BENDE MATARAM JILID 10. MASA PERTANDINGAN
SELAGI Ki Tunjungbiru berbicara, Sonny nampak menggeliat. Perlahan-lahan gadis itu mulai sadar kembali. Pendengarannya telah pula dapat menangkap suara orang berbicara. Segera ia bangkit dan duduk dengan terpekur di atas batu. Tak lama kemudian dia sudah sadar benar-benar. Ia mencari Sangaji. Saat bertemu pandang, “Sangaji, ayahku sama sekali tak mempercayai omonganku. Dia malah pergi beronda dengan Mayor De Groote. Mereka menuju ke Bogor...” Sangaji terkejut.
“Kenapa ayatimu tidak percaya kepadamu?”
“Waktu kukabarkan, kalau Mayor De Groote telah mengadakan perserikatan hendak mengambil alih kedudukan ayah dan kakak angkatmu, dia tertawa terbahak-bahak. Ayah bilang karena aku tak sudi kawin dengan anak Mayor
De Groote lantas aku dituduh mengada-ada. Sudah kukatakan padanya, kalau berita ini berasal darimu, tapi ayah bahkan tak percaya. Dia bilang, kalau kamu tukang ngomong. Kau nanti akan diadukan kepada kakak-angkatmu Kapten Willem agar mendapat dampratan darinya.* Karena kesal, aku berusaha mencarimu. Tapi di tengah jalan aku dibekuk oleh seorang laki-laki entah siapa. Aku digendongnya dan dia bilang mau membawaku pergi menemuimu. Ai, benar juga omongannya. Kukira, dia laki-laki biadab.”
Sonny belum sadar akan bahaya yang mengancam nyawanya. Jaga Saradenta lantas saja mengomel dalam hati, huuu ... coba kita tak berada di sini, kamu sudah jadi bangkai....
“Kapan ayahmu berangkat beronda dengan Mayor De Groote?” Sangaji menegas.
“Sejak senja hari tadi. Ayah membawa sepasukan kuda pilihan. Mayor De Groote hanya seorang diri.”
“Kau salah omong tadi,” Sangaji menyesali.
“Salah omong? Bukankah aku hanya menyampaikan berita apa yang kaukatakan?” Sonny menggugat.
“Kau menambahi berita, kalau Mayor De Groote hendak mengambil alih kedudukan ayahmu dan kakak-angkatku. Sebenarnya kamu harus bilang, kalau Mayor De Groote mungkin akan berontak. Mungkin ayahmu akan waspada kalau pergi beronda. Kemungkinan besar, Mayor De Groote akan menyergap pasukan ayahmu.”
“Eh, mengapa berpura-pura tak tahu masalahnya?” Sonny tak mau disalahkan. “Ayah dan kakak-angkatmu bulan depan akan naik pangkat menjadi Mayor. Kenaikan pangkat itu sudahlah cukup membakar hati Mayor De Groote. Kalau Mayor De Groote berhasil merebut kembali jabatannya yang dahulu, ... mana bisa ayah dan kakak-angkatmu naik pangkat?” sehabis berkata demikian, Sonny lantas menangis. Dan Sangaji jadi kebingungan. Inilah yang pertama kali ia menghadapi soal rumit.
Memang semenjak tahun 1789 Kompeni menghadapi suatu kesulitan luar biasa. Pada tahun itu, rugi 74 miliun rupiah. Dalam tahun 1791 rugi lagi 96 miliun rupiah. Willem V— Pengurus Agung Kompeni di negeri Belanda— segera mengadakan perbaikan-perbaikan. Sampai tahun 1800 dia mengangkat Willem Arnold Alting sebagai Gubernur Jendral dan ditugaskan membentuk komisaris-komisaris Jendral dan perbaikan-perbaikan menyeliiruh. Gubernur Jendral itu gagal. Willem V kemudian memecat Willem Arnold Alting dan mengangkat Pieter Ger V Overstraten sebagai gantinya. Setelah itu P Vuyst. VOC lantas dibu-barkan pada tanggal 31 Desember 1799. Semua milik dan utang VOC diambil alih oleh negara berdasarkan Gndang-undang Dasar Bataafse Republiek. Tetapi keadaan organisasi kompeni korat-karit. Fitnahan-fitnahan, korupsi, main sogok dan indisipliner dalam kalangan militer merajalela seolah-olah tak teratasi lagi. Pemimpin-pemimpin militer berani bertindak demi ambisinya masing-masing. Karena itu kerapkali terjadi peletusan senjata yang banyak membawa korban jiwa.
“Sangaji!” tiba-tiba Wirapati berkata menengahi. “Pulanglah dahulu! Beritahukan hal itu kepada kakakmu Willem. Kalau perlu susullah ayah Sonny dengan menunggang kudamu Willem. Kuda itu dapat berlari cepat dan kuat. Kalau Tuhan merestui, kamu bisa menyusul dan menyelamatkan ayah Sonny!”
Tak perlu diulangi lagi, Sangaji lantas saja lari menuruni bukit. Ia berlari sekuat tenaga. Itulah pula pengalamannya yang pertama kali berlari-larian cepat dalam jarak jauh. Sekarang dia merasa heran. Getah pohon sakti Dewadaru banyak menolong dirinya. Ia tak merasa capai, bahkan seluruh tubuhnya terasa segar-bugar.
Sesampainya di tangsi, ia minta keterangan kepada penjaga tentang kakak-angkatnya. Penjaga memberi tahu, kalau Willem Erbefeld membawa satu peleton pasukan berkuda pergi berpatroli.
“Ke mana?” tanyanya gugup.
“Mungkin ke Tangerang. Mungkin pula ke Bogor. Mungkin ke Krawang. Apa pedulimu?”
“Ada pemberontakan.”
“Pemberontakan?” ulang Kepala Penjaga keheranan. Ia merenungi si bocah. Kemudian tertawa terbahak-bahak. Ia menganggap lucu berita pemberontakan itu. Teman-temannya dalam penjagaan ikut tertawa pula.
Terpaksalah Sangaji membungkam mulut dengan tersipu-sipu. Segera ia mengambil kudanya dan terus melesat keluar tangsi. Penjaga-penjaga tertawa riuh bergegaran dan menyoraki dari belakang. Tapi Sangaji tak mempedulikan.
Willem ternyata seekor kuda jempolan. Ia lari kencang tak takut kecapaian. Selang dua jam, ia baru memperlambat larinya. Setelah beristirahat sebentar, kaburlah dia kembali seperti anak panah yang terlepas dari gandewa.
Satu jam kemudian, Sangaji telah memasuki wilayah Bogor. Matahari telah melongok di ufuk timur. Gdara segar bugar dan suasana pagi riang ria. Ia mendengar suara terompet serdadu. Tak lama kemudian, nampaklah beberapa tenda perkemahan dengan tenda panji-panji pasukan. Sepintas lintas tahulah Sangaji, kalau dalam tenda-tenda perkemahan itu, adalah serdadu-serdadu pasukan Mayor De Groote yang jumlahnya hampir satu batalyon. Mereka nampak bersiaga.
