Langsung ke konten utama

BENDE MATARAM - JILID 8. SONNY SI GADIS INDO

BENDE MATARAM - JILID 8. SONNY SI GADIS INDO DENGAN berdiam diri pula Jaga Saradenta membimbing tangan Sangaji di samping Wirapati. Kesan pertempuran tadi masih saja meriuh dalam otaknya. Hatinya bisa menduga apa yang bakal dilakukan Pringgasakti ketika melihat adiknya mampus begitu terhina di tengah lapangan. “Iblis itu benar-benar kebal dari semua senjata tajam. Tapi kekebalannya tak kuasa mempertahankan diri dari letupan pistol. Jika begitu, boleh juga kita belajar menembak,” katanya perlahan. Wirapati adalah murid keempat Kyai Kasan Kesambi yang diajar membenci senjata bidikan. Begitu mendengar ujar Jaga Saradenta lantas saja menyahut. “Bukan karena mesiu pistol dia mampus, tetapi karena kebetulan tepat mengenai lubang kelemahannya.” “Bagaimana kautahu?” “Pertama-tama kulihat dia selalu melindungi kepalanya rapat-rapat dari gempuran cempulingmu. Seandainya dia benar-benar kebal, apa perlu berlaku begitu? Kedua, tembakan pistol Sangaji tepat mengenai pusatnya. Memang se-mendjak kau memasuki gelanggang sudah terpikir olehku tentang tempat-tempat kelemahannya. Cuma saja aku belum berhasil menemukan.” Jaga Saradenta tercengang. “Eh, Wirapati! Dalam soal kecerdasan otakmu jauh lebih encer daripadaku. Coba terangkan kenapa kamu mendapat kesan begitu.” Katanya dengan suara meninggi. “Karena aku tak percaya manusia bisa sekebal itu. Dalam cerita-cerita kuno tak pernah dikisahkan tentang riwayat kekebalan seseorang yang bebas dari semua senjata. Dia mempunyai keistimewaan hebat. Menghisap darah untuk meyakinkan ilmunya. Justru cerita itu mendadak saja berkelebatlah suatu bayangan di dalam benakku.” “Apa itu?” Jaga Saradenta tertarik. “Apa kau dapat ilham dari pekerti gurumu ketika tiba-tiba mendatangkan gadis-gadis untuk mengacaukan perhatian si iblis?” “Itupun termasuk bahan keyakinanku,” jawab Wirapati. “Tetapi aku teringat pada kisah Guntur Wiyono.” “Apa itu Guntur Wiyono?” “Bagian kisah dari Arjuna-Wiwaha. Guntur Wiyono dimaksudkan adu kesaktian. Yakni perang tanding antara Arjuna dengan raja raksasa Niwatakawaca. Seperti kau ketahui Niwatakawa-ca adalah raja raksasa yang mendapatkan kesaktian dari Hyang Rudra. Meskipun demikian ada kelemahannya. Tempat kelemahannya ada pada ujung lidahnya. Kelemahan ini tak dapat diketahui para dewa. Bahkan Hyang Manikmaya sendiripun tak kuasa menandingi. Hanya Arjuna bernasib baik. Dengan pertolongan bidadari Su-praba diketahuilah tentang kelemahannya. Maka dalam pertempuran itu sengaja ia menjatuhkan diri berpura-pura gugur. Raksasa Niwatakawaca tertawa terbahak-bahak karena merasa menang perang. Justru karena kelalaian yang sedikit itu terbidiklah panah Arjuna tepat mengenai ujung lidahnya.” Mendengar keterangan Wirapati yang menarik hati itu Jaga Saradenta kegirangan sampai ber-jingkrak. Hatinya bangga mempunyai seorang kawan yang begitu mengenal sastra. Tak terasa ia berkata, “Bagus! Bagus! Jadi karena kisah kuno itu kamu mendapat ilham? Ah! Kecerdasanmu tak berada di bawah gurumu! Pantas kamu tadi terjungkal kena serangan Pringga Aguna. Kamu pura-pura mampus ya seperti Arjuna?” “Ih!” Wirapati tertawa geli. “Aku bukan Arjuna.” “Lantas?” “Aku benar-benar terjungkal karena perhatianku terpusat pada Sangaji.” Jaga Saradenta diam menebak-nebak. Berkata pelahan, “Bagaimanapun juga, kamu hebat! Seandainya aku mempunyai pikiran demikian pastilah aku bisa berkelahi lebih mantap. Dasar otakku tumpul!” Wirapati tertawa nyaring. “Kau jangan terburu-buru memujiku! Selama pertempuran tadi belum kutemukan tempat ke-lemahannya. Barangkali kalau Sangaji tidak kebetulan menembak tempat kelemahannya, belum tentu dalam sepuluh hari aku berhasil mengetahuinya.” Selama mereka berbicara, Sangaji tetap membisu. Hatinya sedang menduga-duga tentang peristiwa perkelahian tadi. Ia mendapat kesan tentang hebatnya pertempuran, tetapi latar belakang terjadinya pertempuran masih samar-samar baginya. Untuk minta penjelasan, rasanya kurang sopan. “Sangaji!” kata Jaga Saradenta tiba-tiba. “Berbahagialah kamu, karena mendapat guru sepandai Wirapati. Aku sudah begini tua. Tetapi dengan kejadian tadi, aku yakin kamu seorang anak yang mempunyai rejeki besar. Kautahu, musuh gurumu sudah malang-melintang selama 50 tahun lebih tanpa lawan. Akhirnya dengan tak sengaja, kamu berhasil menumbangkannya. Cuma saja aku berpesan kepadamu, janganlah kejadian malam ini kauceritakan kepada siapa pun juga. Kamu mau berjanji?” Sangaji mengangguk. Jaga Saradenta kemudian menerangkan tentang terjadinya pertempuran dan mengapa dia dilarang bercerita kepada siapa pun juga. Sebab Pringga Aguna masih mempunyai seorang kakak bernama Pringgasakti yang lebih berbahaya. Setelah itu ia mengalihkan pembicaraan tentang terjadinya pertemuan antara Sangaji dan Wirapati. “Munculnya si iblis sampai merenggutkan kewajibanku yang pertama,” katanya menyesali diri sendiri. “Seumpama aku tadi mampus dalam tangan iblis sia-sialah perjalananmu ke daerah Barat.” Wirapati segera menceritakan tentang pertemuannya dengan Sangaji. Setelah itu ia berkata, “Besok, keempat musuhmu yang memukulmu datang ke lapangan. Kamu akan dihajarnya kembali. Melawan mereka bukan pekerjaan berat. Malam ini kuajarkan kau tiga jurus. Tetapi kamu kularang mendekati lapangan selama setengah bulan, sampai peristiwa pembunuhan Pringga Aguna mereda.” Sangaji mengerti maksud gurunya. Ia mengangguk kembali dan berjanji akan taat pada pesan itu. Kemudian ia dibawa ke pantai untuk menerima tiga jurus ilmu berkelahi. “Sekarang, ayo berlatih!” perintah Wirapati. Tiba-tiba saja ia mengkait kaki Sangaji dan ditarik cepat. Tak ampun lagi, Sangaji jatuh tengkurap. “Ah!” bentak Jaga Saradenta. “Bakatmu terlalu miskin!” Nada suara Jaga Saradenta terdengar sangat kecewa. Ia memang berwatak terburu nafsu dan mudah dikecewakan oleh suatu kenyataan yang tak cocok dengan otaknya. “Delapan tahun kami mencarimu. Masa kami kausuguhi suatu permainan lemah macam pe-rempuan? Berdiri dan berlatihlah sungguh-sungguh!” Sangaji sebaliknya seorang anak yang mudah tersinggung. Dulu dia pernah membandel terhadap hajaran Mayor de Groote semata-mata karena harga dirinya tersinggung. Sekarang ia didamprat demikian rupa. Karuan saja bangkitlah rasa harga dirinya. Dengan pandang murka ia berkata nyaring kepada Wirapati. “Mengapa sebelum aku siaga Guru mengkait kakiku?” “Ini namanya adu kecekatan dan kepandaian,” sahut Wirapati. “Hati dan otakmu harus bersatu sehingga dapat kauajak menduga-duga sebelum musuh bergerak.” Sangaji diam berpikir. Ternyata otaknya cerdas juga. Segera ia sadar dan mengerti. “Baik—sekarang Guru boleh mencoba mengkait lagi.” Tetapi Wirapati tidak mengkait kaki. Sebaliknya ia menyerang dengan tinju kanan. Sangaji mengelak ke kiri, tetapi tangan kiri Wirapati justru memapaki dan menempel tepat di hidungnya. Dan sebelum sadar apa yang harus dilakukan, tinju kiri Wirapati telah ditarik kembali. Sangaji tercengang-cengang, tetapi hatinya mendadak jadi girang. Tadi sore dia hanya menjadi penonton belaka. Kini menjadi muridnya. Kalau pukulan-pukulan itu diajarkan kepadanya bukankah dia akan menjadi pandai? Kemudian ia berseru, “Guru! Mengerti aku sekarang. Ternyata pukulan-pukulan tinju dan serangan-serangan kaki tak serupa dan dapat diatur bagus.” Tanpa meladeni seman muridnya Wirapati berjongkok. Tiba-tiba melompat menumbukkan kepala ke pinggang Sangaji. Karena tumbukan itu Sangaji jatuh terguling ke tanah. Tapi sebelum tubuhnya terbanting di atas tanah, tangan Jaga