar suara Sanjaya sedang berbicara dengan ibunya minta keterangan tentang dirinya yang mendadak bisa bebas dari tahanan. Ibunya menyesali dan menganjurkan agar tidak mengusiknya lagi. Tetapi Sanjaya menyahut, “Ibu terlalu lemah hati. Kalau guru sampai mendengar peristiwa ini, apa jadinya?” Anak muda itu terus keluar pintu dan bermaksud hendak mencegat. Ia menggerutu sepanjang jalan dan berniat takkan pulang kembali sebelum dapat menangkap tawanannya. Wayan Suage mengeluh dalam hati. Hatinya berduka bukan kepalang. Mendadak saja timbullah amarahnya. Terus saja ia merenggutkan jendela. Pintu dijeblaknya dan ia melompat masuk. Raden Ayu Bumi Gede terkejut bukan main, sampai menjerit tertahan. Sebentar ia tertegun, “Siapa kau?” Wayan Suage tersenyum pahit. Dengan mata tanpa berkedip dan napas memburu, ia mengawasi Raden Ayu Bumi Gede. Pandangnya tak berkisar dari tahi lalat yang tersungging di atas mulut. Menghadapi orang yang memandang dirinya tanpa berkedip, hati Raden Ayu Bumi Gede jadi cemas. Tanpa disadari ia mundur sambil mengulangi pertanyaannya. “Kau siapa?” Kembali Wayan Suage tersenyum pahit. Tapi kali ini dia mau membuka mulut. Jawabnya dengan suara yang dikuasai, “Hamba bernama Mustapa yang dikurung anak Nyonya.” Raden Ayu Bumi Gede terkejut. Tetapi kecemasan hatinya lantas pudar. Dengan menunduk ia berkata, “Anakku memang salah. Dia menyusahkan kalian.” Wayan Suage tidak menanggapi. Matanya lantas mengelana ke seluruh ruang kamar. Di dinding saja tergantung sebatang pedang panjang. Itulah pedang Sanjaya yang selalu dibawanya ke mana dia pergi. Dan didekatnya tergantung gambar Sultan Hamengku Buwono II. Melihat gambar itu, Wayan Suage tersenyum pahit. Kemudian berkata dengan nada suara sedih. “Hujan terlalu deras. Rupanya pada hari penobatan Sultan Yogya ini, kita tak boleh bekerja terlalu lama. Itulah kesalahan kita, tak tahu menghormati hari besar, Mari kita menyembelih ayam dan memasak kopi hangat...” Raden ayu Bumi Gede terkejut sampai mukanya pucat, tatkala mendengar ucapan Wayan Suage. Tubuhnya lantas gemetaran. Kakinya menjadi lemas dan perlahan-lahan ia duduk terhenyak di atas kursi. Dengan pandang menyelidiki ia mengamat-amati Wayan Suage. Kemudian berkata gagap, “Kau berkata... berkata apa?” “Aku berkata, hujan terlalu deras. Rupanya pada hari penobatan Sultan Yogya ini, kita tak boleh bekerja terlalu lama. Itulah kesalahan kita. Tak tahu menghormati hari besar. Mari kita menyembelih ayam dan memasak kopi hangat...” Tiba-tiba saja, seluruh anggota tubuh Raden Ayu Bumi Gede lemas kehilangan tenaga. Sebab kata-kata itu adalah kalimat percakapan antara suaminya—Wayan Suage—dan Made Tantre pada hari penobatan Sultan Hamengku Buwono II dua belas tahun lalu. “Kau... kau siapa?” tanyanya bergemetaran. “Kenapa kamu bisa menirukan kalimat percakapan antara suamiku dan saudara-saudaraku...” Raden Ayu Bumi Gede sesungguhnya adalah Sapartinah, isteri Wayan Suage. Dua belas tahun yang lalu rumah tangganya yang aman damai hancur berantakan oleh suatu malapetaka, la dan anaknya dibawa lari oleh Pangeran Bumi Gede. Dua tiga tahun lamanya, ia menunggu kabar berita suaminya. Tetapi sama sekali tak pernah didengarnya. Bahkan Pangeran Bumi Gede pernah membawanya menjenguk bekas rumahnya dan tanda-tanda hidupnya sang suami pun tiada. Ia percaya, Wayan Suage telah meninggal dunia. Karena merasa diri tidak bersanak keluarga, maka ia membiarkan diri mengikuti Pangeran Bumi Gede. Lagi pula, sikap dan perlakuan Pangeran Bumi Gede sangat baik terhadap dirinya. Malahan lantas saja pangeran itu mendidik dan mengasuh Sanjaya seperti anak kandungnya. Sebagai seorang ibu, hatinya lantas saja luluh menyaksikan perlakuan sebagus itu terhadap anaknya. Beberapa