Sangaji lantas saja mengeluh dalam hati terang sekali pasukan Kapten De Hoop telah melewati perkemahan itu, jauh sebelum mereka berkemah. Ini berarti bahwa pasukan itu akan menghadang pasukan Kapten De Hoop. Berpikir demikian ia keprak kudanya dan melesat secepat-cepatnya. Dua orang serdadu berusaha menghadangnya. Ia tak perduli. Terus saja ia menerjang dan kabur tanpa menoleh.
Kira-kira menjelang jam delapan, nampaklah sepasukan tentara berkuda datang dari arah selatan. Tak lama lagi tersembullah pasukan tentara berkuda dari arah barat. Masing-masing pasukan itu membawa panji-panji pasukan. Dengan segera Sangaji mengenal siapa pemimpinnya. Yang datang dari arah selatan adalah pasukan Kapten De Hoop. Yang datang dari arah barat adalah pasukan Kapten Willem Erbefeld.
Kedua pasukan itu bertemu di suatu lapangan, kemudian saling bergabung. Sangaji de-ngan cepat menghampiri sambil berteriak sekuat-kuatnya.
“Kapten De Hoop! Kapten Willem Erbefeld! Ambilah jalan lain! Mayor De Groote meng-hadang kalian di seberang sana!”
Kapten De Hoop dan Kapten Willem Erbefeld yang sedang saling memberi hormat me-noleh bersamaan kemudian berkata berbareng minta penjelasan.
“Ada apa?”
“Ada bahaya,” sahut Sangaji terengah-engah sambil meloncat dari punggung kudanya. Kemudian ia mengabarkan berita yang telah di dengar Ki Tunjungbiru kemarin lusa.
Dengan sangsi Kapten De Hoop merenungi tutur kata bocah tanggung ini. Pikirnya, antara aku dan Groote, memang seringkali berselisih paham. Tapi beberapa minggu yang lalu ia telah membicarakan perangkapan jodoh antara Sonny dan Jan De Groote. Masakan dia mem-punyai niat jahat? Atau mempunyai tujuan lain? Ah! Dia memang bermusuhan dengan Willem. Apakah perangkap jodoh dengan anaknya dan anakku dimaksudkan untuk mencari bantuan? ... Tapi tak mungkin ia sejahat itu? Bukankah kemarin sore dia berangkat berpatroli bersama-sama? Sama sekali tiada tanda-tanda dia hendak berontak.
Sangaji mendapat firasat, kalau Kapten De Hoop menyangsikan keterangannya. Ia men-coba meyakinkan sebisa-bisanya. Dikatakan, kalau dia tadi melihat batalyon Mayor De Groote.
“Apa katamu?” Kapten De Hoop menegas. Ia mulai berpikir keras. Lalu berkata kepada Willem Erbefeld, “Apa kamu tahu dengan pasti, kalau batalyonnya ada di Krawang?”
Kapten Willem Erbefeld berbimbang-bimbang. Ia tak menjawab pertanyaan Kapten De Hoop, tapi minta ketegasan kepada Sangaji.
“Adik yang baik, apa kamu mendengar dan melihat sendiri rencana pemberontakan Mayor De Groote?”
“Tidak. Rencana pemberontakan itu hanya kudengar dari salah seorang guruku seperti yang kukatakan tadi. Tapi tadi aku melihat pasukannya berada di sekitar sana. Kalau kakak sangsi, cobalah kirim beberapa orang penyelidik untuk membuktikan kebenarannya.
Kapten De Hoop dan Kapten Willem Erbefeld tahu dengan pasti kalau batalion Mayor De Groote berada di Krawang. Kalau sekarang tiba-tiba berada di sekitar Bogor ada dua ke-mungkinan. Pertama, mungkin sedang mengadakan latihan berperang. Kedua, sedang bertugas beronda.”Kapten Willem,” akhirnya Kapten De Hoop memutuskan. “Meskipun aku belum yakin, rasanya apa salahnya mengirimkan beberapa orang untuk menyelidiki.”
“Bersikap hati-hati lebih baik,” sahut Kapten Willem Erbefeld. “Aku kenal perangai adik-angkatku. Dia takkan bakal berjalan semalam suntuk kalau tidak ada alasan yang kuat. Lagi pula, kenapa Mayor De Groote kemarin sore berangkat ke Bogor bersama kita?”
“Ah!” Kapten De Hoop terkejut, ia berangkat ke Bogor dengan dalih hendak memberi laporan dinas. Tapi rasanya ...”
Kapten De Hoop adalah seorang perwira yang bersikap hati-hati. Segera ia mengirim-kan dua orang penyelidik. Kemudian memberi perintah kepada pasukannya agar bersiaga. Kapten Willem Erbefeld sendiri dengan cepat mengirimkan dua orang utusan untuk memanggil Pasukan Keamanan Kota dengan mengambil jalan menyeberang hutan. Ia menaruh kepercayaan besar kepada Sangaji. Lagi pula ia merasa bermusuhan langsung terhadap Mayor De Groote.
“Sangaji!” katanya berwibawa. “Hendaklah kamu selalu ingat dalam lubuk hatimu. Bahwasanya, kedudukan, pangkat, harta dan perempuan cantik bisa membutakan kewarasan otak. Siapa mengira, kalau peristiwa pengangkatanku menjadi Komandan Keamanan Kota jadi begini berlarut-larut? Tapi baik aku dan kamu adalah laki-laki. Kalau kamu terpaksa berkelahi atau dipaksa keadaan untuk berkelahi, berkelahilah secara jantan. Sekiranya mati, biarlah mati seperti laki-laki.”
Hebat kata-kata Kapten Willem Erbefeld itu bagi hati si bocah tanggung. Selama itu, belum pernah kakak-angkatnya berkata seperti sekarang. Si bocah tanggung menundukkan kepala dan kata-kata bernapas keperwiraan itu merasuk dalam tubuhnya. Kata-kata ini pulalah yang menentukan sejarah hidupnya Sangaji di kemudian hari.
Dua orang penyelidik yang dikirim Kapten De Hoop, tak lama kemudian melapor kepada Kapten De Hoop.
“Mereka sedang menuju ke mari.”
Mendengar laporan itu, Kapten De Hoop tidak sangsi lagi. Garang ia berkata kepada Letnan Van Vuuren yang berada di sampingnya, “Jelas, ini gerakkan yang mencurigakan. Daerah Bogor adalah daerah perondaan kita. Mengapa memasuki daerah perondaan kita tanpa memberi tahu. Siapkan! Sampaikan perintah kepada Kapten Willem Erbefeld: pasukannya kuperintahkan bersiaga di atas tebing bukit.”
