Langsung ke konten utama

ep.24 bende mataram - Adu Tenaga Sakti

BENDE MATARAM JILID 24. ADU TENAGA SAKTI KEBO BANGAH - ADIPATI SURENGPATI dan Gagak Seta adalah jago-jago tua yang saling mengenal kesaktian dan tabiat masing-masing. Kebo Bangah adalah seorang pendekar yang kejam bengis, licin, licik dan berbisa. Dan Adipati Surengpati seorang pendekar yang berkepala besar, angkuh, tegas, serba pandai dan tegas. Sebaliknya Gagak Seta berhati polos, jujur dan berwatak ksatria sejati. Apa yang diucapkan cukup terang, karena hatinya selalu terbuka. Meskipun demikian, kali ini Kebo Bangah yang licin bagaikan belut tak juga pandai menebak maksud Gagak Seta, sampai ia merasa kelabakan menduga-duga. "Hai manusia jembel, cobalah bicara yang terang!" teriak Kebo Bangah. Bunyi tertawa Gagak Seta kian meninggi. Kemudian dengan menuding Sangaji, ia menghadap Adipati Surengpati. "Saudara Surengpati! Anak muda ini dan puterimu adalah muridku. Aku sudah berjanji kepada mereka berdua, bahwa pada suatu saat aku akan memohon kelapangan hatimu untuk mengawinkan. Karena itu, sekarang aku mohon padamu agar engkau meluluskan perjodohan mereka." Sangaji dan Titisari terperanjat mendengar ucapan Gagak Seta. Mereka berdua sama sekali tak dapat menebak sebelumnya. Sekalipun demikian, dalam hati mereka girang dan bersyukur. Tak sengaja, mereka saling menoleh dan tersenyum seri. Sebaliknya, Kebo Bangah, sang Dewaresi dan Adipati Surengpati merasa dirinya tertikam. "Saudara Gagak Seta!" Akhirnya Kebo Bangah berseru nyaring. "Puteri saudara Surengpati sudah dijodohkan dengan kemenakanku. Hari ini aku sengaja menemui dia, untuk menetapkan hari perkawinan mereka." "Saudara Surengpati! Benarkah keterangan bandot Kebo Bangah ini?" Gagak Seta minta penjelasan. "Benar," sahut Adipati Surengpati. "Karena itu kuminta dengan sangat, agar saudara jangan bergurau lagi denganku." Mendengar jawaban Adipati Surengpati, Gagak Seta mengerutkan kening. Ia menatap wajah Adipati Surengpati, kemudian berkata dengan suara ditekankan. "Siapa yang berani bergurau denganmu. Hm... malahan kaulah yang sedang bergurau. Coba di manakah pernah terjadi seorang puteri hendak dijodohkan dengan dua orang." Ia berhenti mengesankan. Setelah itu ia menoleh kepada Kebo Bangah. "Hai Kebo Bangah! Akulah orang perantara keluarga Sangaji. Kau sendiri, manakah perantaramu? Masakan kau borong sendiri, sehingga tak mengindahkan tata cara?" Kebo Bangah tak mengira akan didesak demikian. Seketika itu juga ia tercengang sehingga tak mampu menjawab. Sejenak kemudian, barulah dia bisa berbicara. "Dahulu hari aku sudah mengirimkan perantara. Kini kudengar dari mulutnya bahwa saudara Surengpati sudah menerima baik. Akupun begitu. Nah, apa perlu menggunakan perantara lagi?" "Bagus! Begitulah alasanmu?" sahut Gagak Seta cepat. "Tetapi pernahkah engkau mengira, bahwa masih ada seorang di antara kamu berdua yang tidak sudi menerima pinanganmu itu?" "Siapa dia?" Kebo Bangah membentak. "Siapa lagi, kalau bukan aku." Kebo Bangah terdiam. Dalam hatinya telah terasa, bahwa mau tak mau ia harus bertem-pur melawan pendekar jembel itu. Maka pada saat itu juga, ia mulai sibuk mencari siasat untuk melawannya. Gagak Seta tertawa lebar. Dengan tenang ia berkata, "Kemenakanmu itu berkelakuan kurang bagus. Sama sekali tak cocok menjadi suami puteri saudara Surengpati. Sayang, apabila sampai terjadi begitu. Andaikata engkau memaksa merangkapkan jodoh, tetapi putri saudara Surengpati tak sudi, apakah yang hendak kaulakukan? Baik, taruhlah dia kini kawin dengan kemenakanmu. Tapi masing-masing mempunyai paham yang tak dapat dipadukan, apakah engkau bersedia menjadi pendamai terus-menerus sepanjang hidupmu? Hm hm! Inilah hebat, kalau mereka berdua sama hidupnya harus berkelahi setiap kali bangun dari tempat tidurnya." Mendengar kata-kata Gagak Seta, hati Adipati Surengpati tergerak. Diam-diam ia mencuri pandang kepada anak perempuan-nya. Ternyata Titisari waktu itu tengah menatap wajah Sangaji dengan pandang penuh cinta kasih. Mau tak mau ia mulai memperhatikan muka Sangaji. Alangkah menyebalkan! Bocah itu begitu tolol kesannya, meskipun wajahnya tak boleh dikatakan buruk. Tapi bila dibandingkan dengan wajah sang Dewaresi seperti bumi dan langit. Adipati Surengpati, adalah seorang pendekar keturunan bangsawan. Semenjak turun-temurun, keluarganya terkenal pandai dan bijaksana. Dia sendiri berotak terang, serba pandai, tinggi ilmu saktinya dan luas ilmu pengetahuannya. Anak perempuannya pun seorang gadis yang encer otaknya. Cerdas, cekatan, pandai dan cantik jelita. Dengan sendirinya apabila dijajarkan dengan Sangaji yang nampak ketolol-tololan dan kurang jelas keturunan siapa, ia benar-benar tak rela. Karena itu, hatinya lebih condong kepada sang Dewaresi. Pertama, anak keluarga pendekar. Kedua, bertampan ngganteng, Ketiga, otaknya cerdas dan mempunyai kedudukan jelas. Tetapi, di dekatnya berdiri pendekar jembel Gagak Seta yang tak boleh dibuat sembarangan. Karena itu, diam-diam, ia mencari jalan keluarnya. "Saudara Kebo Bangah!" Akhirnya dia memanggil Kebo Bangah dengan menggu-nakan kata-kata saudara. "Kemenakanmu tadi terluka. Baiklah kau rawat dahulu! Urusan ini bisa dibicarakan lagi di kemudian hari." Inilah pernyataan yang sangat diharap-harapkan Kebo