bulan kemudian, tak dapat ia menolak bujukan Pangeran Bumi Gede, akhirnya dia diambil selir terdekat. Sepuluh tahun lamanya ia jadi selir Pangeran Bumi Gede. Dan perlakuan serta sikap, sang Pangeran tidak berubah. Nampak sekali, betapa besar cinta sang Pangeran terhadapnya. Ia dimanjakan dan dirawat dengan cermat. Tak mengherankan kalau perawatan yang baik itu membuat keadaan dirinya makin sehat dan montok. Dia ibarat intan yang belum tergosok. Maka begitu intan itu kena gosok, lantas saja bersinar cemerlang. Itulah sebabnya, banyak para pangeran membicarakan kecantikan dan kejelitaan dirinya. Mereka pada menginginkan nasib baik Pangeran Bumi Gede. Sebaliknya badan Wayan Suage yang menanggung penderitaan batin dan jasmani, makin lama makin nampak tua. Rambutnya mulai nampak memutih. Raut mukanya agak kisut, kakinya buntung. Kesegaran masa muda hilang. Karena itu tak mengherankan jika Sapartinah tidak dapat mengenal dirinya. Mendadak Wayan Suage berkata lagi seperti kepada dirinya sendiri. “Ah, dapur kita harus satu saja. Apa perlu mesti memasak masing-masing?” Sekarang Sapartinah tiada ragu demi mendengar tata-kata kalimat itu. Sebab kali-mat yang diucapkan Wayan Suage itu adalah kalimatnya sendiri pada Wayan Suage sewaktu mau mulai memasak ayam. “Kau... kau Suage?” tanyanya tersekat-sekat. Wayan Suage memandangnya sedih. Menjawab setengah parau, “Tinah! Aku adalah Wayan Suage... suamimu...” Mendengar pengakuan itu, tubuh Sapartinah seperti terbanting. Ia jatuh menelungkupi kursi. Ternyata Sapartinah tak pernah melupakan suasana damai dalam rumah tangganya dahulu. Benar saja—sebagai selir—dia dihormati, dihargai, dirawat dan dimanjakan oleh siapa saja, tetapi hatinya senantiasa kosong. Dia bisa hidup di tengah-tengah desa dan dilahirkan sebagai perempuan desa pula. Jiwanya bebas seperti tetumbuhan tumbuh di tengah alam. Karena itu, tidak gampang ia kena dipincuk oleh kesenangan serba benda yang cemerlang. Tata hubungan suami-isteri antara dia dan Pangeran Bumi Gede diikat oleh peraturan-peraturan tertentu juga. Mana bisa jiwanya yang bebas ria mau diikat oleh tata-hidup demikian. Tetapi setiap kali timbul suatu pemberontakan, teringatlah dia akan nasibnya yang tidak bersanak keluarga. Teringat akan anaknya, ia terhiburlah. Seumpama Pangeran Bumi Gede tidak menolong dirinya, apa yang akan terjadi tak dapat ia bayangkan. Sangaji yang berada di kamar tak mengetahui latar belakang kisah itu. Ia hanya merasakan suatu kegoncangan hati yang tak dimengerti sendiri apa sebabnya. Lama ia merenungi mereka dan heran mendengar kata-kata ibu Sanjaya yang diucapkan penuh semangat. Wayan Suage nampak mengelus-elus rambut isterinya dengan mulut tergugu. Sedang Sapartinah terus mendekapnya makin erat, seakan-akan takut akan kehilangan lagi. “Suage! Mengapa diam saja? Bukankah kamu benar-benar Suage?” kata Sapartinah. “Ya, ... aku Suage. Percayalah, aku Suage. Bukan setan atau iblis.” “Nah, marilah kita pergi. Apa yang kita takuti lagi?” Wayan Suage hendak menjawab, tiba-tiba terdengarlah suara Sanjaya di luar kamar. “Ibu! Apa anak edan masuk di sini? Bu...! Bu...! Ibu berbicara dengan siapa?” Suara Sanjaya itu seperti geledek di siang hari. Hebat akibatnya. Selain mengejutkan, membangunkan pula mimpi Sapartinah. Sungguh! Entah dari mana datangnya pertimbangan itu, tiba-tiba saja dia sadar kalau dirinya bukan lagi kepunyaannya sendiri seperti tiga belas tahun yang lalu, tatkala nasib merenggutkan dari Dusun Karangtinalang. Hendak melarikan diri bersama Wayan Suage begitu saja dari istana Pangeran Bumi Gede? Bagaimana mungkin! Dia kini adalah isteri syah seorang pangeran yang merawat dirinya dengan cinta kasih yang besar. Bahkan anaknya, diakuinya pula sebagai