Kapten De Hoop nampak garang benar. Perintahnya tegas tiada ragu-ragu lagi. Ia me-rasa, gerak pasukan Mayor De Groote tidaklah wajar. Segera ia memerintahkan seluruh pa-sukan gabungan mendaki bukit. Setelah itu, satu peleton tentara penyerbu diperintahkan meneruskan perjalanan.
Seluruh pasukan bekerja dengan cepat. Yang berada di atas bukit segera menggali lubang-lubang perlindungan. Batu-batu ditumpuk dan disusun menjadi benteng pertahanan. Sedangkan pasukan yang harus berjalan mencari keyakinan, terus saja bergerak dengan aba-aba tertentu. Kapten Willem Erbefeld berjalan di belakang peleton itu seolah-olah pengawalnya. Sangaji berada di sampingnya dan selalu diawasi; bersiaga hendak diperlindunginya sebaik-baiknya apabila keadaan dalam bahaya.
Tak lama kemudian dari arah utara nampaklah debu mengepul ke udara. Tiga kelompok pasukan berseragam muncul di balik debu dengan suara berisik dan berderapan. Kapten Willem Erbefeld adalah seorang militer dalam darah dagingnya. Segera ia dapat menebak gerak-gerik pasukan yang datang itu. la memberi aba-aba kepada peletonnya agar mem-percepat jalannya. Diperintahkan agar bersikap menyambut kedatangan mereka. Apabila benar-benar mereka bermaksud menghadang, panji-panji pasukan hendaklah dibawa lari.
Belum lagi peletonnya bertemu dengan pasukan pendatang itu, terdengarlah sudah le-tusan senjata berulang kali. Kemudian sorak-sorai mengguntur di udara. Mereka benar-benar bermaksud menyerang.
Peleton Kapten Willem Erbefeld terpaksa balik kembali. Tapi mereka kena terkurung rapat, sehingga susah membebaskan diri. Dan tiga orang di antara mereka jatuh terkulai dari atas kudanya.
“Adik yang baik, yuk, kita sambut mereka!” Willem Erbefeld berteriak. Kudanya dikeprak dan melesat maju. Sangaji segera mengejar. Cepat larinya kuda Sangaji. Ia mendahului Willem Erbefeld sepuluh lompatan di depan.
“Adik yang baik! Terimalah senapanku!” teriak Willem Erbefeld dan terus melontarkan senapannya. Begitu senapannya dapat diterima Sangaji, ia lalu menyambar senapan salah seorang serdadu yang datang berpapasan.
Sangaji terus saja menembak tiga kali berturut-turut. Tiga orang pengejar peleton Willem Erbefeld jatuh terjungkal dari atas kudanya. Dalam hal menembak mahir, Willem Erbefeld jauh lebih pandai daripada Sangaji. Memang dia guru Sangaji dalam tata menembak senapan. Sambil memberi aba-aba kepada peletonnya yang lari berserabutan, ia melepaskan tembakan lima kali berturut-turut. Tembakannya tepat mengenai sasaran dan sekaligus tergulinglah lima orang lawannya.
Kepala peleton yang telah mendapat perlindungan, dengan cepat mengatur anak-buah-nya dan balik kembali mengadakan serangan balasan. Tetapi mereka kalah jumlah. Segera mereka kena desak dan terpaksa lari mengundurkan diri ke bukit-bukit.
Di atas bukit ini, berdirilah Kapten De Hoop dengan dua pembantunya Letnan Van Vuuren dan Letnan Van de Bosch. Melihat peleton garis depan kena didesak lawan, lantas saja dia memberi aba-aba menembak salvo”. Segera terjadilah suatu tembakan berondongan. Oleh tembakan berondongan itu tertahanlah pihak pengejar. Gugup mereka menahan lis kudanya masing-masing dan debu tanah berhamburan ke udara menyekat penglihatan.
Kapten De Hoop lari mendaki gundukan yang teratas agar mendapatkan penglihatan yang luas. Ia menjelajahkan pandangannya di jauh sana pada setiap penjuru. Dari atas gundukan itu ia melihat batalyon Mayor De Groote sedang bergerak mendatangi.
Yang berada di depan adalah Mayor De Groote dengan diapit oleh empat perwira. Dia menggunakan pakaian kebesarannya. Berjaket tutup dengan kain leher putih. Pedangnya tergantung di pinggang dan memantulkan cahaya matahari di waktu pagi hari. Dia menung-gang kuda gagah perkasa berwarna putih ke-coklat-coklatan.
Kapten De Hoop menunggu sampai Mayor De Groote berada seratus langkah di depan-nya. Kemudian berseru, “Mayor De Groote, naiklah ke bukit! Mari kita bicara!”
Dengan dikawal oleh empat orang perwira dan satu peleton serdadu, Mayor De Groote menghampiri bukit. Serdadu-serdadu itu berada di depannya bersiaga melindungi. Ia bersikap angkuh dan pandangannya memancarkan kesan kemenangan.
“Kapten De Hoop, lekaslah menyerah dan serahkan anjing Willem Erbefeld!” ia berteriak garang.
Kapten De Hoop tidak meladeni. Ia membalas dengan suatu pertanyaannya.
“Apakah kamu membawa batalyonmu memasuki daerah perondaan Bogor?”
Mayor De Groote tak mau kalah dalam beradu lidah. Mendengar Kapten De Hoop menghindari ucapannya dengan suatu pertanyaan, ia membalas bertanya pula. Ujarnya, “Semasa aku masih berpangkat Kapten dan menjabat sebagai komandan kompi, kamu berpangkat dan menjabat apa Kapten De Hoop? Jawablah pertanyaanku ini, jika kau laki-laki.”
Kapten De Hoop diam menimbang-nimbang. Kemudian menjawab, “Letnan dan Ko-mandan Peleton.”
“Bagus!” Mayor De Groote bergembira. Dan ia menyapukan pandangannya untuk menebarkan kesan kepada seluruh serdadu yang hadir di situ. “Siapakah Komandan Keamanan Kota dan Komandan Pengawal Istana? Jawab jika kau laki-laki.”
“Mayor De Groote.”
“Bagus!” seru Mayor De Groote. Dan kembali ia menyapukan pandangannya.
Memang Mayor De Groote adalah Komandan Keamanan Kota merangkap Komandan Pengawal Istana semenjak Raja Willem V membentuk komisaris-komisaris Jendral untuk memperbaiki keadaan keuangan VOC yang terus-menerus tekor semenjak tahun 1789. Pada tahun 1795, Raja Willem V diusir oleh kaum Patriot Perancis. Dia melarikan diri ke Inggris. Takut kalau-kalau Perancis akan menduduki Kepulauan Indonesia, maka ia menulis surat permohonan bantuan kepada pemerintahan Inggris dari kediamannya di Kew. Ia memandang perlu untuk membentuk batalion-batalion Keamanan Kota guna pertahanan kota-kota pendudukan.