Bangah untuk menghindarkan suatu pertempuran yang akan banyak membawa akibat. Maka lantas saja ia memanggil sang Dewaresi dan dibawanya menepi. Dengan cekatan ia mencabut jarum emas dan menyambung tulang rusuknya yang patah. Ternyata ia mempunyai kemahiran dalam soal pertabiban. Dengan ramuan obatnya, segera ia membubuhi luka itu dan dibebatnya dengan kencang. Sebentar saja, sang Dewaresi nampak seperti pulih kembali. Pandang matanya segar bugar, penuh semangat. Sejurus kemudian, Adipati Surengpati berkata nyaring kepada Kebo Bangah dan Gagak Seta. "Anakku ini seorang perempuan yang lemah, tapi nakalnya bukan main. Karena itu. tak bakal dia sanggup merawat seorang suami seperti kalian harapkan. Namun di luar dugaan, ternyata aku memperoleh dua lamaran sekaligus. Yang pertama dari saudara Kebo Bangah. Yang kedua dari saudara Gagak Seta. Kejadian ini merupakan suatu kehormatan besar bagiku. Dan sebenarnya, anakku sudah kurestui agar berjodoh dengan kemenakan saudara Kebo Bangah. Tetapi lamaran saudara Gagak Seta tak boleh kuabaikan pula. Hm... benar-benar aku menemui kesulitan. Meskipun demikian, aku mencoba memecahkan sebaik-baiknya agar memperoleh suatu keputusan yang adil. Sebelumnya, perkenankan aku minta pertimbangan pendapat kalian berdua, bagaimana cara menyelesaikan persoalan ini." "Berkatalah! Apa perlu berdansa kalimat tiada gunanya? Bukankah engkau tahu, bahwa otakku paling tak senang mendengar ocehan yang tak keruan juntrungnya?" sahut Gagak Seta. "Saudara Surengpati adalah seorang keturunan keluarga agung. Dalam segala halnya pasti lebih mengenal tata cara yang santun daripadaku. Aku bersedia tunduk kepada kehendakmu." Adipati Surengpati bersenyum. Berkata de-ngan sabar, "Sebenarnya aku tak boleh meng-harap-harapkan yang bukan-bukan terhadap jodoh anakku. Tetapi sebagai seorang ayah aku mengharapkan agar suami anakku kelak adalah manusia yang benar-benar baik. Sang Dewaresi adalah kemenakan saudara Kebo Bangah. Dan Sangaji adalah murid saudara Gagak Seta, kedua-duanya pasti memiliki ilmu kepandaian yang tak boleh kuabaikan. Tapi untuk menentukan pilihan, bagiku amat sukar. Kupikir begini saja, baikiah mereka berdua kita adu ilmu kepandaiannya. Apakah pendapat kalian?" "Bagus! Bagus!" seru Kebo Bangah girang. "Kepandaian apakah yang kaumaksudkan?" "Nanti kuterangkan. Semua tiga syarat. Siapa di antara mereka berdua dapat memenangkan tiga syarat ujianku, akan kuresmikan menjadi calon menantuku. "Bagus! Bagus!" Seru Kebo Bangah lagi. "Kau tahu sendiri, kemenakanku terluka. Tidaklah mungkin kau uji dengan mengadu ilmu kepalan. Sekiranya engkau memaksanya sebagai syarat utama, baiklah ditunda sebulan dua bulan lagi. "Tentang lukanya kemenakanmu, masakan aku tak tahu?" sahut Adipati. Mendengar kata-kata Adipati Surengpati, Gagak Seta curiga. Pikirnya, Kebo Bangah ini adalah seorang berbisa yang kejam bengis dan licin. Dan Surengpati seorang siluman dalam arti kata sebenarnya. Dia banyak akalnya, melebihi manusia lumrah. Hm... kini dia mau main menguji segala. Kalau Sangaji sampai harus diuji kepandaiannya mengenal ilmu sejarah, sastra, kebudayaannya, irama lagu dan tetek bengek, pastilah dia gagal. Masakan dia bisa mengatasi kepandaian anak Kebo Bangah. Ih! Nampaknya Surengpati berat sebelah. Baiklah aku mengambil caraku sendiri... Dan setelah memperoleh pikiran demikian, Gagak Seta terus saja tertawa terbahak-bahak. Kemudian berkata nyaring berwibawa. "Saudara Surengpati! Kita semua ini adalah keturunan tukang pukul dan mengadu kepalan. Apa perlu mengadu kepandaian semacam murid-murid sekolah." Ia berhenti mengesankan. Lalu menatap Kebo Bangah. "Kau bandotan Kebo Bangah. Katamu, kemenakanmu lagi terluka. Bagus! Tapi kau sendiri sehat walafiat. Karena itu, marilah kita berdua bermain-main barang sebentar." Tanpa menunggu pertimbangan Kebo Bangah, Gagak Seta terus saja menyerang tiga kali sekaligus. Sudah barang tentu Kebo Bangah kaget setengah mati. Tetapi dia adalah seorang pendekar yang telah makan garam. Melihat serangan lawan, dengan gesit ia mengelak. Gagak Seta segera meletakkan tongkatnya di atas tanah. Kemudian menyerang lagi sam-bil membentak, "Kebo Bangah! Balaslah!" Tiga jurus ia menyerang dengan satu kali gerak. Kebo Bangah mundur sambil menge-lak, la enggan menangkis atau membalas me-nyerang. Dalam hatinya, ia enggan bertempur melawan musuh lamanya itu. Tetapi kerena terus menerus diserang sampai tujuh kali berturut-turut, tak dikehendaki sendiri tangannya mulai mengangkis tujuh kali dan membalas menyerang tujuh kali pula. "Bagus!" seru Adipati Surengpati gembira. Ia tahu akibatnya, apabila dua orang tokoh sakti itu sampai mengadu kepandaian. Namun ia tak sudi melerai atau menengahi. Malahan ia mengharapkan mereka berdua bertempur mengadu kesaktian. Maklumlah, dua puluh tahun berselang ia pernah menyaksikan ilmu kepandaian mereka. Kini, ilmu kepandaiannya pasti sudah jauh majunya. Bagaimana kemajuan mereka itu, ingin sekali ia menyaksikan dan menilainya. Gagak Seta dan Kebo Bangah adalah dua orang sakti pada zaman itu. Masing-masing mempunyai keunggulannya yang sama kuat dan sama tangguh. Dua puluh tahun yang lalu, mereka pernah mengadu kesaktian. Kedua-duanya tiada yang kalah tiada yang menang. Kemudian mereka menekuni dan mendalami ilmunya