Saradenta telah menyambarnya dan diberdirikan. “Nah pelajari dulu tiga jurus itu,” kata Wirapati. “Kalau kau sungguh-sungguh berlatih, orang dewasapun tak gampang mengalahkanmu.” Sangaji girang bukan main. Segera ia sibuk dengan latihan-latihan. Jaga Saradenta membawa Wirapati agak menjauhi. “Anak ini miskin bakatnya. Celaka, waktu kita tinggal sedikit.” Katanya agak berbisik. “Bukan miskin bakatnya, tetapi karena sama sekali belum mengenal ilmu berkelahi,” Wirapati mempertahankan. “Aku menaruh harapan padanya, selama kita bersabar memberi pengertian lebih dahulu.” “Memberi pengertian?” “Kita pompakan semangat pembalasan dendam. Kedua, kita beri dongeng-dongeng orang-orang gagah dan contoh-contoh. Ketiga, kita tilik terus-menerus dan kita ajak berlatih sungguh-sungguh. Kukira dalam tiga empat tahun bisa kita lihat hasilnya.” “Menurutmu, pembunuh ayahnya sekarang ada di Jakarta. Mengapa tak kauperlihatkan sekalian?” Wirapati tertawa perlahan. “Mestinya begitu. Tapi kamu bikin gara-gara.” “Kok aku?” “Coba, kalau tidak ada urusan iblis Pringga Aguna, kita bisa leluasa bergerak. Sekarang, mana berani kita mendekati gedung negara. Salah-salah bisa tercium penciuman Pringgasakti yang hebat. Bukankah kita tadi saling berbentur dan bersintuh? Menilik ceritamu, pasti ilmu penciuman Pringgasakti dapat mencium keringat adiknya.” Jaga Saradenta tergugu. Kata-kata Wirapati benar. Sadarlah dia, mulai saat itu ia berada dalam pengawasan lawan. Maka sebelum tengah malam ia mengajak meninggalkan pantai. Malam itu juga ia ingin menyelidiki perkembangan peristiwa pembunuhan Pringga Aguna. Sangaji diantarkan pulang. Sekali lagi ia berpesan agar jangan menceritakan kejadian yang dilihatnya tadi kepada siapa pun juga. Kemudian ditekankan pula agar pada setiap malam datang berlatih di tepi pantai. “Sangaji!” katanya lagi. “Aku bersikap keras terhadapmu. Memang adatku keras. Kalau kau tidak sungguh-sungguh mau aku menggampar kepalamu. Tahu?” Sangaji memanggut. “Malam ini biarlah kita berpisah di sini. Kalau semuanya sudah beres, kami berdua akan menjumpai ibumu.” Sehabis berkata demikian Jaga Saradenta menarik lengan Wirapati meninggalkan tangsi. Diapun sebenarnya agak segan mengampiri tangsi. Tetapi Sangaji jadi tercengang. Kesannya kurang menyenangkan terhadap gurunya yang satu itu. Pikirnya, belum lagi dia mengajarku, galaknya seperti geledek. Hiiii...? Sangaji mengawasi kepergiannya si guru galak sampai tubuhnya lenyap ditelan tirai malam. Kemudian dengan kepala menunduk memasuki tangsi. Waktu itu sudah tengah malam. Penjaga di gardu menegor, “Begini malam baru datang. Dari mana?” “Menengok Ibu sakit,” jawabnya cepat. Tiap penghuni tangsi mengetahui, kalau ibu Sangaji hidup di luar tangsi. Maka karena jawaban itu si serdadu tidak bertanya lagi. *** JAGA SARADENTA membawa Wirapati kembali menjenguk lapangan. Sepanjang jalan Wirapati mempersoalkan keadaan muridnya. Ia nampak girang dan sayang benar padanya. Selalu dia memuji, “Otaknya cerdas dan agak licin. Coba ingat, saat dia sedang berlatih. Selain berkemauan keras, otaknya juga cerdas.” Tapi Jaga Saradenta malas meladeni. Pikirannya lagi terpusat pada mayat Pringga Aguna. Ia seperti mendapat firasat buruk. Dan benar juga. Belum lagi ia sampai di pinggir lapangan, terdengarlah derap kuda di kejauhan. Cepat ia meloncat ke pinggir jalan dan mendekam di balik pepohonan. Ia melihat sepasukan serdadu berkuda dengan membawa obor. Tak lama kemudian lapat-lapat terdengar bunyi kentung ritir.Tanda rajapati. Sebentar saja pasukan berkuda itu lewat cepat dan memasuki lapangan. Suara aba-aba mulai terdengar. Lalu berpencaran dan berputaran. “Hooo!” terdengar seru kepala pasukan. Orang itu lantas melompat turun. Serdadu-serdadu yang lain berlompatan turun pula. Mereka mengerumuni sebidang tanah dengan meninggikan nyala obor. Tahulah Jaga Saradenta, mereka menemukan mayat Pringga Aguna dan Hasan. Tetapi akhirnya Jaga Saradenta jadi keheran-heranan. Ternyata mereka hanya sibuk menggotong mayat Hasan. Setelah itu mereka pergi berderapan meninggalkan lapangan. “Wirapati! Yuk, kita periksa!” bisik Jaga Saradenta. Tanpa menunggu jawaban kawannya, lantas saja ia melesat memasuki lapangan. Benar-benar dia heran. Ternyata mayat iblis Pringga Aguna tidak ada bekasnya lagi. “Wirapati, apa pendapatmu? Jelas-jelas dia sudah mampus dan mayatnya menggeletak di sini. Kenapa sekarang hilang lenyap seperti ditelan bumi?” “Apa kamu pernah mendengar kabar, kalau dia bisa hidup kembali sesudah terang-terangan mampus?” sahut Wirapati dingin. 'Tidak! Mustahil dia bisa hidup kembali. Dulu dia pernah dilukai gurumu. Menurut ukuran manusia dia bisa rontok tulang rusuknya. Ternyata dia hidup segar kembali, tetapi karena pertolongan guruku. Lagipula, waktu itu aku melihat dia bisa lari cepat. Lain halnya dengan malam ini. Napasnya sudah habis ludes. Masa dia bisa menyembunyikan napas?” “Jika begitu mungkin dia tadi belum mampus. Mungkin pula kakaknya telah datang menyingkirkan mayatnya.” “Kenapa kamu bisa berpikir begitu?” “Iblis itu pasti mempunyai harga diri terlalu tinggi. Kalau orang sampai mendengar di antara mereka berdua ada yang mampus karena pertarungan, di manakah yang lain bisa menyembunyikan namanya? Pringgasakti pasti berusaha menyembunyikan mayat Pringga Aguna agar tak ketahuan orang. Setelah itu dia bersiap-siap menuntut dendam. Kebetulan sekali ia melihat mayat Hasan. Ia lapor kepada kompeni agar mereka datang menyelidiki. Dengan begitu ia bisa menggunakan tenaga kompeni dalam menyelidiki dan mencari jejak si pembunuh mayat si Hasan. la tinggal membuntuti dari belakang. Tahu-tahu menerkam kita.” Ih! Sungguh bahaya, hati Jaga Saradenta menjadi ciut. Sebaliknya Wirapati malahan tertawa geli menyaksikan perangainya. “Mengapa tertawa?” Jaga Saradenta bersakit hati. “Menurut katamu selama empat puluh tahun kau sibuk mencari si iblis. Sekarang dia bahkan akan mencarimu, mengapa mendadak jadi berubah sikap?” “Bukan aku takut pada si iblis. Tapi dia bersembunyi di belakang kekuatan kompeni. Aku mau mati bertarung melawan dia. Sebaliknya tak rela aku mati di tiang gantungan kompeni. Di alam baka sukmaku akan berkeliaran penasaran.” “Janganlah berkecil hati. Aku akan menemanimu jadi setan liar.” Wirapati tetap menggoda. “Paling penting, sekarang kita mencari keyakinan dulu, apakah si iblis Pringga Aguna benar-benar sudah mampus. Sekiranya dia hidup kembali, kesulitan kita berlipat. Kita berdua tidak ada harapan lagi buat hidup aman merdeka di kota Jakarta ini.” Satu malam suntuk mereka berdua berusaha mencari mayat Pringga Aguna. Tetapi usahanya sia-sia belaka. Makiumlah, selain malam hari mereka pun tidak punya pegangan. Meskipun demikian sampai pagi hari mereka terus berputar-putar mengelilingi lapangan Akhirnya, mereka duduk beristirahat di tepi pantai menghirup angin laut. Mereka diam. Masing-masing tenggelam dalam benaknya sendiri. Tak lama kemudian matahari benar- benar telah tersembul di langit. Seperti telah berjanji, mereka saling memandang lalu saling memberi isyarat untuk meneruskan penyelidikannya. Mereka bangkit berdiri dengan berjalan berendeng. Kembali mereka mengarah ke lapangan, mendadak Wirapati melihat percikan darah. Tak jauh dari tempat itu dilihatnya sepotong lengan menggele-tak di dekat seonggok pasir. Cepat ia memberi isyarat dan dengan hati- hati menyapukan pandangannya. “Kita jauhi tempat ini. Siapa tahu, ini hanyalah umpan!” bisik Wirapati agak gugup. Mereka lalu meninggalkan tempat itu dengan jalan memutar. Di dekat sebatang pohon dikete-mukan pula sepotong kaki utuh dengan pipa celana. Jelas—itulah potongan celana Pringga Aguna. Meskipun demikian mereka masih ragu juga. Mereka berjalan lagi. Kini membelok ke kiri mengarah petak-petak hutan. Di dekat gerumbulan mereka menemukan sepotong lambung. Sekarang mereka yakin benar, kalau semua yang ditemukan adalah potongan-potongan tubuh Pringga Aguna. Wirapati segera menarik lengan Jaga Saradenta untuk meninggalkan tempat itu secepat mungkin. Mereka tak berani menggunakan ilmu berlari cepat, agar tidak menarik perhatian seseorang. “Nah, apa pendapatmu?” Jaga Saradenta minta pertimbangan. “Siapa yang memotong mayat Pringga Aguna? Binatang buas atau teman-teman dari Jawa Barat tadi?” “Keduanya pasti tidak,” jawab Wirapati cepat. “Apa perbuatan kakaknya?” “Siapa lagi?” “Mengapa berbuat begitu?” “Untuk menghilangkan jejak sambil menjebak si pembunuh adiknya.” “Apa menurut pendapatmu kita tadi sudah masuk perangkap?”