Mayor de Groote bertanya lagi, “Sudah berapa kali Komandan Kota menyelamatkan harta milik dan kewibawaan kompeni dalam menumpas pemberontakan-pemberontakan?”
“Berapa kali yang tepat, tak dapat aku menyebutkan di sini,” jawab Kapten De Hoop mendongkol.
“Kau adalah seorang Kapten. Semua kejadian mestinya harus senantiasa berkelebat da-lam otak.”
“Jika demikian, kau teringat pula semua peristiwa itu. Apa perlu kautanyakan? Jawablah pertanyaanmu sendiri!”
“Aku bertanya! Karena itu kamu wajib menjawab! Bukankah kamu bawahanku? Sekira-nya kamu sekarang mengingkari, toh pangkatku lebih berharga daripada Kapten.”
Kapten De Hoop terdiam. Kemudian menjawab perlahan-lahan, “Baiklah aku jawab, te-tapi apakah upah-upah ekstra dan sogokansogokan buat bekal berangkat bertempur perlu disebutkan?”
Pada masa itu, masalah sogokan sangat populer dalam percaturan masyarakat. Tak heran, begitu mendengar Kapten De Hoop menyebutkan istilah sogokan, lantas saja terdengar suara tertawa serdadu-serdadu yang merasa diri miskin dan tak mempunyai kekuasaan atau kedudukan yang memungkinkan memperoleh uang sogokan. Muka Mayor De Groote lantas saja merah padam. Membentak kalang-kabut, “Ini urusan dinas! Bukan sedang bergurau! Bukan pula sedang membicarakan perangkapan jodoh! Insyaflah Kapten De Hoop, bahwasanya dengan sepatah kata aba-abaku, aku akan menghancurkan seluruh pasukanmu.”
Mendengar kata-kata perangkapan jodoh, dada Kapten De Hoop serasa hampir meledak sampai sekujur badannya menggigil. Tapi ia masih bisa menguasai diri dan dapat pula berlaku tenang. Sebaliknya, Mayor De Groote senang bukan kepalang melihat Kapaten De Hoop keripuhan.
Mayor De Groote adalah seorang perwira yang licik. Semenjak dia dikalahkan oleh Kapten Willem Erbefeld di depan Gubernur Jendral P Vuyst, bintangnya lantas saja mulai merosot. Ia kena geser kedudukannya sebagai Komandan Keamanan ke Staf Batalyon yang berkedudukan di Krawang. Itulah sebabnya dendam kepada Kapten Willem Erbefeld yang dianggapnya sebagai lawan utamanya. Cuma saja dia tak berani bermusuhan secara terang-terangan. Dalam segala hal ia merasa kalah.
Dasar ia licik dan licin, maka ia mencoba bekerja dari belakang punggung. Diam-diam ia berusaha mempengaruhi bekas anak buah Komando Keamanan Kota. Tapi usaha ini gagal, sehingga mau tak mau ia memaksa diri untuk prihatin selama tiga tahun lebih.
Mendengar kabar tentang perkelahian antara anaknya dan adik-angkat Willem Erbefeld, di mana anaknya kena dihajar Willem Erbefeld sampai babak belur di depan gadis Sonny anak Kapten De Hoop, lantas saja terbesitlah suatu pikiran dalam benaknya. Sejak saat itu ia mendekati Kapten De Hoop dan menempel para penguasa-penguasa militer. Ia berhasil mengambil hati dengan sikap merendahkan diri, meskipun bertentangan dengan wataknya yang angkuh dan tinggi hati. Seperti diketahui Kapten De Hoop adalah Komandan Keamanan Kota, sedangkan Kapten Willem Erbefeld menjabat wakil komandan. Beberapa hari yang lalu terjadilah suatu pembicaraan perangkapan jodoh antara Jan De Groote dan Sonny De Hoop. Mayor De Groote memperoleh bintang terang dalam hal ini. Ia tinggal menunggu waktu belaka untuk membicarakan suatu persekutuan mengenai nasib Kapten Willem Erbefeld.
Mendadak terjadilah suatu peristiwa di luar dugaan semuanya. Mayor Kuol yang memimpin batalyon di Krawang mendapat cuti tahunan. Kali ini dia hendak menjenguk kam-pung halamannya di negeri Belanda. Dengari sendirinya, Mayor De Groote menjadi pejabat Komandan Batalyon. Tepat pada waktu itu terdengarlah suatu berita, kalau Kapten Willem Erbefeld akan naik pangkat menjadi Mayor dan akan dilantik pula sebagai Komandan Keamanan Kota. Sedangkan Kapten De Hoop akan ditetapkan sebagai Komandan Pengawal Istana dengan pangkat Mayor pula.
Bergegas-gegas Mayor De Groote datang berkunjung ke rumah Kapten De Hoop untuk mencari kepastian tentang berita itu. Hatinya terlalu panas mendengar bintang Kapten Willem Erbefeld menjadi begitu terang. Di sini ia menemui kekecewaan terhadap Kapten De Hoop. Ternyata Kapten De Hoop nampak bergembira oleh berita itu. Ia memuji kecakapan Kapten Willem Erbefeld, kejujurannya dan keberaniannya sehingga sudah sepantasnya diangkat menjadi Komandan Keamanan Kota.
Seketika itu juga, Mayor De Groote mendapat kesan buruk terhadap Kapten De Hoop. Menurut gejolak hatinya, lantas saja ia menyalahgunakan kedudukannya. Dan terjadilah peristiwa pertempuran di pagi hari yang terang -benderang.
“Kapten De Hoop!” katanya menggertak. “Kamu adalah seorang perwira lama. Dengan saksimu pula, aku adalah seorang Komandan Keamanan Kota yang seringkali menumpas pemberontakan-pemberontakan demi menertibkan tata-tertib militer. Lima tahun yang lalu aku pernah menumpas suatu pemberontakan di samping Gubernur Jendral P Vuyst. Siapakah anjing pemberontak itu?”
Kapten De Hoop mengerenyitkan dahi. Ia heran atas kata-kata Mayor De Groote yang begitu terlepas tanpa pertimbangan. Memang Mayor De Groote tak mengindahkan segala, dan bersikap tak mempedulikan macam perhubungannya dengan Kapten De Hoop. Dasar Kapten De Hoop seorang perwira yang cerdas dan pandai melihat gelagat, begitu memperoleh kesan buruk lantas saja dapat menentukan sikap. Jawabnya lantang, “Kalau yang kaumaksudkan anjing itu adalah pemimpin pemberontak, maka dia bernama Willem Erbefeld.”
“Bagus!” sahut Mayor De Groote girang. “Sekarang aku minta keterangan yang benar. Anjing pemberontak Willem Erbefeld akan dilantik menjadi Komandan Keamanan Kota dan naik pangkat jadi Mayor, benarkah itu?”