masing-masing selama dua puluh tahun. Tujuan mereka hendak merebut kemenangan dengan mengalahkan ilmu lawannya. Maka kini, mereka saling bertemu kembali. Ilmu kepandaian mereka masing-masing jauh berbeda dengan dua puluh tahun yang lalu. Karena pertempuran mereka sebentar saja sudah berlangsung dengan cepat dan tepat meskipun baru memasuki babak gertakan belaka untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan lawan. Sangaji mencurahkan segenap perhatiannya. Dilihatnya gerakan-gerakan mereka sangat lincah. Yang sangat menggirangkan hatinya ialah, bahwa jurus-jurus perubahannya seperti mirip ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi sesungguhnya adalah suatu gabungan intisari ilmu kepandaiannya sejati. Tiap jurusnya mengandung perhitungan-perhitungan tertentu. Ukurannya ialah apabila mengahadapi lawan setangguh tokoh-tokoh sakti. Tiap gerakannya berdasarkan ilmu tenaga PANCAWARA yang dahsyat tak terlawan. Kadang-kadang cepat gesit angin. Kadang-kadang lamban seperti tegak gunung. Maka tanpa disadari sendiri seluruh tubuhnya seperti gatal. Dengan cepat, kedua jago tua itu sudah bertempur melampaui lima ratus jurus. Masing-masing kagum dan mengagumi ilmu kepandaian lawan. Adipati Surengpati yang menonton ikut kagum pula. Tak terasa ia menghela napas dalam. Katanya di dalam hati, dua puluh tahun lamanya aku mengeram di sebuah pulau jauh dari daratan. Selama itu aku berusaha menekuni dan mendalami ilmuku agar di kemudian hari aku bisa menjagoi semua tokoh sakti. Tak tahunya ilmu kepandaian si bisa Kebo Bangah dan si jembel Gagak Seta begini hebat. Sang Dewaresi dan Titisari diam-diam ikut berlomba dan menjagoi jagonya masing-masing. Sang Dewaresi sudah barang tentu mengharapkan kemenangan pamannya. Sebaliknya, Titisari menjagoi Gagak Seta. Sebab pendekar sakti itu, kecuali menjadi gurunya adalah bintang penolongnya pula. Tapi baik sang Dewaresi maupun Titisari tak mengetahui tinggi rendahnya ilmu kepandaian mereka, sehingga tak tahu cara menilainya. Maklumlah, ilmu kepandaian mereka jauh berada di bawahnya. Suatu kali Titisari mengerling ke samping mencari kesan Sangaji. Ia heran, tatkala meli-hat pemuda itu bergerak-gerak seperti sedang menghafalkan jurus ilmu tempur. Kaki dan tangannya bergerak-gerak seperti sedang menari dan raut mukanya tegang luar biasa. Pemuda itu seperti terlibat dalam arus kegirangan. "Aji!" seru Titisari perlahan. Sangaji tak menyahut. Karena itu rasa herannya, berubah menjadi rasa cemas. Dengan penuh perhatian ia mulai mengamat-amati. Ternyata Sangaji benar-benar sedang mengingat-ingat suatu ilmu kepandaian tinggi. Gerak-geriknya, sesuai benar dengan gerak-gerik kedua jago yang sedang bertempur itu. Dalam pada itu, setelah melampaui kurang lebih tujuh ratus jurus, gerak-gerik kedua jago itu jadi berubah. Mereka kini tidak bergerak selincah tadi. Tapi makin lama makin lamban. Kadang-kadang mereka bergerak ogah-ogahan. Kemudian menyerang dengan tiba-tiba setelah dipikirkan masak-masak. Anehnya, kadang kala setelah saling bergebrak mereka duduk bersila mengatur napas. Kemudian bangkit kembali dan menyerang dengan dahsyat. Kesannya kini berubah pula. Kala mendekati jurus keseribu, mereka bertempur seolah-olah sedang bermain-main, tetapi wajahnya tegang luar biasa. Tak terasa matahari mulai menebarkan cahayanya di seluruh bumi. Angin pegu-nungan meniup sejuk menyegarkan jasmani. Adipati Surengpati berdiri tegak mengawasi pertempuran itu. Wajahnya ikut tegang juga. Dahinya berkerenyit seakan-akan sedang memecahkah suatu soal yang bukan mudah diselesaikan. Titisari mengamat-amati sikap ayahnya yang luar biasa itu. Selama hidupnya belum pernah ia melihat ayahnya bersikap setegang itu. Tak terasa ia melemparkan pandang kepada yang mengadu kesaktian. Mendadak saja ia melihat sang Dewaresi yang terkesan tenang luar biasa. Pemuda itu seolah-olah yakin benar, bahwa pamannya akan memperoleh kemenangan mutlak. Maklumlah, ilmu kepandaiannya masih jauh berada di bawah ilmu kepandaian kedua tokoh tersebut, sehingga tak dapat memperoleh penilaian sebenarnya. Selagi Titisari merenungi sang Dewaresi, ia mendengar Sangaji bersorak memuji. Sang Dewaresi kaget. "Hai, bocah tolol! Kau tahu apa," bentaknya mendengar Sangaji bersorak memuji? "Lebih baik tutuplah mulutmu." Titisari memuja Sangaji sebagai dewanya. Meskipun kerap kali ia menyebutnya dengan istilah tolol, tapi ia tak rela pemuda pujaannya dipanggil si tolol oleh orang lain. Maka terus saja dia mendamprat. "Kaupun bukankah jauh lebih tolol dari dia? Coba kau mengerti tentang mereka? Nah, sumbatlah mulutmu! Kalau kau tak betah, enyahlah dari sini dan biarkan kami sendirian." Didamprat demikian, sang Dewaresi tak menjadi sakit hati. Malahan dia terus tertawa nyaring. Katanya memberi keterangan, "Nona, janganlah salah paham. Maksudku, anak itu bergerak-gerak begitu tolol. Umurnya masih muda belia. Bagaimana dia bisa mengetahui kepandaian pamanku?" "Hm! Engkau bukan dia. Dan dia bukan engkau. Bagaimana engkau mengetahui, bahwa dia mengerti tentang ilmu kepandaian pamanmu?" sahut Titisari cekatan. Selagi sang Dewaresi dan Titisari berselisih, Adipati Surengpati terus mencurahkan seluruh perhatiannya kepada kedua sahabatnya yang sedang bertempur mati-matian. Sama sekali ia tak