- “Kita lihat nanti.” Jaga Saradenta menyelidiki kesan muka Wirapati. Sepertinya Wirapati berbicara sungguh-sungguh. Karena kesan itu ia mulai berpikir keras. Seandainya kita telah diketahui, mengapa tak langsung menghadang? Wirapati mencoba menyangkal. “Gntuk membalaskan dendam adiknya, bukan pekerjaan sulit baginya. Kukira dia masih menunggu bukti-bukti yang lebih yakin lagi. Jika tidak begitu, dia akan tetap berada di sekitar kita dan berusaha membunuh kita perlahan-lahan. Atau dia akan membuat jebakan-jebakan baru, sehingga kita nanti mati sendiri karena ketakutan. Inilah cara mampus menanggung sengsara.” Jaga Saradenta mendongkol berbareng geli mendengar ujar Wirapati. Tetapi tak berani menyangkal pendapat Wirapati. Diam-diam dia berpikir, iblis itu memang mempunyai cara dan akal sendiri untuk balas dendam. Baiklah mulai sekarang aku bersikap waspada dan hati-hati. “Wirapati,” katanya, “sebenarnya kita harus gembira dan bersyukur pada Tuhan, karena akhirnya usaha kita mencari si bocah tidak sia-sia. Tetapi mendadak persoalan baru itu muncul tanpa kukehendaki sendiri. Apa kamu menyesali aku?” “Musuhmu adalah musuhku,” sahut Wirapati membesarkan hatinya. “Perkara si bocah jatuh nomor dua. Seandainya nasib kita buruk, biarlah kita berdua mati di rantau. Tapi Tuhan menjadi saksi, kalau kita berdua telah menemukan si bocah. Marilah kita berlomba menjejali si bocah dengan ajaran-ajaran yang berdaya guna. Seandainya kita mati di tengah jalan, setidak-tidaknya si bocah pernah menjadi murid kita berdua.” “Wirapati! Tak kukira kamu berhati jantan se-' perti gurumu. Aku si orang tua takkan pernah menyesali lagi hidup di kolong langit ini,” ujar Jaga Saradenta terharu. *** Semenjak itu WIRAPATI dan JAGA SARADENTA tekun mewariskan ilmu-ilmunya kepada Sangaji. Tempat berlatihnya di tepi pantai atau di tengah hutan yang sunyi dari manusia. Mereka berusaha menjauhi lapangan tempat berlatih menembak para serdadu. Dengan demikian, tanpa disengaja Sangaji menghindari ancaman kaki-tangan Mayor de Groote yang berjanji mau menghajarnya sampai cacat. Tetapi pada suatu hari Willem Erbefeld pulang ke rumah. Segera ia mendesak agar Sangaji berlatih memahirkan menembak pistol. Dia merencanakan mau menurunkan ilmunya menembak mahir dengan senapan. Terpaksalah Sangaji minta izin kedua gurunya untuk membagi waktu. Pada pagi hari dia bersekolah berbahasa Belanda. Sore hari berlatih menembak dengan pistol. Dan pada malam hari menghadang kedua gurunya di tepi pantai atau tempat-tempat pertemuan yang telah ditentukan. Rukmini telah mengetahui tentang adanya Wirapati dan Jaga Saradenta. Pernah dia bertemu, berbicara dan berunding. Untuk mata-pen-caharian hidup, Rukmini sanggup memikulnya dengan berjualan. Jaga Saradenta masih mempunyai sisa bekal hidup. Meskipun tidak berjumlah banyak, cukuplah buat modal pengukir waktu. Syahdan,—pada suatu sore tatkala Sangaji sedang sibuk berlatih menembak pistol, datanglah seorang gadis tanggung. Dialah si Sonny, gadis Indo yang pernah dikenal Wirapati sewaktu rombongan utusan dari Yogyakarta datang ke Jakarta. “Hai!” tegurnya. “Sejak kapan kau berlatih menembak?” Sangaji tak berprasangka buruk padanya. Memang pada saat tertentu banyak kanak-kanak tanggung datang menonton dan mengagumi. Hanya saja ia heran mendapat kesan pandangan si gadis. Sonny ternyata seorang gadis tanggung yang sedang mekar. Gerak-geriknya setengah kekanak-kanakan, setengah pula menggairahkan, la lincah dan berhati polos seperti adat seorang keturunan orang barat. Belum lagi Sangaji menjawab tegurnya, ia lantas menghampiri. “Ini pistolmu?” tanyanya lagi. Sangaji menggelengkan kepala. “Kau mencuri?” “Mencuri?” Sangaji merasa tersinggung. “Ini pistol kakakku.” “Siapa?” “Willem Erbefeld.” “Cis! Keluarga pemberontak bukan?” Merah padam Sangaji mendengar cela si gadis. Segera ia mau membentak, tetapi dilihatnya si gadis tetap berwajah dingin. “Keluarga pemberontak tak boleh menyimpan pistol,” katanya lagi. Habis kesabarannya Sangaji yang mudah tersinggung. Lantas saja mendamprat. “Kau siapa sih, berani ngomong seenaknya?” “Memangnya siapa aku?” sahut Sonny cepat. Muka Sangaji merah padam. Mendadak dilihatnya empat orang pemuda tanggung berdiri tak jauh daripadanya. Keempat pemuda tanggung itu bertolak pinggang dan melihat tajam padanya. Siapa lagi kalau bukannya Jan de Groote, Karel Speelman, Tako Weidema dan Pieter De Jong. Sudah hampir dua bulan lama-nya mereka berempat mencari-cari kesempatan mau menghadiahkan bogem mentah padanya. Tapi Sangaji tak pernah muncul di tengah lapangan. Pada suatu hari mereka mendapat kabar dari Mayor De Groote kalau Sangaji mulai berlatih menembak pistol lagi semenjak Kapten Willem Erbefeld pulang dari dinas luar daerah. Mereka lantas mencari dalih pertengkaran. Sore itu mereka mengirimkan si Sonny agar datang menggodanya. Begitu melihat muka Sangaji merah padam, lantas saja mereka berempat menghampiri. Jan De Groote kemudian mendamprat. “Anjing Jawa, kau berani kurang ajar pada seorang noniek?” “Emangnya kau anggap apa noniek ini?” sambung Karel Speelman. “Rupanya dia habis bertengkar sama seorang gadis. Anjing Jawa hanya berani berlawanan dengan seorang gadis. Cuh!” sambung Tako Weide-ma. “Babi ini, perlu kita hajar!” bentak Pieter De Jong. Sangaji meskipun berotak cerdas tak pandai berbicara tajam. Dihujani dampratan begitu rupa, mukanya merah padam. Seluruh tubuhnya bergemetaran karena menahan marah. Lagipula hatinya masih dendam pada mereka. Sekarang ia berprasangka jelek pada si Sonny. Kedengkiannya lantas saja meluap. Didoronglah si Sonny ke pinggir sambil membentak, “Kau ular hijau, enyahlah!” Sonny jadi terkejut. Memang ia tahu, dirinya dikirim ke lapangan untuk membangkitkan amarah Sangaji. Tetapi tak pernah dia menyangka akan diperlakukan demikian. Dasar dia masih kanak-kanak. Lantas saja dia menggerutu emoh dipersalahkan. Mendamprat. “Kenapa kau mendorongku? Apa aku memukulmu?” Sangaji tergugu. Diam-diam ia merasa bersalah karena terburu nafsu. Ia mau minta maaf, mendadak keempat pemuda tanggung itu bersama-sama maju menyerang. Sangaji sekarang, bukan lagi Sangaji dua bulan yang lalu. Ia bersikap tenang, tajam dan tahu menjaga diri. Keruan saja keempat pemuda Belanda itu menumbuk batu. Begitu mereka maju dengan cepat Sangaji menggunakan jurus ajaran Wirapati. Ia mengelak, sambil kakinya mengkait. Tinjunya dilontarkan mengarah dada. Kemudian membalik menyiku sambil mengirimkan tendangan berantai ajaran Jaga Sa-radenta. Seketika itu juga, keempat pemuda Belanda jatuh terjengkang dan saling bertubrukan. Sangaji