“Betul.”
“Kapten De Hoop! Komandan Keamanan Kota selamanya dipegang oleh seorang per-wira yang berkewajiban menumpas pemberontak. Kini akan dijabat oleh seorang bekas pemberontak. Bagaimana menurut pendapat-mu?”
“Aku seorang militer. Urusan penetapan, pengesyahan atau kenaikan pangkat adalah urusan pemerintah. Kau tahu, bukan?”
“Kapten De Hoop bukan anak kemarin sore. Kapten De Hoop berhak memberi pertim-bangan atas pengangkatan dan pasti akan didengar pemerintah. Terang-terangan anjing Willem adalah bekas seorang pemimpin pemberontak, mengapa Kapten De Hoop membungkam? Apakah sudah menerima sogokan?”
Tak peduli siapa yang mengucapkan istilah sogokan itu, lantas saja seluruh serdadu ter-tawa koor. Kapten De Hoop mendongkol.
Akhirnya kehilangan kesabarannya. Lalu membentak:
“Mayor De Groote! Grusan pengangkatan, penetapan dan pengesyahan Kapten Willem Erbefeld sebagai Komandan Keamanan Kota adalah urusan pemerintah. Kalau kau mau menentang mulut, bicaralah langsung kepada pemerintah. Kalau kau mempunyai ganjelan hati terhadap Kapten Willem Erbefeld selesaikanlah secara jantan. Jangan membawa-bawa urusan ganjelan hati ke dalam tata-dinas. Memang siapa yang tak mengetahui, peristiwa perang tanding antara Mayor De Groote dan Kapten Willem Erbefeld lima tahun yang lalu di depan mata Gubernur Jendral P Vuyst? Siapa pula yang mengetahui akhir perang tanding itu. Jawablah Mayor De Groote, siapakah dia yang buntung lengannya kena sabetan pedang Kapten Willem Erbefeld?”
Sangaji bergelisah dan cemas mendengar nama kakak-angkatnya dibuat bulan-bulanan. Keadaan menjadi tegang dan menyesakkan. Kalau sampai terjadi pertempuran, kedua belah pihak pasti menderita korban. Ia kenal pula watak kakak-angkatnya Willem Erbefeld. Kakak-angkatnya yang berwatak jantan, takkan membiarkan Kapten De Hoop diejek demikian rupa oleh Mayor De Groote perkara dirinya. Tanpa mempedulikan akibatnya, dia tentu akan tampil ke depan dan menyelesaikan urusan pribadinya dengan seorang diri pula. Ini bahaya, karena Mayor De Groote kini membawa jumlah serdadu hampir satu batalyon penuh.
Selagi ia gelisah, nampaklah di kaki bukit seorang pemuda menunggang kuda dengan lagak angkuh. Pemuda itu mengenakan pakaian preman yang cukup mentereng. Ia menge-nakan topi model Meksiko. Tangannya me-nyengkelit pedang dan sepucuk pistol tergantung pula di pinggangnya. Dialah Yan De Groote calon suami Sonny De Hoop.
Melihat Yan De Groote, hati Sangaji lantas saja menjadi panas. Dasar dia bermusuhan dengan pemuda Belanda itu, lagi pula mendapat kabar hendak mengawini Sonny De Hoop. Meskipun belum mempunyai sebutir angan-angan hendak menjadi suami Sonny, tapi hatinya tak rela kawannya yang disayangi itu jatuh ke dalam pelukan Yan De Groote. Oleh gelora hati, Willem lalu dikeprak dan lari melesat mengarah ke pemuda Belanda itu. Sangaji mengenakan pakaian preman, maka serdadu-serdadu Mayor De Groote tak memikir jauh. Mereka mengira, kalau anak Bumiputera itu hendak melakukan sesuatu di luar urusan ketegangan militer.
Hebat larinya si Willem. Beberapa detik saja, ia telah menghampiri sasarannya. Yan De Groote kaget. Segera ia mengenal penunggangnya. Tanpa bilang suatu apa ia menyambut kuda serbuan Sangaji dengan sabetan pedang. Sangaji cukup berwaspada. Cepat ia mengendapkan kepala dan sabetan pedang Yan De Groote berkesiur lewat atas kepalanya. Dengan tangkas ia mengulur tangan kanannya dan menangkap pergelangan kiri Yan De Groote sambil memijit urat-nadinya. Ia menggunakan tipu tangkapan Wirapati dan Yan De Groote lantas saja mati kutu.
Pemuda Belanda itu masih berusaha berontak dengan mengandalkan kekekaran tu-buhnya. Sangaji tak sudi mengadu tenaga jasmani. Ia menarik tubuh lawannya kencang-kencang. Karena tarikan tenaga kuda, Yan De Groote kena terangkat dari pelananya dan ter-katung-katung di sisi perut. Ia mencoba berontak dengan muka pringisan. Tapi terkaman ta-ngan Sangaji kuat bagaikan tanggam besi.
Sangaji bertindak cepat. Ia mendengar gerakan tentara dan aba-aba parau dari kaki bu-kit. Itulah suara aba-aba Mayor De Groote yang memberi perintah, “Tembak!”
Cepat ia bentur perut kudanya dan lari balik ke bukit dengan menggondol Yan De Groote.
Tiba-tiba terdengarlah peluru berdesingan di sekitar kepalanya. Karena ingin cepat-cepat berlindung, tanpa berpikir lagi ia mengangkat tubuh Yan De Groote untuk dibuatnya perisai. Dan celakalah nasib pemuda Belanda itu. Ia kena berondong tembakan serdadu-serdadu ayahnya sendiri. Tanpa bersuara lagi, napasnya terbang entah ke mana dengan darah berlumuran membasahi tubuhnya.
Sangaji melemparkan tubuhnya ke tanah dan ia kabur secepat-cepatnya. Dalam pada itu Kapten Willem Erbefeld tak tinggal diam. Begitu mendengar aba-aba Mayor De Groote, segera ia beraksi. Dengan keahliannya ia menembak berturut-turut untuk melindungi Sangaji. Anak-buahnyapun tak tinggal diam. Mereka mulai menembak. Dan pertempuran segera terjadi dari tempat ke tempat.
Kapten De Hoop menghampiri Sangaji dan memuji keberaniannya. Katanya, “Dengan tertembaknya Yan De Groote, ayahnya akan berkelahi dengan setengah mati atau dengan pi-kiran gelap.”
Ucapan Kapten De Hoop sedikitpun tak salah. Begitu Mayor De Groote melihat anaknya kena berondongan tembakan, ia menjadi kalap. Lantas saja ia menghampiri mayat anaknya dan diciumi seperti orang gila.