anak kandung. Dengan begitu, dirinya sendiri kini adalah milik Pangeran Bumi Gede dan anak kandungnya. Terhadap anak kandungnya, dia sudah menyerahkan dirinya semenjak lama. Yakni, tatkala ia memutuskan mau menjadi selir Pangeran Bumi Gede, demi nasib anaknya di kemudian hari. Dan terhadap Pangeran Bumi Gede, meskipun lambat jalannya karena terganggu oleh kesan-kesan lama, akhirnya tanpa disadari sudah merasa diri menjadi bagian hidupnya. Maklumlah, dengan Pangeran Bumi Gede ia hidup berumah tangga lebih lama daripada Wayan Suage. Tiga belas tahun! Sedangkan dengan Wayan Suage tujuh-delapan tahun. Kesan-kesan berumah tangga yang dulu, lambat-laun menjadi suatu kenangan belaka. Makin lama, malahan makin terkikis dan terkikis. Itulah sebabnya, ia tak cepat-cepat mengenal wajah Wayan Suage. Tetapi ia tahu, Wayan Suage masih berhak merasa diri menjadi suaminya. Pertimbangan norma-norma rasa bergelora hebat dan membenarkan sikapnya. Meskipun nasibnya pontang-panting dan cacat kaki pula, pastilah dia tak mau tinggal diam sebagai penonton di luar garis. Sungguh! Sapartinah menghadapi suatu persoalan tak gampang dan harus diselesaikan secepat-cepatnya. “Bu! Ibu sudah tidur?” teriak Sanjaya lagi. “Tidak,” Sapartinah menjawab gugup. “Mengapa tak menyahut?” Sapartinah tertegun. Mendadak pikirannya berkelebat, lantas menjawab, “Kau tadi mencari seseorang, kan? Aku lagi memeriksa kamar...” “Lantas?” “Mana dia?”. Sanjaya diam seperti lagi menimbang-nimbang. Mendadak berkata, “Biarlah aku memeriksanya sendiri.” “Carilah dulu di luar, barangkali dia berada di kamar lain!” Sanjaya heran. Suara ibunya seperti orang meminta. Tetapi dia tak membantah. Dengan berdiam diri ia meninggalkan serambi kamar. Lega hati Sapartinah, setelah langkah Sanjaya terdengar makin menjauh. Dengan berbisik dia berkata kepada Wayan Suage. “Anak kita sudah menjadi dewasa. Kau telah melihat, bukan?” “Ya. Bahkan sudah terlalu dewasa,” sahut Wayan Suage pahit dingin. “Kau tak merasa bersyukur?” “Bersyukur kepada siapa?” Sapartinah terdiam. Menghadapi pertanyaan itu, ia menemukan sesuatu hal yang sulit. Dan datangnya sekonyong-konyong pula. Ya, Wayan Suage harus merasa bersyukur terhadap siapa? Terhadap Tuhan yang memberikan nasib baik? Dengan sendirinya harus berterima kasih kepada Pangeran Bumi Gede. Dan kejadian ini alangkah pahit bagi Wayan Suage. Sekarang—dengan tiba-tiba saja, ia merasa jadi manusia lain yang berdiri di suatu tempat yang jauh dari Wayan Suage. Seolah-olah ada jurang dalam dan lebar yang menyekatnya. Tiga belas tahun ia sudah menyerahkan diri demi kepentingan si anak. Bahkan dia mau berbuat apa saja demi kebahagiaannya sampai mau menjadi selir. Mana bisa Wayan Suage diajak seperasaan dan sepikiran dengan dia? Mana bisa Wayan Suage menerima jasa itu? Lantas saja ia merasa diri bersalah. “Aku memang seorang pengecut lagi bodoh...” ia berkata berbisik dan perlahan-lahan ia melepaskan diri dari dekapan Wayan Suage. Mendadak, di luar kamar terdengar suara Sanjaya lagi. “Ibu! Ibu berbicara dengan siapa?” Sanjaya memang telah menaruh curiga kepada ibunya, tatkala mendengar suaranya. Dasar ia cerdik dan berhati licin. Maka berpura-puralah dia berjalan menjauhi, kemudian meloncat balik dengan meringankan tubuh. Dengan demikian, tapak kakinya tidak terdengar oleh pendengaran ibunya. Wayan Suage terkejut. Tahulah dia, kalau Sanjaya akan memasuki kamar. Cepat ia mengundurkan diri dan bergerak ke arah jendela, la hendak melompati, tiba-tiba matanya melihat berkelebatnya seseorang. Terpaksa ia membatalkan niatnya. Sapartinah segera menuding ke arah almari besar. Maksudnya menyarankan agar berlindung di baliknya. Terharu Wayan Suage melihat sikapnya. Memang ia tak rela meninggalkan