sendiri kurang latihan. Meskipun bisa menjatuhkan lawan, ia masih belum dapat mem-pertahankan dorongan tenaga lawan, la berkisar dari tempatnya dan jatuh terguling. Tetapi ia dapat berdiri tegak dengan gesit. Jan De Groote heran bukan main. Sama sekali tak diduganya kalau serangan mereka berempat bisa korat-karit. “Hai anjing jawa! Kau bisa berkelahi sekarang?” “Aku bernama Sangaji. Bukan anjing Jawa atau anjing Belanda,” sahut Sangaji gemetaran. “Aku senang memanggilmu anjing Jawa,” damprat Jan De Groote. Matanya mengerling kepada si Sonny hendak mencari pujian. Memang ia menaruh hati pada si gadis cilik. Sonny sengaja disuruh melihat perkelahian itu. Dia yakin bakal menang. Bukankah akan naik harga dirinya di mata si gadis? Karel Speelman dan Pieter De Jong berwatak brangasan. Tanpa berbicara lagi mereka berdua lantas menyerang. Sangaji menggunakan ilmu ajaran Saradenta yang berpokok kepada kedahsyatan dan keuletan tenaga. Serangan Karel Speelman dan Pieter De Jong ia sambut keras lawan keras. Kesudahannya hebat, la tergetar mundur tiga langkah. Tetapi Karel Speelman dan Pieter De Jong jatuh terpental dan terguling ke tanah. Menyaksikan itu, Jan De Groote bertambah heran. Diam-diam ia menduga-duga, hai anak ini dari mana mendapat tenaga dahsyat. Biar kucobanya. Ia kemudian melompat maju dan menyambar rahang Sangaji. Dengan mudah Sangaji mengelak. Tetapi mendadak saja Tako Weidema merangsak dari kiri. Terpaksa dia mundur. Segera juga ia ingat ajaran Wirapati; 'dalam suatu pertempuran jangan biarkan dirimu dipengaruhi gerakan-gerakan musuh. Sebaliknya kamu harus mempengaruhi dan kemudian perlahan-lahan kau menguasai'. Teringat akan ajaran Wirapati, ia cepat-cepat merubah cara berkelahi. Tadi dia membiarkan dirinya diserang lawan dan dia hanya menangkis belaka. Sekarang baiklah aku menyerang! pikirnya. la lantas mengendapkan kepala seperti hendak menyerahkan gundulnya untuk dihantam. Mendadak kedua tinjunya dilontarkan cepat ke pinggang lawan sambil menyerbu masuk. Jan De Groote kaget. Buru-buru ia mengelak, sedang Tako Weidema cepat-cepat menangkis. Tetapi justru karena berubahnya tata berkelahi ini, mereka jadi keripuan. Sangaji lantas saja dapat mempraktekkan ajaran-ajaran ilmu Wirapati dan Jaga Saradenta dengan berbareng. Dengan gesit dan penuh tenaga ia menyerang. Sebentar dia menghampiri Karel Speelman, mendadak pula menyambar Tako Weidema. Sebentar pula menghantam Jan De Groote dan tiba-tiba memukul Piter De Jong. Keruan saja mereka terkejut dan cara bertempurnya jadi kacau. Di tepi lapangan kini banyak orang-orang yang datang melihat. Mereka bersikap diam. Penduduk kota sudah barang tentu memihak kepada Sangaji karena rasa kebangsaannya. Tetapi serdadu-serdadu Belanda yang sedang berlatih menembak, memihak sebaliknya. Mereka heran juga menyaksikan kegesitan si anak Bumiputera. Makin lama makin seru perkelahian itu. Masing-masing tak sudi memberi hati. Mereka mengerahkan tenaga dan segenap perhatiannya, Sangaji nampak bahkan makin tenang dan mantap. Semua ajaran-ajaran gurunya meskipun masih sederhana, berkelebatan tiada henti di ruang benaknya. Kini, ia telah dapat mengenai tubuh lawan dengan benturan-benturan dahsyat. Ia meloncat gesit berpindah tempat. Lambat-laun dapat meresapi ilmu kegesitan Wirapati. Tetapi keempat pemuda Belanda itu, bagaimana mau mengaku kalah? Pertama, mereka merasa berumur lebih dewasa. Kedua, ditonton seorang gadis mungil yang menggairahkan. Meskipun cara berkelahi mereka tak teratur, namun cukup bernafsu dan sungguh-sungguh. Melihat kenyataan itu Sangaji kini bersikap hati-hati. Ia berlaku sabar, tetapi bukan kendor. Kecepatan tetap dipertahankan, begitu juga kekerasannya. Hanya hatinya tak mau dipengaruhi nafsu dan rasa amarah yang menyala-nyala. Sedikit demi sedikit ia mendesak tenis dan mempengaruhi gerakan-gerakan lawan. Jurus- jurus yang dimainkan tak lebih dari tiga puluh jurus. Tetapi selalu diulang dan diulang dan dicampur baur serta disesuaikan. Untung, lawannya bukan termasuk barisan pendekar. Seumpama begitu, sudah lama dia bisa dikalahkan. Jan De Groote yang memimpin ketiga kawannya mulai heran dan berkecil hati. Semua serangannya dilakukan dengan sungguh-sungguh, tapi selalu meleset luput. Mulailah dia menduga-duga, kalau kali ini ia dan kawan-kawannya akan menumbuk batu. Karena ragu gerakannya mulai ayal. Sangaji bermata tajam. Begitu melihat gerakan Jan De Groote jadi lemah, segera ia melontarkan pukulan telak. Gugup Jan De Groote mencoba menangkap gempuran itu. Ia kaget, tatkala kena dorongan tenaga dahsyat. Cepat-cepat ia melepaskan. Tapi justru itu, gempuran Sangaji meluncur tak tertahankan lagi. Dadanya kena benturan dan seketika itu juga ia berbatuk-batuk sesak. Rasanya seperti nyaris meledak. Kawan-kawannya terkejut. Mereka lalu me-rangsak maju untuk melindungi. Sangaji sebaliknya sudah mendapat kepercayaan. Ia mulai menyerang lagi dan mempengaruhi mereka dengan gerakan-gerakan gesit. Benar saja Karel Speelman, Tako Weidema dan Pieter De Jong jadi keripuhan. Mereka menangkis dan menyerang tanpa pegangan. Gerakannya kacau dan membabi buta. Sangaji kegirangan. Diam-diam ia mengubah cara berkelahinya. Kini hendak mempraktekkan ajaran Jaga Saradenta. Ia menangkap lengan lawan danmemijit urat nadi. Kemudian ia menyiku lawan yang lain. Setelah itu tangan kanannya menyambar tenggorokan lawan yang merang-sak dari sebelah kanan. Fatal akibatnya. Mereka mengerang kesakitan. Kemudian dengan meram, mereka menyerang kalang kabut. Tak peduli Sangaji lebih unggul dalam tata berkelahi, tetapi demikian tak urung pundaknya kena terhajar. Sangaji kaget. Pundaknya terasa sakit. Terpaksa ia menggulingkan diri sambil berpikir, kalau begini terus-menerus mana bisa aku mengalahkan mereka. Lebih baik kutangkap salah seorang dari mereka. Lalu ia mengarah kepada Jan De Groote yang masih berbatuk-batuk. Cepat ia menyerang dan menangkap lengannya. Grat nadinya segera dipi-jitnya. Sedang tangan kanannya mencekek leher. “Kalau kalian tidak mengaku kalah, akan kucekek temanmu ini,” ancamnya. Besar juga pengaruh ancaman Sangaji. Karel Speelman, Tako Weidema dan Pieter De Jong sesungguhnya hanya menjadi pembantu Jan De Groote. Melihat Jan De Groote bisa ditangkap Sangaji, hatinya jadi kecut. CIntung, waktu itu di pinggir jalan nampaklah seorang laki-laki tegap duduk di atas pelana kuda. Dialah Willem Erbefeld. Dia sudah berada di situ beberapa waktu menyaksikan perkelahian mereka. Ia heran, menyaksikan Sangaji sanggup melawan empat orang lawan yang jauh lebih besar daripadanya. Diam-diam ia berpikir, anak ini pandai berkelahi. Darimanakah dia memperoleh kepandaian itu? Tatkala melihat Sangaji hendak mencekek lawan, segera ia menghampiri dan membentak pemuda-pemuda Belanda. “Hai! Mengapa kalian mengkerubut seorang bocah?” Karel Speelman, Tako Weidema dan Pieter De Jong tak kepalang kagetnya melihat datangnya Willem Erbefeld. Sangajipun tak terkecuali. Tetapi ia bergirang hati. Segera ia melepaskan Jan De Groote dan berkata mengadu. “Mereka datang dan lantas saja menyerang. Dua bulan yang lalu aku dikerubut mereka berempat. Aku diseret dan dilemparkan ke parit.” “Apa perkaranya?” “Mereka pasti diperintah Major De Groote. Dulu Major De Groote merampas pistol ini.” Willem Erbefeld lantas saja dapat mengerti persoalannya. Cekatan ia melompat dari punggung kuda. Tanpa berkata sepatah katapun ia menghampiri keempat pemuda Belanda dan dihajarnya kalang kabut. “Nah, bilanglah pada De Groote! Kapan saja dia boleh datang,” bentaknya. Kena