menggubris perselisihan itu. Sangaji sendiri demikian juga. Dengan penuh perhatian ia mengamat-amati gerakan-gerakan Gagak Seta dan Kebo Bangah. Ternyata gerakan kedua tokoh sakti itu makin lama makin lambat. Kini mereka tak memukul langsung tetapi memukul-mukul udara yang berada di sekitarnya. Gagak Seta tiba-tiba menyentilkan tangan ke depan hidungnya. Dan buru-buru Kebo Bangah menangkis dengan mengibaskan tangan melintang udara. Setelah itu, mereka berjongkok dan berpikir keras. Sejenak kemu-dian, kedua-duanya bangkit sambil berseru dan pertempuran sengit terjadi lagi. "Bagus! bagus!" Teriak Sangaji gembira. Sesaat kemudian, Gagak seta dan Kebo Bangah terpisah lagi. Kembali lagi mereka mengasah pikiran. Terang sudah, masing-masing telah mengenal ilmu simpananya. Karena itu, tak berani mereka bertempur sembrono. Setiap kali akan bergerak, selalu dipikirkan dahulu Masak-masak. Dua puluh tahun yang lalu mereka bertempur seperti Pagi hari itu. Masing-masing sibuk menduga-duga ilmu kepandaian lawanya. Kemudian mereka berpisah dan mengolah ilmu kepandaianya lagi dengan diam-diam. Selama itu mereka tak pernah bertemu. Dengan demikian tak menge-tahui pula sampai di mana tinggi rendahnya ilmu masing-masing. Kemajuan-kemajuan yang mereka peroleh dari hasil ketekunannya tak diketahuinya pula. Kini ternyata, bahwa keadaan mereka samalah gelapnya seperti dua puluh tahun yang lalu. Masing-masing merasa kagum, was-was, hati-hati. Itulah sebabnya, mereka terpaksa mengambil waktu terlalu panjang. Tatkala matahari telah sepeng-galah tingginya, belum juga mereka memperoleh kepastian. Yang sangat beruntung dalam hal ini, ialah Sangaji. Pemuda ini telah mengantongi dasar-dasar ilmu sakti Kumayan Jati. Kemajuan yang diperolehnya adalah dari hasil ketekunannya sendiri. Kini ia dapat menyaksikan betapa gurunya menggunakan ilmu sakti tersebut. Sudah barang tentu ia memperoleh kemajuan sangat berharga. Kecuali itu, dengan tak sengaja ia mengantongi ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi yang terakhir. Meskipun belum mewujudkan ilmu Kyai Kasan Kesambi yang khas, tapi ilmu ciptaan itu meliputi sari-sari ilmu pendekar sakti yang utama. Jurus-jurusnya mengandung ungkapan-ungkapan tenaga sakti jasmaniah. Dan diluar dugaan, hampir mirip gerak gerik ilmu Kebo Bangah. Pemuda itu tak mengetahui, bahwa Kebo bangah adalah lawan Kyai Kasan Kesambi yang utama. Karena itu ciptaan Kyai Kasan Kesambi ditujukan untuk memunahkan ilmu kepandaian pendekar tersebut. Dengan melihat gerak gerik pendekar Kebo Bangah, diam-diam Sangaji telah memperoleh tambahan-tambahannya sebagai pelengkapya. Kini ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi tidak hanya berjumlah 72 jurus, tapi sekaligus menjadi 325 jurus. Bisa dibayangkan betapa untung Sangaji menyaksikan perkelahian mereka itu. Titisari selama itu terus mengamat-amati gerak gerik Sangaji dengan penuh keheranan. Pikirnya, baru satu bulan aku berpisah. Tapi ilmunya begitu maju pesat. Apakah dia men-dapat ilmu dari malaikat? Memperoleh pikiran demikian, diam-diam ia bersyukur dalam hati. Namun hatinya sangsi. Masakan di dunia ini pernah ada seorang bertemu dengan malaikat. Karena itu, hatinya yang tadi merasa bersyukur berubah menjadi was-was. Teringat akan daya saksi ilmu jogo-jago tua ia khawatir Sangaji kena pengaruhnya, sehingga bergerak dengan tak sadar. Maka ia mendekati dengari hati-hati. Tatkala itu, Sangadji tengah menirukan ge-rakan Kebo Bangah. Getah Dewadaru yang berada di dalam tubuhnya bergejolak hebat. Inilah suatu kejadian yang tak pernah dipikirkan sebelumnya. Barangkali Gagak Setapun tak pernah menyangka pula. Maklumlah, pemuda itu sendiri tak mengetahui bahwa ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi adalah lawan ilmu Kebo Bangah. Dengan sendirinya Kebo Bangah merupakan ilmu yang bertentangan. Oleh pertentangan sifat itu, sekaligus getah sakti Dewadaru bergolak sangat hebat seperti peristiwa pertentangannya antara ilmu sakti Kumayan Jati dan ilmu sakti Bayu Sejati. Demikianlah pemuda itu berputar dan menyerang sambil berjongkok. Nampaknya gaya serangan itu lumrah belaka. Tapi sebe-narnya telah diliputi tenaga tekanan getah sakti Dewadaru. Maka, sewaktu tangan Titisari hendak meraihnya, tiba-tiba kena terpental ke udara. Dan kabur seperti layang-layang putus. Keruan saja Sangadji terkejut bukan kepalang. Tanpa berpikir lagi, terus ia menjejak tanah dan melesat menyusul. Dengan menggunakan ilmu ajaran Wirapati, ia menangkap pinggang Titisari yang langsing menggiurkan. Kemudian dengan gaya indah, ia turun di atas batu seolah-olah berpeluk-pelukan. "Aji!" Bisik gadis nakal itu," cobalah beru-lang begitu. Senang aku kaupentalkan ke udara dan kau sambar pinggangku. Sewaktu kau peluk turun di atas batu, nyaman benar rasanya." "Hm." dengus Sangaji pendek. Terus saja berputar mengamat-amati kedua jago tua yang sedang bertempur makin seru. Dalam hatinya ia heran atas tenaganya sendiri yang tiba-tiba bisa melontarkan suatu arus. Sama sekali tak di ketahui, bahwa hal itu terjadi karena pergolakan getah sakti Dewadaru yang kena ditarik dan di lontarkan jurus-jurus ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi karena dia sedang menirukan jurus ilmu Kebo Bangah yang justru menjadi lawannya utama. Dalam