isterinya dengan begitu saja. Masih ingin ia berbicara lama lagi. Kalau mungkin sampai besok pagi. Itulah sebabnya, segera ia melangkah ke balik almari. Mendadak, nampakiah Sangaji berdiri tegak memipit dinding. Wayan Suage terkejut, terlebih-lebih Sapartinah sampai ia menjerit tertahan. Mendengar suara Sapartinah, Sanjaya terkejut. Takut ibunya kena ganggu orang, segera ia mendobrak pintu dan masuk ke dalam kamar. Tetapi di dalam kamar kosong tidak ada orang lain kecuali ibunya. Ternyata Wayan Suage telah ditarik Sangaji ke balik lemari. Sanjaya mengamat-amati ibunya yang berparas pucat lesi. Kedua kelopak matanya penuh percikan air mata pula. Hatinya bercekat. “Ibu! Apa yang terjadi?” tanyanya gugup. “Tidak! Tidak!” Sapartinah bergeleng kepala. “Hanya malam ini hatiku tidak tenteram.” “Mengapa? Apakah karena aku?” Sapartinah menunduk. Dan Sanjaya menjadi perasa. Dengan kasih-sayang besar, ia menghampiri dan merangkulnya. Kemudian membiarkan kepalanya merebahi dada ibunya. “Ibu! Sekarang aku berjanji, takkan main gila lagi. Pengalaman hari ini cukup memberi pelajaran padaku. Kuminta Ibu jangan bersusah hati lagi. Mengapa aku begini buruk tabiatku?” “Pergilah tidur. Hari sudah begini larut malam,” potong ibunya. Sanjaya menegakkan tubuh sambil berkata mengalihkan pembicaraan. “Ibu! Apa benar-benar tidak ada orang masuk kemari?” “Siapa?” hati Sapartinah berdetak. “Seorang anak edan. Dia lolos dari kepungan kita.” Sanjaya berdiri dan perlahan-lahan berjalan menuju ambang pintu. Mendadak ia mendengar napas orang di belakang almari. Tetapi ia bersikap seakan-akan tidak mengetahui. Hanya saja matanya mengerling, kemudian berbalik menghadap ibunya seraya berkata, “Anak kerbau itu pandai berkelahi. Tadi siang Ibu kan sudah menyaksikan.” “Hm,” dengus ibunya. “Mengapa mesti berkelahi?” Sanjaya menghampiri dinding dan menurunkan batang pedangnya. Kemudian dilolos-nya dan dibolak-balikkan. “Ibu! Meskipun anak kerbau itu pandai berkelahi, tak usahlah ibu mencemaskan aku. Aku bisa menjaga diri. Lihat!” kata Sanjaya. Lantas saja ia memperlihatkan jurus-jurus ilmu pedang. Sapartinah memaksa diri untuk melihat setiap perubahan tata berkelahinya. Tiba-tiba parasnya pucat. Ternyata Sanjaya mendekati dinding almari. Kemudian menikam. Sapartinah kaget bukan kepalang. Saking kagetnya, ia terhuyung hampir jatuh pingsan. Tetapi ternyata Sanjaya mengurungkan tika-mannya. Dengan menarik pedangnya, ia berkata menyesali, “Ah Ibu! Mengapa Ibu melindungi orang?” Ia meletakkan pedangnya di atas meja dan menolong ibunya. Matanya tak berkisar dari arah almari. Perlahan-lahan Sapartinah dapat menguasai diri. Saat melihat almari tetap utuh tidak kurang suatu apa, ia beriega hati. “Ibu! Mengapa Ibu membohongi aku? Kata Ibu, aku ini anak kandungmu. Mengapa Ibu merahasiakan sesuatu terhadapku?” “Sanjaya! Kau memang anak-kandungku. Mengapa menuduh Ibu bohong padamu?” sahut Sapartinah tergagap-gagap. Tetapi di dalam hatinya, ia mengakui kebenaran tuduhan anaknya. Maka berpikirlah dia, aku bermimpi yang bukan-bukan, seolah-olah dia bisa kubawa berjalan ke mana aku pergi seperti tiga belas tahun yang lalu. Mana bisa terjadi begitu. Rasanya sulit pula aku memberi penjelasan. Tapi biar bagaimana, Wayan Suage adalah ayahnya. Aku wajib mempertemukan. Apakah aku akan tetap berada di istana atau mengikuti ayahnya, itu bukan soalnya... Setelah berpikir demikian, Sapartinah berkata, “Sanjaya! Ibu berbesar hati, karena mendengar kabar kalau otakmu cerdas. Nah, sudah semenjak lama Ibu mempunyai teka-teki. Maukah kamu menolong memecahkan?” Sanjaya tertegun. Ia mengamat-amati wajah ibunya dengan kepala menebak-nebak. Menduga, kalau ibunya mempunyai soal pelik yang membutuhkan bantuannya, maka