hajaran Willem Erbefeld, keempat pemuda Belanda itu jatuh terjengkang-jengkang. Mukanya babak-belur dan segera lari meninggalkan lapangan dengan peringisan. “Adik yang baik. Kau dimusuhi orang karena aku. Mulai sekarang janganlah kamu berlatih seorang diri, bila aku tidak ada di rumah.” Kata Willem Erbefeld penuh perasaan. Mendadak ia melihat si Sonny yang berdiri tertegun tak jauh daripadanya. Ia heran. “Eh ... bukankah kamu anak Kapten De Hoop?” tanyanya. Sonny mengangguk. “Mengapa kamu ada di sini pula?” Sonny jadi kebingungan. Tak tahu dia harus menjawab bagaimana. Matanya mengarah kepada Sangaji hendak menyelidiki kesan si bocah. Sangaji ternyata cukup lapang dada. Melihat Sonny kebingungan timbul rasa ibanya. Lantas saja dia menyahut, “Dia melihat aku berlatih.” “Oho...” Willem Erbefeld tertawa. “Pantas kamu bersemangat. Apa kalian sudah lama berkenalan?” Sangaji tergugu mendapat pertanyaan demikian. Sebaliknya Sonny mendapat kesan bagus karena pembelaannya. Dasar dia seorang peranakan Belanda. Hatinya polos dan gerak-geriknya bebas. Begitu melihat Sangaji tergugu, dengan cepat dapat menebak hatinya. Dengan mengeluarkan sapu tangan kecil ia menghampiri Sangaji dan mengusap keringat dan pasir yang menempel di pipi. Keruan saja muka Sangaji merah padam. Sebagai seorang berperasaan timur, tak bisa ia mendapat perlakuan begitu. Tetapi Willem Erbefeld malahan berkesan gembira. Katanya girang, “Ah! Kalian sudah berteman lama. Mengapa baru kali ini aku melihat pergaulan kalian.” Mereka berdua diajak beristirahat di bawah pohon. Willem Erbefeld merenungi keduanya. “Sangaji! Mulai minggu depan kamu harus belajar naik kuda. Kamu cukup tangkas. Kulihat kau tadi ... oya ... dari mana kamu bisa belajar berkelahi?” Tak berani Sangaji berbohong terhadap Willem Erbefeld. Sebaliknya tak berani ia melanggar pesan gurunya. Karena itu ia jadi kebingungan. Willem Erbefeld heran berbareng curiga. Katanya lagi, “Apa selama kau kutinggalkan, seringkali berkelahi sehingga mendapat pengalaman membela diri?” “Tidak! Tidak! Tapi tak berani aku mengatakan.” “Apakah kamu berguru pada ahli-ahli silat dan pencak?” “Tidak! Tidak! Tapi tak berani aku mengatakan.” Willem Erbefeld tak mendesak lagi. la cukup kenal tabiat adik angkatnya. Dulu ia berani membandel ketika di desak Mayor De Groote dengan mengucapkan kata-kata itu. Akhirnya dia berkata perlahan, “Aku tak menyalahkanmu. Seandainya benar begitu, alangkah senangku bila aku bisa berkenalan dengan guru-gurumu.” “Aku tak berguru kepada siapa pun juga,” bantah Sangaji gemetaran. Willem Erbefeld bersikap seolah-olah- tak mendengarkan. Ia kemudian mengalihkan pembicaraan tentang rencana latihan menunggang kuda dan ilmu pedang. Sangaji jadi berlega hati. Segera ia menyambung pembicaraan. Kesannya menggirangkan hati. “Hai!” kata Willem Erbefeld kepada Sonny. “Kau boleh melihat latihan itu.” “Mengapa hanya melihat?” sahut Sonny. “Sonny pun ingin belajar naik, kuda.” “Bagus! Mintalah izin ayahmu dulu. Kalian berdua boleh belajar naik kuda bersama-sama.” “Tapi Willem sangat galak,” sambung Sangaji. “Willem?” Sonny menebak-nebak. “Ya, Willem.” Sahut Willem Erbefeld tertawa berkakakan. “Willem nama kuda Sangaji. Bukan Willem namaku.” “Ah!” Sonny memekik heran. “Apakah kudanya diberi nama Willem?” “Ya. Mengapa?” “Aneh.” “Apa yang aneh?” Willem Erbefeld tercengang. “Kapten Willem mengajar Sangaji menunggangi Willem. Ha, lucu kan?” ujar Sonny. Dan mendengar ujarnya Willem Erbefeld tertawa geli juga. Sangaji tak terkecuali. Semenjak itu Sonny berteman akrab dengan Sangaji. Dia selalu menyertai Sangaji berlatih menembak atau menunggang kuda. Tetapi kuda yang ditunggangi bukannya si Willem. Willem Erbefeld berlaku hati-hati. Ia tak gegabah membiarkan Sangaji berlatih dengan kuda yang masih binal. Pada saat itu hubungan antara Sangaji dan kedua gurunya mengalami perubahan. Sangaji telah menceritakan pengalamannya berkelahi melawan empat pemuda Belanda. Ia menuturkan pula riwayat pertemuannya dengan Kapten Willem Erbefeld dan hasrat Willem Erbefeld ingin berkenalan dengan mereka. Mendengar tutur kata Sangaji, Wirapati dan Jaga Saradenta berdiam menimbang. “Rasanya apa ruginya kita berkenalan dengan dia,” kata Wirapati. “Kitapun boleh berharap mendapatkan perlindungannya, jika sewaktu-waktu mendapat kesulitan.” “rtupun baik,” sahut Jaga Saradenta. “Cuma hatiku makin gelisah saja memikirkan iblis Pringgasakti. Orang itu tak keruan rimbanya. Apakah dia ikut dalam rombongan Pangeran Bumi Gede pulang ke Yogyakarta?” “Nah, apa kataku dulu. Iblis itu mempunyai caranya sendiri menuntut dendam. Kalau tak cukup tabah, jangan-jangan kau mati karena kegelisahanmu sendiri.” Keesokan harinya mereka bertemu dengan Willem Erbefeld di lapangan latihan menembak senjata. Lantas saja mereka jadi akrab dan saling mengisahkan riwayat pertemuannya dengan Sangaji. Masing-masing pihak kagum dan akhirnya Willem Erbefeld bersedia memikul tanggung jawab mengurus kehidupan mereka berdua. Sekarang latihan yang diberikan kepada Sangaji makin lancar dan teratur. Willem Erbefeld mengajar menunggang kuda, menembak pistol dan senapan serta ilmu pedang. Sedang, Wirapati dan Jaga Saradenta mengajarkan ilmu-ilmu sakti dan tenaga. Mengingat isi perjanjian dengan Hajar Karangpandan, mereka terpaksa melarang muridnya berlatih ilmu pedang. “Kepandaianmu menggunakan senjata tajam harus khas dari kami,” kata Wirapati. “Kau tak boleh menerima ajaran lain.” “Begitu aku melihat kau menggunakan ilmu ajaran lain, lenganmu akan kutebas kutung,” ancam Jaga Saradenta. Sangaji mengerti maksud kedua gurunya. Kepada Willem Erbefeki ia meneruskan pesan kedua gurunya. Willem Erbefeld telah mendapat penjelasan tentang peraturan itu. Ia tak perlu merasa tersinggung kehormatannya. Dan dua tahun lewatlah sudah. Sangaji telah mahir menunggangi si Willem. Ia mahir pula me-nembak pistol dan senapan. Tetapi menghadapi latihan-latihan yang diberikan kedua gurunya ia merasa seperti sebintik garam kecemplung dalam lautan. Tubuhnya kini menjadi tegap dan kekar. Tampangnya ngganteng dan matanya menyala tajam. Selama itu dia bersahabat rukun dengan Sonny. Sonny seorang gadis yang manja, tetapi bersikap mengalah terhadap Sangaji. Kadang dia berani menggoda dengan kata-kata lembut dan menggiurkan. Tetapi apabila Sangaji nampak menjadi kikuk, cepat-cepat ia minta maaf dan bergurau kekanak-kanakan. Makiumlah, umurnya kini sudah delapan belas tahun. Tak lagi dia tergolong seorang gadis tanggung, tetapi benar-benar gadis penuh. Raut mukanya tajam. Matanya bersinar-sinar. Cerdik dan cantik. Banyak pemuda-pemuda gandrung padanya, tetapi ia tak mempeduli-kan. Jan De Groote, Karel Speelman, Tako Weidema dan Pieter de Jong yang dulu menaruh hati kepada Sonny kian menjadi tergila-gila. Tetapi mereka segan kepada Willem Erbefeld. Terhadap Sangaji mereka masih mengharapkan suatu kesempatan lagi untuk mengadu tinju. Pada suatu hari dengan mengendap-endap, Sonny mengintip Sangaji sedang berlatih dengan Jaga Saradenta. Jaga Saradenta nampak uring-uringan. Tak puas ia menyaksikan muridnya tak bisa menangkis serangannya. “Berkelahilah yang betul!” bentaknya. “Namaku kupertaruhkan di atas pundakmu.” Sehabis berkata begitu ia menggempur Sangaji dengan tangan kiri dan menendang berturut-turut. Sangaji terkejut. Buru-buru ia menangkis dan mau membalas menyerang. “Bagus! Seranglah aku! Jangan biarkan dirimu diserang dan hanya menangkis!” bentak Jaga Saradenta. Wirapati kemudian menyambung, “Pukullah gurumu. Anggaplah seperti benar-benar