pada itu, di kalangan terjadi suatu perubahan. Kedua jago kini tidak lagi menggunakan kepalan dan tendangan. Mereka berdiri tegak dengan berdiam diri. Gagak Seta nampak menggurit-gurit suatu corat-coret di udara dan buru-buru Kebo Bangah berjongkok. Kemudian meniup-niup keras seolah-olah sedang membuyarkan corat-coret Gagak Seta. Melihat cara mereka bertempur, Titisari geli sampai tertawa. Sebaliknya, Sangaji jadi gem-bira karena tiba-tiba saja, teringatlah dia kepada Kyai Kasan Kesambi sewaktu menulis-nulis huruf tertentu di udara. Kini tahulah dia, bahwa ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi bukanlah suatu ilmu murahan. Buktinya, ilmu semacam demikian baru terlihat setelah kedua jago itu mengadu kepalan dua ribu jurus lebih. "Aji! Mereka lagi bermaksud apa?" bisik Titisari minta keterangan. "Aku pernah mengenal ilmu sakti demikian. Tapi bagaimana mestinya, tahulah aku," sahut Sangaji setelah menimbang nimbang sebentar. "Pernah aku menirukan dan menghafalkah jurus-jurus ilmu demikian, tatkala aku secara kebetulan melihat Eyang Guru mencorat coret dengan jari di udara..." Titisari mencoba mengerti. Mendadak saja ia melihat Kebo Bangah menyerudukkan kepalanya ke tanah. Kemudian bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan seperti santri lagi bertahlilan. Keruan saja, penglihatan demikian bagi Titisari dianggapnya sangat lucu sampai ia tertawa-tawa geli sambil memekik. "Aji! Aji! Lihat! Dia seperti babi lagi menggrogoti ketela. Waktu itu, sang Dewaresi telah agak lama mengamat-amati mereka berdua. Melihat betapa Titisari begitu mesra terhadap Sangaji, hatinya seperti tergodok. Rasa cemburunya meledak tak tertahankan lagi. Kalau menuruti kata hati, ingin ia menerkam Sangaji selagi anak muda itu lengah. Tapi waktu hendak bergerak, tulang rusuk dan dadanya sakit bukan kepalang. Dan tatkala mendengar, Titisari menyebut tingkah laku pamannya sebagai babi lagi menggerogoti ketela, hatinya panas sekali. Kini, tak sanggup lagi ia menguasai diri. Maka diam-diam ia menggengam segebung jarum emas. Seperti diketahui, sang Dewaresi adalah seorang pendekar tak sem-barangan. Sewaktu di pendapa Kadipaten Pekalongan, Sangaji pernah menyaksikan kepandaiannya menepuk sesuatu yang melayang senjata bidik amat ampuh. Kepandaian itu di lakukan dalam waktu hati bebas dari rasa segala. Tapi kini ia mengandung dendam maka bisa di bayangkan betapa akan hebat jadinya. Waktu itu, ia telah mengarahkan senjata bidiknya ke punggung Sangadji yang tengah melihat pertempuran. Pemuda itu sama sekali tak mengira akan menghadapi bahaya. Dia sedang mengamat-amati gurunya melakukan perlawanan dengan ilmu sakti Kumayan Jati tingkat tinggi. Untunglah, Titisari tak begitu terpusat perhatiannya. Sama sekali tak pernah terpikir olehnya, bahwa Gagak Seta dan Kebo Bangah adalah dua orang sakti yang menempatkan tingkatan teratas pada zaman itu. Saat itu sedang menghadapi detik-detik yang menentukan dan membahayakan. Seumpama dia sadar akan hal itu, pastilah seluruh perhatiannya akan terpancar penuh-penuh. Tapi karena tak mengetahui, perhatiannya terbagi-bagi. Sewaktu matanya mengembara ke arah sana, secara kebetulan melihat gerak-gerik sang Dewaresi yang mencurigakan. Dasar otaknya cerdas dan berhati cerdik, seketika itu juga dapat menebak gejala-gejalanya. Terus saja ia menajamkan mata dan pendengaran. Dan apabila ia mendengar gerak tangan sang Dewaresi, cepat ia berkisar melindungi pung-gung Sangadji. Terhadap Titisari, sang Dewaresi benar-benar tergila-gila. Jangan lagi bermaksud hendak melukai, sedangkan kata-kata dan sikapnya diatur demikian rupa agar tetap meresapkan kesan. Karena itu, begitu melihat Titisari berkisar melindungi punggung Sangadji seakan-akan tidak di sengaja, membuat sang Dewaresi membatalkan niatnya. Tapi hal itu, bukanlah berarti ia menggagalkan maksudnya sama sekali. Cepat ia berkisar ke kanan. Untuk herannya, ia melihat Titisari bergeser ke kanan juga Eh, apakah dia bermaksud melindungi anak tolol itu? Pikirnya menebak-nebak. Selagi ia mencoba bergeser ke kanan. Titisari pun bergeser lagi ke kanan, kini mendekati para dayang yang masih saja duduk setengah lumpuh kena perbawa tenaga sakti kedua jago kelas wahid pada zaman itu. Bagus! Jangan salahkan aku mengham-burkan jarum emasku. Seumpama engkau terluka masakan Paman tak dapat mengobati. Bukankah Adipati Surengpati menyetujui aku pula menjadi menantunya, damprat sang Dewaresi dalam hati. Dan cepat-cepat ia bergeser ke kanan, kemudian ke kiri. Setelah itu kembali ke kanan dengan cepat dan dibarengi membidikkan jarumnya. Seketika itu juga, di udara berkeredep puluhan jarum emas mengarah punggung Sangaji. Titisari terkesiap. Dasar ia anak seorang siluman, maka tanpa banyak pertim-bangan lagi ia mendepak salah seorang dayang, sedangkan dirinya terus melesat ke samping. Maka tak ampun lagi, dayang yang bernasib malang itu kena hujan jarum emas majikannya sendiri. Sekali ia menjerit, kemudian roboh tak berkutik. Sangaji terkejut mendengar jerit itu. Ia menoleh.Tiba-tiba melihat Titisari meloncat menyerang sang Dewaresi. Titisari! Kembali!" teriak Sangaji. Anak muda itu mengenal bahaya. Dua jago yang sedang bertarung, kala itu mulai melontarkan arus tenaga dahsyat. Dan Titisari yang belum mengetahui corak