Kapten De Hoop segera memberi perintah berhenti menembak. Dia menjadi iba-hati melihat nasib Mayor De Groote yang buruk. Tetapi tentara Mayor De Groote tak mengindahkan perintahnya. Mereka terus memberondong tembakan, maka terpaksalah pertempuran dilanjutkan.
Menjelang tengah hari bala-bantuan dari kota tiba. Mereka memasuki pertempuran dan sebentar saja dapat mengatasi. Maklumlah, batalyon Mayor De Groote kehilangan tujuan dan pimpinan lagi. Mereka hanya menembak berserabutan karena wajib menembak semata-mata.
Mayor De Groote kena tangkap dan hendak diajukan ke depan pengadilan militer dengan ancaman hukuman mati. Dia menjadi sangat menderita. Matinya si Yan di luar perhitungan dan dugaannya, sudahlah merupakan pukulan hebat baginya. Kini ditambah dengan kesengsaraan diri pribadi. Ia yang biasa hidup mewah dan berangan-angan tinggi, tak kuasa menanggung derita. Dalam tahanan ia sakit keras. Sebelum hukuman dijatuhkan, malaikat keburu datang. Ia mati kena tekanan darah tinggi.
Semenjak peristiwa itu, Sangaji naik derajat. Omongannya kini sudah bukan dianggap omongan bocah. Orang-orang tangsi sudah memasukkan dirinya ke dalam kelas dewasa. Memang ia sudah nampak dewasa. Umurnya kini hampir mencapai 19 tahun. Kapten Willem Erbefeld yang kini sudah naik pangkat menjadi Mayor dan memangku jabatan Komandan Keamanan Kota makin sayang padanya. Ia seolah-olah bersiaga untuk memanjakan. Dengan Kapten De Hoop yang naik pangkat menjadi Mayor pula, bersahabat erat. Seringkali mereka membicarakan urusan pribadi, untuk membuktikan telah terjalinnya suatu persahabatan sejati. Dan kalau Mayor De Hoop menggoda kepadanya, mengapa tidak kawin-kawin, ia selalu menjawab: “Nanti setelah adikku menemukan jodohnya.”
Pada bulan Juni 1804, Mayor De Hoop mengadakan pesta ulang tahun. Banyak ia mengundang teman-teman sekerja. Mayor Willem Erbefeld dan Sangaji tak ketinggalan. Semua yang datang mengenakan pakaian sebagus-bagusnya, karena tuan rumah akan mengharap demikian. Bagi tata-santun pergaulan, itulah suatu lambang turut memanjatkan pujian pada Tuhan agar Mayor De Hoop selalu menemukan kesenangan-kesenangan baru, semangat baru dan kebahagiaan baru.
Sonny De Hoop si gadis jelita, genit dan menggairahkan mengenakan pakaian seindah-indahnya. Ia bahkan bersolek sehingga kehadirannya dalam pesta itu menambah semarak belaka. Dengan pandang berseri-seri ia menyambut kedatangan Sangaji dan terus saja dibawa menyendiri serta diajak berbicara. Sangaji seorang pemuda yang tak dapat berbicara banyak, maka dia hanya bersikap mengamini dan menambah bumbu-bumbu pembicaraan sekuasa-kuasanya.
Pesta dimulai pada jam tujuh malam. Musik mulai asyik dengan lagu-lagu Barat dan mars militer. Kadang kala diseling lagu irama keroncong peninggalan serdadu-serdadu bangsa Portugis pada abad XVI. Pada jam sepuluh malam, suasana pesta lebih meresapkan dan longgar. Mereka yang hadir merasa diperkenankan bergerak sesuka hatinya.
Mayor De Hoop mulai bisa meninggalkan tetamu-tetamunya. Ia berjalan menikmati alam didampingi Mayor Willem Erbefeld. Dua orang itu berbicara begitu asyik dan berahasia. Nampaknya mendapat suatu persesuaian pendapat dan persetujuan. Mereka tertawa dengan wajah berseri-seri. Mendadak saja Mayor De Hoop menghampiri Sangaji, “Sangaji! Sekiranya kakak-angkatmu kawin apakah kamu merasa dirugikan?”
Pertanyaan itu sama sekali tak terduga-duga sampai Sangaji bergemetaran. Melihat pandang Mayor De Hoop penuh keseriusan, hatinya menjadi agak lapang. Kemudian menjawab,
“Mengapa aku merasa dirugikan?”
“Bagus. Jika demikian kamu akan senang kalau kakak-angkatmu kawin.”
“Tentu.”
“Bagus!” Mayor De Hoop menaikkan suaranya. “Jika demikian kamu mengharapkan kakak-angkatmu mendapat jodoh.”
“Tentu, Mayor. Dan calon isterinya harus yang secantik-cantiknya. Berbudi agung dan menurut pilihan hati kakak angkatku.”
“Itu sudah pasti. Hanya saja, kakak angkatmu ini belum bersedia kawin, karena memi-kirkan kamu.”
“Mengapa karena aku?” Sangaji ternganga-nganga.
Mayor De Hoop tidak memberi penjelasan. Dia hanya tertawa terbahak-bahak sambil mengerling kepada Mayor Willem Erbefeld. Sangaji jadi sibuk. Ia memandang kepada Mayor Willem Erbefeld pula dengan pandang menebak-nebak. Mayor Willem Erbefeld kelihatan tersenyum lebar sampai giginya yang putih membuat garis panjang.
“Mari anakku,” tiba-tiba Mayor De Hoop menggandeng tangan Sangaji. “Untuk kebahagiaannya kamu bersedia melakukan segalanya, bukan?”
Sangaji mengangguk dengan kepala penuh teka-teki.
“Kakakmupun bersedia melakukan segalanya demi kebahagiaanmu pula,” Mayor De Hoop meneruskan. “Mari, sekarang kita berbuat sesuatu yang menggembirakan semua. Bagi kakakmu, bagiku, bagi Sonny dan bagimu.”
Sehabis berkata begitu, Mayor De Hoop menggandeng tangan Sangaji dan tangan Sonny. Mereka berdua diajaknya berderap memasuki serambi depan. Para tetamu kemudian dipersilakan mendengarkan suatu pengumuman. Lalu berkatalah Mayor De Hoop, “Tuan-tuan dan nyonya-nyonya sekalian juga sekalian teman-teman anakku Sonny. Malam ini selain untuk memperingati hari ulang tahunku yang ke-47, aku akan membuat pesta ini menjadi pesta yang meriah. Malam ini aku membuat suatu pengumuman. Lihatlah tuan-tuan sekalian. Di sini kanan-kiriku berdirilah seorang gadis dan seorang pemuda, masing-masing bernama Sonny De Hoop dan Sangaji Willem Erbefeld. Dengan persetujuan dan wali si pemuda, aku akan membuat mereka berbahagia sehingga di kemudian hari tidak bakal menyesali aku si orangtua. Malam ini, Sonny
De Hoop kuserahkan dengan seluruh kelapangan dadaku kepada pemuda Sangaji. Jadi pesta ulang tahunku ini, mulai jam sepuluh malam berubah menjadi pesta pertunangan antara Sonny De Hoop dan Sangaji Willem Erbefeld. Apa kata tuan-tuan sekalian?”