lawanmu!” Kini mengertilah Sangaji maksud gurunya, la lantas berkelahi dengan sungguh-sungguh. Tetapi ia kalah tenaga melawan Jaga Saradenta. Sebentar saja kuda-kudanya kena digempur dan ia kena tendang sampai terpental jauh. Tetapi begitu ia jatuh, cepat ia bangun dengan gerakan melompat. “Bagus!” tiba-tiba terdengar suara nyaring bercampur tertawa geli. Sangaji menoleh. Ia melihat Sonny berdiri tak jauh daripadanya. Mukanya-jadi merah. Belum lagi ia menegur, Sonny telah mendahului. “Kau kena hajar?” - “He, kenapa kamu ada di sini?” Sonny tertawa panjang. Menyahut, “Aku senang melihat kamu kena gamparan gurumu.” Sangaji jadi serba salah. Ia segan kepada gurunya yang sedang melatihnya dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya Sonny nampak polos dan tak pedulian. “Kau tak senang aku datang menjengukmu?” tanyanya dengan tertawa manis. “Baiklah aku pergi...!” “Eh jangan pergi dahulu. Tunggulah sebentar. Kau kuantarkan pulang.” Terpaksalah latihan itu tak dilanjutkan. Jaga Sarandenta dapat bersabar hati. la berjalan dengan Wirapati membicarakan latihan tadi. “Wirapati! Rasanya tak ada harapan kita menang. Gadis itu berpengaruh besar dalam hati muridmu.” Wirapati tersenyum lebar, tetapi alisnya meninggi. Kemudian berkata menggoda, “Lantas? Apa aku yang harus menggantikan tempat muridmu?” Jaga Saradenta terhenyak. “Wirapati, maaf bukan itu maksudku,” katanya sejurus kemudian. “Kita harus mencari tempat berlatih yang lebih aman. Aku tahu, masa birahi Sangaji belum berkutik dalam hatinya, tetapi ketekunannya bisa terhambat oleh hadirnya si gadis.” “Aku justru berpikir lain,” sahut Wirapati. “Gadis itu anak seorang berpangkat dalam kompeni Belanda. Perlahan-lahan aku akan mencari keterangan tentang musuhmu Pringgasakti. Selama aku belum yakin benar di mana dia berada, hatiku tak pernah merasa tenteram.” “Apa hubungannya dengan dia?” Jaga Saradenta heran. “Kau tahu mengapa dua tahun yang lalu aku menaruh perhatian kepada barisan kompeni yang sedang sibuk menyongsong tamu. Secara tak langsung aku mendapatkan penjelasan dari dia, ketika dia lagi ngobrol dengan teman-temannya. Ternyata kemudian aku melihat dia hadir juga dalam pesta di gedung negara.” “Hm,” dengus Jaga Saradenta. “Dia pun salah seorang penyambut tamu agung. Dia dicalonkan oleh teman-temannya menjadi pengantar dan teman bicara Pangeran Bumi Gede. Mestinya dia tahu juga tentang pembicaraan resmi antara Pangeran Bumi Gede dan Pemerintah Belanda.” la berhenti sebentar. Wajahnya nampak keruh dan seolah-olah merindukan sesuatu. Dengan menghela napas dia meneruskan, “Tubuhku ada di sini tapi hatiku ada di sana. Di Yogya dan di sekitar Gunung Damar.” Jaga Sarendata merenung. Tahulah dia kalau kawannya yang muda ini telah rindu pada kampung halamannya. Dia menjadi terharu. Hatinya-pun teringat pula kepada dusunnya dan kewajibannya menjadi Gelondong Segaluh. “Apa si bangsat Pringgasakti ada juga di dalam gedung pemndingan?” la mencoba mengalihkan pembicaraan. “Ya. Aku tahu benar, dia berada di sana. Dan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Sonny ada juga di dalam gedung negara,” sahut Wirapati. Diingatkan akan sepak terjang musuh besarnya, Jaga Saradenta tergentar hatinya. Lantas saja benaknya mulai menduga-duga lenyapnya iblis Pringgasakti yang tak karuan rimbanya. “Ah,” katanya menyerah. “Dalam segala hal otakmu lebih encer daripadaku. Aku si orang tua ini masih saja terburu nafsu. Baiklah, urusan si Sonny tidak akan kusinggung-singgung lagi.” Sonny saat itu berjalan berendeng dengan Sangaji. Ia berbicara banyak. Suaranya riang menyenangkan, la mengajak berjalan menyusur pantai dan dari sana membelok ke pasar ikan. “Sangaji kamu ditunggu Ayah,” katanya lincah. “Mengapa?” “Pada hari Mnggu besok kamu mau diajak pergi berburu ke hutan Tanggerang.” “Mengapa aku diajaknya??? Hari Mnggu justru aku lagi sibuk.” “Akulah yang mengusulkan.” Sangaji tercengang-cengang. Tak dapat dia menduga maksud Sonny mengajak berburu. Sebenarnya hal itu adalah suatu penghormatan besar baginya. Pada masa itu tak mudah seorang Bumiputera diajak berburu oleh bangsa Belanda, jika bukan salah seorang yang termasuk sahabat karib. Ternyata Kapten De Hoop adalah seorang perwira Belanda yang ramah dan berwibawa. Tubuhnya tinggi jangkung, tegap dan berpengaruh. Ia diiringi oleh dua orang anaknya laki-laki yang berumur kira-kira 24 tahun dan 22 tahun. Mereka bernama Judy dan Bobby. Hutan yang tumbuh di sekitar Tanggerang cukup padat. Binatang-binatang buruan tak terhitung jumlahnya. Mereka semua—kecuali Sonny —pandai menembak. Sangaji sangat gembira. Ia dapat mempraktekkan ilmu menembak ajaran Willem Erbefeld. Tembakannya tak pernah meleset. Makin lama bahkan makin tepat mengenai sasaran bidikan yang dikehendaki. Dua ekor rusa yang lari cepat berjajar mati berbareng kena tembakannya dari samping. Kapten Hoop kagum menyaksikan ketangkasannya si bocah. Semenjak itu ia berjanji dalam hati akan selalu membawa dia pergi berburu. Kepada Sonny dia berkata memuji, “Sonny! Pintar kamu memilih kawan berburu. Penglihatanmu tajam dan tepat.” Karena pujian itu Sony kegirangan. Pertama-tama, ia kini akan selalu bersama bila pergi berburu. Kedua, pergaulannya dengan anak Bumiputera telah diketahui ayahnya, la akan lebih dapat bergaul dengan bebas dan terang-terangan. Seperti diketahui Sonnylah yang mengusulkan agar ayahnya mengajak Sangaji pergi berburu. “Dia pandai menembak, Ayah,” katanya merengek. “Seringkali aku melihatnya berlatih menembak. Kapten Willem Erbefeld yang melatih dan mengajar.” “Hai, mengapa Kapten Willem Erbefeld?” ayahnya heran berbareng menduga-duga. “Dia adik angkatnya.” “Ah!” kini ayahnya mengerti. Tetapi ia ingin melihat apakah adik angkat Kapten Willem Erbefeld benar-benar pandai menembak. Itulah sebabnya, saat ia menyaksikan ketangkasan Sangaji, dengan tulus hati ia menyatakan pujiannya. Malam itu juga mereka kembali ke Jakarta. Sangaji mendapat bagian seekor rusa dan dibawa pulang ke ibunya. Ia akan mengundang kedua gurunya untuk ikut berpesta. Dengan sangat ia meminta agar ibunya memasak masakan yang enak. “Aku nanti akan membantu, Bu,” katanya. “Kamu bisa bantu apa?” sahut Rukmini. Dia menyayangi putra tunggalnya itu. Maka setelah Sangaji pergi meninggalkan rumah untuk mengundang gurunya, diam-diam ia memanggil tetangganya untuk diminta datang membantu. Melihat rusa begitu gemuk tetangganya sudah barang tentu tak dapat menolak. Lantas saja mereka datang dengan membawa alat-alat dapur. Sangaji sendiri waktu itu sudah berada di jalan besar. Ia berjalan meloncat-loncat karena kegirangan sambil melatih kegesitan tubuhnya. Mendadak ia ditegor oleh seorang pemuda kira-kira berumur 20 tahun dengan bahasa Jawa. “He, anak muda ! Kalau kau berani, ayo kita berkelahi!” Heran Sangaji tiba-tiba ditantang seseorang. Rumah pondokan kedua gurunya tinggal beberapa langkah di depannya. Hatinya lantas bimbang. Mengundang kedua gurunya dulu ataukah meladeni tantangan pemuda itu. “Kamu siapa ?” ia mencoba bertanya. Pemuda itu tertawa perlahan. Menjawab setengah merendahkan, “Tak peduli siapa diriku, tapi kamu kutantang. Kau laki-laki, kan? Seorang laki-laki ditantang seseorang, kok seperti perempuan ?” Merah muka Sangaji direndahkan demikian. Ia menghampiri dan masih mencoba meyakinkan pemuda itu. “Kalau aku berkelahi, aku harus berkelahi dengan jelas. Antara kau dan aku belum saling kenal. Kurasa, tak ada alasan untuk berkelahi” Kembali lagi pemuda itu tertawa perlahan. Mendadak saja dia menyerang. Sebat gerakannya. Tahu-tahu