ia lantas saja mengangguk. “Dengarkan!” kata Sapartinah sambil mempersilakan anaknya duduk di hadapannya, la tak berani mengerling ke almari. Malahan lantas menggeser tempat duduknya sehingga agak membelakangi. Wayan Suage kala itu dalam keadaan tak keruan. Hatinya bergoncang keras, sampai tak terasa menggenggam tangan Sangaji keras-keras. Memang waktu itu dia berpikir, aku sudah berpisah dengan dia selama tiga belas tahun. Keadaan diriku rusak. Penghidupanku rusak pula. Sebaliknya, dia menjadi isteri seorang pangeran. Hidupnya mulia. Anaknya hidup mulia pula. Mana bisa dia akan kubawa hidup merantau dari satu tempat ke tempat lain? Dia sekarang lagi berteka-teki. Apakah dia lagi berusaha mencelakaiku dengan memberi perintah sandi kepada anaknya? Dalam pada itu Sanjaya telah duduk di hadapan ibunya. Kemudian terdengarlah Sapartinah berkata, “Ada seorang perempuan dusun. Ia kawin dengan seorang laki-laki sego-longannya selama lebih kurang tujuh-delapan tahun. Dalam perkawinannya itu, ia mempunyai seorang anak laki-laki umur enam atau tujuh tahun. Mendadak pada suatu hari, datanglah suatu malapetaka hebat. Suaminya hilang tak keruan dan dikabarkan telah tewas. Ia sendiri bersama anaknya, ditolong oleh seorang pangeran yang luhur budi. Pangeran itu merawat dan mengasuh anaknya seperti anak-kandung sendiri. Sedangkan terhadap dia, sangat menaruh perhatian. Meskipun demikian, ia tak mau dikawin pangeran itu. Karena kesan-kesan lama masih saja membekas dalam kenangannya. Tetapi setelah tiga tahun lebih, akhirnya mau diperisteri. Maklumlah, pangeran itu sikapnya tiada tercela. Lagi pula, anaknya diangkat pula sebagai seorang anak golongan ningrat. Bagi perempuan itu kepentingan diri sudah tak menjadi per-soalan hidupnya. Karena itu, bagaimana ia tak terharu menyaksikan perkembangan nasib anaknya. Coba, andaikata perempuan itu tak bertemu dengan sang pangeran atau menolak diperisteri, belum pasti anaknya bisa hidup lebih lama dari lima tahun. Sekiranya tidak mati kelaparan, akan hidup terlarat-Iarat. Bagaimana pendapatmu Sanjaya?” “Ini aneh! Apa perempuan dusun itu cukup berharga menjadi isteri seorang Pangeran, sampai pula mengangkat derajat si anak dusun?” Sapartinah tidak menjawab. Tetapi terasa dalam hati, kalau ucapan anaknya adalah benar. Kalau dipikir, anaknya bisa dijual mahal—sehingga Pangeran Bumi Gede bersedia memberikan jasa-jasa baiknya, bila dibandingkan dengan perempuan ningrat sendiri. Bukankah banyak perempuan-perempuan cantik yang melebihi kecantikannya? Bukankah pula banyak perempuan-perempuan yang derajatnya jauh lebih tinggi dari-padanya? Kalau saja bukan suatu nasib, kalau saja tiada mempunyai latar belakang suatu peristiwa, pastilah dirinya tidak cukup berharga untuk menjadi isteri Pangeran Bumi Gede, meskipun hanya menjadi seorang selir. “Perempuan dusun itu hidup selama tiga belas tahun dengan pangeran itu. Hitunglah, sepuluh tahun! Karena dia mau diperisteri setelah tiga tahun dari peristiwa malapetaka. Dan selama hidup berumah tangga dengan pangeran itu, ia dirawat baik-baik, dididik, diperhatikan dan tak pernah diingatkan, bahwa dirinya adalah seorang perempuan dusun. Bahkan, anaknya diangkat menjadi ahli warisnya,” sambung Sapartinah. “Sekarang, mendadak pada suatu hari, suaminya yang dikira tewas itu muncul kembali. Perempuan itu roboh pingsan karena terkejut, terharu dan girang. Ia terkejut, karena bertemu dengan seseorang yang telah lama dianggapnya mati dan yang mempunyai pertalian erat dengan darah dagingnya. Ia terharu, karena menyaksikan keadaan suaminya. Kini dia telah cacat, raut mukanya rusak dan kabarnya hidup tak keruan, la girang, karena teringat oleh kesan-kesan lama dan sejarah berumah tangga. Tetapi