Semua hadirin bersorak riuh dan berebutan memberi selamat kepada Sangaji. Mereka berseru-seru gembira dan ada pula yang berlompat-lompatan menyatakan persetujuannya. “Huraaa! Ini baru cocok, sama-sama keluarga Mayor ...”
Sonny De Hoop yang berhati polos dan memang beradat darah Belanda, menyatakan kegembiraannya secara terus-terang. Lantas saja dia memeluk si anak muda. Sebaliknya, si anak muda tak berkutik. Tubuhnya seperti terpaku dan mulutnya terkunci.
Ia memang senang dan sayang pada Sonny. Tapi bukan karena dia mempunyai hati. Dalam perasaannya Sonny adalah teman sepermainan. Meskipun umurnya terpaut dua tahun (Sonny malam itu berumur 21 tahun ia merasa dirinya lebih cenderung sebagai pelindung. Maklumlah, itulah pengucapan hati laki-laki sebenarnya. Sama sekali ia belum pernah memikirkan perkara cinta-kasih atau permainan asmara. Mendadak saja, saat itu ia seakanakan seekor ikan tertungkap dalam tempurung. Keruan saja, hatinya menjadi kaget. Darahnya serasa nyaris berhenti. Apa lagi mendengar pembicaraan orang-orang yang sibuk membicarakan jodohnya dengan si genit Sonny.
Orang-orang tak mempedulikan gejolak hatinya. Mereka bahkan tertawa bergegaran melihat dia berdiri terlongoh-longoh. Mereka mengira, hati Sangaji terlalu terharu kejatuhan wahyu. Maklumlah, pada masa itu tak gampang-gampang seorang keturunan Bumiputera bisa dipertunangkan dengan anak seorang Belanda. Apa lagi begitu resmi dan membersit dari hati nurani orangtua penuh keikhlasan.
Setelah pesta bubar, Sangaji tidak pulang ke tangsi, tetapi pergi menemui ibunya. Segera ia menuturkan pengalamannya di rumah Mayor De Hoop. Ia membawa pulang pula hadiah-hadiah dari para tetamu, hadiah dari Mayor Willem Erbefeld, Mayor De Hoop dan cincin bermata berlian dari Sonny.
Rukmini terdiam, diapun bingung mendengar peristiwa itu. Otaknya yang sederhana tak dapat mencari keputusan yang baik.
“Coba, carilah kedua gurumu. Undanglah mereka ke mari,” akhirnya dia berkata kepada anaknya.
Wirapati dan Jaga Saradenta lalu datang. Tatkala mendengar berita tentang pertunangan Sangaji dengan Sonny, mereka mengucapkan selamat dan nampaknya bergembira. Bukankah hal itu berarti, muridnya mendapat penghargaan dari keluarga bangsa Belanda?
Rukmini tak dapat berkata banyak, la mere-nung-renung seolah-olah ada yang menyesakkan dada. Beberapa waktu kemudian, barulah ia berkata, 'Tuan Wirapati dan Tuan Jaga Saradenta. Bolehkan aku berbicara barang sepa-tah dua patah kata?”
Wirapati dan Jaga Saradenta terkejut. Buru-buru mereka berseru berbareng, “Eh—mengapa pakai peradatan segala? Apa yang akan kaukatakan?”
“Aku sangat berterima kasih dan berutang budi pada tuan sekalian. Karena jasa tuan berdua, anakku menjadi seorang anak yang ada gunanya. Sampai-sampai kini dia dihargai oleh keluarga bangsa Belanda. Budi itu tak dapat kubalas, meskipun aku bersedia menebus dengan seluruh jiwaku. Hanya sekarang ada masalah sulit yang tak dapat kupecahkan. Otakku begini sederhana dan begini tumpul. Tolong, tuan-tuan pecahkan masalah ini!”
Rukmini kemudian menuturkan kembali riwayat perjalanannya yang sengsara. Ditekan-kan betapa hatinya merasa hancur, apa bila teringat akan sejarah keretakan kebahagiaan rumah tangganya.
“Bapaknya mati terbunuh oleh si tangan kejam pemuda yang datang menyerbu. Apakah hal itu dibiarkan saja tanpa balas? Kini dia di-pertunangkan dengan anak gadis seorang bangsa Belanda, apakah tidak berarti hancurnya kewajiban menuntut dendam bapaknya?”
Wirapati kemudian menjawab,-”Mbakyu, perkara pembunuhan ayah Sangaji mana bisa dibiarkan tanpa balas? Sekarang telah kami ketahui dengan terang, siapakah si pembunuh ayahnya. Hanya tinggal menunggu waktu. Tentang pertunangan Sangaji dengan Sonny bukan halangannya. Bahkan, jika kami sewaktu-waktu meninggalkan Jakarta, kehidupan Mbakyu akan terjamin.”
“Dia sudah dipertunangkan. Apakah bisa pergi meninggalkan Jakarta?” potong Rukmini.
“Pertunangan bukanlah pernikahan atau gantung nikah,” sahut Wirapati tersenyum. Rukmini belum mengetahui tata-cara orang Barat perihal pertunangan. Maklumlah, pada masa itu masalah pertunangan tak dikenal bangsa Bumiputera.
Rukmini heran mendengar ujar Wirapati. Akhirnya setelah diberi penjelasan, legalah hatinya. Baru dia bisa tertawa.
“Tahun ini adalah tahun penghabisan. Masa pertandingan telah tiba seperti yang telah kita janjikan dua belas tahun yang lalu,” kata Wirapati lagi. “Bulan ini kami berdua bermaksud membawa Sangaji ke Jawa Tengah.”
Maksud kedua guru Sangaji itu, menggirangkan hati Rukmini. Sekaligus teringatlah dia kepada kampung halamannya, keadaan rumah-tangganya dahulu dan kebahagiaannya. Tak terasa air matanya menetesi kedua belah pipinya. Melihat Rukmini meneteskan air mata, Wirapati dan Jaga Saradenta diam terharu. Sedang Sangaji terus saja memeluk ibunya.
Keesokan harinya, Rukmini—Wirapati dan Jaga Saradenta datang menemui Mayor Willem Erbefeld. Mereka menyampaikan maksudnya. Diterangkan dan diyakinkan betapa penting dan perlunya Sangaji pergi ke Jawa Tengah untuk membereskan persoalan keluarga. Sehabis menyelesaikan soal itu, barulah dia menikah dengan Sonny.