kakinya telah mengirimkan tendangan dan tangannya menyambar urat leher. Sangaji terperanjat diserang demikian. Masih sempat dia berkisar dari tempatnya. Tangan kanannya menangkis sambaran dan tinju kirinya mengarah dada. Inilah salah satu jurus ajaran Jaga Sarandeta. Pemuda itu terpaksa mengurungkan serangannya. Cepat-cepat ia menarik diri dan mengulangi gerakan yang lain. Gerak-geriknya enteng dan gesit. Sebentar bergerak ke kiri, sebentar pula ke kanan. Tangannya menyambar-nyambar tiada henti seperti gerak-gerik seekor garuda menyambar mangsa. Karuan saja Sangaji kena terdesak mundur. Mendadak teringatlah ia pada jurus ajaran Wirapati yang belum pernah dilakukannya. Jurus itu diciptakan Wirapati untuk mempertahankan diri dari serangan maut sambil membalas. Sebenarnya khusus disiagakan untuk menghadapi serangan Pringgasakti manakala muncul dengan tiba-tiba. Hebatnya tak terkirakan. Dan sekarang Sangaji menggunakan jurus maut itu karena merasa diri terdesak telak. Meskipun demikian ia mencoba memberi peringatan. “Awas! Lenganmu bisa patah! Rahangmu bisa mencong!” Jelas, maksudnya tak ingin mencelakakan si pemuda, hanya semata-mata membebaskan diri dari serangan bertubi-tubi. Pemuda itu terperanjat bukan kepalang. Tak dapat lagi ia meloloskan diri. la lantas nekad. Dengan membabi buta ia menyerang muka Sangaji. “Hai!” Sangaji terkejut Sama sekali tak diduganya, kalau si pemuda malahan menyerang untuk membebaskan diri. Karena tak bermaksud mencelakai orang, buru-buru serangannya ditarik. Kini ia membenturkan sikunya sambil menendang pinggang. Melihat perubahan jurus Sangaji, pemuda itu mengira berhasil menggagalkan serangannya. Keberaniannya bangkit dan hatinya menjadi besar. Tidak memberinya ampun lagi, ia mengelak dan menggempur pundak. Sangaji terhuyung. Pundaknya terasa sakit, la melompat mundur sambil membentak, “Siapa kau sebenarnya?” “Aku anak Jawa seperti kamu,” jawab si pemuda. “Ayo, kita terus berlatih.” “Berlatih?” diam-diam Sangaji berpikir. “Apa dia clikirim guru mencoba kecakapanku?” Mendapat pikiran begitu segera ia bersiaga dan kini berkelahi dengan sungguh-sungguh, la tak membiarkan diri diserang lagi. Dicobanya mempengaruhi gerakan lawan seperti yang dilakukan terhadap keempat pemuda Belanda. Dibandingkan dengan dua tahun yang lalu, gerak-geriknya kali ini jauh lebih berbahaya dan bertenaga. Tetapi aneh! Menghadapi pemuda ini, jurus-jurusnya seperti tak berjalan. Pemuda itu dapat membebaskan diri dengan leluasa dan kadang-kadang bisa membalas menyerang. Sangaji jadi kelabakan dan terdesak mundur. Tetapi ia dapat berlaku tenang. Perhatiannya dipusatkan dan perlahan-lahan ia mulai dapat menyelami kecakapan lawan. Tiga puluh jurus sudah lewat begitu cepat. Ia kini bergerak berputar seperti gelombang. Kadang-kadang ia berhasil mendesak dan menendang lawan. Tapi sering pula kena dirangsak bertubi-tubi. Mendadak terdengar suara bentakan Jaga Sarandeta, “Serang bagian bawah, tolol!” Mendengar suara gurunya bangkitlah semangat tempur Sangaji. Dengan cepat ia memusatkan serangannya di bagian bawah. Penglihatan gurunya ternyata tepat. Segera juga ia mendesak si pemuda. Dan dengan suatu gerakan sebat si pemuda kena dihantam dan ditendang sampai jafuh berjungkir-balik. Melihat si pemuda jatuh berjungkir-balik, Sangaji lalu mendekati. Kedua lengannya disodorkan hendak mencengkeram pundak. Terdengar suara Wirapati memperingatkan, “Awas! Jangan sembrono!” Sangaji kurang berpengalaman. Musuhnya kali ini bukan seperti keempat pemuda Belanda yang hanya mengutamakan kekuatan tubuh dan tenaga tinju. Sebaliknya seorang pemuda yang mengenal dan mengerti ilmu berkelahi. Begitu ia hendak mencengkeram, si pemuda menggulingkan tubuhnya dengan sebat. Kemudian menendang perut sambil meloncat bangun. Tak ampun lagi, Sangaji jatuh terbalik. Perutnya terasa nyeri bukan kepalang. Namun ia gesit. Belum sampai tubuhnya terbanting di atas tanah. Kedua ka-kinya menjejak dan ia berdiri tegak. Serentak ia mengerat gigi dan bersiaga hendak melompat menerkam. Tetapi kedua gurunya sudah mendahului. Gesit seperti ikan mereka lantas saja mengepung si pemuda. “Siapa kamu, berani kurang ajar di hadapanku?” bentak Jaga Sarandeta. Sangaji terkejut berbareng heran. Jelas—mendengar bentakan gurunya—pemuda itu bukan dikirim gurunya untuk mencoba kecakapannya. Pemuda itu tak mengenal takut, la berjaga-jaga diri sambil menjawab, “Aku bernama Surapati. Atas perintah guruku aku datang menghadap Tuan.” “Siapa gurumu?” Pemuda yang bernama Surapati sekonyong-konyong menundukkan kepala sambil menyembah. Jaga Sarandeta sangsi. Tak mau ia membalas Surapati. Ia menoleh kepada Wirapati minta pertimbangan. “Ayo, kita bicara di dalam,” ajak Wirapati tegas. Mereka berempat memasuki rumah. Jaga Sarandeta nampak muram, karena menyaksikan muridnya bisa dikalahkan. Sedangkan Wirapati sibuk menduga-duga. “Nah ulangi, ada apa kamu datang kemari?” katanya menegas. Dengan hormat Surapati menjawab, “Beberapa hari yang lalu kami serombongan dari Yogyakarta datang ke Jakarta. Selain menunaikan tugas Gusti Patih, aku diperintahkan guruku menghadap Tuan.” “Siapa gurumu?” “Hajar Karangpandan.” Mendengar jawaban Surapati, Wirapati dan Jaga Sarandeta terperanjat sampai berjingkrak. Jaga Saradenta seorang laki-laki yang berwatak keburu nafsu, lantas saja menyambar baju si pemuda sambil membentak, “Bilang yang benar! Kami tak mau kaupermainkan. Siapa kau?” Dengan tenaga Surapati menjawab, “Namaku Surapati. Cukup jelas? Aku murid Hajar Karang-pandan. Ayahku salah seorang hamba istana Kepatihan Danurjan.” Jaga Saradenta tertegun. Malu, ia diperlakukan demikian oleh Surapati. Ia menyiratkan pandang kepada Wirapati. “Bagaimana kamu tahu kami berdua berada di sini?” “Hal itu tak dapat kumengerti. Aku hanya menjalankan perintah belaka. Guruku berkata, kalau aku harus menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya, karena Tuan sekalian sudah bercapai lelah.” Perlahan-lahan Jaga Saradenta melepaskan cengkeramannya, la duduk terhenyak di atas kursi. Pandangannya muram luar biasa. Wirapati bersikap lain. Tak mau ia mendesak Surapati. Ia mengalihkan pembicaraan. “Kudengar kamu datang dengan maksud baik. Kenapa merobohkan Sangaji? Apa kamu diperintah gurumu untuk mencoba kecakapan Sangaji sebelum hari pertandingan tiba?” Surapati tak menjawab, la hanya mengulurkan sepucuk surat yang terbungkus rapi. Wirapati menerimanya dengan takzim dan membaca isinya. Diterangkan oleh Hajar Karangpandan, kalau dia mengetahui keberadaannya berkat keterangan Pangeran Bumi Gede yang datang di Jakarta dua tahun yang lalu. Pangeran Bumi Gede secara kebetulan melihat Sangaji sedang berlatih. Dia mengenal Wirapati, tapi dia heran atas hadirnya Jaga Saradenta. Untuk capai lelah itu Hajar Karangpandan menghaturkan terima kasih. Kemudian ia mengingatkan kembali, bahwa masa bertanding tinggal dua tahun lagi. Tentang hasil jerih payahnya mencari Sanjaya ia menerangkan, si anak sudah diketemukan semenjak delapan tahun yang lalu. Itu terjadi secara kebetulan, karena Pangeran Bumi Gede sedang mencari seorang pemimpin perajurit. Mengingat si anak dia terpaksa menerima jabatan itu. Setelah selesai membaca surat Hajar Karangpandan, Wirapati terperanjat. Dengan masgul dia berkata kepada Jaga Saradenta, “Jaga Sardenta! Dalam perlombaan mencari si anak kita berdua sudah kalah jauh.” “Tidak!” potong Jaga Saradenta penasaran. “Soalnya bukan kita yang kalah, tetapi karena nasib dia lebih bagus.” Tetapi setelah berkata demikian tubuhnya menjadi lemas. Dalam