ilmu saktinya, dengan berani melintasi tanpa bersiaga, waktu itu, ia melintasi arus tenaga Kebo Bangah yang sedang menyerang Gagak Seta. Gugup, Adipati Surengpati berteriak. "Saudara Kebo Bangah! Kasihanilah anakku!" Sangaji sendiri terus saja melompat menyusul. Ia sadar akan bahaya. Karena itu dia bersiaga menghadapi, kemungkinan, tatkala bergerak menyusul kekasihnya. Kesudahannya hebat bukan main. Tiba-tiba saja, Sangaji merasa kena dorong suatu arus dahsyat bagaikan gelombang pasang. Tanpa berpikir panjang lagi, terus ia memukul dengan salah satu jurus ilmu sakti Kumayan Jati. Dengan jurus itu, ia bermaksud menolak tenaga sakti Kebo Bangah. Sudah barang tentu, mau tak mau ia harus mengadu tenaga. Sekiranya ia menghadapi tokoh sakti semacam Lumbung Amisena atau sang Dewaresi, cukuplah tenaga bendungannya untuk melawan tenaga lawan. Tapi kali ini, dia terpaksa menghadapi Kebo Bangah, seorang pendekar sakti kelas utama pada zaman itu keruan saja, pertahanannya gugur, ia kena terlontar terbalik di udara meskipun demikian, masih sempat ia melemparkan Titisari ke samping. Kemudian dengan berjumpalitan ia turun ke tanah dan cepat-cepat bersiaga lagi menghadapi serangan ulangan. Benar saja. Kebo Bangah heran, melihat pemuda itu bisa menandingi serangan tena-ganya tanpa menanggung luka parah. Bahkan pemuda itu, terus saja berdiri tegak di tanah seakan-akan lagi menantang. Sudah barang tentu, ia merasa tertusuk kehormatannya. Cepat ia hendak melepaskan serangannya lagi. Hanya belum dilontarkan Gagak Seta dan Adipati Surengpati berkelebat menghalang didepannya. "Cit! Ladalah...! Sungguh malu! Benar-benar aku tak sempat menarik seranganku kembali. Apakah Nona Titisari terluka?" Teriak Kebo Bangah. Sebenarnya Titisari kaget setengah mati, menghadapi saat-saat genting yang tak di-sadari sebelumnya. Tapi begitu mendengar pertanyaan Kebo Bangah yang terdengar minta maaf, ia memaksa diri tersenyum lebar. "Ayahku berada di sini masakan engkau dapat melukai aku?" Tetapi Adipati Surengpati sendiri, sesung-guhnya bercemas. Cepat ia menghampiri putrinya dan memeriksa denyut jantung dan pergelangan tangan. "Apakah engkau merasakan sesuatu yang kurang beres dalam tubuhmu?" tanyanya agak gugup. "Coba tariklah napas dan salurkan jalan darahmu!" Titisari menurut. Segera ia menarik napas dan menyalurkan jalan darahnya. Ia tak merasakan sesuatu. Maka ia lantas saja tertawa riang sambil menggelengkan kepala. Melihat sikap Titisari, Adipati Surengpati heran dan ingin memperoleh keterangan sebab-musababnya. Tetapi hatinya tenteram. Rasa cemasnya hilang. Katanya menasehati, "Kedua pamanmu lagi berlatih mengadu kepandaian. Engkau jangan bertingkah tak keruan macam. Ilmu sakti pamanmu Kebo Bangah bernama Kala Lodra. Kecuali hebat tenaganya, dibarengi ilmu mantram Aji Gineng. Dahsyatnya bagai gugurnya sebuah gunung. Andaikata dia tak sayang padamu, masakan nyawamu masih menancap dalam tubuhmu. Coba lihat belakangmu!" Titisari memutar tubuh dan ia terperanjat. Ternyata sebuah batu raksasa yang berada di belakangnya, hancur berantakan seperti kena tumbuk bukit besi. Andaikata ia tadi kena telak, teranglah sudah bahwa dirinya yang terdiri dari daging dan darah akan hancur berantakan. Istilah KALA LODRA yang menjadi dasar ilmu sakti Kebo Bangah sebenarnya bukanlah istilah yang benar-benar asing bagi pende-ngaran Titisari. Seperti di ketahui, istilah Kala Lodra terkenal dalam cerita wayang purwa, sebagai tokoh dewa raksasa yang sering menganugrahi kesaktian tak terlawan. Seperti terhadap Raja Rahwana dan Raja Nirwate-kawaca dalam cerita Arjuna Wiwaha, kesaktian ke dua raja tersebut tak terlawan. Dewa sendiri tak kuasa menumbangkan. Sedangkan Aji Gineng adalah anugerah Dewa Kala Lodra juga yang menjadi milik Raja Nirwatakawaca. Kedua ilmu sakti tersebut demikian saktinya, sehingga namanya digunakan untuk nama salah satu ilmu sakti yang paling disegani pada zaman itu, sebagai suatu pemujaan8». Menurut keterangan, seseorang bisa mem-peroleh ilmu sakti demikian, apabila mampu bertapa sampai dua belas tahun lamanya de-ngan berdiam diri di atas pegunungan yang terapit batu-batu raksasa. Orang itu harus mulai dengan berdiam diri. Kemudian meren-dam dalam kubangan air sebatas bentuk tubuh. Setelah lewat beberapa tahun lamanya, lalu menjepitkan diri di antara batu raksasa. Dan setelah memperoleh wewenang, kedua batu tersebut merupakan kelinci percobaannya. Manakala dia dapat meledakkan kedua batu raksasa yang menjepit dirinya, maka nyatalah sudah bahwa wewenang sakti itu telah meresap dalam tubuhnya. Tadi—sewaktu Kebo Bangah melawan ilmu sakti Kumayan Jati Gagak Seta segera dia berdiam diri untuk mengerahkan tenaga Kala Lodra. Kemudian mulailah dia bergerak-gerak. Itulah suatu tanda, bahwa ia mulai menge-rahkan tenaga saktinya. Tenaga sakti Kala Lodra bisa menerjang bagaikan gugur gunung dan bertahan bagaikan bukit. Manakala kena serang, mendadak saja bisa membalas me-nyerang secara wajar. Demikianlah, Sewaktu Kebo Bangah mulai menyerang Gagak Seta, mendadak saja Titisari melompat melintasi dengan dibarengi pekik seorang dayang yang kena jarum emas sang Dewa Resi. Kebo Bangah kaget setengah mati, karena sama sekali tiada niatnya hendak melukai bakal menantunya. Apa lagi menewaskan. Maka cepat-cepat ia