setelah itu, ia mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain. Pertimbangan-pertimbangan akal yang bertentangan dengan ucapan rasa. Nah, inilah soalnya. Sekarang kutanyakan kepadamu, apakah perempuan itu akan kembali kepada suaminya yang lama atau tidak?” Hebat bunyi pertanyaan itu, sampai Sanjaya menegakkan kepala. Dengan berdiam diri, ia mengamat-amati ibunya. Dahinya berkerinyit, seolah-olah sedang berusaha membaca latar belakang persoalan yang membuat ibunya mengemukakan teka-teki demikian. Wayan Suage yang bersembunyi di belakang almari, tercekat pula hatinya. Tanpa merasa, tubuhnya gemetaran. Tahulah dia, kalau perempuan itu adalah riwayat Sapartinah sendiri tatkala terenggut oleh suatu malapetaka terkutuk. Sebaliknya Sangaji tak mengerti latar belakang kisah mereka. Meskipun demikian, ia ikut pula berpikir keras. Maka di dalam kamar itu, tiba-tiba suatu ketegangan terjadi dengan dahsyatnya. Mendadak Sanjaya berkata dengan penuh iba. “Ibu! Tidurlah! Biarlah besok kujawab.” Sapartinah menghela napas. “Nah, apa kubilang. Bukankah kamu kusuruh tidur pula? Sekarang, pergilah tidur! Biar Ibu sendiri yang memecahkan teka-teki itu. Entah mengapa, malam ini Ibu belum mau tidur. Hatiku tak tenteram...” “Apakah Ibu menghendaki pemecahan masalah itu sekarang juga?” Sanjaya heran. Ia menunggu kesan. Ketika Sapartinah tetap berdiam diri, ia berkata, “Baiklah kutolong memecahkan.” “Aku bukan menghendaki suatu pemecahan. Tetapi jawabanmu.” “Baik biar kujawab. Andaikata aku si perempuan dusun itu, aku takkan kembali ke suamiku yang lama.” “Mengapa?” Sapartinah memotong cepat dengan suara bergetar. Paras mukanya berubah pula. “Apa keuntungannya?” sahut Sanjaya. “Ibu! Tiap makhluk berhak menuntut kebahagiaannya masing-masing. Tentu saja suatu kebahagiaannya menurut naluri jasmaniah yang sah. Perempuan dusun tadi—karena suatu nasib baik—bisa diperisteri seorang pangeran. Bukankah itu suatu karunia Ilahi? Anaknya ikut mengecap suatu kebahagiannya pula. Suaminya, bersikap baik pula. Apalagi yang diminta perempuan dusun itu? Martabat, kehormatan diri, kemuliaan, cinta-kasih— ya—kukira telah terpenuhi. Dan sekarang apa keuntungannya lantas berbalik kembali kepada si suami lama? Apakah ia harus hidup bergelandangan tak berketentuan? Apakah anaknya akan diajaknya pula menanggung azab penderitaan? Ibu! Hidup ini tidak hanya cukup berlandaskan tumpuan perasaan-perasaan belaka. Seumpamanya perempuan itu kembali kepada suaminya yang dahulu, apakah suaminya itu dapat memberikan kebahagiaan lain? Kalau perempuan dusun itu masih terkenang kepada kesan-kesan suaminya dulu tatkala sudah menjadi isteri seorang pangeran, pasti pula ia akan terkenang kesan-kesan sang Pangeran manakala ia menjadi isteri suaminya dulu! Bagaimana tidak? Sedangkan terhadap pergaulan selama tujuh-delapan tahun dengan suaminya dulu saja masih begitu tertanam, apalagi dengan pangeran yang sudah hidup berumah tangga selama tiga belas tahun. Ibu! Bukankah perempuan dusun itu hanya terkenang kepada kesan-kesan lama tatkala hidup berumah tangga dalam keadaan damai dan memenuhi syarat? Kata orang, kenangan yang mengesankan adalah kenangan yang mengasyikkan. Bukan kenangan-kenangan yang penuh azab penderitaan. Tetapi sekarang... ternyata suaminya yang dulu itu bukan seperti yang dulu... Menurut Ibu, keadaan tubuhnya cacat dan rusak. Hidupnya tak berketentuan semacam orang gelandangan dan... Bu!... Bu! Mengapa?” Sanjaya terkejut bukan main. Ia melihat ibunya jatuh terkulai di atas kursi. Cepat ia meraih dan merangkulnya. “Ibu! Ibu sakit? Biar kupanggilkan tabib-tabib kadipaten!” bujuk Sanjaya. Tiba-tiba Sapartinah menegakkan kepala. Parasnya pucat luar biasa. Kemudian dengan suara menggeletar