hal mengadu kelicinan benar-benar dia merasa kalah. Mestinya Hajar Karangpandan pun mengalami kesulitan juga tak beda dengan dirinya. “Wirapati! Siapa mengira, kalau Pangeran Bumi Gede secara sembunyi mengetahui keadaan kita. Benar-benar licin dia seperti katamu. Dia mengetahui kita, sedang kita tak mengetahui sesuatu pun tentang dirinya.” Sekonyong-konyong ia bangkit dan menyambar dada Surapati. Berkata membentak, “Hai! Apa yang telah terjadi di Yogyakarta?” “Aman tenteram,” sahut Surapati gugup. “Kau diutus siapa ke mari?” “Aku anak hamba Gusti Patih. Sudah barang tentu aku diutus beliau.” “Diutus apa?” “Itu urusan pemimpin rombongan. Aku hanya dititahkan agar ikut berangkat dengan rombongan. Kemudian aku dititipi surat guru ini lewat Gusti Pangeran Bumi Gede.” “Hm.” Jaga Saradenta mendongkol. Berkata membentak, “Kau murid Hajar Karangpandan yang tertua?” Surapati tertawa perlahan. “Aku anak Taruna-sumarta, hamba istana Kepatihan Yogyakarta. Karena bernasib baik aku dititahkan Gusti Patih mengabdi pada Gusti Pangeran Bumi Gede untuk berguru kepada Ki Hadjar Karangpandan. Ini terjadi empat tahun yang lalu. Dengan begitu aku adalah adik seperguruan Raden Mas Sanjaya.” “Apa kau bilang? Raden Mas Sanjaya?” Wirapati terkejut. “Ya. Dia putera Gusti Pangeran Bumi Gede. Bukankah aku harus menyebutnya dengan Raden Mas?” Wirapati terhenyak. Hatinya lantas saja sibuk menduga-duga. Dulu ia melihat isteri Wayan Suage dilarikan si pemuda. Apakah akhirnya diambil isteri oleh si pemuda pula? Mendadak saja timbullah rasa kebenciannya. Sekali bergerak ia menyambar lengan Surapati sambil membentak. “Kau berjungkir balik pula!” Kena disambar Wirapati si pemuda terpental sepuluh langkah dan jatuh bergulingan di tanah. Lama dia baru bisa merayap bangun. Terdengar suara Wirapati bergelora, “Sampaikan kepada gurumu, kami Wirapati dan Jaga Saradenta tetap menerima tantangan itu. Dua tahun lagi kami datang membawa Sangaji. Dan kau bersyukurlah, karena aku hanya menjungkir-balikkan dirimu. Bukankah kamu mau mencoba-coba Sangaji atas perintah Pangeran Bumi Gede?” Tak dapat Surapati menyangkal tuduhan Wirapati. Selain benar belaka,- ia ketakutan. Sambaran Wirapati bukan main kuatnya. Begitu ia kena terkam, tenaganya lantas saja menjadi, lumpuh. Angin sambarannya pun sudah bisa menyakiti seluruh tubuhnya. Mau tak mau ia menahan diri dan cepat-cepat pergi dengan tersipu-sipu. Wirapati terdiam mengawasi Surapati pergi. Ia menghela napas dalam. Berkata seperti menyesali diri, “Jaga Saradenta! Terpaksa aku memberi hajaran setan cilik itu... Apa boleh buat...” “Mengapa menyesal?” sahut Jaga Saradenta. “Tindakanmu benar. Kalau kamu tadi berdiam diri, akulah yang akan mengambil tindakan. Cuma saja memang Sangaji...” Wirapati mengangguk. Hatinya mendongkol benar. Terang-terangan dia dihina orang. Selagi menghadapi adik seperguruan Sanjaya, Sangaji bisa dirobohkan. Apalagi kalau dua tahun nanti dia dihadapkan dengan Sanjaya. Sudahlah bisa dibayangkan siapa yang unggul dan kalah. “Hm... Jaga Sadenta, apa pendapatmu?” “Padang seluas itu telah kita tempuh. Gunung-gunung, bukit-bukit telah kita lampaui dan sungai-sungai telah kita seberangi ... masa sudah merasa kalah kena gertak?” Waktu itu Sangaji terganggu seperti tugu mendengarkan percakapan kedua gurunya. Tahulah ia betapa besar rasa kecewa mereka terhadapnya. Lantas saja dia merasa dirinya terlalu kerdil untuk bisa menerima semua ilmu kedua gurunya. Tiba-tiba berkatalah Wirapati, “Sangaji, marilah berbicara! Kautahu sekarang, mengapa kami berdua bercapai lelah menurunkan beberapa ilmu tak berarti kepadamu. Semata-mata karena kami berdua sudah terikat janji kepada seorang perkasa nun jauh di timur bernama Hajar Karangpandan.” “Aku sudah tahu semenjak dua tahun yang lalu, ketika guru berbicara dengan Ibu,” potong Sangaji dengan suara rendah. “Betul, tapi belum pernah sekali juga kami berbicara terus terang. Sekarang apa boleh buat. Kamu sudah ketumbuk batu pada malam hari ini. Terpaksa kami menerangkan semuanya. Setelah itu, maukah kamu mempergiat diri dan lebih rajin menekuni pelajaran?” Sangaji menundukkan kepala. Tak sanggup ia menerima kata-kata gurunya yang berkesan sedih, cemas dan menyesali dirinya. “Sangaji!” terdengar Jaga Saradenta. “Kau seorang laki-laki. Biarlah dirimu menerima semua kenyataan. Akupun dulu pernah dikalahkan musuh dengan terang-terangan dan di depan umum. Tidak hanya sekali dua kali, tapi sering. Tapi tak perlu berkecil hati. Langit masih luas dan dunia masih lebar. Menang atau kalah adalah jamak buat kesatria. Tegakkan dirimu. Teguhkan hatimu. Dan kamu akan bisa bergerak maju...” Hebat kata-kata Jaga Saradenta. Hatinya heran berbareng kagum. Tak pernah ia menduga, kalau gurunya yang galak itu sebenarnya sangat menyayangi dirinya. Terbukti dengan kata-katanya yang sangat membesarkan hati dan tak rela menyaksikan dirinya bakal kena dicemoohkan orang. Tanpa disengaja ia menegakkan kepala. Dengan mata berapi-api ia menjawab, “Guru! Aku akan mengerahkan segenap tenagaku. Mudah-mudahan guru dapat menurunkan ajaran-ajaran gawat kepadaku dan akupun sanggup memuaskan Guru.” “Hai! Janganlah kamu bekeija demi kepentinganku!” seru Jaga Saradenta. “Tetapi ajaklah dirimu sendiri agar kamu bisa menanjak tinggi. Dengan begitu kau takkan merasa tersiksa.” Kata-kata Jaga Saradenta benar belaka. Ia menundukkan kepala lagi. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bende Mataram - JILID 7. SUATU PERTEMPURAN TAK TERDUGA

Bende Mataram - JILID 7. SUATU PERTEMPURAN TAK TERDUGA WIRAPATI girang bukan main. Sangaji telah cfiketemukan. Kini tinggal menunggu Jaga Saradenta pulang dari penyelidikan ke luar kota. Seminggu sekali Jaga Saradenta datang ke pondokan dan membawa berita. Adakalanya sampai satu bulan. Dia pasti girang, kata Wirapati dalam hati, nanti malam biar kuajaknya mulai bekerja. Mudah-mudahan dia datang. Sekiranya tidak, biarlah kumulai dahulu. Waktu berarti pedang. Satu hari lengah berarti terkikisnya waktu yang dijanjikan. Hm—tinggal empat tahun. Kalau Sangaji mempunyai bakat, agaknya masih ada waktu. Mendadak saja timbullah suatu pikiran lain. Eh, sekiranya Sangaji nanti malam tak datang apa yang akan kulakukan? Bukankah hati kanak-kanak seringkali berubah? Celaka—aku belum tahu rumahnya. Memikir demikian, cepat ia kembali ke lapangan. Sangaji baru saja melangkahkan kaki meninggalkan lapangan. Ia girang. Mau dia percaya, kalau selama itu Sangaji masih tertegun-tegun memikirkan kehebatannya y...

ep.48 bende mataram - Pulang

BENDE MATARAM JILID 48 PULANG HATI seorang perempuan memang sukar diduga. Kalau tidak masakan perbuatan Rukmini dapat terluput dari pengamatan Sangaji yang sudah memiliki ilmu sangat ting-gi. Soalnya, seluruh perhatiannya ditegangkan oleh peristiwa yang terjadi di tengah lapangan. Dan sekelumitpun tiada terbintik dalam hati Sangaji, bahwa ibunya akan membunuh difi pula mencontoh Sonny de Hoop. Alasan untuk berbuat demikian sangatlah lemah. Jalan pikir Rukmini memang sangat aneh. Melihat anaknya tiada hendak meninggalkan rumah, lantas timbullah keputusannya akan membunuh diri. Ia sendiri tak dapat pergi bersama anaknya, sebeluin berbicara dengan Major de Hoop yang sudah beberapa tahun lamanya menjadi perlindungannya. Gntuk perbuatan itu, ia merasa berutang budi setinggi gunung. Kalau ia pergi begitu saja meskipun alasan-alasannya cukup kuat serta mendesak ia takut dikatakan sebagai makhluk tak kenal budi. Padahal anjingpun mengerti akan mem-balas budi. Masakan manusia tidak? Sekiranya...