Mayor Willem Erbefeld bersedia membicarakan soal itu. Keluarga Mayor De Hoop tidak berkeberatan. Apabila lamanya kepergiannya Sangaji dari Jakarta ditaksir hanya satu tahun.
“Pergilah!” kata Mayor De Hoop kepada Sangaji. “Bawalah sekalian kepala pembunuh ayahmu! Untuk melaksanakan pekerjaan itu, berapa orang kaubutuhkan sebagai pengiring dan pengawal?”
“Aku hanya pergi dengan kedua guruku. Tak usah membawa-bawa teman berjalan yang lain,” jawab Sangaji.
Mayor De Hoop menyetujui dan ia menyediakan perbekalan cukup. Sangaji diberi se-kantung uang berisi seribu ringgit, suatu jumlah yang jarang dimiliki seorang pedagang kaya.
Pada hari ketiga, Sangaji berpamit dari kakak-angkatnya Mayor Willem Erbefeld. Kakak-angkatnya selain menyertakan kuda si Willem memberinya pula bekal sekantung uang dan sepasang pakaian tebal dan mahal. Kemudian mengantarkan dia berpamitan ke ibunya yang segera memeluk dengan tangis tersekat-sekat.
Kira-kira pukul sembilan pagi, Sangaji berangkat dengan kedua gurunya. Mereka menunggang kuda. Ternyata Mayor Willem Erbefeld membelikan dua ekor kuda bagi kedua guru Sangaji. Selain itu menyediakan pula bekal perjalanan.
Belum lagi mereka berada lima kilometer dari batas kota, tiba-tiba terlihatlah dua ekor lutung berkalung emas. Itulah kedua ekor lutung kepunyaan Sonny hadiah dari Ki Tun-jungbiru. Dan tak lama kemudian muncullah si gadis, dengan menunggang kuda.
Sonny datang menghadang bakal suaminya, tetapi ia tiba-tiba tak pandai berbicara seperti biasanya. Wajahnya memerah dadu.
“Adik yang baik,” kata Mayor Willem Erbefeld kepada Sangaji. “Berbicaralah dengan bakal isterimu. Aku takkan mendengarkan barang sepatah katapun.” Terang maksud Mayor Erbefeld hendak bergurau.
Tapi begitu Sangaji mendengar kata-kata bakal isterinya, darahnya tersirap dan hatinya menjadi ciut.
Sonny mendengar gurau Mayor Willem Erbefeld, tetapi masih saja dia belum dapat berbicara. Seorang perempuan memang makhluk perasa. Dulu dia begitu bebas, karena belum ada suatu ikatan rasa tertentu. Tetapi begitu sudah terjalin suatu rasa yang lain daripada yang dulu, lekas saja menjadi canggung dan merasa diri menjadi manusia lain.
Mayor Willem Erbefeld benar-benar bersikap tak mau mendengarkan pembicaraan mereka, la berjalan terus menjajari kedua guru Sangaji.
Karena sikapnya, Sonny agak bisa bernapas. Timbullah keberaniannya.
“Sangaji... kau harus cepat-cepat pulang ...”
Sangaji tertegun. Jantungnya berdegupan menyesakkan rongga dadanya. Karena itu ia hanya mengangguk.
“Kau tak mau berbicara?” tanya si gadis memaksa.
Terpaksa Sangaji membuka mulut. Ujarnya sesak, “Apakah kamu mempunyai kesan lagi?” Sonny menggelengkan kepala. Melihat Sonny tiada hendak berkata lagi, Sangaji datang mendekat. Ia menekam pergelangan tangan Sonny, kemudian mengeprak kudanya yang segera lari menyusul kedua gurunya. Sonny jadi terlongoh-longoh. Tadinya ia mengira akan mendapat ciuman hangat seperti adat Barat, tak tahunya Sangaji begitu dingin tidak memberi kesan apa-apa. Sikapnya biasa saja seperti teman. Sama sekali tidak ada perubahan. Ia mendongkol, kecewa dan bingung. Saking tak tahunya apa yang harus dilakukan, ia mencari jalan pelepasan gejolak hatinya dengan menghajar kudanya kalang kabut. Keruan saja, kudanya yang kena hajar tanpa mengerti perkaranya, kaget bercampur kesakitan sampai lari berjingkrakan.
Sangaji sendiri telah dapat menyusul gurunya. Mereka meneruskan perjalanan mengarah ke Timur. Sampai di dekat Krawang, Mayor Willem Erbefeld mengucapkan selamat berpisah dan balik ke Jakarta.
Sebentar saja perjalanan mereka telah mencapai padang belantara yang penuh semak-belukar. Wirapati dan Jaga Saradenta nampak bergembira. Maklumlah, setelah merantau se-lama dua belas tahun, mereka kini bakal kembali ke kampung halamannya. Masing-masing mempunyai kenang-kenangan dan kerinduannya, jabatan dan isterinya. Suaranya berkobar-kobar. Sedangkan Wirapati terkenang kepada guru dan saudara-seperguruannya. Setelah itu, mereka membicarakan riwayat perjalanan dan perasaannya masing-masing, tatkala harus berangkat mencari Rukmini dan Sangaji. Alangkah pahit!
Sangaji mempunyai perhatian lain. Sambil mendengarkan pembicaraan gurunya, dilepaskan penglihatannya seluas-luas mungkin dan sekali-kali minta keterangan tentang semua yang menarik perhatiannya.
Kadang-kadang ia menjepit perut si Willem, sehingga kuda itu kabur mendahului kedua gurunya. Kemudian berhenti di jauh sana sambil memperhatikan kesan alam yang telah dilalui. Alangkah tegar hatinya.
***
Bende Mataram - JILID 7. SUATU PERTEMPURAN TAK TERDUGA WIRAPATI girang bukan main. Sangaji telah cfiketemukan. Kini tinggal menunggu Jaga Saradenta pulang dari penyelidikan ke luar kota. Seminggu sekali Jaga Saradenta datang ke pondokan dan membawa berita. Adakalanya sampai satu bulan. Dia pasti girang, kata Wirapati dalam hati, nanti malam biar kuajaknya mulai bekerja. Mudah-mudahan dia datang. Sekiranya tidak, biarlah kumulai dahulu. Waktu berarti pedang. Satu hari lengah berarti terkikisnya waktu yang dijanjikan. Hm—tinggal empat tahun. Kalau Sangaji mempunyai bakat, agaknya masih ada waktu. Mendadak saja timbullah suatu pikiran lain. Eh, sekiranya Sangaji nanti malam tak datang apa yang akan kulakukan? Bukankah hati kanak-kanak seringkali berubah? Celaka—aku belum tahu rumahnya. Memikir demikian, cepat ia kembali ke lapangan. Sangaji baru saja melangkahkan kaki meninggalkan lapangan. Ia girang. Mau dia percaya, kalau selama itu Sangaji masih tertegun-tegun memikirkan kehebatannya y...
Komentar