ia berkata, “Sanjaya... Tahukah kamu, siapakah yang memberikan nama padamu?” Sapartinah terus saja menangis. Air matanya terus bercucuran deras tak terkendalikan. “Ibu!... Ibu... Ibu... Apa yang sedang Ibu pikirkan? Lihat! Aku sehat walafiat... Tentang gadis itu, janganlah Ibu turut campur. Biarlah aku sendiri yang menyelesaikannya,” bujuk Sanjaya. la mengira, kalau ibunya terlalu memikirkan dirinya. Perlahan-lahan Sapartinah menegakkan kepala. Tampak sekali, bagaimanapun ia berusaha menguasai diri. Kemudian berkata setengah berbisik, “Sanjaya! Tahukah kamu siapa yang memberi nama padamu? Dia bernama Wayan Suage?” “Siapa Wayan Suage?” “Ayahmu.” “Ah—Ya.” Sanjaya setengah tertawa. “Bukankah ia sudah meninggal dunia, menurut Ibu? Nah, bahwasanya namaku berasal dari dia, apakah yang harus dipikirkan dan dipersoalkan?” “Karena... Karena perempuan dusun itu adalah Ibu. Dan dia...?” Sapartinah terga-gap-gagap. Tak terasa ia menoleh ke arah almari. Mendadak saja—entah kapan munculnya— Wayan Suage telah berdiri di samping almari. Sanjaya terkejut bukan kepalang. Cepat ia menyambar pedangnya sambil membentak. “Kau? Kau bersembunyi di sini? Keparat!” Dengan sebat ia menikam. Wayan Suage meloncat ke samping dan berusaha menangkis sedapat-dapatnya. Tetapi ia terus dikejar dan dihujani tikaman bertubi-tubi. Sapartinah memekik tinggi, la mencoba berdiri dan menubruk. Tetapi tubuhnya seakan-akan kehilangan tenaga dan ia jatuh terkulai. Dan pada saat itu, mendadak melesatlah sesosok bayangan. Ia membentur sikunya ke pergelangan tangan Sanjaya sambil membentak, “Kamu sudah bertemu dengan ayahmu. Mengapa menikam tak karuan?” Bayangan itu ternyata Sangaji. Begitu ia melihat Wayan Suage dalam bahaya, ia tak memikirkan kepentingan dirinya lagi. Cepat ia melesat dan mencegat tikaman Sanjaya. Sanjaya kena dibentur pergelangan tangannya. Munculnya Wayan Suage dan Sangaji benar-benar mengejutkan hatinya, meskipun dia tahu kalau di belakang almari bersembunyi seseorang. Tadinya ia mengira Sangaji seorang belaka. Tak tahunya, orang yang dicari-carinya. Yakni, Mustapa. Tatkala ia mau membalas benturan Sangaji, mendadak ia melihat ibunya jatuh terkulai setelah memekik tinggi. Kecuali itu, ia mendengar ucapan Sangaji, sehingga tak setahunya sendiri ia jadi berdiri tertegun. Wayan Suage waktu itu telah berdiri tegak di hadapan Sapartinah. Dengan napas terengah-engah, ia berkata, “Tinah! Terima kasih! Kamu telah mengutarakan kesulitanmu. Kamu telah mengutarakan pula keguncangan perasaanmu. Aku pun memaklumi! ... Baiklah, marilah kita timpakan kesalahan ini kepada nasibku yang buruk. Ya buruk! Buruk! Buruk! ...” ia berhenti sebentar. Matanya merah membara, karena hatinya terlalu pedih dan menggigit. “Aku tak menyalahkanmu, Tinah... Sepatutnya pula aku berterima kasih kepadamu... dan... dan terimakasih kepada... Ah andaikata dia bukan Pangeran Bumi Gede, saat ini aku bersedia bersimpuh di hadapannya, karena dia telah merawat istri dan anakku. Tapi kebetulan dia adalah Pangeran Bumi Gede. Dia adalah musuhku dan musuh sahabatku. Karena dia, kakiku buntung! Karena dia pula, sahabatku Made Tantre tewas...!” Terkejut hati Sangaji, tatkala mendengar nama almarhum bapaknya disinggung. Mau ia minta penjelasan lebih jelas lagi, mendadak Wayan Suage menerkam pergelangan tangannya sambil berkata mengajak. “Mari, anakku... Milik satu-satunya yang masih ada di dunia ini, adalah engkau... Ah Made Tantre! Made Tantre! Aku beririhati kepadamu, karena kamu telah menutup mata. Karena kamu mempunyai seorang isteri tulen! Karena kamu mempunyai anak seperti dia... Mari anakku! Mari! Mari! Kamu adalah milikku satu-satunya...” Belum lagi Sangaji sadar apa yang harus dilakukan, mendadak saja tubuhnya kena tarik kuat. Tahu-tahu, ia telah dibawa melesat melompati, jendela. Sanjaya tak dapat berkutik. Waktu itu ia melihat tubuh ibunya bergemetaran dan pucat lesi. Akhirnya roboh tak sadarkan diri. “Ibu,” ia memekik dan mencoba menyadarkan. Ibunya tetap kehilangan kesadarannya. Mendadak timbullah api kemarahannya. Semuanya ini adalah gara-gara laki-laki itu, pikirnya. Lantas saja ia berteriak, “Penjaga! Bunyikan lonceng tanda bahaya. Ada bangsat masuk kadipaten! Cepat! Dan tangkap bangsat itu!... Tangkap...!” ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bende Mataram - JILID 7. SUATU PERTEMPURAN TAK TERDUGA

Bende Mataram - JILID 7. SUATU PERTEMPURAN TAK TERDUGA WIRAPATI girang bukan main. Sangaji telah cfiketemukan. Kini tinggal menunggu Jaga Saradenta pulang dari penyelidikan ke luar kota. Seminggu sekali Jaga Saradenta datang ke pondokan dan membawa berita. Adakalanya sampai satu bulan. Dia pasti girang, kata Wirapati dalam hati, nanti malam biar kuajaknya mulai bekerja. Mudah-mudahan dia datang. Sekiranya tidak, biarlah kumulai dahulu. Waktu berarti pedang. Satu hari lengah berarti terkikisnya waktu yang dijanjikan. Hm—tinggal empat tahun. Kalau Sangaji mempunyai bakat, agaknya masih ada waktu. Mendadak saja timbullah suatu pikiran lain. Eh, sekiranya Sangaji nanti malam tak datang apa yang akan kulakukan? Bukankah hati kanak-kanak seringkali berubah? Celaka—aku belum tahu rumahnya. Memikir demikian, cepat ia kembali ke lapangan. Sangaji baru saja melangkahkan kaki meninggalkan lapangan. Ia girang. Mau dia percaya, kalau selama itu Sangaji masih tertegun-tegun memikirkan kehebatannya y...

ep.48 bende mataram - Pulang

BENDE MATARAM JILID 48 PULANG HATI seorang perempuan memang sukar diduga. Kalau tidak masakan perbuatan Rukmini dapat terluput dari pengamatan Sangaji yang sudah memiliki ilmu sangat ting-gi. Soalnya, seluruh perhatiannya ditegangkan oleh peristiwa yang terjadi di tengah lapangan. Dan sekelumitpun tiada terbintik dalam hati Sangaji, bahwa ibunya akan membunuh difi pula mencontoh Sonny de Hoop. Alasan untuk berbuat demikian sangatlah lemah. Jalan pikir Rukmini memang sangat aneh. Melihat anaknya tiada hendak meninggalkan rumah, lantas timbullah keputusannya akan membunuh diri. Ia sendiri tak dapat pergi bersama anaknya, sebeluin berbicara dengan Major de Hoop yang sudah beberapa tahun lamanya menjadi perlindungannya. Gntuk perbuatan itu, ia merasa berutang budi setinggi gunung. Kalau ia pergi begitu saja meskipun alasan-alasannya cukup kuat serta mendesak ia takut dikatakan sebagai makhluk tak kenal budi. Padahal anjingpun mengerti akan mem-balas budi. Masakan manusia tidak? Sekiranya...

BENDE MATARAM - JILID 8. SONNY SI GADIS INDO

BENDE MATARAM - JILID 8. SONNY SI GADIS INDO DENGAN berdiam diri pula Jaga Saradenta membimbing tangan Sangaji di samping Wirapati. Kesan pertempuran tadi masih saja meriuh dalam otaknya. Hatinya bisa menduga apa yang bakal dilakukan Pringgasakti ketika melihat adiknya mampus begitu terhina di tengah lapangan. “Iblis itu benar-benar kebal dari semua senjata tajam. Tapi kekebalannya tak kuasa mempertahankan diri dari letupan pistol. Jika begitu, boleh juga kita belajar menembak,” katanya perlahan. Wirapati adalah murid keempat Kyai Kasan Kesambi yang diajar membenci senjata bidikan. Begitu mendengar ujar Jaga Saradenta lantas saja menyahut. “Bukan karena mesiu pistol dia mampus, tetapi karena kebetulan tepat mengenai lubang kelemahannya.” “Bagaimana kautahu?” “Pertama-tama kulihat dia selalu melindungi kepalanya rapat-rapat dari gempuran cempulingmu. Seandainya dia benar-benar kebal, apa perlu berlaku begitu? Kedua, tembakan pistol Sangaji tepat mengenai pusatnya. Memang se-mendjak kau ...