hendak menarik semua tenaga saktinya. Tetapi kodrat ilmunya bisa menyerang dan berbalik menyerang secara wajar, tanpa membutuhkan pengendalian. Karena itu, tak gampang-gampang dia bisa menguasai sepenuhnya, sekalipun sadar bahwa Titisari lagi terancam bahaya maut. Ketika mendengar suara Adipati Surengpati, ia terlebih-lebih terkejut lagi, sekonyong-konyong ia merasakan suatu tumbukan tenaga yang membendung tenaga sakti Kala Lodra. Itulah suatu kesempatan untuk menarik semua tenaganya. Kemudian ia memandang tajam ke depan dan melihat Sangaji berdiri tegak sebagai penolong jiwa Titisari. Diam-diam ia heran dan kagum. Lantas saja ia berkata dalam hati, benar-benar hebat sijembel Gagak Seta ini. Dia berhasil mewariskan ilmu Kumayan Jati kepada muridnya. Adipati Surengpati setelah tenteram kem-bali, segera mengamati-amati Sangaji. Ia per-nah menyaksikan dan mencoba tenaga pe-muda itu. Maka berpikirlah dia dalam hati, anak ini begini tak mengenal bahaya sampai-sampai berani melawan Kebo Bangah. Sekiranya Kebo Bangah tak mengingat cegahanku, bukankah tulang belulang dan urat-uratnya akan hancur berantakan? Adipati Surengpati belum mengetahui, bahwa Sangaji sekarang bukanlah Sangaji sewaktu berada di sebelah utara Desa Gebang. Selain sudah berhasil menekuni dasar-dasar ilmu sakti Kumayan Jati, telah mengantongi pula ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi yang terakhir. Ia hanya mengetahui dan mengakui, bahwa Sangaji tadi yang menolong jiwa putrinya. Karena itu, betapapun juga kesannya terhadap Sangaji yang kurang baik, surut tujuh atau delapan bagian. Bukankah pemuda itu telah membuktikan dihadapannya, betapa dia sanggup berkorban untuk Titisari? Akhirnya dia berkata lagi dalam hati, anak ini berhati jujur dan mulia. Meskipun tiada niatku hendak menjodohkan Titisari kepadanya, tapi aku harus menghadiahi sesuatu. Selagi dia sibuk menimbang-nimbang, ter-dengar suara Gagak Seta nyaring. "Hai, Kebo Bangkotan! Benar-benar jempolan ilmu sak-timu. Kita berdua belum memperoleh kepas-tian siapa yang kalah dan menang. Marilah kita bertempur terus sampai memperoleh ketentuan!" Kebo Bangah terhenyak mendengar ucapan Gagak Seta. Sebentar ia tercengang-cengang, kemudian tertawa riuh. "Bagus! Aku Kebo bangkotan bersedia melayani seorang pendekar budiman!" "Hm! Hm! Aku bukan seorang budiman. Aku hanya seorang jembel tak keruan macam-nya...," sahut Gagak Seta. Habis berkata demikian, terus saja ia melompat memasuki gelanggang. Kebo Bangahpun tak mau mengalah. Tetapi sewak-tu hendak melompat, Adipati Surengpati menyanggahnya sambil berkata menya-barkan. "Saudara Kebo Bangah, tunggu dulu! Saudara Gagak Seta harap sabar barang sebentar! Kamu berdua sudah bertempur lebih dua ribu jurus dan belum juga memperoleh kepastian siapa di antara kamu berdua yang menang. Hal ini merupakan suatu kehormatan bagiku. Tetapi, kecuali aku dan kamu berdua "dijagat ini" masih ada seorang lagi yang harus kita datangi. Yakni, Kyai Kasan Kesambi. Apabila ia muncul di sini, teranglah aku tak berani mencegah perkelahianmu. Sebab, akupun akan tampil juga mengadu tenaga. Karena Kyai Kasan Kesambi kini tiada berada di antara kita, bagaimana pandapat kalian apabila pertempuran hari ini kita sudahi sampai sekian saja?" "Baiklah!" sahut Kebo Bangah dengan tertawa panjang. "Kalau aku terpaksa bertem-pur melawan Gagak Seta, terang sekali aku bakal keok." Gagak Seta melompat keluar gelanggang sambil tertawa riuh pula. Kemudian sambil meludahi tanah, "Kebo Bangkotan dari serandil ini, memang besar mulutnya. Masakan aku tak tahu, seluruh tubuhmu penuh lumuran bisa. Lain mulutnya lain hatinya. Kau sendiri sadar, bahwa dirimu sangat termasyur di seluruh jagat. Kini ngoceh, kau bakal keok melawan aku. Nah, artinya kau yakin bakal menang. Heh! Hm... aku si jembel tak karuan juntrungnya, masakan aku bisa mempercayai mulutmu..." "Bagus! Jika begitu, terpaksa aku harus melayani kepandaianmu lagi, saudara Gagak Seta!" Kebo Bangah menantang. "Itulah jalan yang paling bagus!" sahut Ga-gak Seta, dan terus saja dia bersiaga mema-suki pertempuran untuk mencari keputusan. "Sudahlah! Adipati Surengpati melerai de-ngan tertawa. "Aku siluman tua, benar-benar merasa bahwa kalian berdua sengaja mema-' merkan ilmu kepandaian kalian dihadapanku. Gagak Seta tertawa lebar berkata, "Kau pantas menegor aku, saudara Surengpati. Sebenarnya, aku sengaja menemui engkau untuk melamar putrimu dan bukan berniat mengadu ilmu dengan bangkotan Kebo edan!" "Bukankah aku telah mengumumkan hendak menguji kedua pemuda itu dengan tiga syarat?" sahut Adipati Surengpati. "Siapa yang lulus, dialah yang bakal menjadi menantuku. Tetapi siapa yang jatuh, akupun takkan membiarkan dia kecewa dan menyesal." Mendengar ucapan Adipati Surengpati, Gagak Seta heran. "Hai! Apakah itu? Apakah engkau masih mempunyai seorang putri lagi?" "Sekarang, belum," kata Adipati Surengpati dengan tertawa."Seumpama aku harus kawin lagi dengan terburu-buru, rasanya pun akan kasep juga. Maksudku takkan membiarkan kecewa dan menyesal ialah bahwasannya kasar-kasar aku mempunyai beberapa macam kepandaian, seperti: ilmu perbintangan, ilmu mantram, ilmu sejarah, ilmu bumi, ilmu ketabiban ilmu pedang, ilmu kepalan... dan apabila tidak mencela, dia kuperkenankan memilih salah satu macam ilmu kepandaian untuk kuajarkan sampai mahir." Adipati Surengpati, terkenal sebagai seorang bangsawan yang serba bisa. Gagak Seta mengetahui tentang hal itu. Maka dia berpikir, baiklah! Andaikata muridku kalah, dia pun bisa menambah ilmu kepandaian. Di kemudian hari akan banyak gunanya menghadapi perjuangan hidup. Melihat Gagak Seta berdiam diri, Kebo Bangah segera menyahut dengan suara nyaring. "Baiklah! Kalau begitu keputusan saudara Surengpati, akupun harus menerima dengan dada terbuka. Sebenarnya, saudara Surengpati sudah menerima lamaran kemenakanku. Tetapi memandang saudara Gagak Seta, biarlah kedua bocah ini diuji. Kurasa hal ini tidak akan menerbitkan suatu pertikaian berlarut-larut dikemudian hari, sehingga tiada memecahkan kerukunan kita." Setelah berkata demikian. Ia menoleh kepada sang Dewaresi. "Sebentar lagi, engkau bakal diuji melawan kepandaian Sangaji. Seumpama engkau tak dapat memenangkan, itulah suatu tanda bahwa dirimu tiada gunanya hidup di-jagat ini. Karena itu, janganlah engkau menyesalkan siapa saja. Malahan engkaupun harus ikut menyatakan syukur kepada sainganmu. Sebaliknya apabila dikemudian hari engkau ternyata menimbulkan suatu perkara yang bukan-bukan... Hm... bukan saja kedua pamanmu bakal menghadapimu, tetapi akupun tak gampang-gampang mengampuni dirimu." Gagak Seta tertawa tergelak-gelak. Menya-hut, "Eh kerbau buduk. Kau pandai juga berdoa tak keruan macamnya. Agaknya engkau sudah merasa pasti bahwa keme-nakanmu bakal menang. Sampai-sampai di depan kita kau sudah mengumumkan sangsi hukumannya. Bukankah maksudmu hendak mendesak kita berdua. Agar membatalkan saja niat saudara Surengpati akan menguji kemenakanmu... karena kau yakin muridku bakal keok, sehingga tiada gunanya untuk diadu segala." Kebo Bangah tertawa terkekeh-kekeh. "Bagus, jika engkau telah mengetahui mak-sudku. Nah, saudara Surengpati! Hayo sebutkan tiga syarat ujianmu untuk memilih calon menantumu!" ***

Komentar

Unknown mengatakan…
Jilit 2 cerita bende mataram kadang membingungkan , isi cerita kadang muncul lagi pada jilit berikut ya

Postingan populer dari blog ini

Bende Mataram - JILID 7. SUATU PERTEMPURAN TAK TERDUGA

Bende Mataram - JILID 7. SUATU PERTEMPURAN TAK TERDUGA WIRAPATI girang bukan main. Sangaji telah cfiketemukan. Kini tinggal menunggu Jaga Saradenta pulang dari penyelidikan ke luar kota. Seminggu sekali Jaga Saradenta datang ke pondokan dan membawa berita. Adakalanya sampai satu bulan. Dia pasti girang, kata Wirapati dalam hati, nanti malam biar kuajaknya mulai bekerja. Mudah-mudahan dia datang. Sekiranya tidak, biarlah kumulai dahulu. Waktu berarti pedang. Satu hari lengah berarti terkikisnya waktu yang dijanjikan. Hm—tinggal empat tahun. Kalau Sangaji mempunyai bakat, agaknya masih ada waktu. Mendadak saja timbullah suatu pikiran lain. Eh, sekiranya Sangaji nanti malam tak datang apa yang akan kulakukan? Bukankah hati kanak-kanak seringkali berubah? Celaka—aku belum tahu rumahnya. Memikir demikian, cepat ia kembali ke lapangan. Sangaji baru saja melangkahkan kaki meninggalkan lapangan. Ia girang. Mau dia percaya, kalau selama itu Sangaji masih tertegun-tegun memikirkan kehebatannya y...

ep.48 bende mataram - Pulang

BENDE MATARAM JILID 48 PULANG HATI seorang perempuan memang sukar diduga. Kalau tidak masakan perbuatan Rukmini dapat terluput dari pengamatan Sangaji yang sudah memiliki ilmu sangat ting-gi. Soalnya, seluruh perhatiannya ditegangkan oleh peristiwa yang terjadi di tengah lapangan. Dan sekelumitpun tiada terbintik dalam hati Sangaji, bahwa ibunya akan membunuh difi pula mencontoh Sonny de Hoop. Alasan untuk berbuat demikian sangatlah lemah. Jalan pikir Rukmini memang sangat aneh. Melihat anaknya tiada hendak meninggalkan rumah, lantas timbullah keputusannya akan membunuh diri. Ia sendiri tak dapat pergi bersama anaknya, sebeluin berbicara dengan Major de Hoop yang sudah beberapa tahun lamanya menjadi perlindungannya. Gntuk perbuatan itu, ia merasa berutang budi setinggi gunung. Kalau ia pergi begitu saja meskipun alasan-alasannya cukup kuat serta mendesak ia takut dikatakan sebagai makhluk tak kenal budi. Padahal anjingpun mengerti akan mem-balas budi. Masakan manusia tidak? Sekiranya...

BENDE MATARAM - JILID 8. SONNY SI GADIS INDO

BENDE MATARAM - JILID 8. SONNY SI GADIS INDO DENGAN berdiam diri pula Jaga Saradenta membimbing tangan Sangaji di samping Wirapati. Kesan pertempuran tadi masih saja meriuh dalam otaknya. Hatinya bisa menduga apa yang bakal dilakukan Pringgasakti ketika melihat adiknya mampus begitu terhina di tengah lapangan. “Iblis itu benar-benar kebal dari semua senjata tajam. Tapi kekebalannya tak kuasa mempertahankan diri dari letupan pistol. Jika begitu, boleh juga kita belajar menembak,” katanya perlahan. Wirapati adalah murid keempat Kyai Kasan Kesambi yang diajar membenci senjata bidikan. Begitu mendengar ujar Jaga Saradenta lantas saja menyahut. “Bukan karena mesiu pistol dia mampus, tetapi karena kebetulan tepat mengenai lubang kelemahannya.” “Bagaimana kautahu?” “Pertama-tama kulihat dia selalu melindungi kepalanya rapat-rapat dari gempuran cempulingmu. Seandainya dia benar-benar kebal, apa perlu berlaku begitu? Kedua, tembakan pistol Sangaji tepat mengenai pusatnya. Memang se-mendjak kau ...